NovelToon NovelToon

Menjadi Istri Tuanku

Episode 1 : Lamaran Dari Orang Tua Bian

Catatan : Maaf kalau bahasanya terlalu baku. Maklum, ini novel aku tulis 3 tahun lalu. Saat itu, aku masih sering kirim tulisan ke koran atau majalah, jadi kebayang kebanyakan cerita yang aku baca itu sastra berat dan tulisanku juga jadinya serba baku. Kalau memang enggak suka bahasa baku, enggak apa-apa, jangan lanjut baca. Di cerita ini kalian bisa emosi, baper, sama ngakak sampai sakit perut kalau sudah kenal : Den Bagus Saepul ^^)

--Menjadi Istri Tuanku--

“Aku menjadi pengganti Lia dan menikah dengan Bian? Dengan kata lain, besok juga aku harus menikah? Namun, kenapa harus aku?”

Episode 1 : Lamaran Dari Orang Tua Bian

Siang itu, matahari terbilang terik, walau di bulan Februari lebih sering turun hujan. Fina menyeringai kepanasan sambil mengelap peluh di wajah berikut sekitar lehernya, menggunakan kedua punggung tangannya.

Menjadi orang yang tidak mahir mengendarai motor di usianya yang sudah menginjak dua puluh empat tahun, membuat wanita muda itu terpaksa jalan kaki dari sekolah tempatnya mengajar, yang kiranya berjarak nyaris dua kilo meter dari rumahnya.

Sebenarnya, awalnya Fina bisa mengendarai motor. Namun karena Fina sempat menjadi korban tabrak lari, wanita cantik yang memiliki tinggi tubuh seratus enam puluh senti itu menjadi trauma. Selalu saja memilih membonceng jika bepergian. Pun meski yang memboncengnya, adik atau malah orang tuanya, yang tentunya lebih pantas Fina boncengkan.

Kurang dua rumah dari rumahnya, Fina sengaja berhenti melangkah. Ia berhenti tepat di depan rumah Bian sahabatnya, yang sudah dihiasi janur kuning. Dekor khas persiapan hajatan juga sedang dipasang berikut tenda biru yang terlihat menjadi atap di area belakang, dan biasanya menjadi prasmanan.

Bebera pria dan kebanyakan orang tua di sana, sedang ramai-ramainya membuat jenang, selaku makanan menyerupai dodol, yang terbuat dari tepung ketan putih, santan, gula jawa, berikut bumbu lainnya, dan sudah menjadi makanan ciri khas warga tempat Fina tinggal, ketika hajatan.

“Duh, Bu guru … kepanasan, Bu? Sini, mampir ngopi dulu!” sapa salah seorang dari mereka, sambil bahu-membahu mengaduk dan mendorong adonan jenang yang baru setengah jadi. Setidaknya, butuh waktu sekitar tiga sampai empat jam lagi, untuk adonan yang masih berwarna semu putih itu, menjadi jenang yang nikmat.

Fina mengulas senyum menanggapi sapaan berikut semua orang yang tersenyum ramah kepadanya. Dan status Fina sebagai guru di sekolah dasar, memang membuat orang-orang di desa tempatnya tinggal, lebih sering memanggilnya dengan sebutan Bu guru.

“Iya, Pak. Makasih!” balas Fina berusaha sesopan mungkin.

Sebenarnya, yang menarik perhatian Fina tak hanya mengenai jenang di mana ia juga sangat ingin memakannya selagi masih hangat. Sebab riasan pelaminan bernuansa putih yang sedang dipasang, jauh lebih menarik perhatian Fina. Apalagi, dekorasi dari daun kelapa yang masih muda, didekorasi dengan sedemikian rupa dan berhasil membuat Fina takjub. Benar-benar indah, sampai-sampai, Fina terperangah. Bahkan karenanya, Fina juga jadi ingin menikah dengan rias pelaminan tak kalah indah dari rias milik Bian.

“Jadi pengin nikah juga, yah, Bu? Buruan gih, cari calonnya. Biar setelah dari sini, kami njenangnya pindah ke rumah Ibu! Atau kalau enggak, nikahnya sama aku saja!”

Godaan itu masih dari pria yang sama. Ipul--perjaka berusia di akhir kepala tiga, yang pekerjaannya mengembala kambing dan kerbau.

Selain memiliki puluhan kambing dan kerbau berikut sawah luas, Ipul dan keluarganya juga sudah berulang kali melamar Fina. Kendati demikian, Fina dan keluarganya juga sudah berulang kali menolak lamaran dari Ipul.

Alasannya satu, Fina tidak suka dengan Ipul tanpa sebab yang jelas. Intinya, Fina selalu sebal di mana pun Ipul berada, bahkan meski hanya nama pria itu disebut. Layaknya sekarang, meski ingin belajar membuat dekorasi dari daun kelapa muda yang berwarna kuning, Fina memilih pamit dengan santun lantaran ia tidak mau berurusan dengan Ipul.

“Mari, Pak,” pamit Fina sopan sambil mengangguk dan membungkuk ketika melewati kerumunan pria yang sedang membuat jenang.

Terkadang, Fina merasa sikapnya pada Ipul sudah sangat keterlaluan. Namun jika melihat dari usaha Ipul yang pantang menyerah bahkan pria itu juga kerap menyebarkan gosip hubungan palsu perihal Fina, selain sangat kesal dan ingin menyobek mulut Ipul, Fina memang memilih menghindari Ipul, ketimbang Fina menjadi terbawa emosi, dan pastinya semakin menambah dosa. Belum lagi, gara-gara ulah Ipul juga, jadi banyak pria yang takut mendekati Fina. Faktanya, tidak hanya satu atau dua kali, ada yang bertanya pada Fina mengenai kejelasan hubungan Fina dan Ipul. Dan dengan demikian, gosip yang Ipul buat sukses membuat Fina semakin jauh dari jodoh.

“Cukup … cukup! Jangan memikirkan orang gila itu!” batin Fina dalam hatinya dan sengaja mempercepat langkahnya.

Meski kasus yang menimpa Fina terbilang langka, tetapi berada dalam posisi Fina, dikejar oleh pria yang terkesan sangat terobsesi yang tak segan melayangkan cerita palsu, sangat merugikan masa depan Fina sekeluarga. Terlebih menurut oang-orang, Ipul hanya akan menyerah setelah Fina menikah.

Pertanyaannya, Fina harus menikah dengan siapa, sedangkan Fina belum memiliki hubungan serius, atau setidaknya calon suami, lantaran selama ini Fina terlalu fokus dengan pendidikannya? Juga, apakah mungkin, pria nekat seperti Ipul, benar-benar akan melepas Fina bahkan meski Fina sudah menikah?

***

Akhirnya Fina sampai rumah. Wanita beriris mata cokelat itu langsung melepas sepatu flat yang dikenakan, berikut kaos kakinya, sebelum akhirnya menaruhnya di rak sepatu yang letaknya tepat di sebelah pintu masuk rumah. Rumah sederhana bercat putih yang selalu memberi Fina banyak kehangatan.

Yang membuat Fina heran, ketika Fina melayangkan salam bersamaan dengan Fina yang membuka pintu rumah,

yang menjawab serempak, tidak hanya dari suara orang tua Fina. Juga ... bukankah seharusnya, orang tua Fina sedang rewang atau bantu-bantu di rumah Bian, terlebih besoknya merupakan hari hajatan sekaligus pernikahan Bian?

Benar, di sofa ruang tamu tak hanya dihuni Raswin dan Murni, orang tua Fina, sebab orang tua Bian juga ada di sana. Orang tua Bian duduk di sofa panjang persis di hadapan orang tua Fina. Mereka hanya terhalang meja kayu

cukup panjang, yang tak melebihi panjang sofa keberadaan kedua pasang paruh baya itu sendiri. Dan meski orang tua Fina terlihat tegang, tetapi ternyata orang tua Bian terlihat jauh lebih tegang.

Kenyataan tersebut pula yang membuat Fina bingung, terlebih Fitri--ibu Bian, sampai terisak-isak. Fitri yang menangis juga sampai kerap menyeka air matanya. Akan tetapi, demi meredam kebingungannya, Fina berangsur menyalami orang tuanya, kemudian menyalami Teguh--ayah Bian, sebelum menanyakan perihal apa yang sebenarnya sedang terjadi.

“Bi Fitri kenapa? Kok nangis?” tanya Fina sambil menyalami Fitri berikut mencium punggung tangan kanan wanita itu, layaknya ketika ia menyalami ketiga orang yang duduk tegang di sana.

Murni menatap Fina penuh isyarat. Sampai-sampai, yang bersangkutan juga menjadi semakin bingung. “Fina, duduk di sini,” ucap Murni kemudian, sambil menepuk sofa kecil di sebelah Raswin.

Sebenarnya, ada dua sofa kecil yang masih tersisa. Satu di hadapan Fina, satunya lagi di hadapan Murni.

Fina pun berangsur duduk di sofa yang Murni maksud, kendati pandangannya masih mencari-cari maksud dari kebersamaan di sana. Suasana yang diselimuti ketegangan, dan bahkan Fitri sampai menangis. Fitri terlihat sangat bersedih, dan sebelumnya, Fina belum pernah melihat itu terjadi. Namun Fina yakin, pasti ada masalah besar yang telah terjadi!

“I-ini, sebenarnya ada apa, sih? Bu, Pak …?” tanya Fina kemudian saking penasarannya. Fina masih menatap keempat wajah orang di sana, dengan menelisik.

“Fina …?” panggil Fitri kemudian. Fitri masih sibuk mengelap air matanya yang tak terus saja berlinang.

“Iya, Bi?” balas Fina yang menjadi ikut bersedih. “Semuanya baik-baik saja, kan?” Kali ini, Fina menatap keempat wajah di sana, penuh kepastian.

“L-lia ... ham-mil …!” Tangis Fitri pecah.

Dan Teguh yang menjadi menunduk sedih, menepuk-nepuk punggung Fitri, mencoba menenangkan istrinya.

Yang Fina herankan, kenapa kehamilan Lia selaku calon istri Bian, sampai menjadi duka yang begitu berat untuk orang tua Bian bahkan orang tuanya? Jika memang sudah terjadi, mau bagaimana lagi? Toh besoknya Bian dan Lia juga akan ijab-qobul? Kalaupun harus ada yang menjadi persyaratan karena Lia hamil di luar pernikahan, itu sudah menjadi risiko dari Lia maupun Bian sendiri.

Lantas, apa yang harus disedihkan? Jangan bilang, orang tua Bian jadi tidak merestui hubungan Bian dan Lia, hanya karena kehamilan itu? Celaka … Fina tidak bisa membayangkan betapa terpukulnya Bian kalau itu sampai terjadi.

Fina tahu betul, sahabatnya itu sangat mencintai Lia. Terlebih, Bian dan Lia sudah berpacaran semenjak keduanya kelas 2 SMA, di mana Fina sering dijadikan obat nyamuk oleh keduanya demi mendapat izin ketika jalan-jalan ke luar.

Baru juga memikirkan ketakutan mengenai efek buruk yang akan menimpa Bian ketika pria itu tidak jadi menikah dengan Lia, tiba-tiba saja Teguh berkata, “hari ini, Lia sudah ijab-qobul dengan ayah dari anak yang sedang dikandung, Fin!”

“Hah?!” Saking terkejutnya, Fina sampai tidak bisa mengontrol suara berikut ekspresinya.

Mendapati tanggapan Murni dan Raswin yang sampai mendelik kepadanya, Fina berangsur menunduk sambil menekap mulutnya menggunakan kedua tangan. “Maaf ...,” lirihnya kemudian.

“Kok bukan sama Bian? Duh, ... kok bisa? Apa gara-gara sekarang Bian sibuk mengurus bengkel, jadi Lia kesepian dan … ya ampun, kenapa pikiranku jadi sekotor ini!” batin Fina yang masih menunduk.

Fina menjadi sibuk membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan retaknya hubungan Bian dan Lia. Namun terlepas dari semua itu, Fina benar-benar mengkhawatirkan Bian. Apa yang akan terjadi pada sahabatnya itu, padahal kemarin, mereka baru saja mengobrolkan mengenai rencana bulan madu, yang kata Bian, Lia meminta ke Lombok?

Fina benar-benar sibuk dengan pemikirannya. Andai saja Raswin tidak mencubit lengan Fina, tentu wanita muda berhidung mancung itu masih sibuk melamun. Dan Fina yang sempat refleks mengerang kesakitan, menatap Raswin selaku pelaku pencubitan terhadapnya, sambil mengusap-usap bekas cubitan. Namun karena Raswin memberi Fina kode mata agar menatap Teguh, Fina pun berangsur menoleh dan menatap Teguh seutuhnya.

“Bagaimana, Om?” tanya Fina memastikan. Sungguh, kabar Lia hamil dan justru bukan anak Bian di mana wanita itu juga sudah menikah dengan pria lain, sangat membuat Fina terkejut sekaligus sulit berkonsentrasi.

“Kamu mau, ya, Fin, jadi penggantinya Lia? Kamu yang besok nikah sama Bian!” pinta Teguh sungguh-sungguh.

“Kami mohon, Fin! Kami benar-benar enggak tahu harus bagaimana lagi, sedangkan semua keperluan sudah siap. Besok hari H-nya!” tambah Fitri yang sampai meraung-raung, menatap Fina dengan wajah yang begitu memohon.

Permintaan orang tua Bian membuat nyawa Fina seolah dicabut paksa detik itu juga. Fina benar-benar menjadi lemas, saking tidak percayanya.

“Kedatangan kami ke sini, sengaja untuk melamarmu!” tambah Teguh.

Fina refleks menelan ludah. “Aku menjadi pengganti Lia dan menikah dengan Bian? Dengan kata lain, besok juga aku harus menikah? Namun, kenapa harus aku?” batin Fina yang menjadi bergidik ngeri. Sudah harus menjadi mempelai pengganti, ia juga harus melangsungkan pernikahan besoknya juga, dengan pria yang selama ini sudah ia anggap sebagai saudaranya!

Bersambung ....

Episode 2 : Dipaksa Menikah

“Memangnya ada, wanita yang mau dipaksa menikah bahkan menjadi pengantin pengganti?”

Episode 2 : Dipaksa Menikah

Fina yang mengurung diri di kamar, duduk di lantai berkeramik putih dengan pandangan kosong, sedang merasakan betapa sakitnya luka tak berdarah. Wanita berambut lurus sepundak itu tengah merasakan kegamangan hati yang luar biasa. Bahkan saking terpukulnya, Fina masih mengenakan seragam batik berikut rok hitam panjang.

Keputusan pertemuan orang tua Fina dan Bian, membuat Fina harus menikah. Fina dipaksa menikah besok harinya juga menggantikan Lia, menjadi istri Bian. Meski Bian sahabatnya, mereka bertetangga bahkan orang tua mereka sangat mendukung, tetapi Fina tidak bisa menerima keputusan tersebut.

Terlebih, selain Bian juga belum menemui Fina secara langsung atau setidaknya mengabari Fina mengenai pernikahan, Fina juga masih sangat tidak siap menjalani pernikahan. Fina masih ingin bekerja, mengabdi pada keluarga sambil menunggu jodoh yang benar-benar Fina harapkan. Pria yang Fina cintai berikut mencintai Fina.

Tiba-tiba saja, Fina seperti mendapat ilham untuk lari, kabur dari pernikahan. Jadilah Fina buru-buru bangkit, membuka lemari pakaian di sebelah ranjang kasur sederhananya. Fina mengambil tas jinjing cukup besar dari sana, kemudian mengisinya dengan pakaian yang Fina taruh asal sekaligus buru-buru.

“Daripada dipaksa nikah enggak jelas begini, mending aku minggat saja!” pikir Fina sangat yakin.

Setelah berhasil mengemasi semua keperluan dan dianggapnya cukup, termasuk surat-surat penting seperti ijazah pendidikan dan niatnya akan Fina gunakan untuk melamar pekerjaan, Fina siap kabur lewat jendela kayu di seberang kasur tidurnya.

Pertama-tama, Fina menjatuhkan ransel, disusul sandal jepitnya, sebelum akhirnya memanjat. Namun baru juga akan loncat, suara cempreng Rina adiknya terdengar memekik.

“Eh … Mbak Fina mau ke mana? Mau kabur, ya?!” tuding Rina sesaat sebelum menahan kerah bagian tengkuk Fina.

Fina yang masih dalam keadaan jongkok di jendela, berangsur menoleh. Fina menatap sang adik dengan banyak luka yang masih memenuhi hatinya. “Biarin aku minggat saja, Rin! Gila saja, aku dipaksa nikah bahkan harus nikah besok juga!”

“Lah, apa salahnya, Mbak? Nikah sama Mas Bian, kan enak?” balas Rina cepat dengan entengnya.

“Enak kepalamu? Memangnya kamu pernah nikah sama Bian, berani bilang enak?” omel Fina yang menjadi sangat kesal hanya karena mendengar balasan Rina.

Balasan Fina membuat Rina nyengir dan memasang senyum tak berdosa. Kemudian, gadis yang memiliki garis wajah sama dengan Fina itu menggaruk asal kepalanya yang tidak gatal. “Ya, … maksudku bukan begitu, Mbak. Maksudku, daripada Mbak terus-menerus dikejar Ipul, bahkan dijerat fitnah yang dubilahi dari pria rese itu, kan mending Mbak nikah sama Mas Bian?”

Rina menatap sang kakak dengan tatapan penuh pembenaran atas alasan yang baru saja ia berikan. “Lagian, … nikah sama Mas Bian juga bukan pilihan yang buruk? Hidup Mbak pasti jadi lebih enak. Mas Bian itu anak tunggal, sedangkan keluarganya terbilang berada.”

“Mas Bian juga punya bengkel bahkan sorum motor besar. Jadi, masa depan Mbak bakal cerah!”

“Bahkan Mbak juga enggak harus nunggu gaji guru honorer Mbak, berbulan-bulan, hanya untuk beli apa yang Mbak mau!”

“Dan nilai plusnya, kalian bersahabat. Enggak butuh waktu lama, benih-benih cinta pasti lahir dalam hubungan kalian. Banyak, lho, kasus sahabat jadi cinta!”

Rina memberikan penjelasan dengan tampang yang bagi Fina, sangat sok tahu. Dengan perasaan makin sebal, Fina pun berkata, “kalau begitu, mending kamu saja yang nikah sama Bian! Nikah sama Bian enak, kan? Masa depanmu bakal cerah, Rin!”

“Lho … kok gitu?” protes Rina merasa keberatan.

“Lha … tadi kamu bilang, nikah sama Bian, enak? Masa depanmu bakal cerah!" cibir Fina yang kembali memberikan pernyataan sang adik.

“Lha, pokoknya aku enggak mau! Lagian, aku juga sudah punya calon! Kami sudah cocok! Justru, aku bersyukur, Mbak tiba-tiba nikah. Karena dengan begitu, aku jadi enggak takut lagi kalau tiba-tiba calonku ngajak aku nikah!” tepis Rina. “Enggak lucu, kan, kalau aku justru nikah duluan? Sudahlah, Mbak, terima saja!”

“Terima kepalamu! Jahat banget sih kamu, Rin!” balas Fina yang nyaris menangis.

Padahal, Fina sangat berharap Rina mau menolongnya, dari perjodohan konyol yang sangat mendadak tersebut.

“Percaya deh, Mbak! Mas Bian lebih baik daripada Ipul! Aku dukung Mbak nikah sama mas Bian, biar Mbak terbebas dari Ipul!” Rina kembali meyakinkan Fina.

“Benarkah? Menikah dengan Bian menjadi satu-satunya cara agar aku terbebas dari Ipul?” pikir Fina.

“Oh, iya, Mbak. Itu orang yang mau rias Mbak pakai henna, sudah datang. Mbak sudah ditunggu di depan,” tambah Rina dengan nada suara yang jauh lebih lirih.

Fina tertunduk sedih. Meski apa yang Rina katakan tidak sepenuhnya salah, tetapi, kenapa nasibnya harus berakhir dalam perjodohan konyol? Namun jika memikirkan Rina yang bahkan sudah siap menikah, Fina jadi tidak memiliki pilihan lain. Fina tidak mau, statusnya yang masih lajang, bahkan kadang dibilang perawan tua, justru menghalangi kebahagiaan Rina.

“Tapi, … bahkan Bian sama sekali enggak menghubungiku?” ujar Fina kemudian.

“Bukan enggak, tetapi belum, Mbak. Mbak harusnya lebih tahu bagaimana keadaan Bian saat ini. Dia pasti sangat terpukul, karena wanita yang sangat dia cintai, dan bahkan sudah menjadi kekasihnya nyaris enam tahun, justru mengandung sekaligus menikah dengan pria lain!” Lagi-lagi, Rina berusaha meyakinkan.

Dan mendengar itu, Fina menghela napas pelan. “Masa sih?” pikirnya masih ragu. Meski semua kenyataan yang Rina jabarkan benar, dan seharusnya itu membuat Fina bahagia lantaran Fina akhirnya menikah dengan Bian--pria yang digadang-gadang tepat menjadi suaminya, tapi, kenapa kegamangan hati Fina tak kunjung sirna? Kenapa Fina masih saja merasa risau?

Sebenarnya, Fina tahu kenapa ia masih saja risau? Kenapa ia merasa begitu sakit dan bahkan tak berharga? Masih mengenai pernikahan yang Fina gadang-gadang menjadi sekali dalam hidupnya. Terlebih selain dipaksa menikah dengan waktu yang benar-benar tidak bisa ditoleransi, menjadi pengantin pengganti juga menjadi pukulan sekaligus dilema terbesar dalam hidup Fina, bahkan sekalipun Fina harus menikahi sahabatnya sendiri.

Kini, dengan hati berikut perasaan yang semakin risau lantaran Bian tak kunjung memberinya kabar, Fina membiarkan tangannya dihias menggunakan henna oleh perias yang sudah disewa khusus keluarga Bian, dan seharusnya merias Lia.

“Wah … asyik! Besok aku jadi domas!” seru Rina dengan girangnya sambil membuka keripik singkok yang dibawa.

Fina yang duduk di kursi, hanya diam. Hanya melirik sekilas tingkah laku Rina yang justru terlihat jauh lebih bahagia ketimbang ia yang akan menikah. Dan Fina masih bertahan dengan kesedihannya.

Kali ini, Rina yang berangsur duduk di sofa seberang Fina, meraih ponselnya dari meja. Meja yang sama saat orang tua Bian datang melamar Fina, siang tadi.

“Aku mau WA Mas Bima … ah. Siapa tahu, besok Mas Bima enggak sibuk, dan bisa menemaniku jadi domas!” ujar Rina masih antusias. “Eh, Mbak enggak WA Mas Bian?” tanyanya yang kemudian menatap Fina lebih serius dari sebelumnya.

Melihat Rina yang begitu bahagia, Rina yang tak hentinya senyum-senyum hanya karena berkirim pesan dengan sang kekasih, membuat Fina merasa iri, sebab Fina juga ingin merasakan hal serupa. Fina ingin menjalani hubungan karena saling cinta.

Dalam diamnya, Fina masih merasa sangat sedih perihal nasib percintaanya. Memangnya ada, yang mau dipaksa menikah bahkan menjadi pengantin pengganti? Fina sangat berharap, tidak ada lagi yang lebih menyakitkan dari apa yang ia jalani sekarang.

Dan semoga, semua anggapan perihal akan ada benih-benih cinta yang dengan mudah tumbuh dalam hubungannya dengan Bian, juga benar. Tanpa terkecuali, mengenai Ipul yang akhirnya menyerah.

Bersambung ….

Episode 3 : Hari Pernikahan

Author : Yang sudah baca, tolong tinggalin jejak kalian, karena like dan komen termasuk vote dari kalian, sangat mempemgaruhi nasib cerita ini di Mangatoon atau Noveltoon. Terakhir, selamat membaca!

***

“Kalau kamu memang ragu, lebih baik enggak usah dilanjutkan. Apa pun hubungan kita, enggak seharusnya kita mempermainkan pernikahan!”

Episode 3 : Hari Pernikahan

Diam.

Bian benar-benar bungkam seribu bahasa. Fina yang sudah duduk di sebelahnya, di hadapan penghulu berikut orang-orang yang sudah menonton mereka, menjadi semakin risau.

Memilih konsep pernikahan adat Sunda yang identik dengan siger dan sanggul menawan, Fina tampil begitu cantik. Kebaya putih yang Fina kenakan dan menegaskan kesrakalan, dengan makeup yang fresh tapi natural, membuat wanita itu terlihat begitu anggun.

Fina benar-benar menjadi ratu sehari yang begitu menawan. Sayangnya, Bian yang telah mengenakan beskap putih dengan pattern keperakan yang memenuhi blangkon dan membuatnya bak raja sehari, masih saja diam.

Tidak ada semangat apalagi tanda-tanda Bian bahagia. Pria itu terlihat tidak baik-baik saja. Raganya memang ada di sebelah Fina, tetapi tidak pikiran bahkan sebagian nyawanya.

Pertanyaan Raswin berikut penghulu perihal kesiapan Bian, untuk memulai jalannya ijab qobul, juga tidak mengusik keadaan Bian. Pria itu tetap bungkam dan terlihat sangat tidak bahagia layaknya Fina.

Justru, orang lain selain keduanyalah yang terlihat menikmati pernikahan mereka. Dari orang tua berikut beberapa anggota keluarga yang mengenakan pakaian adat senada berwarna merah menyala, juga semua yang hadir di sana dan sebagian dari mereka sudah membidikkan kamera dari gawai masing-masing, ke arah Bian dan Fina.

Tak mau semakin diperbincangkan atas kenyataan Bian yang hanya diam, sebelah tangan Fina yang sudah berhenna, meraih dan menggenggam sebelah tangan Bian dengan hati-hati. Meski yang ada, Bian yang terlihat terkejut justru mengipratkan tangan Fina dengan cukup kasar.

Beberapa yang melihat tanggapan Bian pada Fina, juga tak kalah terkejut dari Fina. Padahal, selama ini keduanya dikenal sangat dekat. Bahkan terkadang, Bian tak segan meminta masakan atau malah disetrikakan baju pada Fina. Dan saking dekatnya, keduanya juga kerap menghabiskan waktu bersama, termasuk Bian yang kerap mengantar-jemput Fina di setiap kepergian wanita itu.

“Jangan-jangan benar, ya? Desas-desus yang beredar, ... kalau alasan Fina tiba-tiba menggantikan Lia, karena Fina hamil anak Bian?” bisik salah seorang di sudut barisan depan Fina.

“Ya ampun! Gila bener kalau itu yang terjadi! Kasihan Lia! Enggak nyangka aku, kalau Fina yang selama ini kita kenal kalem sopan, bahkan Fina juga guru dan seharusnya kasih contoh yang baik, justru sekeji itu!”

Rina sengaja maju dari balik punggung Fina dan Bian, lantaran ia akan mengabadikan kebersamaan keduanya melalui bidik kamera ponsel. Sayangnya, lantaran Rina tidak sengaja mendengar bisik-bisik orang di hadapan Fina, kebahagiaan dalam dirinya atas pernikahan sang kakak yang akan berlangsung pun sirna seketika.

Rina langsung balik badan, dan menatap kedua wanita muda yang tadi sempat membicarakan Fina. Wanita muda yang masih tetangganya dan seumur dengannya. Namanya Santi dan Ira.

“Maaf, ya, San, Ra ... kalian enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jadi jangan menyebarkan fitnah!” tegur Rina lirih berusaha memberikan kedua temannya pengertian.

Yang Rina herankan, kenapa Bian begitu tidak bersemangat? Tak ada tanda-tanda kedekatan di antara Bian dan Fina seperti apa yang selama ini terpampang. Kalaupun Bian tidak siap, seharusnya pria itu jujur dari kemarin. Bukan seperti sekarang dan bahkan membuat Raswin berikut penghulu sibuk mencoba mengajak Bian berkomunikasi.

Raswin dan penghulu sudah berulang kali mengajak Bian salaman, dan tak jarang, mereka juga melakukannya sambil menegur. Beruntung, setelah sang penghulu nyaris menyerah, akhirnya usaha Raswin mendapatkan hasil dibantu Fitri.

Bian sampai terkesiap setelah Fitri mendekati dan entah apa yang wanita itu katakan.

Dengan wajah yang jauh lebih tenang, Fina mendekatkan kepalanya ke bahu Bian. “Kalau kamu memang ragu, lebih baik enggak usah dilanjutkan. Apa pun hubungan kita, enggak seharusnya kita mempermainkan pernikahan!” lirihnya. Toh, jika ditanya siapa korban di pernikahan mereka, tentu saja Fina. Fina sebagai pihak korban yang justru sampai difitnah hanya karena menjadi pengantin pengganti.

Mendengar itu, dahi Bian menjadi berkerut. Pria itu terlihat menimang rasa, tetapi Fitri datang untuk ke dua kalinya mendekati Bian.

“Jangan bikin malu, Bi! Semua orang sudah menunggu!” bisik Fitri sambil mencengkeram tangan kanan Bian yang kemudian ia angkat, tuntun untuk bersiap menjabat tangan Raswin.

Setelah sampai menciptakan kerisauan orang-orang di sana, termasuk pihak keluarga apalagi Rina yang berdiri di hadapannya, Bian yang menghela napas pelan kemudian mengulurkan tangan kanannya. Memang masih ada keraguan dari Bian, tetapi kemudian, tangan kanannya yang sampai gemetaran itu dijabat oleh Raswin.

“Sudah bisa dimulai?” tanya penghulu sambil menatap Bian. Ia sengaja memastikan kesiapan Bian.

Mendengar itu, Fina menghela napas pelan sambil menunduk. “Ya Tuhan, aku mohon, ... tolong berikan jalan terbaik untukku!” batin Fina pasrah. Fina masih tidak yakin dengan pernikahan yang akan dijalani.

Dan yang membuat Fina merasa cukup aman, sebenarnya selain orang tua mereka sangat mendukung, Bian juga sahabatnya. Banyak yang bilang, menghadirkan cinta di antara hubungan sahabat bukan perkara sulit, dan Fina berharap itu juga terjadi padanya dan Biam.

Namun, jika Bian justru mendadak menjadi orang asing, apakah harapan itu masih mungkin? Justru, Fina malah berpikir, pernikahannya dengan Bian adalah nerka untuk kehidupannya.

Ketika Fina mengangkat wajah berikut tatapannya, ia berangsur menoleh. Ia mendapati Bian mengangguk. Kemudian ia mengalihkan tatapannya dan mendapati penghulu berikut Raswin balas mengangguk.

“Saudara Bian Purnama Wiguna bin Teguh Wiguna. Saya nikahkan dan saya kawinkan, Ananda dengan anak saya, yang bernama Fina Mega Dewi, dengan maskawin berupa seperangkat alat salat dan seratus gram perhiasan emas, dibayar tunai!” ucap Raswin tegas.

Bian menghela napas pelan. Sedangkan Fina yang di sebelahnya, masih mengamati pria itu dengan dada yang menjadi berdebar-debar. Fina banar-benar menjadi tegang bersamaan dengan jantungnya yang menjadi berdentam-dentam di atas batas normal.

“Saya terima, nikah dan kawinnya Fina Mega Dewi binti Raswin Mustofa, dengan maskawin tersebut, dibayar tunai!” ucap Bian tegas meski masih terlihat tidak bersemangat.

“Sah?” tanya penghulu sambil mengamati orang-orang di sana.

Semua yang di sana kompak berseru, “sah!” disertai sorak-sorai sarat kebahagiaan.

Seperti ada beban yang seketika itu terangkat dari dada Fina. Wanita itu segera menyambut tangan Bian yang telah resmi menjadi suaminya. Fina tak hanya menyalami, melainkan turut mencium punggung tangan kanan Bian.

Deretan kilat cahaya kamera tak hentinya mewarnai kebersmaan khususnya pada Fina dan Bian. Dan baik Bian maupun Fina, kemudian sungkem pada orang tua mereka secara bergantian, sebelum akhirnya menyalami orang-orang di sana yang memberikan mereka ucapan selamat.

Fina benar-benar merasa lega sekaligus bahagia. Hanya saja, ketika mereka akan berganti pakaian di kamar Bian, tiba-tiba saja Bian mengunci pintu kamarnya dan menatap Fina penuh kebencian.

“Kamu kenapa?” tanya Fina terheran-heran. Ia mendekati Bian yang kiranya hanya dua meter darinya.

Ketika sebelah tangan Fina telah meraih sebelah tangan Bian, sedangkan sebelah tangannya lagi meraih wajah pria itu, Bian justru mengenyahkannya dengan kasar. Bian mundur sambil menatap Fina dengan tatapan tajam penuh kebencian.

“Bi ...?” lirih Fina yang tiba-tiba saja merasa begitu sakit.

Bian menepis tatapan Fina, kendati mata Fina sudah sampai merah dan berkaca-kaca. Bian menemukan banyak kekecewaan di mata wanita yang sudah resmi menjadi istrinya, dan itu untuknya.

“Meski kita sudah menikah, tetapi aku enggak mungkin mencintaimu, Na!” tegas Bian.

Jantung Fina seolah melesak. Bian tidak serius dengan ucapannya, kan? Pria itu hanya belum bisa menerima kenyataan, kan? Atau jangan-jangan, benar, jika pernikahan mereka justru menjadi neraka untuk Fina?

Bersambung ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!