Semula ia tidak tau hubungannya dengan seorang pria di mulai dari hari ini, hari di mana awal segalanya tercipta hingga berujung penyesalan dan sukacita. Takdir yang mengikat mereka satu sama lain, bahkan sebelum mereka di lahirkan. Entah apa yang akan menunggu di masa depan, keputusannya tetap tidak akan pernah berubah, demi ambisi dan egonya yang tak terbendung. "Aku rela."
Di sebuah kamar yang cukup sederhana, setiap perabot beserta isinya tersusun rapi memperindah mata memandang. Buku-buku pelajaran dengan berbagai judul, saling berbaris beraturan penuh warna warni di sebuah rak buku berukuran besar. Benar! hal yang paling mencolok di antara seluruh isi kamarnya adalah buku.
Seorang wanita sedang duduk di sebuah kursi memandangi layar laptop yang terletak di atas meja belajarnya. Tak sedetik pun ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, bahkan kedipan mata pun hampir terlupa ia lakukan sangking gugupnya.
Wanita itu bernama Rismaharini atau biasa di panggil Riri. Ia berumur 19 tahun, wanita cantik yang suka mengucir rambutnya jadi dua dan memakai kacamata. Ia memakai kacamata, murni karena matanya memiliki kekurangan dalam penglihatan. Di usianya yang masih belia, matanya sudah berada pada taraf minus 7, yang jarang di temukan pada gadis seusianya.
Dia adalah siswi cupu yang paling pintar di sekolahnya. Karena dia memakai kacamata dan lebih suka belajar dari pada bermain dengan teman-temannya, dia di juluki si cupu. Sifatnya yang cuek juga menyebabkan, ia selalu dijadikan sebagai objek gosipan orang lain.
Riri baru saja lulus SMA dan berniat masuk ke perguruan tinggi yang ada di ibu kota. Yang menjadi tujuannya adalah universitas Bima Sakti, kampus yang paling terkenal hingga ke pelosok negeri.
Hari ini adalah pengumuman tes hasil ujian penerimaan beasiswa, detik-detik yang akan menentukan masa depannya. Rasa cemas, takut dan gelisah membuatnya tidak bisa tidur nyenyak dalam beberapa hari terakhir.
"Tik tik." suara dentingan jam dinding, yang terdengar begitu menegangkan. Akhirnya waktu yang di tunggu-tunggu sudah tiba, pukul 10 malam, pengumuman hasil seleksi secara resmi akan diumumkan.
Riri mengintip sedikit demi sedikit layar laptopnya, mencoba memberanikan dirinya untuk melihat pengumuman yang ada di sana. Terlihat sebuah tulisan yang bertulis. "Selamat kepada Rismaharini telah diterima di jurusan pendidikan Fisika Universitas Bima Sakti, dengan nilai yang sangat memuaskan."
Tanpa sadar ia pun segera bangkit dari duduknya, langsung menaiki kasurnya lompat-lompat dan berjoget tidak karuan saking senangnya. "Yeah aku lulus… aku lulus," ucapnya kegirangan.
Tubuhnya yang ramping membuat gerakannya semakin lincah, dengan sigap ia melompat dari ujung tempat tidur untuk turun dari sana. Berlari ke balkon rumah lantai dua yang ada di kamarnya, ia rentangkan tangannya lebar-lebar seraya menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Tarikan nafas panjang sambil menutup mata semakin hanyut dengan suasana malam. "Senangnya…," gumam Riri tersenyum tipis.
Keesokan harinya Riri memberanikan diri, untuk mengatakan pada Ayahnya tentang kelulusannya. Riri adalah anak tunggal dari ayahnya. Ibunya sudah lama meninggal, karena kecelakaan tabrak lari. Hal itu yang menyebabkan Ayahnya sangat protektif pada Riri dari ia kecil hingga sekarang.
Dari dulu, setiap kegiatannya tak luput dari pengawasan dari sang ayah. Awalnya Riri di tolak mentah-mentah untuk kuliah ke ibu kota, dengan alasan di kotanya tinggal juga banyak kampus yang bagus sesuai dengan jurusan yang ia inginkan.
Namun hal itu tidak membuatnya menyerah, segala cara dilakukannya untuk membujuk sang ayah. Dan pada akhirnya, Ayahnya hanya memberikan satu syarat kecil padanya.
"Ayah izinkan dengan satu syarat… menikahlah dengan anak teman ayah, yang tinggal di sana," ucapnya pada Riri.
"Menikah karena ambisi… apa aku siapp!" batin Riri ragu-ragu.
Sebenarnya alasan Riri mau kuliah di kampus Bima Sakti, di jurusan pendidikan Fisika, karena Ibunya dulu, merupakan lulusan terbaik di kampus tersebut.
Setelah lulus dan menempuh pendidikan Pascasarjana, Ibunya menjadi seorang dosen di kampus itu, namun semenjak menikah dengan ayahnya, ibunya pindah dan berganti profesi menjadi guru, di salah satu sekolah SMA di kota tempat tinggalnya sekarang. Itu semua Ibunya lakukan, demi Riri yang tidak mungkin hidup berpisah, dari kedua orangtuanya.
Besok lusa adalah waktu yang di berikan ayahnya, untuk memutuskan segalanya. Ayahnya berpikir Riri tidak akan menerima syarat yang diberikannya, namun siapa sangka ambisi anaknya jauh lebih keras dari pada baja.
Malam hari Riri keluar dan duduk di sebuah ayunan, di taman dekat rumahnya. Dia termenung memikirkan ambisi atau harga dirinya.
Tiba-tiba ada yang mendorongnya dari belakang, ia pun terjatuh dengan posisi kedua lutut menempel di tanah. "Aw sakit!" Lirihnya.
Terlihat seorang anak lelaki berumur 5 tahun yang sengaja mendorongnya, dan seorang pria tampan yang telihat hampir seumuran dengan Riri menyusul dari belakang anak kecil itu. "Maafkan adik ku, dia memang sedikit nakal," ucap Angga.
Pria itu mendekati Riri dan menjulurkan tangannya bermaksud untuk membantu Riri bangkit.
Sebenarnya Ia merasa enggan berkontak fisik dengan orang lain, namun karena posisinya yang sulit untuk bangkit seorang diri, memaksanya harus menerima uluran bantuannya. "Terima kasih!" cetus Riri.
"Apa yang sedang kau lakukan disini sendirian?" tanyanya.
"Aku sedang memikirkan masalahku," jawabnya.
"Masalah apa?" tanya Angga pelan. Riri terdiam tanpa menjawab pertanyaannya.
"Terkadang dengan masukan dari orang lain, masalah yang kita anggap sulit, solusinya semudah membalikkan telapak tangan," sambung Angga sambil tersenyum.
Riri diam sebentar sebelum akhirnya mulai berbicara. "Sebenarnya Ayahku terlalu protektif pada setiap hal yang menyangkut diriku."
Pria itu menduduki ayunan tempat Riri duduk sebelumnya. "Wajar jika seorang ayah protektif pada putrinya. Dia pastinya hanya ingin kamu tetap aman dan terjaga."
"Aku tau, tapi bagiku masa depan adalah hal yang paling penting."
"Coba bicarakan pada ayahmu baik-baik, walaupun dia protektif asalkan dia yakin kalau putrinya aman, pasti dia akan setuju dengan semua keinginan mu," sautnya sambil tersenyum.
"Kau benar! Ternyata itu tujuan ayah, memastikan agar aku tetap aman, bukan hal lain. Baiklah aku sudah memutuskan, terima kasih atas sarannya," ucap Riri.
Dia pun segera berlari pulang meninggalkan mereka dengan penuh semangat, sesampainya ia di depan rumah, "Ayah! aku terima persyaratan ayah," teriaknya.
Saat sudah di dalam rumah, Riri berhenti berlari dan berdiri mematung, karena melihat ayahnya yang sedang duduk di atas sofa, memandanginya dengan tatapan tajam. "Kamu ini! Anak gadis kok teriak-teriak!" cetus ayahnya.
"Hehe maaf Yah, ini karena Riri sudah membulatkan tekad untuk tetap kuliah di sana," ucapnya malu-malu.
Riri segera berjalan kebelakang ayahnya, lalu dengan perlahan ia memijat punggungnya. "Riri terima persyaratan ayah, asalkan bisa kuliah di sana," ucapnya pelan.
Sontak Ayahnya terkejut mendengar jawabannya, Ia berusaha untuk tetap tenang menutupi perasaannya. "Ba-baik kalau itu keputusanmu, kebetulan besok ada teman ayah yang mau berkunjung, pergilah beristirahat," kata ayahnya.
Riri menempelkan jari telunjuk dan tengah di dahi sebelah kirinya lalu mengayunkannya ke depan. "Oke Bos. Siap laksanakan," sahutnya sambil tersenyum lebar, lalu pergi berjalan menuju ke arah kamarnya.
"Dasar… Putri kesayangan ayah, sama percis seperti ibunya, yang keras kepala… lihat sayang, putri kita ternyata sudah dewasa...," gumamnya mendesah seraya memandang foto yang terpajang di dinding.
Sikap yang keras kepala, akan menimbulkan bencana yang merugikan diri dan orang lain di masa depan. Keputusan untuk menikah di usia dini, hanya karena alasan sepihak, suatu saat hal itu akan menjadi sebuah penyesalan.
Keesokan paginya Riri melakukan aktivitas hariannya, ia sedang asyik menyapu halaman rumah dari dedaunan yang berguguran dengan sebuah sapu lidi. Tidak lama kemudian ada seorang ibu turun dari mobil datang menghampirinya untuk bertanya. "Assalamu'alaikum," ucap ibu Yani.
"Wala'ykum salam," jawab Riri terhenti menyapu.
"Numpang nanya nak, rumahnya Pak Abdul Malik yang mana ya?" tanya ibu itu.
"Ini dia, saya anaknya Pak Abdul Malik, Bu." Sambil menunjuk ke arah rumahnya.
Seketika raut wajah ibu itu berubah, ia memberikan senyuman hangat padanya. "Oh kamu anaknya Abdul, geulis pisan atu!"
Riri tersipu malu mendengar pujian darinya. "Ibu masuk aja dulu, biar Riri panggilin Ayah," sautnya.
Saat Riri beranjak masuk ke dalam rumahnya, seorang pria dan anak kecil turun dari mobil yang sama dengan Ibu Yani mengikuti mereka dari belakang masuk ke dalam rumahnya.
Tidak lama kemudian pertemuan antara keluarga Riri dan ibu Yani terjadi, tujuan dari pertemuan mereka sebenarnya untuk memutuskan tanggal pernikahan antara Riri dan anak tertua ibu Yani.
Riri sedang menyiapkan teh di dapur, sayup-sayup ia mendengar percakapan antara ayahnya dan ibu itu. Riri awalnya juga tidak menyangka, tamu yang di katakan ayahnya merupakan calon mertuanya. Ia masuk ke ruang tamu membawa nampan berisi teh dan beberapa cemilan untuk disuguhkan. Saat meletakkan nampan itu di atas meja, rasa penasarannya membuat Riri sedikit mendungakkan kepalanya dan melihat sosok calon suaminya.
Mereka berdua saling bertukar pandang, dan sontak terkejut satu sama lain. "Kamu!" ucap mereka bersamaan.
Melihat sikap putranya dan Riri yang sedikit malu-malu, ibu Yani pun sengaja angkat bicara. "Lihat tu Dul mereka berdua ternyata sudah saling kenal," saut ibu Yani.
Sementara ayahnya tertawa melihat tingkah mereka. "Haha anak muda jaman sekarang, memang cepat bergaul. Ini berarti sudah jadi takdir mereka," kata ayah Riri.
"Kamu tuh bisa aja, tapi aku setuju perkataan mu. Bagaimana kalau kita majukan tanggalnya, minggu depan?" tanya ibu Yani.
"Tentu! Semakin cepat, semakin bagus, jadi aku bisa tenang meninggalkan Riri jauh di sana."
Sosok calon suami Riri adalah Angga, pria berumur 21 tahun putra tertua ibu Yani. Berparas tampan, berkulit putih, bertubuh tinggi dan tidak terlihat gemuk. Angga yang kemarin malam, secara tidak sengaja sudah memotivasi Riri untuk menikah dengannya, ia pun terkejut mengetahui kalau Riri ternyata adalah calon istrinya.
Angga sama seperti Riri, yang tidak memiliki keluarga utuh. Ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu, karena sebuah penyakit. Hanya tinggal ibunya seorang diri sebagai tulang punggung dan kepala keluarga.
Ibunya menjalankan sebuah restoran terkenal milik kakeknya, dari sanalah mereka mendapatkan uang untuk keperluan sehari-hari.
"Kakak jelek yang tadi malam!" saut Galu adiknya Angga yang dari tadi duduk diam di sebelah pria itu.
"Hus! Anak kecil gak boleh ngomong sembarangan ke yang lebih tua, Mama gak pernah ngajarin Galu ngomong kayak gitu!"
Galu hanya bisa tertunduk malu karena ditegur oleh ibunya. "Maafin Galu, Ma."
"Riri gak usah dengar ya, perkataan anak ini. Dia memang agak nakal, maklum anak bungsu yang masih manja, jarang dimarahin," ucapnya yang sengaja memecah keheningan.
"Gak papa kok Tan, Riri udah biasa digituin." Sambil menunduk menyembunyikan perasaan sedihnya.
Mendengar jawaban Riri yang begitu merendah, ayahnya sedikit kesal. "Tu lihatkan! Mana bisa aku sebagai ayah biarin dia ke Jakarta, bela diri sendiri aja masih belum bisa!"
Angga yang dari tadi hanya mendengar, berusaha membatu ibunya bicara. "Galu! Minta maaf sekarang sama Kakak dan Paman!" tegas Angga.
Galu pun mengangguk merasa bersalah. "Kak Riri, Galu minta maaf. Paman jangan marah lagi ya. Galu tau, kalau Galu salah," ungkapnya dengan wajah sedih.
Belum sempat di jawab Riri, ibu Angga langsung angkat bicara, "Tuh lihat kan! Mas tenang aja, Angga anak yang bisa diandelin kok. Dia pasti jagain Riri di sana."
Merasa puas dengan calon mantu pilihannya, terpancar senyum tipis dari wajah Pak abdul. "Angga, paman mengandalkan mu di sana, kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang pada Paman."
Dengan perasaan canggung, Ia sedikit menganggukkan kepalanya. Sebenarnya sebelum datang ke rumah Riri, ibu Yani sudah memaksa anaknya untuk menikah dengan Riri.
Karena Angga paling tidak suka mengecewakan ibunya, ia pun langsung menyetujuinya tanpa pikir panjang, walaupun sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatinya ia menolak untuk menikah.
Sementara Riri sudah menyiapkan seribu cara, agar pernikahan mereka hanya sebatas pernikahan di atas kertas, bukan pernikahan atas dasar rasa suka satu sama lain.
Kedua keluarga akhirnya sepakat memutuskan tanggal pernikahan mereka berdua.
Sebenarnya aku tidak ingin cepat-cepat menikah, apalagi dengan pria yang baru ku kenal. Aku masih mau hidup bebas tanpa ada yang mengekang keinginan ku. Walaupun Angga cukup tampan, tapi aku tidak tau sifat apa yang ia sembunyikan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!