Bel tanda pelajaran usai berbunyi. Lintang membereskan buku-buku ke dalam ransel, lalu memanggulnya. Dia merapikan rambut panjangnya yang dikuncir satu mirip buntut kuda lalu melangkah keluar dari kelas.
"Lintang!"
Lintang mengembangkan senyuman sehingga lesung pipitnya terlihat ketika namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang dan mendapati seorang gadis berambut bob yang dihasi jepit rambut bergambar strawberry yang manis menghampirinya.
"Kita jalan-jalan ke mall, yuk!" ajak gadis bernama Vina itu.
"Iya nih, lagi ada diskon lho!" kata gadis lain yang rambutnya dipotong cepak seperti anak cowok, namanya Alif.
Lintang melengkungkan bibir. Sebenarnya dia ingin ikut pergi. Sudah lama mereka tidak hang out bertiga, tapi tidak untuk hari ini.
"Maaf teman-teman, aku ada acara keluarga. Lain kali saja ya." Lintang menolak dengan dengan halus ajakan kedua sahabat baiknya itu.
"Yah ... apa boleh buat." Kedua sahabat Lintang itu kecewa.
Mereka lalu berjalan bersama keluar kelas sambil bercanda. Persis di depan kelas Lintang berdiri seorang cowok keren dengan tinggi kurang lebih dua puluh sentimeter di atas Lintang. Wajah cowok itu mirip-mirip dengan artis Korea Jungkook, BTS.
"Oh, Kak Guntur," sapa Lintang. Dia agak terkejut melihat kehadiran cowok keren itu di depan kelasnya. Kedua sahabat Lintang pun ikut semringah karena bisa mencuci mata. Nama cowok itu Guntur. Dia cowok paling keren di sekolah mereka sekaligus "Kakak" dari Lintang.
"Hei," balas Guntur tanpa tersenyum. "Bilang ke Langit dan yang lainnya aku ada urusan jadi nanti datang terlambat. Pesankan aku udang goreng porsi besar."
"Oke!" sahut Lintang sambil tersenyum.
Setelah berpesan begitu Guntur berlalu dari hadapan Lintang dan kedua sahabat.
"Ya ampun, Lintang, kamu beruntung banget deh punya kakak keren kayak Kak Guntur," kata Alif
"Iya! Kalau aku punya kakak seperti itu, kucium diam-diam saat dia tidur!" seloroh Vina
"Dasar mesum!" olok Alif.
Lintang berusaha tertawa mendengar kata-kata kedua sahabatnya itu. Mereka pasti tidak akan bicara begitu seandainya mereka tahu sifat Guntur yang sebenarnya.
"Tapi kalian nggak mirip ya," kata Alif.
Lintang hanya meringis. Tentu saja dia dan Guntur tidak mirip. Karena sebenarnya mereka memang tidak punya hubungan darah.
Lintang dan kedua sahabatnya terus mengobrol sampai akhirnya mereka sampai di depan gerbang sekolah. Sebuah mobil Lamborghini terparkir di sana.
Seorang kakek berusia kirakira tujuh puluh tahun dengan kacamata hitam, dengan stelan jas dan sepatu mahal keluar dari jok belakang mobil dengan penuh gaya. Rambutnya yang sudah berawarna putih seluruhnya membuatnya terlihat berkharisma. Lintang mengenali pria itu sebagai "Kakeknya, Kakek Surya."
"Kakek!" sapa Lintang.
"Hallo, Lintang," balas pria itu sambil melepas kacamata hitamnya yang penuh gaya. Lintang dan kedua sahabatnya berjalan menghampiri Kakek Surya.
"Selamat siang kek." Vina dan Alif mengangguk dengan sopan.
"Siang, mereka temanmu Lintang?" tanya Kakek.
"Ya, mereka teman sekelasku. Ini namanya Vina dan ini Alif." Lintang memperkenalkan kedua sahabatnya itu pada Surya.
Surya pun tersenyum pada keduanya. "Terima kasih ya Vina, Alif, kalian sudah mau berteman dengan Lintang."
Vina dan Alif hanya mengangguk canggung. Tak lama kemudian seorang bocah kecil manis turut keluar bersamanya. Si bocah kecil langsung berlari menghampiri Lintang dan memeluk kaki Lintang.
"KAK LINTANG!" serunya riang. Lintang dengan senang hati memeluk dan menggendong bocah kecil nan imut itu.
"Adikmu?" tanya Vina.
"Kenalkan namanya Chandra, panggilannya Chan-Chan," jelas Lintang memperkenalkan "Adiknya" itu kepada kedua sahabatnya.
"Oh imut banget ya!" Kedua sahabat Lintang pun sibuk mencubiti pipi Chan-chan yang gembul dan menggemaskan. Chan-chan pun hanya bisa pasrah diperlakukan seperti itu oleh kedua cewek itu.
Sementara itu dari pintu mobil yang lain keluarlah seorang wanita cantik dan seksi dengan setelan jas dan rok span selutut warna merah marun. Dia melenggang dengan anggun dia atas high heels setinggi lima belas sentimeter.
"Hai, Sayang," sapa wanita cantik itu pada Lintang. Keduanya lalu bercipika-cipiki seperti umumnya wanita kalau bertemu. Lintang hanya setinggi dadanya si wanita cantik, sehingga Lintang terpaksa berjinjit saat mengecup pipi wanita itu. Vina dan Alif sampai melongo karena melihat kecantikan wanita itu.
"Kakakmu?" tanya Alif.
"Ini Tanteku,"
"Heh! Tante!" Vina dan Alif membelalak tidak percaya. Wanita di hadapan mereka itu masih terlihat sangat muda dan cantik.
"Aduh... apa aku terlihat semuda itu?" tanya "Tante" Lintang sambil tersipu malu.
Lintang lagi-lagi tertawa dengan nada dipaksakan mendengar kecentilan "Tantenya" itu. Lalu, pintu tempat duduk sopir terbuka dan keluar lah seorang pria tampan yang tampaknya berusia awal tiga puluhan dengan wajah setampan artis Korea Lee Dong Wook. Vina dan Alif sampai tak berani berkedip saat menatap pria itu.
"Hai, siapa ini? Teman Lintang?" tanya pria itu pada kedua sahabat Lintang yang masih bengong. Pria tampan itu pun mengulurkan tangannya pada kedua sahabat Lintang. "Terima kasih sudah mau berteman dengan Lintang. Aku ayahnya Lintang." Pria itu memperkenalkan dirinya.
Vina dan Alif butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya sadar dan berteriak hiteris. "BOHONG! AYAH!"
Keduanya melirik Lintang, Ayahnya seperti Lee Dong Wook, Tantenya seperti sangat cantik, kakaknya seperti Jungkook, adiknya super imut, kok sama sekali tidak menurun pada Lintang yang tampangnya biasa-biasa saja walau bisa dibilang cukup manis. Mereka lalu melirik kakek Lintang. Hm ... mungkin gen kakeknya ini yang lebih dominan pada Lintang...
Ayah Lintang tersenyum, tampaknya dia mengerti apa yang dipikirkan kedua sahabat putrinya itu. "Kenapa? Aku terlihat muda ya, sebenarnya ini rahasia ya ... aku menikah diusia empat belas tahun lalu menghasilkan Guntur, Lintang, lalu─"
Sebelum si Lee Dong Wook menyelesaikan kalimatnya, Lintang menjewer telinga pria itu dengan marah. Ayah Lintang berteriak kesakitan. "Aduh! Aduh...."
"Jangan ngarang cerita yang gak jelas! Dasar!" umpat Lintang kesal.
Vina dan Alif memandang Lintang dengan tak percaya. Anak macam apa yang berani menjewer telinga ayahnya seperti itu.
"Ayo kita berangkat, mana si anak durhaka? Biasanya semangat banget kan kalau mau beli udang goreng," tanya Tante Lintang sambil celingukan karena tidak melihat keberadaan Guntur.
Lintang melepaskan jewerannya dari telinga ayahnya. Ayah Lintang memegangi telinganya kesakitan. "Katanya ada urusan, jadi nanti menyusul," jawab Lintang.
"Oh gitu, ya sudah ayo berangkat. Mari ya, Nak Vina, Nak Alif," Si Kakek berpamitan pada kedua sahabat Lintang.
Lintang dan keluarga besarnya pun masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil Lintang melambaikan tangan pada kedua sahabatnya.
Vina dan Alif balas melambaikan tangan. Setelah mobil keluarga Lintang pergi Vina dan Alif masih terheran-heran.
"Keluarga Lintang luar biasa ya," kata Vina.
Alif mengangguk setuju lalu menambahkan. "Anehnya."
***
Lintang bersimpuh dengan mengenakan baju serba hitam. Wajahnya pucat, matanya berkantung, seperti mata panda. Tatapannya kosong. Dia tidak menangis.
Di depannya, jenazah ibunya terbujur kaku, tak bernyawa. Orang-orang yang di dekatnya menangis dan menenangkannya. Mereka turut bersedih sambil melantunkan ayat-ayat suci. Lintang hanya diam tak bergerak. Tak satu kata pun terucap dari bibirnya.
Dia teringat pada kejadian kemarin saat ibunya masih tertawa bersamanya. Saat Lintang masih bercerita pada
ibunya tentang cowok yang disukainya di kelas. Saat ibunya membelai rambutnya, saat ibunya mengecup keningnya sebelum berangkat kerja. Hal-hal itu tak mungkin dialaminya lagi setelah ini. Ibunya akhirnya meninggal setelah lima tahun menderita kanker rahim dan tak akan kembali untuk selama-lamanya.
Di antara kerumunan peziarah yang datang, seorang pria tampan yang wajahnya mirip sekali dengan
artis Korea Lee Dong Wook duduk bersila. Pria itu terus menatap Lintang dengan rasa iba yang dalam.
Lintang masih begitu muda. Baru enam belas tahun, baru saja lulus dari SMP, tapi kini dia harus hidup
sebatang kara. Pria itu diam dan mengalihkan pandangannya pada jenazah ibu Lintang yang telah dibungkus kain kafan dan terbujur kaku dilantai.
Pria itu pernah mengalami masa-masa seperti Lintang. Masa-masa kelam saat dia kehilangan kedua orang
tuanya di usia yang hampir sama dengan Lintang. Hal itu membuatnya merasa lebih sekadar simpati. Dia merasa ikut merasakan beban dan kesedihan yang dirasakan oleh Lintang meskipun sebenarnya pria itu sama sekali tidak mengenal Lintang.
Setelahnya, jenazah ibu Lintang pun dibawa tandu dan dikebumikan di pemakaman umum. Lintang tetap tidak
menangis, air matanya sudah benar-benar mengering. Hatinya terkoyak-koyak namun tak setetes pun air dapat mengalir dari matanya. Setelah semua peziarah pergi Lintang tetap berjongkok di hadapan makam ibunya dan membelai nisan ibunya penuh kasih.
"Ibu ... aku tidak akan menangis. Aku akan tegar dan melanjutkan hidupku. Suatu saat nanti kita
pasti akan bertemu lagi," kata Lintang lirih.
Si Lee Dong Wook diam-diam masih berada di belakang Lintang. Justru air mata Lee Dong Wook lah yang jatuh
karena mendengar kata-kata Lintang itu. Pria itu mengusap matanya dengan rasa malu. Lintang bangkit dan tertegun mendapati masih ada satu peziarah yang berdiri di belakangnya. Jujur dia tidak mengenali cowok itu. Siapa dia?
"Apa kabar?" sapa pria itu dengan suaranya yang bergetar karena menahan air mata.
"Anda siapa?" tanya Lintang.
Pria itu mengeluarkan selembar kartu nama dari sakunya dan memberikannya pada Lintang. Lintang membacanya dengan seksama. Nama Langit Kresna Riyadi tertera di kartu nama itu, jabatannya sebagai CEO Perusahaan Konveksi Sekar Langit tempat ibunya dulu bekerja sebagai penjahit.
Lintang memandangi wajah pria itu. Dia ingat beberapa kali ibunya sering menceritakan tentang Presdirnya
yang sangat ramah, baik hati dan tampan mirip artis Korea. Kini pria yang sangat dipuja-puja ibunya itu berdiri di hadapannya.
Pria bernama Langit itu tersenyum padanya. Senyuman yang manis dan menyejukan hati persis seperti apa
yang diceritakan ibu Lintang.
"Aku rekan kerja ibumu. Jika kamu butuh bantuan atau dalam kesulitan hubungi aku. Aku pasti membantu sebisaku," kata Langit sambil tersenyum.
"Terima kasih," jawab Lintang lirih.
Langit tersungging dan menepuk-nepuk punggung Lintang. Pria itu kemudian membalikkan badan lalu
meninggalkan Lintang. Lintang memasukkan kartu nama itu ke dalam saku bajunya dan diam. Dia lalu meninggalkan makam, tempat peristirahatan terakhir ibunya. Seluruh kehidupannya berubah hari itu. namun Lintang tak mengetahui betapa bergunanya kartu nama yang diterimanya hari itu nanti.
***
Mobil Lamborghini yang dikendarai Langit berhenti di depan sebuah rumah mewah dengan dua lantai yang ada di kawasan Citraland, kawasan elit di kota Surabaya. Langit turun dari mobil setelah memarkir mobilnya di halaman rumah. Dia melangkah memasuki rumahnya.
Hatinya masih terkoyak setelah berziarah tadi. Saat membuka pintu perasaan hancur lebih dalam lagi saat melihat betapa mengerikannya pemandangan di dalam rumah.
Rumahnya sangat berantakan, segala macam benda berserakan di mana-mana dari mulai dari mainan anak-anak sampai celana dalam pria yang entah punya siapa bisa ada di ruang tamu.
"Sepertinya memang harus menyewa pembantu," keluh Langit frustrasi.
"AYAH!"
Terdengar teriakan riang anak kecil. Seorang bocah berusia lima tahun berlari menghampirinya dan memeluk kakinya. Langit tersenyum lalu mengangkat anak kesayangannya itu tinggi-tinggi.
"Anak Ayah! Ngapain aja tadi di sekolah?" tanya Langit.
"Bikin oligami bentuk bulung bangau, telus main petak umpet, telus makan bekal, telus...." Bocah kecil nan imut itu pun terus bercerita tanpa henti.
Langit mencium pipi putranya yang bernama Chandra yang akrab disapa Chan-chan itu dengan gemas lalu melempar-lemparkannya ke udara sembari menuju ruang tengah. Chan-chan berteriak girang.
"Oh, sudah pulang?"
Munculah seorang wanita cantik nan seksi dari lantai dua. Wanita itu kakak Langit yang berusia kira-kira dua tahun lebih tua dari Langit, namanya aslinya Awan tapi dia lebih senang di panggil Yuna, karena merasa dirinya mirip dengan Yoona SNSD.
"Iya," jawab Langit. "Ayah mana?"
"Kayaknya di Rooftop lagi berkebun," sahut Awan, dia menghampiri lemari es di dapur lalu mengambil segelas air putih dan meneguknya.
"Guntur?"
"Bocah tengik itu belum pulang. Ada apa nih kok ngabsen?" tanya Awan yang sangat mengerti jalan pikiran adiknya itu.
"Hm ... ada hal penting yang mau kubicarakan," kata Langit sambil menurunkan Chan-chan dan meletakannya di atas sofa di ruang tengah.
Awan menghampirinya di ruang tengah sembari membawa segelas air putih dan meneguknya sendiri. "Soal apa?"
Langit diam sejenak sebelum meneruskan kalimatnya kemudian bertanya pada Chan-chan, "Chan-chan, mau gak kalau punya saudara baru?"
"Saudala balu? Adik?" tanya Chan-chan dengan mata yang berbinar-binar antusias.
"Bukan, tapi Kakak. Umurnya lebih tua tiga belas tahun dari Chan-chan."
"HOLE!" seru Chan-chan riang gembira.
"Eh ... mau ngangkat anak lagi?" Awan agak terkejut.
Langit tersenyum simpul. "Rumah ini terlalu sepi karena gak ada ceweknya, kan?"
"Bicara apa kamu, lalu aku ini apa?" Awan memasang pose seksi.
"Kamu sih gak masuk hitungan."
Awan melemparkan bantal terdekat yang ada di atas sofa ke wajah Langit. Langit tertawa dan balas melempar bantal pada Awan. Chan-chan pun bergabung pada perang bantal yang berlanjut dengan sengit itu.
Langit melempar bantal dengan sekuat tenaga pada Awan. Awan menghindar dengan cepat, alhasil bantal yang dilempar Langit mendarat tepat di wajah Surya, ayahnya. Pria berusia tujuh puluh tahun itu baru saja turun dari lantai dua.
"Wa ... maaf, Ayah!" Langit terkesiap.
Surya memegang bantal itu dan memandang kedua anak serta cucunya itu dengan tatapan garang seperti setan. "Kalian! Rasakan pembalasanku!"
Surya melempar bantal itu pada Langit. Keempat orang itu pun terlibat dalam perang bantal yang sangat seru. Mereka saling melempar bantal dan bergembira. Hal-hal sederhana akan terasa istimewa jika dilewatkan bersama keluarga.
Di luar rumah seorang pemuda berseragam SMA yang baru saja pulang dari sekolah. Pemuda dengan wajah mirip Nam Joo Hyuk itu mengintip dari ruang tamu. Dia mengurungkan niatnya masuk saat melihat empat orang itu tengah bergembira di sana.
"Dasar orang-orang bodoh," gumamnya pelan lalu melangkah pergi. Dia tak ingin bergabung dengan sekumpulan orang aneh yang berada di dalam rumah itu.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!