"Apa yang kau lakukan ?!" Teriakan Isabel tertahan.
"Menghilangkan jejak orang lain di bibirmu." Jawab Aiden menahan luapan api cemburunya.
Isabel terperangah mendengarnya. Apa-apaan dia ? Aiden boleh memakinya, bahkan memukulnya. Tapi kenapa justru itu yang dilakukan Aiden ?
Dan apa katanya tadi ? Menghilangkan jejak orang lain ? Tuhan, sadarkanlah Aiden ! Hubungan keduanya sudah berakhir. Harusnya dengan siapapun Isabel berciuman, Aiden tidak mempunyai hak untuk marah.
"Kita sudah berakhir, Aiden. Hentikan omong kosongmu ! Kau sudah menikah dan.....dan sebentar lagi kau akan menjadi seorang ayah." Isabel meremas rambutnya frustasi.
"Aku mencintaimu, Isabel. Aku tahu betul siapa dirimu. Aku tahu kau melakukannya hanya untuk membuatku menjauhimu. Dan itu tidak akan berhasil. Karena aku tidak akan berhenti mencintaimu." Aiden mendorong tubuh Isabel hingga merapat pada dinding. Kedua matanya menunjukkan kilat amarah yang berapi-api.
"Tidak, Aiden ! Kau salah. Aku melakukannya karena aku menginginkannya." Sanggah Isabel. "Aku menyukai Eric." Akunya kemudian.
Aiden tersenyum miring. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. "Kau tidak pandai berbohong, Bells. Aku masih bisa melihat cinta di matamu untukku. Aku tidak sebodoh itu untuk mempercayai ucapanmu."
"Ya, memang perasaanku terhadapmu belum sepenuhnya hilang. Tapi kau harus menerima kenyataan kalau aku mulai membuka hatiku untuk orang lain. Kau harus menerima kenyataan kalau ternyata cintaku untukmu tidak sekuat yang sering kita bicarakan. Aku sudah mulai bisa melupakanmu, Aiden. Aku menyukai Eric. Tidakkah kau berpikir, waktu yang kami habiskan bersama selama ini sudah cukup untukku mengikis perasaanku terhadapmu. Kebersamaanku dengannya yang membuatku mulai menyukainya. Terimalah kenyataan, Aiden. Kau juga harus mulai membuka hati untuk istrimu. Dialah yang seharusnya kau cintai. Di dalam rahimnya ada anakmu. Darah dagingmu. Dia tidak pantas kau perlakukan seperti ini. Dia pantas mendapatkan cintamu."
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, kalimat panjang lebar itu meluncur begitu saja dari mulut Isabel sampai dia terengah-engah.
Aiden semakin mengeratkan giginya. Urat di pelipisnya yang berkedut dan rahang yang keras menandakan kalau dia sedang sangat marah saat ini. Ucapan Isabel terasa seperti ribuan belati yang ditancapkan dalam jantungnya.
Mulut Aiden bungkam. Dia tidak bisa membalas ucapan Isabel karena ucapan itu benar. Dia tidak bisa menyangkal apapun yang dikatakan Isabel.
"Aargghh....!" Teriakan Aiden tertahan. Semarah apapun dia, dia masih sadar dimana posisinya saat ini. Dia tidak ingin orang lain mendengarkan pertengkaran mereka.
Aiden mencengkeram rambutnya frustasi lalu dia meninju dinding dengan sangat keras.
Isabel memekik saat Aiden menghantamkan kepalan tangannya ke dinding dengan tenaga penuh. Ini adalah pertengkaran besar pertamanya dengan Aiden. Dan ini akan jadi pertengkaran terakhir mereka karena setelah ini Isabel sudah membulatkan tekad untuk benar-benar melupakan Aiden.
Dengan nafas terengah-engah Aiden membuka pintu ruang loundry dengan kasar. Dia keluar dengan membanting pintu itu cukup keras. Isabel berjengit karena suara debuman pintu yang menyentak jantungnya.
Bukan. Bukan suara pintu itu yang menyentak jantungnya. Tapi kemarahan Aiden. Isabel tidak pernah melihat Aiden semarah ini.
Tubuh Isabel merosot ke lantai. Dia menyugar rambut dengan kasar lalu mencengkeramnya. Rasa sesak dalam dada membuat air matanya tidak terbendung lagi.
"Aku mencintaimu Aiden. Tapi aku harus melakukannya." Gumam Isabel dalam Isak tangisnya.
Sesakit apapun itu, Isabel siap menanggungnya. Dia sudah sangat yakin dengan pilihannya karena ini adalah pilihan yang paling tepat menurutnya.
Seseorang yang sedari tadi berdiri di sudut dapur tersenyum masam. Dia mendengar semuanya. Dia mengetahui apapun yang kedua orang itu bicarakan di ruang loundry. Dia mencengkeram gelas ditangannya hingga pecah. Darah segar pun merembes melalui goresan kaca ditangannya.
*
*
*
*
*
*
*
Hallo genkz.....!
Sesuai janji aku kemarin ya. Aku mau kasih visual tokoh 100 Days.
Semoga feel ketika baca novel aku bisa tambah dapet setelah lihat visual tokohnya.
*Dakota Fanning as Isabel Bennings
Dari awal memunculkan tokoh Isabel Bennings di HNIH, yang ada di bayanganku tu ya gadis cantik ini.
Disini Isabel adalah gadis yang keras kepala tapi sedikit manja. Dia juga bisa bersikap dewasa dan cukup asyik diajak mengobrol. Karena look nya yang babyface banget membuat banyak orang mengira kalau dia masih umur belasan tahun.
*Jake Abel as Aiden
Gimana ? cocok gag mereka ?
Cocok gag cocok ya di cocokin aja ye....hehehe.
Aiden ini adalah laki-laki yang setia dan mempunyai prinsip. Meskipun tidak begitu romantis, tapi dia cukup tau cara membuat gadisnya melihat betapa besar cinta yang dia miliki.
Selamat membaca dears...! Jangan lupa tekan ikon ♡ agar bisa terus update episode-episode baru 100 Days.
Like dan vomment nya selalu ditunggu.
Enjoy the story
See you next part, Love.
Suara gelak tawa seorang bocah terdengar begitu nyaring dari ruang tengah. Bocah laki-laki berusia 4 tahun yang memiliki mata bening berwarna biru. Mata yang begitu jernih membuat siapa saja yang melihatnya akan langsung jatuh cinta pada bocah kecil itu.
Yah, itu adalah mata indah si kecil Liam. Keponakan satu-satunya Isabel. Dan tentu saja keponakan kesayangan Isabel.
"Lagi, Daddy! Lagi!" Suara Liam terdengar sangat antusias.
Dan Mike sekali lagi mengangkat tubuh kecil itu tinggi-tinggi seolah dia adalah sebuah pesawat yang sedang terbang tinggi lalu menukik tajam dan mendaratkannya diatas sofa.
"Sudah, Sayang. Daddy lelah." Mike meringis. Tenaganya dibuat habis oleh bocah kecil itu.
"Sekali lagi, Daddy! Ayo, sekali lag!" rengek bocah kecil itu sambil menarik-narik ujung kaos Mike. Namun sepertinya tenaga Mike sudah benar-benar terkuras.
"Besok lagi, Sayang," bujuk Mike yang lantas mengangkat tubuh anak laki-lakinya itu untuk dia dudukkan diatas paha.
"Aku mau lagi!" Bocah itu masih saja merengak.
Isabel yang muncul dari arah ruang tamu, memberi kode pada Mike untuk tidak memberi tahu Liam yang sedang berada di pangkuan Mike dengan posisi membelakangi dirinya kalau dia datang. Berjalan perlahan agar tidak menimbulkan suara hingga dia berdiri tepat di belakang Liam, lalu tiba-tiba mengecup pipi gembil bocah itu.
"Sweet Boy," sapa Isabel setelah mengecup pipi gembil keponakan tersayangnya itu.
Kepala kecil Liam langsung menoleh terkejut. Saat mengetahui siapa yang ada di belakangnya, secepat kilat bocah itu turun dari pangkuan ayahnya lalu melompat memeluk aunty kesayangannya.
"Aunty!" teriak Liam.
"Aw ... aw ... aw ..., semakin besar saja keponakanku yang tampan ini." Isabel mencubit hidung mungil Liam dengan gemas saat sudah ada dalam gendongannya.
"Aunty bawa mainan untuk Liam," kata Isabel sambil menunjukkan paper bag berisi mobil-mobilan di tangannya.
Liam segera menyerobot papar bag itu dan mengeluarkan kardus berwarna biru dari dalamnya.
"Wow! Bagus sekali, Aunty!" Mata bocah kecil itu berbinar-binar saat mengetahui isinya adalah mobil-mobilan, mainan kesukaannya. Lalu Isabel menurunkannya dari gendongan dan membiarkan bocah itu membuka mainan yang dia belikan.
Isabel menjatuhkan diri di sofa, tepat di sebelah kakak laki-lakinya.
"Dari mana saja kau anak manja?" Mike mengacak rambut Isabel.
"Don't do this!" Isabel mencebikkan bibir lalu merapikan rambutnya yang berantakan. "Aku dari apartemen Alice," lanjutnya.
"Oh," sahut Mike yang masih fokus memperhatikan anaknya yang tampak begitu antusias bermain dengan hadiah dari Isabel.
"Dimana Daddy?" tanya Isabel sambil menyandarkan kepalanya di punggung sofa.
"Dad dan Mom sedang menghadiri undangan ulang tahun pernikahan teman mereka. Ada apa mencari Dad?"
"Akhir pekan nanti Aiden dan teman-temannya mengadakan party. Aku ingin minta izin padanya," jawab Isabel.
"Party?" Mike mengernyit. "Jangan macam-macam Isabel," Mike memperingatkan.
Isabel melirik kakaknya dengan malas. "Jangan mulai lagi, ini hanya party biasa. Lagipula, aku akan datang bersama Alice," tukasnya.
Mike mencondongkan tubuh ke depan dengan siku bertumpu pada paha. "Masih ingat pesanku dan Dad, kan?"
Suara helaan napas kasar Isabel begitu kentara. Selalu saja itu yang di katakan kalau dia meminta ijin untuk ikut party. Iya, Isabel tahu mereka hanya tidak ingin dia dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tapi terkadang rasanya terlalu berlebihan.
"Iya, aku ingat," jawabnya malas. Barangkali hanya Isabel yang masih perawan diantara teman kuliahnya. "Tapi boleh, kan?" Wajah Isabel berubah memelas sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan manja.
Mike melirik malas pada adiknya itu. "Selama kau bisa menjaga dirimu dan tidak pulang lebih dari jam 11 malam."
"Yeay! Terima kasih, kau adalah kakak terbaik yang pernah ada," Isabel menghamburkan dirinya memeluk Mike.
Melihat kelakuan adiknya, membuat Mike tersenyum kecil. Meskipun usianya sudah dewasa, tapi kadang kelakuannya masih saja seperti anak kecil.
"Tapi kau tetap harus meminta izin pada Dad dan Mom," kata Mike.
"Siap!" Jemari Isabel berjajar rapi di pelipisnya.
***
"Kau jadi ikut ke party akhir pekan ini, kan?" tanya Alice pada Isabel yang tengah berjalan beriringan dengannya menuju area parkir universitas.
"Tentu saja," jawab Isabel. Sebentar kemudian wajahnya ekspresinya berubah jengah. "Seperti biasa, jaga diri dan pulang tidak lebih dari jam 11." Isabel memutar bola matanya malas.
"Seriously? Again?" Alice tersenyum mengejek.
Isabel berdecak. "Kau seperti tidak tahu mereka saja. Pria tapi cerewetnya melebihi wanita." Isabel membayangkan wajah ayah dan kakaknya yang tidak berhenti mewanti-wanti dirinya supaya selalu menjaga diri.
Alice tergelak. Bagaimana bisa Isabel mempertahankan keperawanannya sampai sekarang? Berani bertaruh, sebenarnya Isabel juga menginginkan yang lebih dari sekedar bercumbu dengan Aiden. Ah, mata biru Aiden sungguh menggoda. Membayangkan mata biru yang berkilat penuh gairah. Siapa yang tidak ingin menghabiskan malam panjang dengan laki-laki itu?
"Kau pasti meledekku lagi." Isabel menoyor lengan Alice yang sejak tadi menertawakannya.
"No! Aku hanya kasihan padamu." Alice tersenyum jail. "Aku yakin Aiden pasti sangat seksi diatas ranjang," bisiknya kemudian.
Isabel membelalak mendengar ucapan Alice. Lalu dengan cepat mendaratkan pukulan ke arah Alice. Bagaimana bisa Alice berbicara seperti itu? Aiden itu kekasihnya. Dan, ya ... sekelabat bayangan tubuh shirtless Aiden yang menampilkan pahatan sempurna otot-ototnya memenuhi pikiran Isabel. Bagaimana tatapan penuh cinta dari mata biru Aiden sebelum menciumnya. Aroma maskulin tubuhnya yang sangat menenangkan. Embusan napas hangat yang membelainya.
Oh, no, Isabel! Jangan berpikir yang macam-macam atau kedua pria di rumahmu akan mencincang habis tubuhmu.
Tapi ... mengingat betapa memabukkannya ciuman panas Aiden, membuat Isabel membayangkan bagaimana kalau mereka melakukan yang lebih dari itu. Isabel menggigit bibir bawahnya ketika bayangan Aiden dengan tubuh shirtless sedang mencumbunya.
"Hei!" Dorongan keras di bahu Isabel membuyarkan pikiran liar itu dari otaknya.
Isabel menggoyangkan kepala agar pikiran liar itu segera enyah dari otaknya. Tidak! Dia tidak boleh melakukannya.
"Kau membayangkan Aiden yang sedang bercumbu denganmu tanpa sehelai benang pun di tubuhnya?" terka Alice yang lantas tertawa lantang, karena sepertinya tebakannya itu tepat, hingga membuat wajah Isabel merona seperti tomat.
"Alice!" Isabel berusaha menghentikan tawa sahabatnya itu. Dia merasa sangat malu karena tertangkap basah memikirkan hal-hal liar dengan Aiden.
"Kenapa? Tidak perlu dibayangkan. Kau bisa melakukannya dengan pria yang ada di belakangmu." Alice tersenyum jail dengan mata melirik pada laki-laki yang tengah berjalan mendekat tidak jauh di belakang Isabel.
Isabel membalikkan badannya dan menangkap sosok Aiden yang sedang berjalan mendekat. Isabel berbalik lagi memandang Alice dengan tatapan kesal. Sejak kapan Alice tahu Aiden berjalan dibelakang mereka? Apa dia mendengar percakapannya dengan Alice tadi? Betapa malunya Isabel kalau Aiden sampai mendengarnya.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?" Isabel setengah berbisik geram.
"Hai, Sayang!" sapa Aiden.
Isabel membalik badannya dengan helaan napas berat. Berharap Aiden tidak mendengar percakapan mereka tadi. "Hei, aku tidak tahu kalau kau akan kesini." Isabel berusaha bersikap biasa.
Sementara Alice di sampingnya terlihat menahan tawa. Melihat ekspresi Isabel saat ini sungguh membuatnya ingin melepaskan tawa sekeras mungkin.
"Hai, Alice!" sapa Aiden pada sahabat kekasihnya itu.
"Hai, Aiden," balas Alice masih berusaha menahan senyumannya yang tak kunjung berhenti.
"Sepertinya kalian sedang membicarakan hal yang menarik," terka Aiden yang melihat Alice sedari tadi tidak berhenti menahan tawa.
"Oh, ya. Kami sedang membi--" Isabel tidak membiarkan mulut Alice berceloteh dan dengan segera membekap mulut sahabatnya itu. Kalau tidak, jangan tanya apa saja yang akan dia bicarakan.
"Bukankah tadi ayahmu sudah menunggu? Sebaiknya kau pulang sekarang," kata Isabel pada Alice setelah melepaskan bekapannya. Asal mencari alasan saja, karena dia tidak ingin Alice berlama-lama bersama dirinya dan Aiden.
"Ayahku? Aku tidak--" Belum lagi Alice menyelesaikan kalimatnya, namun Isabel segera mendorong tubuh Alice menjauh.
"Cepat pulang! Ayahmu sudah terlalu lama menunggu," kata Isabel.
Akhirnya Alice mengalah dan menuruti kemauan Isabel untuk meninggalkan mereka. Dia tahu Isabel tidak ingin Aiden mendengar percakapan mereka tadi.
Dengan senyum lebar Alice membalikkan badannya menghadap Isabel dan Aiden. "Hei, Bells! Jangan hanya di bayangkan!" katanya setengah berteriak. Lalu dia tertawa kencang meninggalkan kedua sejoli itu.
Isabel memandang kesal pada Alice yang tampak puas meledek dirinya. Awas saja nanti Isabel akan membuat perhitungan dengan sahabatnya itu.
"Membayangkan apa?" Suara Aiden membuat Isabel mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang sangat dia cintai itu.
Mata Isabel mengerjap berkali-kali sambil mengalihkan pandangan dari mata Aiden. Dari pertanyaan itu bisa diartikan kalau Aiden tidak mendengar percakapan mereka tadi. Ada rasa lega di hati Isabel.
"Sayang, kau membayangkan apa?" Aiden mengulangi pertanyaannya dengan tatapan penasaran pada Isabel.
"Eh ... itu ... bukan apa-apa. Jangan dengarkan Alice. Dia hanya bicara omong kosong," jawab Isabel gugup. Kalau saja Aiden tahu apa yang dia bayangkan tadi, entah akan semalu apa dirinya.
Seulas senyuman muncul di wajah Aiden. "Kenapa kau jadi gugup?" Aiden menyelipkan rambut Isabel ke belakang telinga. Membuat wajah kekasihnya itu semakin merona.
"Ayo, pulang. Bukankah kau datang kesini untuk menjemputku?" Isabel mengalihkan pembicaraan.
Andai saja Isabel tahu kalau wajah meronanya itu semakin menggoda dimata Aiden. Tapi, Aiden sudah berjanji untuk menjaga gadis itu dengan baik. Dia menghormati prinsip gadisnya itu. Atau lebih tepatnya prinsip keluarga Bennings.
Aiden segera merengkuh bahu Isabel dan menuntunnya menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
***
tbc.
Aiden mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rendah. Kondisi jalan yang lumayan padat membuat perjalanan mereka menjadi lambat.
Kalau biasanya hal semacam ini menjadi waktu yang sangat mereka nikmati karena bisa menghabiskan berdua lebih lama, tapi tidak dengan hari ini. Hari ini terasa berbeda bagi Isabel. Rasanya dia ingin secepatnya sampai rumah dan membenamkan tubuhnya di bathtub. Tubuhnya terasa panas dalam mobil yang di dominasi udara dingin dari AC. Apa yang salah dengan diri Isabel?
Semenjak lulus kuliah beberapa bulan lalu Aiden mulai bekerja di perusahaan milik kakeknya. Karena kesibukannya itu, Aiden hanya bisa sesekali menjemput Isabel karena memang waktunya tidak memungkinkan. Dia masih harus banyak belajar tentang dunia bisnis. Jika ada kesempatan pasti dia akan dengan senang hati menemui gadisnya. Dan jalanan padat seperti ini akan menjadi momen terbaik mereka. Sudah tahu lah alasannya apa.
"Are you okay?" Seketika pertanyaan Aiden membuat gadis itu menoleh.
"Eh ... eum ... ya." Kali ini Isabel benar-benar merasa harus segera menjauh dari Aiden.
Gelagat mencurigakan itu dengan mudah ditangkap oleh Aiden. Laki-laki itu hafal betul tabiat gadisnya.
Kedua sudut bibir Aiden tertarik keatas. Dengkusan kecil terdengar dari hidungnya. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"
Gadis itu menoleh sekilas pada pria di sampingnya dengan tatapan ragu. "Aku? Tidak. Tidak ada yang aku pikirkan."
"Jangan bohong."
Isabel menunduk lesu. Haruskah dia jujur pada Aiden? Tapi itu sungguh memalukan. Aiden pasti akan berpikir macam-macam nantinya. Tapi menyembunyikan sesuatu dari Aiden adalah hal tersulit bagi gadis bermata biru itu.
"Aku malu mengatakannya," ucapnya lirih.
Tangan kanan Aiden meraih kepala belakang Isabel dan mengelusnya lembut. Desiran tak terduga menyergap hati gadis itu. Perasaan yang ... entahlah, bagaimana harus menjabarkannya. Yang jelas tubuh Isabel serasa meremang hanya karena usapan lembut di rambutnya. Padahal itu bukanlah hal baru yang dilakukan Aiden.
"Katakan saja," kata Aiden dibarengi senyum tampannya.
"Aku ...." Suara Isabel tercekat di tenggorokan. "Lupakan saja! Aku hanya merasa gerah dan ingin segera mandi," lanjutnya sambil mengalihkan pandangan keluar jendela.
"Sungguh? Bahkan aku merasa dingin disini."
Oops! Apa hanya Isabel yang merasa kepanasan disini?
"Just drive!" tukas Isabel yang tidak ingin memperpanjang topik pembicaraan mereka, sekaligus menepis perasaan aneh yang sejak tadi berusaha mendobrak pertahanannya.
Jika tidak ingin ini berakhir dengan perdebatan, Aiden harus mengalah dan membiarkan gadisnya dengan apapun yang ada dalam pikirannya saat ini.
Aku harus membuat perhitungan dengan Alice. Ini semua gara-gara dia. Huuuh! Kenapa rasanya panas sekali disini?
Tanpa sadar tangan Isabel mengibas kearah wajahnya, berusaha meredam panas yang menjalar ditubuhnya. Panas yang dia rasakan saat mencium aroma tubuh Aiden, saat merasakan sentuhannya dan saat melihat wajah kekasihnya itu. Apa ini hal yang wajar? Maybe.
"Aku lapar." Aiden berusaha memecah keheningan yang sempat terjadi beberapa saat.
"Aku tidak lapar," sahut Isabel tanpa melihat pria disampingnya.
Kedua alis Aiden berkerut. Dia semakin dibuat bingung dengan tingkah gadisnya. "Temani aku makan." Dia mencoba lagi.
"Aku ingin pulang," kata Isabel, masih tidak ingin melihat kekasihnya.
Tanpa diduga, suara perut Isabel terdengar begitu nyaring.
Aiden melirik gadisnya sambil menahan senyum. Disaat yang bersamaan Isabel tampak memegangi perut ratanya sambil melirik ke arah Aiden. Sesaat lirikan mata mereka bertemu. Namun secepat kilat Isabel memalingkan wajahnya.
Menunduk, memejamkan mata sambil menggigit bibir bawahnya adalah cara Isabel menyembunyikan rasa malu. Ternyata para penghuni perutnya tidak bisa diajak bekerja sama untuk mempertahankan gengsi.
"Sepertinya makan sebelum pulang bukanlah ide buruk." Menurunkan gengsi dan memasang wajah pasrah.
Tingkat kesabaran Aiden memang sangat tinggi saat bersama dengan Isabel. Gadisnya itu terkadang akan bersikap manja dan kekanakan. Namun kadang dia juga bisa bersikap dewasa dan bisa menjadi teman berdiskusi yang nyaman.
Dia tahu kalau dirinya adalah cinta pertama gadis itu. Meskipun Isabel bukanlah gadis pertamanya. Tapi percayalah, Aiden sangat mencintainya melebihi para gadis yang pernah dekat dengannya sebelum ini.
"Drive thru?" tawar Aiden.
Isabel mengangguk. Apapun itu yang penting cacing dalam perutnya tidak akan bersuara lagi.
Aiden membelokkan mobilnya ke drive thru sebuah restoran cepat saji dan memesan dua paket menu disana. Setelah mendapatkan pesanannya, mereka melanjutkan perjalanan kembali.
"Kalau sejak tadi kau lapar, kenapa tidak bilang padaku?"
Isabel menghela napas pelan. Bukan itu rasa yang dominan dalam dirinya, melainkan rasa yang lain. Rasa yang tidak bisa dia katakan pada Aiden.
"Aku malu," jawab Isabel sekenanya, yang disambut tawa oleh Aiden.
Satu alisnya terangkat dan bibirnya melengkung. "Sejak kapan kekasihku ini malu hanya untuk bilang 'lapar', hm? Apa aku melewatkan terlalu banyak hal semenjak lulus kuliah?"
"Maybe." Isabel menjawabnya dengan santai sambil memasukkan tumpukan burger ke mulut dan menggigitnya.
"Kau tidak makan?" tanya Isabel tanpa rasa bersalah setelah setumpuk burger itu masuk ke dalam perutnya.
"Bisa kau membantuku?" Aiden menjawab dengan pertanyaan.
Wajah polos Isabel mengkerut. "Membantu apa?" tanyanya. Sepertinya rasa panas ditubuhnya sedikit teralihkan ketika perutnya terasa kenyang.
Aiden menarik sudut bibirnya keatas. "Suapi aku," jawabnya diiringi lirikan mata indah itu.
Mata biru Isabel membula, sedikit terkejut dengan permintaan Aiden. Tapi membiarkan Aiden menyetir sambil makan ... rasanya kasihan juga. Apalagi yang ada di hadapannya adalah burger.
Akhirnya Isabel mengambil burger milik Aiden dan memenuhi permintaan kekasihnya.
Tangan kecil Isabel mengarahkan burger ke depan mulut Aiden agar kekasihnya itu bisa dengan mudah menggigit makanannya.
"Terima kasih," ucap Aiden pada gigitan pertamanya.
"Aku tidak tega jika harus melihatmu menyetir sambil makan."
Ucapan Isabel dibalas senyuman oleh Aiden. "Aku menyukainya."
"Apa?" tanya Isabel sambil mengarahkan burger itu lagi.
"Kau suapi. Aku menyukainya." Gigitan kedua Aiden sedikit lebih besar. Hingga menyisakan saus di sudut bibirnya.
"Kau makan seperti anak kecil," sahut Isabel.
Isabel dengan telaten menyuapi Aiden hingga burger itu habis. Dan tak terasa mereka sudah sampai di depan gerbang rumah Isabel.
Setelah pintu gerbang terbuka, Aiden kembali melajukan mobilnya masuk ke halaman yang di kanan kirinya terdapat banyak pohon pinus, membuat jalan menuju rumah utama itu terasa sangat teduh.
Jarak gerbang dan rumah utama sekitar 200 meter. Cukup jauh memang, tapi pemandangan di sekitarnya sungguh menakjubkan. Beberapa bangku taman dan lampu tampak menghiasi kanan dan kiri jalan menuju rumah utama. Ada juga area bermain seperti ayunan, prosotan dan yang lainnya di sisi kanan jalan, yang merupakan tempat bermain anak-anak keluarga Bennings sewaktu kecil.
Aiden menginjak pedal rem ketika mobil yang mereka tumpangi sudah berada di halaman rumah utama.
"Here we go," kata Aiden.
"Mampirlah--" Ucapan isabel terhenti ketika mata indahnya melihat masih ada bekas saus di sudut kiri bibir Aiden.
"Ada apa?" Aiden penasaran kenapa Isabel tidak melanjutkan ucapannya dan malah memandang ke bagian bawah wajahnya.
"Ada saus di bibirmu," jawab Isabel.
Dia segera mengambil tissue lalu membantu Aiden untuk membersihkan saus yang menempel di sudut bibirnya.
Pelan-pelan Isabel mengusap bibir Aiden dengan tissue. Dalam sekejap, bibir Aiden sudah bersih. Namun ada hal lain yang membuat Isabel tidak bisa mengalihkan pandangannya dari bibir seksi yang ada di hadapannya itu. Ada dorongan dari dalam dirinya untuk menyentuh bibir kekasihnya. Perlahan ibu jari Isabel bergerak mengusap bibir Aiden dengan lembut.
Tanpa Isabel sadari sejak dia mengelap bibir Aiden dengan tissue, mata Aiden sudah lebih dulu mengagumi kecantikan gadis di hadapannya. Dan saat sentuhan lembut itu mengenai bibirnya, sudut hati Aiden bergetar. Dia sangat ingin mencium gadis itu. Ya, dia tidak bisa menahan keinginannya.
Tapi, sebelum Aiden mengeksekusi bibir yang sedikit terbuka itu, Isabel terlebih dulu mendaratkan ciumannya pada bibir Aiden.
Meski sempat terkejut, tapi dengan cepat Aiden mengimbangi gerakan bibir Isabel. Ada yang berbeda dalam ciuman ini. Aiden merasa Isabel sedikit lebih ... agresif. Aiden membiarkan gadisnya mendominasi, karena jujur dia sangat menikmatinya.
Dengan rakus Isabel ******* bibir Aiden, membiarkan kenikmatan itu menguasai dirinya. Meskipun ini bukan hal pertama bagi Isabel, tapi dia merasakan sensasi yang berbeda. Dia tidak ingin berhenti.
Kedua tangan Isabel sibuk meremas rambut Aiden karena terlalu menikmati setiap gigitan dan belitan lidah Aiden.
Jangan tanya apa yang dilakukan tangan Aiden. Mendapat serangan agresif dari Isabel membuat tubuh laki-laki itu bereaksi hebat. Tidak biasanya Isabel seagresif ini. Dan itu membuat gairahnya semakin menjadi. Kedua tangannya perlahan menyusup kedalam blouse Isabel. Dia meraba dengan lembut tubuh belakang kekasihnya itu. Setiap sentuhan yang dia berikan membuat Isabel semakin ... liar.
Saat tangan Aiden beberapa kali menyentuh pengait yang ada dibalik blouse itu, dia tidak bisa lagi menahan gerakan tangannya. Hanya satu gerakan dan Isabel bisa merasakan kain penutup bagian dalam tubuhnya mengendur.
Sejenak dia merasakan sensasi yang luar biasa saat tangan Aiden bergerak ke sisi depan tubuhnya. Tubuhnya meremang. Jantungnya berdetak menggila. Tanpa melepaskan pagutan bibirnya, Isabel semakin mengharapkan lebih. Dia ingin Aiden menyentuhnya lebih dari ini. Tubuhnya seperti memohon pada Aiden untuk melakukannya.
Tangan Aiden memberikan sentuhan yang begitu memabukkan. Saat kedua tangan itu mulai menyentuh bagian depan tubuh Isabel, entah kenapa Aiden menghentikan gerakan tangannya. Perlahan tangan Aiden meraih kedua ujung bra yang menggantung di sisi tubuh Isabel dan mengaitkannya kembali. Aiden juga menarik tangannya dari balik blouse Isabel.
Tentu itu membuat Isabel bertanya-tanya. Tubuhnya sudah siap menerima setiap sentuhan Aiden tapi tiba-tiba Aiden berhenti. Percayalah! Rasanya sungguh tidak enak.
Aiden melepaskan pagutannya lalu menggunakan kedua tangannya untuk menangkup wajah Isabel. Dia menempelkan kening mereka lalu berbisik, "I know you want it, 'cause I want it too."
Napas Isabel masih memburu dengan mata terpejam. Tidak mudah baginya meredam sensasi yang baru saja dia rasakan.
Aiden menarik tubuh Isabel lalu memeluknya. "Tapi ini belum saatnya." Dia mencium rambut pirang Isabel dan mengeratkan pelukannya.
"Maafkan aku," bisik Isabel lirih. Dia merasa malu sudah bertingkah seperti itu. Padahal selama ini Aiden sudah menjaganya dengan baik. Mungkin Aiden pernah merasakan apa yang baru saja dia rasakan. Sangat menginginkannya tapi sekuat tenaga menahan diri agar tidak melanggar janji. Ternyata rasanya sungguh menyiksa.
tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!