"Kak Max ... Kak Leon ... cepet turun sarapan udah siap," teriak Sheila dari meja makan pada kedua kakak sepupunya yg masih berada di kamar.
"Mereka belum juga turun nak?" tanya Jefri, sang paman, yang berjalan dari arah kamarnya menghampiri Sheila dan Sarah, istrinya, yang sedang menata sarapan pagi di meja makan.
"Belum Ayah."
"Biasalah, kedua anak itu pasti tidur lagi setelah sholat subuh, semalam mereka pulang larut karena lembur katanya," jawab Sarah setelah duduk di samping suaminya.
"Bunda suka suudzon deh, cuma telat dikit juga," sahut Max sembari menuruni tangga.
"Iya nih Bun, lagian kalo kami tidur lagi abis sholat pasti diguyur air tuh sama anak kesayangan Bunda," Leon menimpali dari belakang Max.
"Ya iyalah diguyur air, udah tau mau berangkat kerja pagi, masak habis sholat malah tidur lagi," sewot Sheila.
"Yah dia yang nyolot, kita yang telat dia yang marah, emang situ bos kita?" Max duduk di meja makan bersisian dengan Leon dan Sheila.
"Kalo kakak telat kan aku juga ikutan telat ke kampusnya kak, gimana sih," rajuk Sheila.
"Yee dasar maunya untung sendiri," cibir Leon.
"Lah kok untung sendiri, kan kakak juga jadi nggak telat ke kantornya."
"Sama aja Maemunah, kamu yang untung karena kita nggak telat nganterin kamu ke kampus," Max berucap sambil mengacak-acak rambut Sheila.
"Kak Max iihhh, tuh kan jadi berantakan lagi."
"Habis guumuussshhh banget sama kamu, pinter banget cari alesannya," Max menjawab sambil mencubit pipi Sheila membuat sang adik memberengut kesal.
"Kak Leon nih kak Max jailin aku," adunya pada Leon.
"Idih ngadu, minta pertolongan nih ceritanya neng," Max masih belum puas menjahili adiknya.
"Iihhh kakak mah, besok nggak aku bangunin lagi deh, biarin aja telat, aku juga bisa berangkat sendiri," kesal Sheila.
"Hellow, kita ini bos-nya sayang, jadi telat juga nggak bakalan ada yang marahin."
"Ayah tuh yang bakal marahin kakak kalo kakak nggak bener kerjanya."
Max seketika diam lalu melotot tajam pada Sheila yang justru dibalas Sheila dengan menjulurkan lidahnya. Leon yang memang sedikit pendiam hanya bisa senyum-senyum mendengar perdebatan Max dan Sheila yang terjadi setiap hari setiap saat dan setiap waktu, begitu juga dengan Jefri dan Sarah.
"Udah-udah, kalian ini ya kalo lagi ngumpul ada aja bahan buat berantem, tapi kalo nggak ada kangen, nyariin," lerai Sarah menengahi perdebatan mereka.
"Udah cepet habisin sarapannya, setelah itu kalian berangkat, nanti telat ribut lagi," kata pamungkas dari Jefri, semua lalu diam dan menghabiskan sarapan masing-masing.
Sheila adalah putri dari adik Jefri, Jason dan istrinya Miranda. Setelah kecelakaan yang menewaskan Jason dan Miranda ketika Sheila berusia 10 tahun, Jefri dan Sarah mengasuh dan membesarkan Sheila bersama dengan kedua putra mereka, Max dan Leon.
Sudah 11 tahun berlalu, Sheila sekarang sudah kuliah, mengambil jurusan manajemen bisnis. Sedangkan Max yang berusia 27 tahun dan Leon yang berusia 24 tahun sudah bekerja di perusahaan membantu Jefri ayah mereka. Meski bukan anak kandung tapi Jefri dan Sarah menyayangi Sheila seperti putri mereka sendiri, karena memang Sarah sangat menginginkan anak perempuan. Max dan Leon juga sangat menyayangi dan melindungi adik mereka itu.
Selesai sarapan Max, Leon dan Sheila lalu berpamitan kepada kedua orang tuanya untuk berangkat, Max dan Leon lebih dulu mengantar Sheila ke kampus sebelum akhirnya menuju ke kantornya.
Siang hari selesai kuliah Sheila dan ketiga sahabatnya, Dyah, Lusia dan Tya, pergi ke toko buku untuk mencari referensi tugas kuliah mereka. Setelah mendapatkan buku yang mereka cari mereka memutuskan untuk mampir sejenak di kafe dekat toko buku sambil ngobrol dan membahas tugas kuliah mereka.
"Tya, elo aja ya yang ngetik tugasnya, gue males nih," Lusia berkata setelah menyeruput milkshake strawberry-nya.
"Emang kapan Lo pernah nggak males ngetik Lus? Alesan aja Lo, biasanya juga emang gue kalo nggak Sheila yang ngerjain tugas kayak gini," sahut Tya malas.
"Hehe, tau aja Lo Ya, Lo emang paling tau deh isi hati gue."
Tya memutar bola matanya malas, membuat Sheila, Lusia dan Dyah cekikikan.
"Guys aku ke toilet bentar ya, gak tahan nih," pamit Sheila. Dia lalu berdiri dan menuju ke toilet setelah ketiga sahabatnya menganggukkan kepala.
Saat kembali dari toilet dan hendak menghampiri meja sahabat-sahabatnya tidak sengaja kaki Sheila tersandung kaki kursi karena terburu-buru dan menabrak laki-laki di depannya. Refleks laki-laki itu menangkap Sheila dalam dekapannya, membuat wanita di sebelah laki-laki itu menatap marah pada Sheila.
"Aaahh,,, maaf maaf saya tidak sengaja," Sheila buru-buru melepaskan diri dari dekapan laki-laki itu.
"Apa-apaan Lo, Lo sengaja ya mau godain cowok gue?" seru wanita itu emosi.
"Maaf mbak, tapi saya beneran nggak sengaja, tadi kaki saya kesandung," elak Sheila sambil menyatukan kedua tangannya di dada.
"Alah alesan aja Lo, gue yakin Lo pasti sengaja kan pura-pura jatoh biar bisa godain cowok gue."
Ketiga sahabat Sheila dan pengunjung kafe yang lain mulai melihat kearah mereka. Dyah, Lusia dan Tya segera mendekati Sheila.
"Sayang udah dong jangan marah-marah, dia nggak sengaja, kan udah minta maaf juga," cowok itu berusaha menenangkan ceweknya sambil memegang kedua pundaknya.
"Nggak bisa, dia pasti sengaja Yank, modus kayak yang dia pake ini udah sering aku liat. Dasar cewek murahan," umpat cewek itu lagi.
"Nila, udah dong sayang. Gak enak dilihatin pengunjung yang lain."
"Eh mbak, biasa aja dong jangan nge-gas, temen kita kan beneran nggak sengaja, dia juga udah minta maaf, kok situ malah nyolot sih," bela Lusia tidak terima.
"Lus udah, aku yang salah," Sheila coba menenangkan sahabatnya.
"Eh apaan Lo ikut campur, nggak sopan tau nggak, nggak usah sok jadi pahlawan ya Lo," Nila makin emosi.
"Udah mbak udah, sekali lagi saya minta maaf, saya beneran nggak sengaja, dan tolong maafkan teman saya juga kalo dia tidak sopan. Mas sekali lagi maaf ya, dan terima kasih udah nolongin saya jadi saya nggak jatoh," Sheila mencoba menengahi. "Kalo gitu kami semua permisi dulu, sekali lagi maaf ya," ucap Sheila kemudian mengajak sahabat-sahabatnya pergi dari sana.
"Hei, urusan kita belum selesai ya," Nila masih mencoba menghalangi.
"Udah sayang, biarin mereka pergi, jangan diperpanjang lagi. Ayo kita duduk."
Di dalam mobil Tya, mereka sedang dalam perjalanan pulang.
"Dasar cewek gila, cantik-cantik kok galaknya ngalahin macan," sungut Lusia masih kesal.
"Udah dong Lus, kan aku juga yang salah," Sheila yang duduk di depan bersama Tya menyahuti.
"Ya tapi kan Lo juga udah minta maaf Shei, dia nggak perlu nyolot gitu kan," Dyah yang duduk di samping Lusia ikut emosi.
"Udah-udah nggak usah dibahas lagi daripada bikin emosi," Tya menanggapi.
Mereka pun tidak membahas masalah itu lagi. Tya lalu mengantar ketiga sahabatnya pulang ke rumah mereka masing-masing, sebelum akhirnya dirinya pulang ke rumahnya sendiri.
Suasana sarapan pagi ini agak sedikit berbeda dirasakan Sheila, kenapa semuanya diam, sepertinya ada sesuatu hal yang terjadi. Bahkan Max yang biasanya jail pun jadi pendiam.
"Ayah, Bunda, hari ini Sheila ijin mau ziarah ke makam Ayah Jason sama Bunda Miranda ya," Sheila membuka percakapan, meminta ijin kepada paman dan bibinya yang selama ini meminta untuk dipanggil ayah dan bunda juga.
"Iya sayang, mau sendiri apa ditemenin, mumpung weekend kakakmu pada libur?" tanya Sarah.
"Sheila sendiri aja Bun, nggak pa-pa kok."
"Ya udah, tapi kamu hati-hati ya," pesan Jefri.
"Iya Ayah."
Selesai sarapan Sheila bergegas pergi ke makam kedua orang tuanya. Sementara Jefri, Sarah, Max, dan Leon berkumpul di ruang keluarga.
"Kenapa harus begini sih Yah, kasihan Sheila, kuliahnya juga belum lulus," ucap Max sedikit frustasi.
"Sesuai kata Ayah semalam, keputusan tetap ada di tangan Sheila. Ayah sebenarnya juga menyayangkan hal ini, tapi mau bagaimana lagi, jika ini memang keinginan terakhir mendiang pamanmu Jason, Ayah bisa apa."
Flashback on
Jefri, Sarah, Max, dan Leon sedang berkumpul di ruang kerja Jefri.
"Ada yang ingin Ayah bicarakan dengan kalian semua. Sarah kamu masih ingat dengan Ricko, sahabat baik Jason dulu?" kata Jefri membuka percakapan.
"Ricko ... Ricko Setyo Aji ya Yah, yang temen kuliah Jason dulu itu?" tanya Sarah setelah berusaha mengingat.
"Iya. Tadi siang Ricko datang ke kantor Ayah, dia bilang dia sudah lama mencari kita, dan baru tahu kalau ternyata kita pindah ke kota ini, bersama Sheila juga."
"Dia melamar Sheila untuk Steven putranya."
"Apa???" setengah berteriak ketiga orang yang mendengar hal tersebut menanggapi.
"Dia bilang ini adalah keinginan terakhir Jason yang diamanatkan padanya, menjodohkan Sheila dengan Steven. Dulu sebelum kecelakaan itu terjadi, Jason memang pernah bercerita pada Ayah kalau dia ingin menjodohkan Sheila dengan putra Ricko, dia ingin persahabatan mereka menjadi sebuah hubungan kekeluargaan, dan dia juga menganggap kalau Steven adalah jodoh yang tepat untuk Sheila."
"Ayah dulu tidak menanggapi serius ucapan Jason, dan hanya berkata kalau Sheila masih terlalu kecil, biarkan nanti takdir yang menentukan saja. Tapi tidak ayah sangka kalau ternyata Jason serius dengan ucapannya, bahkan Ricko pun juga menyetujui hal tersebut."
"Apa Ayah menerima lamaran Ricko untuk putranya itu?" tanya Sarah.
"Awalnya Ayah menolak, tapi Ricko meyakinkan Ayah kalau dia bersungguh-sungguh, dan dia juga bilang kalau mungkin ini adalah hal terakhir yang bisa dia lakukan untuk sahabat baiknya. Dia ingin mewujudkan keinginan terakhir sahabatnya. Dia ingin bisa menjaga dan melindungi Sheila. Dia juga meyakinkan Ayah kalau dia akan selalu membuat Sheila bahagia."
"Tapi Yah, Sheila punya hak untuk menentukan kehidupan dia sendiri," Leon angkat bicara.
"Kenapa juga harus pake acara jodoh-jodohan segala sih Yah, emangnya anak Om Ricko itu mau dijodohin sama Sheila? Dan kalaupun dia mau, emangnya Sheila juga mau dijodohin kayak gini?" protes Max.
"Iya Yah, kita kan nggak bisa maksa Sheila Yah."
"Justru itu Bun, awalnya Ayah juga menolak seperti kalian ini. Tapi Ricko meyakinkan Ayah kalau putranya itu sudah menyetujui perjodohan ini. Dia juga meminta kesempatan untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Sheila, dia bilang biar Sheila sendiri yang memutuskan dan dia akan menerima apapun keputusan Sheila nantinya. Dan Ayah sudah setuju dengan usul Ricko, jadi Ayah harap kalian semua bisa menghargai keinginan terakhir Jason ini, biarkan Sheila yang memutuskan sendiri."
Flashback off
...
"Assalamu'alaikum, Sheila pulang ..."
"Wa'alaikumsalam," jawab semua bersamaan.
"Eh, maaf Sheila nggak tahu kalau lagi ada tamu," ucap Sheila sungkan.
"Nggak apa-apa sayang. Sini nak duduk deket Bunda," kata Sarah.
Sheila lalu duduk di samping Bunda nya. Di hadapan Sheila ada dua orang laki-laki, seorang pria paruh baya dan ... heuh, Sheila merasa kenal dengan laki-laki muda itu.
"Loh, Mas yang di kafe kemarin kan? Apa ada masalah lagi Mas, kenapa Mas dateng ke rumah Sheila?" tanyanya sedikit bingung.
"Kalian sudah pernah bertemu?" Ricko, Jefri, dan Sarah bertanya hampir bersamaan.
"Iya, kemarin ..."
"Kemarin kami tidak sengaja bertemu di kafe," potong Steven cepat.
"Heu ..." Sheila merasa ada yang ingin ditutupi lelaki ini dari pertemuan mereka kemarin. Tapi Sheila tidak ingin ambil pusing dan memilih diam saja.
"Wah, ternyata kalau memang sudah jodoh itu pasti ada saja ya jalannya," kata Ricko sambil tersenyum.
Sheila semakin bingung, "Maksudnya?"
"Sheila ini om Ricko, sahabat baik mendiang ayah Jason, dan putranya Steven," Jefri memperkenalkan kedua tamunya.
"Oh ya, salam kenal om, dan juga ... Steven," sapa Sheila sedikit sungkan.
"Jadi Sheila, langsung saja ya, tujuan Om kemari Om ingin melamar kamu untuk putra Om, Steven," kata Ricko to the point.
"Apa???"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!