Pagi itu cerah. Sinar mentari menyapa lembut, menembus dedaunan yang berayun pelan. Kicau burung-burung saling bersahutan, menambah riuh suasana.
Seorang perempuan tampak kesusahan membawa kantong besar berisi pakaian yang harus diantar hari ini. Dialah Lyra, mahasiswi jurusan Matematika di Universitas Bina Nusantara.
"Aduh, banyak banget sih yang harus diantar. Kapan selesainya ini? Mana tugas kuliah belum kelar lagi. Kenapa harus aku, sih? Kan ada Vanes. Nasib tinggal sama saudara, selalu begini," gerutunya sambil menyalakan motor.
Lyra memang tinggal bersama pamannya sejak kedua orang tuanya tiada. Sayangnya, istri sang paman tidak pernah benar-benar menginginkan Lyra sukses.
Baru beberapa meter melaju, Lyra terpaksa menginjak rem mendadak. Di seberang jalan, sekelompok pelajar tengah tawuran. Suasana ricuh, saling pukul, lempar, bahkan beberapa membawa benda keras. Tak ada jalan lain untuk dilewati.
Tepat di depan matanya, seorang pelajar memukuli lawannya tanpa henti. Naluri Lyra mendorongnya turun tangan. Ia memarkir motornya, meraih kayu di pinggir jalan, lalu berlari ke arah mereka.
"Hei! Hentikan! Dia bisa mati kalau kamu pukul terus!" teriak Lyra sambil mengangkat kayu itu.
"Lepas! Biarin anak sombong ini tamat sekalian!" sahut pelajar itu sambil berusaha merebut kayu dari tangannya.
Mereka sempat saling tarik-menarik. Lyra tetap berusaha keras mempertahankan kayu itu. Hingga akhirnya remaja itu gusar, melepaskan tangannya secara kasar. Lyra terhuyung ke belakang, dan kayu berhasil direbut.
Belum sempat ia bangkit, kepalanya dihantam kayu itu dengan keras. Rasa sakit yang luar biasa menghantam syarafnya, pandangan Lyra berkunang-kunang, lalu gelap. Tubuhnya jatuh tak berdaya.
Warga sekitar panik dan berlari menghampiri. Para pelajar langsung kabur. Beberapa orang segera menelpon ambulans.
---
Di rumah sakit
Lyra membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, namun sosok paman, tante, dan sepupunya sudah berdiri di hadapannya.
"Lyra, syukurlah kamu sadar. Bagian mana yang sakit? Bilang sama Paman," ujar pamannya cemas, membantu Lyra duduk.
"Alah, paling juga cuma keseleo," sahut tantenya ketus, tanpa rasa kasihan.
Lyra menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. "Aku nggak apa-apa kok, Paman. Hanya sedikit keseleo," jawabnya lembut.
"Makanya lain kali jangan sok jadi pahlawan. Akhirnya begini kan," sindir Vanes, sepupunya.
"Sudah, sudah! Bukannya kasihan, malah dihujat. Lyra sedang sakit, jadi mulai hari ini tugas antar laundry kamu saja, Vanes," tegas sang paman.
"Apa? Kok jadi aku? Itu kan kerjaannya Lyra. Tugasku hanya fokus belajar," protes Vanes.
"Lyra juga kuliah. Dia belajar juga, tapi masih sempat antar laundry. Sekarang dia sakit, masa mau dipaksa lagi? Kamu harus belajar mandiri!" bentak pamannya.
"Ini semua gara-gara kamu! Dasar anak sial!" Vanes melotot pada Lyra.
Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. Tante dan Lyra terkejut, sementara air mata Vanes jatuh. Ia meraih tasnya dan pergi meninggalkan ruangan.
"Mas! Apa yang kamu lakukan? Dia anak kita, demi anak orang kamu tega menamparnya!" teriak tantenya.
"Kamu dengar sendiri kan ucapannya? Ingat, Lyra bukan orang lain. Dia anak abangku. Sama seperti Vanes, dia juga anakku!" tegas paman.
Tantenya mendengus sinis pada Lyra, lalu pergi menyusul Vanes.
Paman menoleh lembut. "Lyra, tunggu sebentar ya. Paman kejar mereka dulu."
Lyra hanya mengangguk.
---
Pertemuan dengan Reyhan
Tak lama kemudian, seorang remaja laki-laki masuk. Kepalanya diperban, tubuhnya duduk di atas kursi roda. Ia mendorong kursinya mendekat ke arah Lyra.
"Maaf, kamu bagaimana? Lukamu parah nggak?" tanyanya.
Lyra mengerjap. "Oh, kamu pelajar itu ya? Aku sudah mendingan kok." Ia tersenyum.
Remaja itu mengulurkan tangan. "Namaku Reyhan."
"Aku Lyra." Ia menyambut uluran tangannya.
Reyhan sempat terdiam, lalu bertanya, "Umur kamu berapa?"
"24 tahun," jawab Lyra sambil tersenyum.
"Kamu nggak mau nanya umurku?" balas Reyhan, mengangkat alis.
"Haha, untuk apa? Aku juga tahu kamu lebih muda," candanya.
Reyhan menghela napas, lalu berkata lirih, "Terima kasih sudah menolongku tadi. Aku kira... aku akan mati."
"Lain kali jangan suka tawuran, dek. Nggak baik. Bisa-bisa nyawamu melayang," nasihat Lyra.
"Aku tahu itu. Tapi kamu nggak ngerti masalahnya. Aku nggak salah apa-apa," Reyhan membela diri.
"Oalah, panggil aku kakak dong. Kita jelas bukan seumuran," ujar Lyra sambil terkekeh.
"Aku nggak mau," sahut Reyhan kesal, lalu memutar kursi rodanya, meninggalkan Lyra.
Lyra mendengus. "Kenapa sih anak itu? Nggak ada sopan-sopannya. Anak zaman sekarang labil semua, huh."
Malam di Rumah Sakit
Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Setelah diperiksa, dokter menyarankan Lyra boleh pulang karena lukanya tidak terlalu serius.
Merasa bersalah karena tadi sempat membuat Reyhan marah, Lyra menitipkan sebatang cokelat dan secarik surat untuknya. Suster pun membawakannya ke kamar Reyhan.
Reyhan membuka amplop kecil itu. Di dalamnya ada tulisan singkat:
> Hy, maaf karena sudah membuatmu marah. Semoga cepat sembuh •_•
Tanpa sadar bibirnya melengkung. Reyhan tersenyum kecil lalu membuka cokelat itu dan memakannya.
---
Sesampainya di Rumah
Lyra tiba di rumah dengan kondisi lelah. Ia langsung merebahkan diri di kasur, lalu menyalakan ponselnya. Belum sempat membuka aplikasi apapun, panggilan masuk dari sahabatnya, Siska.
“Halo? Iya, Siska. Aku baik-baik aja kok. Nggak seserius itu. Paling lusa juga sudah bisa masuk. Jangan lebay deh,” ucap Lyra sambil tersenyum.
Baru saja ia menutup telepon, pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Vanes masuk tanpa mengetuk.
“Enak banget ya, bisa bermalas-malasan terus di rumah. Ingat, ini bukan rumahmu!” teriak Vanes.
Lyra menghela napas. “Vanes, bisa nggak sih kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu? Baru masuk.”
“Rumah rumahku, suka-suka aku dong. Terus kamu mau apa, hah?” Vanes mendekat, wajahnya sinis.
“Aku nggak mau cari ribut. Jadi tolong keluar.”
“Eh, berani-beraninya kamu nyuruh aku!” Vanes mendorong kursi Lyra hingga ia terjatuh ke lantai. Panik kalau perbuatannya ketahuan sang ayah, Vanes langsung kabur dari kamar.
Lyra meringis sambil berusaha bangkit. “Sabar, sabar... Akan ada saatnya aku keluar dari sini. Kalau bukan karena Paman yang baik padaku, sudah ku balas tadi, Vanes...” gumamnya lirih.
Reyhan di Rumah
Sementara itu, Reyhan turun dari mobil dengan bantuan supirnya. Di depan rumah besar bergaya modern itu, beberapa pembantu segera menyambutnya.
“Aduh, Den Reyhan... kok bisa sampai begini sih?” tanya Bik Sum, pembantu tertua, panik melihat tuannya dengan perban di kepala.
Reyhan hanya terdiam. Tatapannya kosong, seolah mencari sesuatu yang tak ada.
“Den, Nyonya berpesan agar Aden istirahat. Beliau tidak bisa pulang malam ini karena—”
“Sudah, Bik. Aku sudah tahu,” potong Reyhan pelan. Ia menghela napas, lalu menoleh ke supirnya. “Pak Mat, antar aku ke kamar.”
Sesampainya di kamar, Reyhan duduk lama menatap dinding. Kenangan masa kecil di rumah itu berkelebat—masa ketika orang tuanya masih sering ada untuknya.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama di layar: Erick.
“Halo. Iya, aku sudah di rumah. Nggak usah bawa apa-apa. Aku nggak butuh,” ucapnya singkat lalu menutup telepon.
Namun, 20 menit kemudian Erick tetap datang. Ia masuk dengan wajah kesal.
“Bro, masih sakit nggak? Kok bisa sih lo ikutan tawuran lagi?”
“Fero ngajak duel. Katanya gara-gara surat cinta adiknya aku tolak,” jawab Reyhan datar.
Erick mendengus. “Lagi-lagi surat cinta. Orang lain bilang jadi cowok tampan itu anugerah. Buat lo malah jadi petaka.”
Reyhan terdiam. “Aku capek, Rick. Bosen.”
Erick meliriknya curiga. “Eh, tapi gue denger ada cewek yang nolong lo ya. Cantik nggak?” godanya.
“Apaan sih? Gue sakit, bukannya prihatin malah nanya aneh-aneh,” balas Reyhan kesal.
“Hmmm... malu nih ye, abang Reyhan yang ganteng. Peluk aku dong,” canda Erick sambil merentangkan tangan.
Reyhan mendengus geli, tapi bibirnya tak bisa menahan senyum.
Hari-hari berikutnya pun berlalu. Reyhan dan Lyra kembali ke aktivitas masing-masing... tanpa pernah bertemu lagi.
Oh yaa lanjut ke part selanjutnya akan ada pengenalan karakter bye n see u 😍😍
LYRA NAYRA
Gadis baik hati ini sangat masa bodoh dengan penampilan. Dia kehilangan orang tuanya di usia 16 tahun.Tinggal di jakarta bersama Pamannya serta Tante dan Sepupu yang sangat membencinya. Kuliah di kampus Binus Nusantara. Saat ini dia berusia 25 tahun.
REYHAN ALMIRZA
Salah satu Siswa di SMA Negeri 34 Jakarta. Karna perawakannya yang tampan dan pintar membuatnya sangat banyak disukai para remaja
perempuan. Selain itu ia juga dikenal sebagai Siswa yang pendiam. Ayahnya meninggal disaat dia berusia 14 tahun. Ibunya seorang presdir di perusahaan asing dan jarang pulang ke Indonesia.
SISKA RAHMA
Sahabat Lyra yang sangat baik hati pada Lyra dan sangat membenci Vaness. Jauh dari kedua orang tuanya. Feminim dan pencinta drama.
ERICK ROJALI
Sahabat Reyhan yang ceplas ceplos ini memiliki banyak pacar. Orang tuanya bercerai saat Erick berusia 15 tahun. Ibunya pemilik salon besar yang bernama "Shine" di Jakarta. Suka bersenang senang.
FERO RINGGA
Mantan sahabat Reyhan dan Erick. Dulunya dia sangat baik akan tetapi perempuan yang disukainya malah menyukai Reyhan. Semenjak itu persahabatan mereka hancur. Dia pindah sekolah dan menjauh dari Reyhan. kemarahannya pada Reyhan memuncak ketika dia mendapati adiknya yang menangis karna adiknya ditolak mentah-mentah oleh Reyhan.
VANES NURID
Sepupu Lyra ini sangat membencinya karna merasa Ayahnya lebih menyayangi Lyra dibandingkan dengannya. Dia juga sangat iri pada Lyra karna Lyra lebih cantik darinya. Sangat menyukai style Siska.
FERONICA RINGGA
Adik Fero ini sangat manja. Meskipun ditolak berkali-kali membuatnya tak patah semangat untuk mengejar-ngejar Reyhan. Seorang pembuli di sekolah dan 1 sekolah dengan Reyhan dan Vanes.
PENGENALAN KARAKTERNYA sampai disini dulu guyssss. oh ya untuk kelanjutan ceritanya stay tune truss yaa....
Pertemuan yang Mengguncang
Suara alarm meraung nyaring dari meja kecil di samping ranjang. Lyra tergeragap bangun, mengucek mata sambil meraih ponselnya. Hari ini ia harus ke kampus lebih pagi.
Namun, begitu membuka pintu kamar, ia mendapati dua sosok sudah menunggunya: Vanes, adik sepupu yang selalu ketus, dan ibunya.
“Ehm, Tuan Putri sudah bangun juga,” sindir sang tante dengan nada yang menusuk.
“Tidurnya enak, ya? Tiga hari kerjaannya molor terus. Dasar pemalas,” tambah Vanes, matanya berkilat penuh cibiran.
Lyra menarik napas panjang, mencoba menahan diri. “Maaf, Tante. Aku buru-buru ke kampus, kalau ada urusan nanti saja.” Tanpa menunggu jawaban, ia berlari menuruni tangga.
“Dasar anak tidak tahu sopan santun!” suara tantenya menggema sampai halaman.
Lyra menyalakan motor bututnya. Ia ingin cepat-cepat pergi sebelum emosinya pecah.
---
Di jalan, ia sesekali melirik jam di pergelangan tangannya. Detik terasa lebih cepat dari biasanya. Tiba-tiba motor bergetar hebat. Lyra menepi dan mendapati bannya bocor.
“Astaga…” gumamnya, menendang kerikil kecil dengan jengkel. “Pagi-pagi begini sudah sial. Bengkel masih tutup pula. Telat, deh.”
Saat ia mendorong motor pelan-pelan, sebuah mobil silver berhenti tak jauh darinya. Dari balik kaca, sepasang mata familiar menatap. Reyhan. Siswa yang sempat ia tolong beberapa hari lalu.
“Pak Mat, berhenti sebentar,” ucap Reyhan.
Supir itu keluar dan menghampiri Lyra. “Neng, Den Reyhan memanggil dari mobil.”
“Reyhan?” Lyra mengernyit. “Saya nggak kenal—”
Ucapan itu terhenti ketika pintu terbuka dan Reyhan sendiri turun. Wajahnya kali ini tanpa perban. Lyra langsung mengenalinya.
“Oh! Adik itu!” seru Lyra, refleks tersenyum lega.
“Naiklah. Kamu bisa telat ke kampus,” ujar Reyhan, datar tapi tegas.
Lyra sempat ragu. “Tapi… motorku?”
“Nanti saya telepon teman untuk antar ke bengkel,” timpal Pak Mat. Ia bahkan sudah membukakan pintu.
Akhirnya, Lyra menyerah. Ia masuk, duduk di kursi belakang bersama Reyhan. Dalam diam, ia mencuri pandang. Tanpa perban, wajah Reyhan tampak lebih jelas—dan lebih tampan daripada dugaannya.
Astaga, ini anak ternyata cakep juga… batin Lyra.
Tiba-tiba mobil mengerem mendadak karena seekor anak kucing menyeberang. Tubuh Lyra terdorong ke depan, menimpa Reyhan.
Mata mereka bertemu. Lama. Hening mendadak terasa menyesakkan.
“A-aku… nggak bisa napas,” suara Reyhan pecah, wajahnya memerah.
Lyra buru-buru bangkit, pipinya ikut memanas. Ya Tuhan, apa barusan itu?
Reyhan bersandar, menarik napas panjang. Lalu, tanpa sepatah kata, ia mendekat ke Lyra. Jantung Lyra berdegup kencang, tapi ternyata… Reyhan hanya memasangkan sabuk pengaman.
“Lain kali kalau naik mobil, pakai ini,” ucapnya singkat.
“Oh… iya. Maaf. Sudah terbiasa lupa,” balas Lyra gugup.
“Tadi naik motor pun kamu nggak pakai helm,” lanjut Reyhan dengan nada mengomel.
Lyra menunduk. “Tadi aku terburu-buru, Dek…”
Reyhan terdiam, menatap keluar jendela.
“Eh, terima kasih ya sudah kasih tumpangan gratis.” Lyra mencoba mencairkan suasana. Ia melirik ke arah tubuh Reyhan. “Kalau diperhatikan, kamu tinggi juga ya.”
“Kamu aja yang pendek,” balas Reyhan cepat.
Lyra manyun. “Hei, kakak ini 160 cm, lho.”
“Di sekolahku, paling pendek 165.”
Ya ampun, anak songong banget sih, gerutu Lyra dalam hati. Tapi entah kenapa, rasa kesalnya bercampur hangat aneh.
Mobil berhenti di depan kampus. Pak Mat segera turun membukakan pintu.
“Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan,” ucap Lyra sopan.
“Tidak usah, Neng. Motornya nanti diantar ke rumah. Ini alamatnya saja?”
Lyra menulis cepat di secarik kertas, lalu menyelipkan uang seratus ribu. “Tolong, ya.”
“Tidak perlu, sudah dibayar Den Reyhan.”
Lyra memaksa, menyerahkan uang itu. “Ambil saja, Pak. Saya duluan.” Ia berlari masuk kampus, meninggalkan supir yang menggeleng sambil tersenyum.
---
Di kelas, Siska langsung menyergapnya dengan pelukan. “Tiga hari nggak ketemu, aku kangen banget!”
“Hahaha… dasar lebay,” Lyra menepuk bahu sahabatnya. “Eh, kamu beli parfum baru lagi ya?”
“Tentu dong!” Siska mengeluarkan botol kecil dari tas. “Dan ini untuk kamu.”
“Wah, gila. Ini mahal banget!” Lyra terbelalak.
“Cuma dua ratus ribu. Worth it, semprot sekali bisa tahan seminggu,” jawab Siska santai.
Lyra terharu. “Aku jadi nggak enak, aku nggak pernah ngasih kamu apa-apa.”
“Lihat kamu senang aja aku bahagia, kok,” balas Siska sambil tersenyum hangat.
Mereka tertawa bersama, sejenak melupakan kekacauan pagi tadi.
---
Sementara itu, di sekolah Reyhan, suasana berbeda. Anak itu duduk melamun, pikirannya masih terjebak pada kejadian di mobil. Degup jantung yang belum bisa ia pahami.
Saat pelajaran biologi, guru memberi kesempatan bertanya. Reyhan langsung mengangkat tangan.
“Bu, kalau… saat terjadi sesuatu yang mengejutkan, lalu mata saling bertemu, jantung berdebar kencang… itu wajar?”
Kelas riuh tertawa. Guru tersenyum tipis. “Kalau hanya sebentar, itu normal. Tapi kalau lebih lama, artinya hormon dan… ya, seksualmu berfungsi baik. Semoga saja tidak sesama jenis.”
Tawa meledak lebih keras. Reyhan hanya menunduk.
“Apa kamu sedang menyukai seseorang?” tanya sang guru.
Reyhan mengangkat wajah, menatap tajam. “Maaf, Bu. Itu terlalu pribadi.”
Hening sejenak. Guru menertawakan ucapannya sendiri lalu menutup kelas.
Namun Reyhan tidak ikut tertawa. Di dalam hati, ia berbisik pelan: Apa mungkin… aku menyukainya?
BERSAMBUNG.......
Terima kasih sudah mampir ya guyssss
Jangan lupa like dan komen serta vote . Jangan pelit-pelit see u.......
Di rumah, Lyra mondar-mandir di teras. Wajahnya terlihat cemas, sesekali melirik ke arah jalan. Motornya belum juga diantar kembali dari bengkel. Udara sore yang harusnya menenangkan justru membuatnya gelisah.
Paman keluar dari dalam rumah, melihat keponakannya yang gelisah.
“Lyra, kenapa, Nak? Kok kelihatan bingung begitu?” tanyanya heran.
“Lyra lagi nunggu motor, Paman. Tadi bannya bocor, udah dibawa ke bengkel, katanya mau dianter balik. Tapi ini udah sore belum juga datang.” Lyra menjawab cepat, ekspresinya jelas menunjukkan kekhawatiran.
Paman tersenyum menenangkan. “Kalau begitu Lyra mandi dulu saja. Biar Paman yang tungguin.”
Lyra menghela napas lalu mengangguk. “Baiklah, Paman. Lyra mandi dulu ya.” Ia pun beranjak masuk ke dalam rumah.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil terdengar berhenti di depan pagar. Chevrolet tua milik penambal ban itu terparkir. Si penambal ban turun dengan senyum ramah dan langsung menghampiri Paman.
“Maaf, Pak, agak lama ngantarnya. Hari ini banyak pelanggan yang harus saya layani,” jelasnya sambil mengelap keringat.
“Oh, tidak apa-apa. Yang penting motornya sudah sampai,” sahut Paman dengan ramah.
Si penambal ban lalu mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari saku celananya. “Ini, uang si Neng saya balikin. Soalnya sudah dibayar sama anak majikan teman saya.”
Paman sempat terkejut, tapi akhirnya menerima uang itu. “Baik, terima kasih.”
Setelah berpamitan, mobil itu pun melaju pergi.
Beberapa menit kemudian, Lyra keluar dengan rambut masih sedikit basah. Matanya langsung berbinar begitu melihat motornya sudah terparkir rapi.
“Wah, motornya bersih banget. Mungkin gara-gara aku bayar seratus ribu, jadi dapat servis tambahan,” gumamnya senang sambil mengelus setir motornya.
Paman tersenyum tipis, lalu menyerahkan uang yang tadi ia terima.
“Lyra, ini uangmu. Katanya sudah dibayar sama anak majikan temannya.”
Lyra tercengang. “Hah? Jadi… dia yang bayarin?”
“Dia itu siapa, Lyra?” tanya Paman penasaran.
“Oh… cuma teman, kok, Paman.” Lyra buru-buru masuk ke dalam rumah, pipinya sedikit merona.
Paman menatap punggung Lyra yang menghilang di balik pintu. Senyum samar tersungging di wajahnya. Tidak terasa, dia sudah dewasa, batinnya.
---
Di rumah besar keluarga Reyhan, seorang pemuda tampak termenung di atas sofa cokelat. Pandangannya kosong, sementara di dapur, Pak Mat—sang sopir setia keluarga itu—sibuk menyeduh kopi hangat.
“Pak,” suara Reyhan tiba-tiba memecah keheningan. “Saya mau nanya… Bapak pernah nggak suka sama perempuan yang usianya jauh di atas Bapak?”
Pak Mat menoleh, mengangkat alis. “Hmm… nggak pernah, Den. Saya biasanya suka sama yang lebih muda.”
“Oh, kirain pernah,” gumam Reyhan, pura-pura acuh.
Pak Mat menyipitkan mata, lalu terkekeh. “Kenapa, Den? Jangan-jangan Den suka sama Neng Lyra? Hayo, ngaku!”
Reyhan langsung merengut. “Hah? Nggak tuh. Bapak ini sukanya ngawur melulu.”
“Iya juga nggak apa-apa kok, Den. Soalnya saya lihat Neng Lyra itu natural banget. Jarang, lho, ada cewek yang nggak pakai makeup. Anak saya yang SMP aja udah jago dandan.”
Reyhan mendengus, wajahnya merah padam. “Kalau Bapak suka, ya Bapak aja sana yang pacarin. Sudahlah, saya mau tidur. Bapak keluar!”
Pak Mat menoleh ke sekitar. “Lho, ini kan ruang tengah. Kamar Aden ada di lantai dua.”
“Suka-suka saya dong mau tidur di mana. Ini rumah-rumah saya, kok Bapak yang ngatur!” bentak Reyhan.
Pak Mat hanya tertawa kecil. “Haha, iya deh, Den. Saya permisi dulu.” Ia pun melangkah pergi.
Reyhan terdiam, menatap langit-langit. Hatinya kacau. Apa mungkin… aku benar-benar menyukainya?
---
Malam hari.
Ponsel Lyra bergetar di atas meja belajar. Pesan singkat dari Siska muncul.
Siska: Hey, blm bobo?
Lyra: Blm nih, knp?
Siska: Aku bingung mau PPL besok.
Lyra: Lha kok bingung?
Siska: Pgnnya bareng kamu ngajarnya.
Lyra: Lho, katanya suka2 kok.
Siska: Oh ya, aku gk denger soalnya. Ngantuk hahaha.
Lyra: Ya udah deh aku bobo dulu. Tkutt kesiangan besok. Byeee.
Lyra tersenyum kecil, lalu merapikan bukunya. Setelah itu ia merebahkan diri di atas ranjang, memejamkan mata dengan perasaan campur aduk.
---
Pagi pun tiba.
Paman mengetuk pintu kamar Lyra. “Lyra, kamu nggak ke kampus hari ini?” tanyanya ketika pintu terbuka.
Sambil mengucek mata, Lyra menjawab, “Hari ini Lyra mau PPL, Paman. Di SMAN 34, tempat sekolahnya Vanes.”
“Oh, bagus dong. Bisa berangkat bareng Vanes,” ujar Paman.
“Apa? Bareng Lyra? Ogah! Malu, ah!” seru Vanes dari ruang tengah, wajahnya cemberut.
Lyra tersenyum kecut. “Nggak apa-apa, Paman. Lyra bisa berangkat sendiri.”
Paman menghela napas. “Maafkan adikmu, ya, Lyra. Paman juga heran kenapa dia bisa sejahat itu ke kamu.”
Lyra mengangkat bahu. “Sudahlah, Paman. Lyra mah biasa aja. Baiklah, Lyra siap-siap dulu.”
Beberapa menit kemudian, Lyra sudah rapi. Baru saja hendak keluar, Siska muncul di depan rumah.
“Eh, kamu? Kok ke sini? Mana motormu?” tanya Lyra kaget.
“Oh, masuk bengkel tadi. Bannya bocor,” jawab Siska santai.
“Ya udah, kita berangkat bareng,” kata Lyra sambil tersenyum.
---
Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di sekolah megah itu. Lingkungan bersih, gedung menjulang, dan dua kolam besar langsung memukau mata.
Setelah memarkirkan motor, mereka menuju kantor kepala sekolah.
“Permisi, Pak. Kami dari Universitas Bina Nusantara, ingin melakukan PPL di sekolah ini,” jelas Lyra sopan.
Kepala sekolah mengangguk ramah. “Oh, iya, saya kenal baik dengan Pak Harry, profesor kalian. Dara, tolong antar mereka ke kelas IPA 1.”
“Mari, Mbak,” ajak Dara.
Setibanya di kelas, Dara memperkenalkan Lyra dan Siska pada murid-murid, lalu meninggalkan ruangan.
“Baiklah, adik-adik, perkenalkan diri kalian satu per satu, ya,” ujar Lyra.
Satu per satu murid berdiri memperkenalkan nama mereka. Tiba-tiba, pintu diketuk. Seorang siswa masuk dengan wajah tenang.
Reyhan.
Mata Lyra dan Reyhan saling bertemu, sama-sama terkejut.
“Kak, dia juga dong perkenalkan diri,” ujar salah satu murid.
Siska tersenyum. “Ya, silakan.”
Reyhan menatap Lyra sekilas sebelum berkata, “Nama saya Reyhan Almirza.”
“Hobi dong, Kak!” celetuk seorang siswa.
“Hobi saya banyak,” jawab Reyhan singkat.
“Makanan favorit?”
“Nasi goreng.”
“Kriteria cewek?”
Reyhan terdiam. Pandangannya langsung jatuh ke arah Lyra, membuat gadis itu salah tingkah. Bel istirahat pun berbunyi, menyelamatkan suasana yang mulai panas.
---
Di kantin, Lyra duduk lesu, garpu hanya mengaduk-aduk nasi di piringnya.
“Kok makanan cuma diubek-ubek? Dimakan, atuh,” protes Siska.
“Dimakan kok,” jawab Lyra lirih.
“Oh ya, anak yang namanya Reyhan itu… ganteng, nggak sih? Kayaknya dia suka deh sama kamu,” kata Siska, menatap nakal.
Lyra langsung mengelak. “Apaan sih? Ngawur.”
“Serius, tau! Cara dia mandang kamu itu beda. Aku mah udah ngerti tatapan kayak gitu.”
“Bodo amat,” gerutu Lyra sambil akhirnya menyuap makanan.
Dari jauh, Reyhan memperhatikan mereka. Erick tiba-tiba menghampirinya.
“Bro, gue denger di kelas lo ada guru PPL. Cantik nggak?” tanyanya penasaran.
“Lihat sendiri aja,” jawab Reyhan dingin.
“Ya ampun, nyebelin banget lu,” kesal Erick.
Sementara itu, Lyra menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap sekilas ke arah kanan. Reyhan sedang berbincang dengan Erick. Jantungnya berdebar. Siska benar, Reyhan memang tampan.
Seolah menyadari tatapan itu, Reyhan balas menoleh. Sejenak, mata mereka bertemu. Waktu seakan berhenti.
“Kamu kenapa sih dari tadi melamun mulu?” Siska menyadarkan Lyra dari lamunannya.
“Nggak kok. Aku cuma kenyang.”
“Kalau gitu, ayo keliling sekolah.”
Lyra mengangguk. Mereka beranjak pergi, sementara Reyhan kembali menunduk, melanjutkan makan siangnya dengan pikiran yang penuh.
BERSAMBUNG.....
Terima kasih yang sudah mampir... Jangan lupa like, komen dan vote ya. Jangan pelit-pelit mohon dukungannya.
Eitss tambahin ke favorite juga dong hahahhaha
see u guys....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!