"Aku tidak mau tahu, kemeja ini harus kembali seperti semula. Ini kemeja mahal, hadiah ulang tahun dari almarhum kakekku dari Prancis. Kamu tahu berapa harganya?! Lima juta lebih, gajimu sebagai pekerja loundry selama satu bulan tidak akan cukup untuk menggantinya!"
Visual Vian Wirayudha (Dok. Google. com)
Seorang pria tampan dengan bibir tipis, kulit putih,hidung mancung dan mata yang teduh namun tatapannya seperti elang tengah memarahi seorang pekerja loundry karena kemeja mahalnya terkena lunturan sesuatu hingga warnanya yang putih bersih berubah menjadi sedikit kebiruan.
"Saya akan ganti rugi, mohon maafkan keteledoran saya, secepatnya saya usahakan," Perempuan itu memelas untuk mendapatkan kemurahan hari pria yang tengah memarahinya.
Visual Putri (Dok. Google.com)
"Tuan Vian, Nyonya Besar meminta Anda segera kembali ke rumah," Seorang pengawal laki-laki meminta pria yang ternyata bernama Vian itu untuk segera pulang ke rumahnya.
"Tunggu di mobil. Lima menit lagi aku menyusul," Ujarnya tegas.
"Baik, Tuan." Pengawal itu segera undur diri, meninggalkan Vian yang masih ingin melanjutkan amarahnya yang tertunda.
"Saya beri waktu kamu satu minggu. Saya tidak mau tahu, Kamu harus mendapatkan Kemeja yang sama persis seperti ini. Kalau sampai satu minggu Kamu belum mendapatkan kemeja itu, Kamu harus menggantinya dengan uang, sepuluh kali lipat!" Vian tidak menunggu respon dari pekerja loundry itu, ia berbalik dan pergi begitu saja.
"Kenapa,Put? Ada apa?" Salah satu teman pekerja loundry yang ternyata bernama Putri itu penasaran dengan apa yang baru saja terjadi.
"Lihat ini, kemeja mahal punya cowok tadi kena lunturan apa ini sampai ada warna biru yang nempel. Aku harus ganti. Mana harganya lima juta, duit darimana? Kalau sampai seminggu aku nggak bisa ganti, aku di denda sepuluh kali lipat," Keluh Putri, membuat temannya itu merasa iba.
"Dapat uang darimana satu minggu? Gaji kita sebulan juga nggak sampai segitu, lagipula ini kita baru kerja di minggu pertama. Aku punya tabungan kalau kamu mau pakai gapapa, tapi cuma ada dua jutaan," teman Putri itu berbaik hati akan meminjamkan uang simpanannya pada Putri.
Gadis itu tampak berpikir keras, ia juga bingung, bagaimana ia bisa mendapatkan uang lima juta dalam satu minggu, sementara ia hanya pekerja loundry yang gajinya bahkan tidak sampai tiga juta dalam satu bulannya.
Tiga hari berlalu. Putri belum juga mendapatkan uang untuk mengganti kemeja Vian. Hanya kegelisahan yang menyelimuti hati dan pikirannya. Bagaimana kalau sampai satu minggu ia tidak mendapatkan uang itu, ia harus membayar denda lima puluh juta.
"Hei, kamu...!" Sebuah suara tak asing terdengar memanggil seseorang. Putri secara otomatis menengok ke sumber suara. Ia benar, itu suara Vian. Bahkan, belum satu minggu lelaki itu sudah menagih kemejanya.
"Maaf, Kakak mencariku?" Putri tergopoh-gopoh mendatangi Vian. Ia tidak mau lelaki itu membuat keributan di tempat kerjanya. Tempat dimana ia mencari uang untuk kuliahnya yang baru ia dapatkan beberapa hari lalu.
"Siapa yang kau panggil Kakak? Panggil aku, Vian." Sahutnya ketus. Ia tampak tidak senang karena Putri memanggilnya dengan sebutan kakak.
Sejak awal bertemu, pria itu memang selalu bersikap kasar padanya dan Putri harus terbiasa dengan itu. Setiap ia berkata, seolah tidak ada kalimat yang baik dan enak di dengar. Semuanya pedas dan menyakiti telinga Putri.
"Ba-baik Vian. Maaf, aku belum bisa mengembalikan kemejamu," Putri menunduk. Ia tahu, pria itu pasti akan mengomelinya lagi.
"Lupakan masalah kemeja. Ada hal yang lebih penting, aku bisa membuat hutangmu impas, tapi ada syarat yang harus Kau penuhi," Ujar Vian sambil tersenyum licik.
Ia tentu saja tidak mau rugi dalam hal ini, tetapi sebaliknya, Vian tidak suka merugikan orang lain. Ia ingin mengajukan sebuah kerjasama yang saling menguntungkan pada Putri.
"Apa syaratnya? Aku akan lakukan kalau aku bisa," Putri pasrah dan berdo'a, semoga persyaratannya mudah, sehingga ia mampu melakukannya. Uang lima juta itu, sangat sulit ia dapatkan apalagi dalam waktu yang terbatas. Jika ada jalan keluar lain, tentu saja Putri akan mengambilnya.
"Menikah denganku, dan pura-pura menjadi istriku selama satu tahun. Aku akan memberimu fasilitas hidup layak dan gaji per bulan Sepuluh juta rupiah.Dengan kata lain kita kawin kontrak. Bagaimana?"
Putri berpikir sejenak, sepertinya penawaran Vian menarik. Dengan gaji sepuluh juta, ia bisa mengirim uang untuk orangtuanya di kampung dan membiayai sekolah adik-adiknya. Dalam setahun, ia juga bisa hidup layak, dan paling penting, ia tidak perlu lagi pusing membayar tagihan uang kos.
Ia juga masih harus membiayai kuliahnya sendiri. Mungkin dengan kawin kontrak dengan Vian, ia akan mudah menyelesaikan kuliahnya yang hanya tinggal satu semester.
"Baiklah, aku setuju untuk kawin kontrak denganmu. Tapi aku ingin minta syarat juga darimu, dan harus ada tanda tangan hitam di atas putih," Kali ini Putri berkata dengan tegas. Ia tidak tahu mendapat keberanian darimana untuk mengucapkan kalimat yang meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Apa itu? Sebutkan saja. Asal kamu mau menikah denganku, aku pasti akan setuju." Jawaban Vian membuat putri lega. Setidaknya ia tidak akan takut, pernikahan kontrak itu bisa merugikan dirinya.
"Aku minta, jangan ada kontak fisik di antara kita. Sedikitpun. Termasuk cium, pegang tangan dan lain sebagainya," Pinta Putri dengan tegas. Ia tidak bisa mempertaruhkan harga dirinya untuk uang.
"Aku setuju, kecuali pegangan tangan. Aku harap kamu izinkan. Karena akan terasa aneh saat di lihat keluargaku nanti," Vian coba menawar kesepakatan di antara mereka.
"Ba-baiklah. Pegangan tangan boleh." Dengan berat hati Putri memperbolehkan Vian nanti memegang tangannya saat mereka sudah menikah.
"Bagus. Aku akan segera membuat perjanjian kontraknya. Dalam tiga hari ke depan, aku akan menjemputmu, pengawalku akan mempersiapkan semuanya. Mengirim gaun pengantin dan segala.macamnya, Aku pergi dulu. Jangan lupa hubungi kontakku, ini kartu namaku." Vian menyodorkan kartu namanya yang berwarna biru. Ia sangat senang karena menemukan calon istri yang bisa di nikahinya di depan nenek.
Tujuan dari pernikahannya adalah untuk mencairkan warisan peninggalan orangtuanya. Syarat utama dari pengalihan kekayaannya adalah Vian harus menikah dengan perempuan yang di setujui oleh neneknya. Jika ia menikah tanpa persetujuan nenek, ia tidak akan mendapatkan apapun.
Vian memang sudah memiliki pacar, bukan hanya satu, tetapi tidak ada satupun dari pacar-pacarnya itu yang memenuhi kriteria dari neneknya. Sementara, Vian tidak akan mungkin mengabaikan nenek yang sangat ia sayangi.
Visual di atas berdasarkan bayangan Author, tapi kalian bisa menggantinya dengan visual favorit kalian masing-masing sesuai imajinasi kalian.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya, ya? Tekan tombol love untuk favoritkan 😂
Keesokan harinya, Vian kembali lagi ke tempat kerja putri. Beruntung, saat ia datang pelanggan tengah sepi, pekerjaan pun hampir selesai.
Putri yang mengetahui kedatangan Vian, tergopoh-gopoh memberitahu gadis itu. Ia yang sedang menyetrika beberapa baju milik pelanggan segera di gantikan pekerjaannya oleh temannya itu.
Putri bergegas menemui Vian. Pemuda itu cukup sombong dan berkuasa. Ia takut kesepakatannya yang kemarin di batalkan karena ia membuat pria itu kesal.
"Vi-vian.. Ada apa datang lagi kesini?" Putri tampak bingung. Pria itu menyunggingkan senyum yang menurut Putri cukup menyeramkan.
"Memangnya salah, jika aku ingin menemui calon istriku sendiri? Kamu keberatan?" kalimat itu di ucapkan dengan tegas oleh Vian. Ia seperti tidak senang karena sambutan Putri yang tidak ramah.
"Bu-bukan begitu. Aku hanya tidak enak pada Bosku karena harus menemuimu. Aku takut..."
"Apa yang kamu takutkan? Aku bahkan bisa membeli tempat ini untukmu, memangnya siapa yang berani mengusik calon istri Vian Wirayudha?!" ucap pria itu dengan angkuhnya.
Putri sedikit kesal. Semuanya hanya settingan. Jadi, tidak perlu mengatakan dia calon istri segala sampai berkali-kali. Bagaimanapun, Putri tidak ada hati dengan Vian. Selain itu, ia juga sedang dekat dengan Raihan, kakak tingkatnya di kampus.
Meskipun pesona Vian lebih besar di bandingkan Reihan, tapi Putri lebih nyaman dengan pria jebolan pesantren itu, jika di bandingkan dengan Vian yang tampak kasar dan sombong.
"B-baiklah, jadi ada apa?" Putri mengulang pertanyaannya yang sempat di abaikan oleh Vian.
"Tanda tangani ini, lalu ikut aku!" Vian menyodorkan sebuah map berwarna hijau, di dalamnya ada beberapa lembar berkas Kawin Kontrak mereka.
"Baiklah, tapi aku takut..." Putri mengambil map itu, tanpa membacanya lagi ia langsung menandatanganinya tanpa sadar.
"Sudahlah, jangan banyak alasan, ikut aku!" Vian menarik tangan Putri sedikit kasar.
"Bimo! urus pengunduran diri Putri dari loundry ini. Jika perlu bayar ganti rugi, bayar saja!" Vian menasukkan Putri ke dalam mobil. Lalu bergegas masuk dan duduk di belakang kemudi.
"Cepat pakai sabuk pengamannya."ujar Vian sedikit ketus.
"Aku..." Putri yang tidak bisa memakai sabuk hanya kebingungan.
"Bilang saja kalau tidak bisa ! Lambat!" Vian berinisiatif memakaikan sabuk pengaman ke tubuh Putri. Entah mengapa detak jantung keduanya berdetak cukup cepat.
Vian cepat-cepat menyudahi adegan semi romantis itu. Ia mengakui, kalau putri sangat menarik, meskipun ia hanya gadis biasa, berbeda dengan pacar-pacarnya.
"Aku menegaskan padamu, aku memiliki pacar, bahkan pacarku lebih dari satu. Jangan pakai hati ketika kita sudah menikah, kamu hanya akan terluka nanti." kalimat itu Vian ucapkan dengan nada datar. Ia tidak ingin gadis di sampingnya main hati dengannya. Pada dasarnya Vian belum ingin menikah, begitu pula dengan pacar-pacarnya, mereka masih menyukai kebebasan.
Vian sengaja memanfaatkan Putri karena tuntutan nenek yang amat di cintainya. Sejak kecil, Vian adalah seorang yatim-piatu. Kedua orang tua Vian meninggal karena kecelakaan pesawat yang di alaminya. Dia di rawat oleh neneknya, sehingga ia akan menuruti apa saja yang neneknya inginkan.
"Tenang saja, Vian. Aku juga tidak suka padamu. Aku sudah punya seseorang yang akan menjadi suamiku di masa depan. Jadi jangan pernah memberitahukan status kita di lingkunganku dan kampusku,"Putri juga memberikan penegasan pada Vian, bahwa ia tidak ingin di umbar-umbar sebagai istrinya di saat-saat tertentu, terutama kampusnya.
"Tentu saja. Jangan terlalu percaya diri, siapa juga yang mau mengakui cewek nerd seperti kamu sebagai istriku, sebagai pacar juga ogah. Asal kamu tahu, pacarku cantik dan modis, tidak ada yang sepertimu," Vian merendahkan Putri, tapi perempuan itu tidak merasa kesal. Kenyataannya dia memang tidak sebanding dengan Vian. Lagipula, semua ini ia lakukan hanya untuk pekerjaan dan uang. Ia sama sekali tidak ada perasaan pada Vian.
"Aku tahu diri, Vian. Lalu sekarang kamu mau membawaku ke mana? Kenapa kamu memutuskan kontrak kerjaku?" Putri protes dengan tindakan Vian yang menurutnya terlalu terburu-buru.
"Aku mau mengajakmu ke salon, mau mengajakmu bertemu nenek. Beliau ingin bertemu Kamu. Aku mengurus pengunduran dirimu karena tiga hari lagi, kamu akan menikah denganku, lalu buat apa kamu kembali ke sana?" Bukan Vian namanya kalau tidak berbicara dengan nada sedikit sombong.
"Bertemu Nenek?" Putri sedikit bertanda tanya. Biasanya ketika akan menikah, bertemu dengan kedua orang tua, tapi kenapa hanya nenek?
"Ya, Nenek. Kenapa? Kamu keberatan?" Vian tampak sedikit bermuka masam, karena Putri tampak ragu untuk bertemu dengan neneknya.
"Hanya nenek? Kedua orang tuamu?" Putri memberanikan diri untuk bertanya.
"Kedua orang tuaku sudah meninggal sejak usiaku masih satu tahun. Aku bahkan belum tahu wajah mereka seperti apa," Ini adalah kalimat terlembut yang pernah terucap dari mulut Vian sejak pertama kali mereka bertemu. Ia tampak sedih saat berkata seperti itu.
"Maaf, Vian, aku tidak bermaksud untuk membuat kamu sedih. Aku tidak tahu kalau orangtua kamu telah tiada. Sekali lagi, Maaf." Putri merasa bersalah karena sudah membuat Vian teringat kedua orangtuanya yang telah tiada.
"Aku benci harus sedih tiap ingat mereka berdua. Huh! Tidak penting juga cerita padamu. Memangnya kamu siapa. Nanti baik-baiklah dengan nenekku, meskipun pernikahan kita nanti hanya sebatas kontrak, tunjukkan padanya kalau kita adalah pasangan yang sebenarnya." Lagi-lagi Vian bicara dengan sedikit ketus.
Putri memakluminya, mungkin pada dasarnya Vian memang orang yang seperti itu, mengharapkan dia normal justru bikin beban pikiran. Baru beberapa hari bertemu, Putri sedikitnya sudah paham, Vian cowok yang seperti apa.
"Aku akan di bayar untuk ini. Tentu saja aku tidak akan main-main. Nenekmu tidak akan mengetahui tipuan cucunya. Kalau bukan karena aku butuh uang, aku juga malas membantumu mengerjakan kebohongan ini." Putri balik ketus terhadap Vian. Dia sedikit kesal karena sikap Vian yang menyebalkan itu. Dia semangat melakukan semuanya untuk uang.
Putri adalah tulang punggung keluarga. Ayahnya yang sakit-sakitan tidak mampu lagi mencari nafkah. Ibunya hanya buruh cuci, cukup untuk makan sehari-hari saja sudah bagus. Dua adiknya masih SMP, biaya sekolah mereka selama ini di tanggung oleh Putri. Makanya ia pasrah, meskipun pekerjaannya kali ini tidak bisa di benarkan.
"Bagus. Jika kamu bekerjasama dengan baik, aku akan memberimu bonus hari ini, lima juta rupiah. Pasti kau senang, kau pasti sangat butuh uang. Gadis miskin sepertimu, pasti rela melakukan apa saja demi uang, iya kan?!" Vian merendahkan Putri, tapi wanita itu berusaha untuk tetap tenang. Bayangan wajah keluarganya ada di pelupuk mata. Di hina Vian pun, itu tak jadi masalah besar untuknya.
Deg..deg...deg...
Detak jantung Vian lebih cepat dari biasanya. Tampilan Putri dengan riasan dan gaun merah pilihannya benar-benar memukau. Dia sangat cantik, tepat seperti dugaannya, gadis desa itu berubah anggun dengan sedikit polesan. Kalau penampilan Putri selalu seperti ini, Ketiga pacarnya pun tidak ada apa-apanya.
"Ba-bagaimana? Apa tampilanku cukup baik untuk meyakinkan nenekmu?" Putri menatap Vian takut-takut. Ia merasa sedikit risih dengan pakaian yang lumayan terbuka seperti itu. Apalagi ukuran gaun pilihan Vian tampaknya kekecilan di badannya, sehingga tampak menonjol di beberapa bagian.
"Lumayan. Aku rasa nenekku akan yakin kalau kamu adalah tunanganku. Hei, kenapa kamu tidak memakai sepatu pilihanku?" Vian menatap ke arah kaki Putri yang masih memakai sandal butut miliknya.
"Terlalu tinggi. Aku tidak pernah memakai sepatu model seperti itu Vian, bisakah aku minta Kamu menggantinya dengan yang lain?" Putri memelas. Ia benar-benar tidak bisa. Bahkan, saat mencobanya saja, ia sudah gemeteran.
"Susah, kalau kenal perempuan udik. Pakai sepatu hak tinggi saja nggak bisa. Bikin malu! Sudahlah, nanti aku carikan yang baru! Bimo, bungkus sepatu itu dan kirim ke rumah Vannesa." Vian menyuruh supirnya untuk membungkus dan mengirim sepatu yang tidak jadi di pakai oleh Putri ke rumah Vannesa, salah satu pacarnya.
"Baik, Tuan." Bimo segera mengambil sepatu yang batal di kenakan Putri, lalu mengemasnya sedemikian rupa, sesuai dengam permintaan Bosnya, lalu dia pergi menggunakan mobil khusus pengawal untuk mengantar paket tersebut ke rumah Vanessa.
"Cepat naik!" Perintah Vian pada Putri yang masih diam terpaku. Ia tidak tahu harus apa. Sebenarnya ia sangat malu berpenampilan seperti itu, apalagi ada Vian yang melihatnya. Harga diri Putri terasa tercoreng karena penampilannya yang baru. Akankah dia selalu berpenampilan seperti itu saat sudah menjadi istri Vian? Batinnya. Ah, dia tidak perlu bangga. Hanya istri bohongan, apa yang bisa di banggakan? Begitulah kira-kira isi pikiran Putri.
Gadis itu menurut. Ia berjalan pelan dan masuk ke dalam mobil Vian. Dia memilih duduk di kursi belakang. Putri tidak punya muka untuk duduk berdampingan dengan Vian. Rasa malunya sangat besar
"Siapa yang mengizinkanmu duduk di belakang?! Kamu fikir aku supirmu? Begitu?!" Vian kesal.karena Putri bahkan tidak sudi duduk di sampingnya. Padahal dia sudah membayar mahal, agar gadis itu pantas berdampingan dengannya.
"Tapi.. aku.." ucap Putri ragu, ia bahkan tidak mampu memberitahukan pada Vian, kalau ia sangat malu untuk duduk berdampingan dengannya saat menggunakan gaun itu.
"Jangan protes. Cepat pindah, atau kamu ingin aku menyeretmu dengan paksa?!" Vian menghardik Putri. Membuat gadis itu sedikit takut. Ia justru berpikir, kelak setelah menikah, Vian akan memperlakukannya dengan kasar, atau justru bermain tangan. Membayangkan itu, bulu kuduk gadis itu meremang. Lagi-lagi ia menepis bayangan itu. Masa depan keluarga dan adik-adiknya membuatnya berani menghadapi apapun. Di aniaya oleh Vian, tidak akan jadi masalah besar, asalkan ia masih hidup dan bernyawa.
"Ba-baik," Perlahan, putri turun dari jok belakang lalu pindah ke samping Vian. Gadis itu tidak sadar, bahwa Vian menyunggingkan senyum sinis. Ia merasa senang karena Putri takluk di dalam genggamannya.
Perlahan, mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat make-up profesional itu dan mengarah pasti ke rumah nenek Vian. Sebagai cucu satu-satunya, Vian sangat paham, gadis seperti apa yang di sukai oleh neneknya. Wanita tua itu menyukai gadis lugu dan apa adanya. Berkali-kali Vian membawa pacarnya ke hadapan Sang Nenek, tapi belum ada satupun yang berkenan di hatinya, bahkan ia harus mengakhiri hubungannya dengan para gadis yang tidak di setujui neneknya pada hari yang sama. Itu yang menyebabkan Vian belum juga menikah, meskipun usianya sudah menginjak 29 tahun.
"Kau sudah pernah berciuman?" Pertanyaan Vian yang sangat sensitif bagi Putri ini, sukses membuat gadis itu membulatkan matanya dan menatap tajam ke arah Vian. Ia berpikir, Vian adalah lelaki mesum. Buktinya, dia mengatakan sendiri, kalau pacarnya banyak, bahkan lebih dari satu.
"Pertanyaan macam apa itu? Aku tidak akan menjawab." Sungut Putri, ia kesal mendapat pertanyaan seperti itu dari Vian.
"Kamu tidak perlu takut. Aku hanya bertanya. Kau pikir, aku mau mencium bibirmu yang tidak menarik itu?! Pemikiranmu terlalu jauh!" Cibir Vian, pria itu membuang pandangannya jauh kedepan sambil tertawa mengejek.Bagi Vian, ciuman bukanlah hal tabu untuk di perbincangkan. Telah banyak bibir yang ia nikmati, tentu saja baginya ciuman adalah hal biasa.
"Aku belum pernah ciuman. Sudah ku jawab. Apa kau puas?" Sentak Putri. Ia berharap, Vian tidak menanyakan hal yang aneh lagi padanya.Pertanyaan mesum seperti itu membuat Putri semakin beranggapan buruk pada Vian. Gadis itu yakin, Vian mungkin sudah bukan pria suci lagi. Dia bisa saja telah menghabiskan banyak malam panjang bersama gadis-gadisnya.
"Ternyata masih polos. Pantas saja, siapa lelaki yang mau mendekati perempuan udik sepertimu. Sayang sekali, wajahmu yang cantik itu sepertinya tidak memberimu keberuntungan," ucap Vian tanpa sadar memuji kecantikan Putri. Sedikitpun Putri tidak merasa senang dengan pujian dari lelaki yang ada di sampingnya itu. Justru ia merasa jengah.
"Kau bilang aku cantik? Ku kira kamu baru saja mabuk, Vian. Perempuan udik sepertiku, siapa yang akan memandangku cantik. Kalau kamu, aku percaya. Sapi berbedak pun akan kau bilang cantik. Dasar mata keranjang!" umpat Putri kesal. Kalau saja ia tidak sedang berhutang dan butuh uang, ia tidak sudi harus berdekatan dengan lelaki seperti Vian.
Mendengar umpatan Putri, Vian justru tertawa kecil. Baru dia, wanita yang berani menyebut dirinya mata keranjang. Kebanyakan para gadis memujanya, mengharapkan cintanya dan memimpikannya.
"Kamu cukup berani, Gadis Udik. Sepertinya sangat rugi memiliki pasangan sepertimu. Sudah udik, matanya juga rabun.Tidak dapat membedakan yang mana pria mempesona dan yang mana pria playboy. Lain kali, aku akan membelikanmu kacamata, agar kamu bisa melihatku dengan baik." ungkapnya sinis. Putri memilih diam. Sepertinya pria di sampingnya itu sedikit tidak waras, begitah kira-kira penilaian Putri terhadap Vian. Dia bertanya-tanya, mengapa ia harus di takdirkan bertemu dan berurusan dengan pria seaneh Vian.
Kalau saja Putri boleh memilih, ia ingin Raihan yang ada di sampingnya. Tapi memang, sebagai pria dari pondok, tidak pernah sekalipun Raihan mengajaknya bertemu berdua, makan atau kemanapun, mereka selalu ramai-ramai. Raihan sering berkata pada Putri "Kita tidak bisa berduaan, Put. Karena saat kita berduaan, yang ketiganya adalah setan. Aku takut khilaf," Begitulah ucapan Raihan yang ia selalu ingat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!