Hai hai readersku.....
Ini adalah novel ketiga yang aku tulis ya (novel pertamaku berjudul Unperfect Couple ada di aplikasi ******** karena tdk lulus sensor di mangatoon/noveltoon 😁 novel keduaku berjudul You&Me ada di aplikasi mangatoon/noveltoon ya readers. Bagi yg penasaran dgn novelku yang sebelumnya, silahkan langsung di baca aja 😘), dan kali ini aku ingin menulis cerita dengan genre horor. Jadi, mohon dukungannya ya :). Oh ya...beberapa cerita di dalam novel ini ada yang berdasarkan kisah nyata author loh :D. Latar tempat dalam cerita ini hanya fiktif belaka alias karangan author aja, karena author nggak mau mengekspos suatu tempat. Hehehe mohon dimaklumi ya 😊😊😊
Selamat membaca readersku 😘😘😘
Namaku Andrea Larasati, biasa dipanggil Rea atau Laras. Aku anak bungsu dari empat bersaudara. Sekarang usiaku sudah 27 tahun dan bekerja di salah satu hotel non bintang di Kota Jatirimbun sebagai Manajer Marketing.
Jarak usia antara aku dan saudara-saudaraku sangatlah jauh, sehingga membuatku lebih dekat dengan sepupu-sepupuku.
Aku bukanlah anak yang memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal tak kasat mata. Tetapi walaupun begitu, aku tetap mampu merasakan keberadaan mereka di sekitarku.
Orangtuaku pernah becerita jika kakekku dulu adalah seorang yang memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal yang tak kasat mata. Maka dari itu, jika salah satu diantara aku atau saudara-saudaraku ada yang mampu melihat mereka yang tak terlihat merupakan hal yang sangat wajar. Tetapi, diantara kami berempat tak ada yang mewarisi kemampuan dari kakek kami tersebut.
Ayahku merupakan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sering dipindahtugaskan ke luar daerah. Oleh sebab itu, aku dan kakak ketigaku dilahirkan tidak di daerah asal orang tuaku.
Asal orangtuaku yaitu dari Desa Tegal Angker, merupakan suatu desa yang berada di Kecamatan Tegal Indah. Dari namanya saja desa tersebut sudah cukup menyeramkan bukan??? tetapi jika sudah menjadi penduduk di sana tidak akan begitu menyeramkan. Ya meskipun saat malam tiba, suasana menyeramkan memang selalu terasa.
Saat kakak ketigaku dan aku lahir, ayahku sedang bertugas di Kota Jatirimbun sehingga membuatnya menjadi tempat kelahiranku dan kakak ketigaku.
Pertama kali aku dibawa pulang ke daerah asal orangtuaku adalah ketika aku berumur 4 tahun. Saat itu aku masih sangat kecil, tetapi sudah bisa mengingat hal-hal yang menurutku menyenangkan dan tidak.
Saat itu aku merasa sangat takjub dengan Desa Tegal Angker, karena desa tersebut sangat asri dengan pepohonan masih sangat rindang. Udara yang sangat sejuk dan bersih tentu sangat enak bagi kulit dan paru-paruku.
Aku dan orangtuaku sampai di Desa Tegal Angker pukul 16.00, jadi suasana masih terang namun kabut sudah mulai turun menyapa desa tersebut. Aku sangat senang ketika pertama kali diajak ke kampung halaman orangtuaku. Entah apa yang membuatku senang, sampai sekarang aku pun tak paham.
Semua keluarga ayahku menyambut kedatangan kami dengan hangat. Bahkan salah satu diantara mereka ada yang dengan gemas langsung menggendongku dan mengajakku jalan-jalan di sekitaran rumah ayah serta pamanku.
Di depan rumah tersebut terdapat dua buah pohon beringin yang sangat besar dan rimbun. Entah apa yang membuatku saat itu sangat tertarik dengan kedua pohon beringin itu. Aku dapat merasakan sesuatu yang sangat besar ada di pohon beringin itu. Namun, aku tak dapat melihatnya.
Aku ingat betul pertanyaanku saat itu pada Tante Nilam yang menggendongku.
"Tante, pohon beringinnya besar sekali ya" ucapku takjub.
"Iya Re, tapi kamu jangan takut ya soalnya penghuni di pohon itu baik kok" sahut tanteku saat itu.
"Iya, tapi kok tante tahu???" ujarku polos.
"Kan tante udah lama di sini, nanti kalau Rea udah lama tinggal di sini juga pasti tahu" jawab tante. Aku hanya terdiam karena saat itu tak mengerti maksud dari kata-kata tanteku.
Aku memang anak yang cerewet, bahkan di umur 4 tahun bicaraku tidaklah tersendat-sendat sebagaimana anak kecil pada umumnya. Ibuku saja terheran-heran dengan kemampuan bicaraku saat kecil dulu.
Saat itu, orangtuaku juga membawaku ke keluarga ibuku untuk berkenalan. Disanalah aku bertemu dengan 3 sepupuku yang semuanya adalah perempuan serta hampir seumuran denganku. Kami berkenalan dan dengan mudah menjadi akrab. Yani, Tika, dan Yuni, itulah nama ketiga sepupuku yang diajak berkenalan denganku.
Suatu siang, ketika aku dan ketiga sepupuku sedang bermain di rumah mereka, aku merasakan angin yang sangat besar berhembus menerpa kami bertiga. Kami yang saat itu masih kecil tentu tak peduli dengan hal tersebut. Sampai akhirnya, saat malam tiba sepupuku Yani tiba-tiba jatuh sakit.
Aku yang keesokan harinya baru bisa bermain ke rumah mereka, tentu sangat penasaran dengan sakit Yani yang tiba-tiba, mengingat diantara mereka bertiga aku memang paling dekat dengan Yani.
"Bi...Yani sakit apa??? kemarin kan masih bisa main" ucapku.
"Yani lagi demam tinggi Re, jadi hari ini Rea main sama Tika dan Yuni aja ya biar nggak ikutan sakit" ujar Bibi Mala, ibu dari ketiga sepupuku.
"Tapi Rea mau lihat Yani dulu bi" pintaku memelas.
Bi Mala pun membawaku ke kamar Yani untuk menjenguknya.
"Yani kamu sakit apa??? cepet sembuh ya biar kita bisa main lagi" ucapku polos.
"Aku sakit gara-gara kena angin kemarin Re, kamu jangan sampai kena angin kayak aku kemarin ya" ucap Yani lemah.
"Iya" jawabku lalu meninggalkan kamar Yani.
Seluruh keluargaku baik dari pihak ibu ataupun ayahku memang sangat mempercayai hal-hal yang berbau mistis. Bahkan seluruh warga desa di kampung halaman orangtuaku juga sangat percaya dengan hal-hal tersebut.
Sudah 3 malam lamanya aku dan orangtuaku menghabiskan waktu di kampung halaman mereka. Keesokan harinya kami bertiga kembali ke Kota Jatirimbun karena ayahku harus bekerja.
Tentu saat itu aku sangat sedih karena harus berpisah dengan ketiga sepupuku. Namun, apa boleh buat aku yang saat itu masih kecil tentu hanya mengikuti perintah orangtua saja.
Butuh 3 jam perjalanan untuk sampai ke Kota Jatirimbun dari kampung halaman orangtuaku. Selama perjalanan pulang aku sudah merasa tak enak dengan tubuhku.
Sesampainya di rumah orangtuaku di Kota Jatirimbun, aku langsung muntah-muntah sehingga membuat ibuku sangat khawatir. Beliau langsung menempelkan punggung tangannya di dahiku.
"Astaga Rea...badan kamu panas sekali. Pak ayo kita segera bawa Rea ke dokter!" perintah ibuku.
Ayahku pun panik mendengar perintah ibu dan langsung mengambil sepeda motor untuk membawaku ke dokter anak langganan orangtuaku. Waktu kecil aku bisa dibilang sering sakit, maka dari itu aku sampai memiliki dokter langganan sendiri.
Saat itu dokter memberiku puyer dan sirup agar demamku segera turun. Setelah dari dokter, ibuku memasak bubur untukku kemudian menyuapiku dan meminumkan obat.
Setelah minum obat, aku langsung terlelap meskipun masih dengan perasaan tidak nyaman karena demam. Malam itu kuperkirakan aku terbangun saat tengah malam, aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling kamarku. Ku lihat ibuku tidur di sebelah kananku sambil menghadapku dan ayahku berada di sebelah kiriku menghadap tembok. Kondisi kamar juga gelap karena aku dan orangtuaku selalu tidur dengan keadaan gelap.
Tiba-tiba pandanganku terkunci pada ujung tempat tidurku, kulihat sesosok makhluk hitam seukuran orang dewasa tengah menatapku dengan mata merahnya. Tentu aku sangat ketakutan saat itu. Keringat dingin bercucuran dari dahiku, aku tak berani mengucap apapun. Hanya tangisan yang mampu keluar dari bibirku, sehingga membuat ibuku terbangun dan langsung menempelkan punggung tangannya lagi di dahiku.
"Yang mana sakit Re???" tanya ibuku.
Aku tak mampu menjawab pertanyaan ibuku saat itu karena sangat ketakutan. Ibuku menenangkanku dengan cara membawaku dalam pelukannya. Kulirik lagi ujung tempat tidurku dan sosok itu sudah hilang.
Rumah orangtuaku di Kota Jatirimbun tidaklah besar, tetapi juga tidak kecil, karena rumah tersebut mampu menampung keluargaku yang berjumlah 6 orang. Rumah tersebut memiliki 4 kamar tidur, 1 ruang makan, 1 ruang tamu yang sekaligus juga merupakan ruang keluarga untuk menonton tv, 1 kamar mandi, 1 dapur, 1 halaman depan, dan 1 halaman belakang.
Rumah itu dikontrak oleh ayah dari temannya, jadi dengan kata lain rumah itu adalah milik teman ayah. Tidak hanya rumah yang kami tinggali, tetapi rumah yang ada di sebelah rumahku juga merupakan milik teman ayah. Teman ayah memberikan harga yang sangat murah pada ayah, mengingat pertemanan mereka yang sudah terjalin dari ayah masih bujang dulu.
Sedari pagi rumahku sudah disibukkan dengan kegiatan bersih-bersih, kemudian akan dilanjutkan dengan acara sembahyang bersama orangtuaku serta kakak-kakakku. Hal itu biasa kami lakukan setiap hari raya tiba.
Aku yang saat itu masih duduk di kelas 5 SD tentu merasa sangat malas harus bangun pagi di hari libur. Dengan sabar, ibuku membangunkanku untuk segera membersihkan diri.
"Re bangun, sebentar lagi kita mau sembahyang bersama loh" ucap ibuku lembut.
"Heeemmmm, iya bu 10 menit lagi" jawabku masih dengan mata terpejam.
"Ayo dong jangan malas Re, semua kakak kamu sudah bangun. Mending kamu cepetan mandi deh!" perintah ibuku tegas.
Dengan malas akupun bangun dari tempat tidurku menuju kamar mandi.
Tetapi sesampainya aku di depan kamar mandi, kakak ketigaku dengan jahilnya masuk lebih dulu karena ingin buang air kecil. Aku yang masih mengantuk pun hanya mengiyakan permintaannya dan dengan sabar menunggunya selesai buang air kecil.
Setelah selesai mandi aku bergegas mengenakan pakaianku agar bisa ikut sembahyang bersama, ya walaupun sebenarnya keluargaku juga menungguku. Selesai dengan pakaianku, kami semua akhirnya melaksanakan sembahyang bersama.
Pukul 11.30 kami sekeluarga sudah selesai melakukan sembahyang bersama, dan sedang bersantai bersama di ruang keluarga yang sekaligus menjadi ruang tamu. Karena merasa kelelahan akibat kesibukan yang sudah dilakukan sedari pagi, orangtua dan kakak-kakakku tidur siang di kamar masing-masing. Sementara aku masih menonton tv sendiri di ruang keluarga.
Saat tengah asyik menonton tv, tanpa sengaja aku melihat seseorang berbaju putih berjalan menuju kamar kakak ketigaku. Tentu hal itu berhasil membuatku menghentikan kegiatan menonton tv. Penasaran dengan siapa orang yang masuk ke dalam kamar kakakku, aku mendatangai kamar kakakku kemudian membuka pintunya.
Kulihat hanya ada kakak ketigaku yang sedang terlelap di atas tempat tidurnya tanpa ada seorang pun selain dia. Akupun berpikir mungkin aku salah melihat jika ada seseorang yang memasuki kamar kakak ketigaku.
Dengan santai aku kembali ke ruang keluarga untuk menonton tv lagi. Berhubung acara tv yang aku tonton saat itu adalah acara favoritku. Beberapa menit kemudian, orang berbaju putih itu kembali lagi terlihat olehku memasuki kamar kakak ketigaku. Tentu kali ini aku merasa tidak salah melihat, sehingga bergegas mendatangi kamar kakakku lagi.
Aku membuka pintu kamar kakak ketigaku dengan kasar sehingga membuatnya terlonjak kaget. Lagi-lagi hanya kakak ketigaku saja yang kudapati di kamar itu.
"Astaga dik, kamu kenapa sih kok buka pintunya keras gitu?" tanya kakak ketigaku kesal dengan wajah yang masih kaget.
"Eeehhmm tadi aku lihat ada orang yang masuk ke kamar kakak, makanya aku cepat-cepat kesini" jawabku menjelaskan.
"Mungkin kamu salah lihat dik, buktinya tidak ada siapa-siapa di sini" sahut kakakku masih kesal.
"Tapi aku sudah melihatnya dua kali kak, tadi aku juga datang ke kamar kakak dan tidak melihat siapapun di sini selain kakak" ucapku membela diri.
"Ya mungkin yang kamu lihat penunggu rumah ini, makanya jangan nonton sendirian" ujar kakakku menakut-nakuti.
"Yang penting kan aku tidak takut kak" sahutku kemudian berlalu meninggalkan kamar kakakku.
Aku tak terlalu mempedulikan apa yang kulihat saat itu sehingga dengan santai aku kembali fokus menonton tv. Begitupula kakak ketigaku yang kembali tidur setelah kekagetannya karena ulahku.
Namun, lagi-lagi kejadian yang sama terjadi kembali. Akhirnya aku kesal sendiri dan mulai bicara.
"Oh ayolah siapapun kamu jangan hilang muncul terus dong, kan aku lagi nonton ini" ucapku mengeluh. Sunyi tak ada sahutan sama sekali, sehingga membuatku kembali fokus menonton.
Tiba-tiba bulu kudukku meremang, sehingga membuatku mau tidak mau menolehkan kepalaku ke belakang. Kulihat sesosok kakek-kakek sedang tersenyum ambil menatapku. Aku tidak merasakan ketakutan sama sekali, melainkan aku merasa biasa saja seolah kakek-kakek itu adalah manusia biasa.
Padahal aku tahu jika kakek itu pasti bukan manusia. Lama aku saling bertatapan dengan sosok kakek-kakek itu sampai akhirnya ibuku terbangun dari tidurnya.
"Kamu ngapain Re kok tegang gitu lihatin sofa kosong?" tanya ibuku heran.
"Itu bu ada kakek-kakek yang lagi senyum lihatin Rea" jawabku jujur sehingga membuat ibuku mengerutkan alisnya.
"Mana Re? itu sofanya kosong kok" sahut ibuku.
"Itu bu, kakeknya masih ada di sofa itu lihatin Rea" ucapku bersikeras sambil menunjuk sofa yang dibilang kosong oleh ibuku.
"Kamu jangan aneh-aneh deh Re" ujar ibuku tidak percaya kemudian berjalan ke ruang makan untuk mengambil air.
Sosok kakek itu menghilang bersamaan dengan perginya ibuku ke ruang makan. Aku bukannya tercengang, tetapi malah terheran-heran dengan sosok kakek itu, karena rasanya wajahnya sangat tidak asing bagiku.
Iseng-iseng aku membuka album foto lama yang dimiliki oleh orangtuaku. Kulihat ada seorang kakek yang wajahnya sama dengan sosok kakek yang menatapku. Kuambil foto itu dan menunjukkannya pada ibuku yang sedang berada di dapur.
"Bu ini loh kakek yang Rea lihat tadi" ucapku sambil menunjukkan selembar foto pada ibuku.
"Kamu yakin lihat kakek ini Re?" tanya ibuku memastikan.
"Iya bu Rea yakin karena wajahnya sama" jawabku yakin.
"Astaga Re ini kakaknya kakek kamu yang sudah lama meninggal. Kamu tidak bohong kan Re?" ujar ibuku.
"Rea tidak bohong bu. Kakek itu lihatin Rea sambil senyum makanya Rea heran jadi ikutan lihatin kakeknya" sahutku apa adanya.
"Ya sudah, mungkin kakeknya lagi kangen sama cucunya, makanya datang berkunjung di hari raya begini. Tapi kamu tidak takut kan Re?" ucap ibuku memastikan.
"Tidak bu Rea merasa biasa saja dilihat oleh kakek itu sambil tersenyum. Rea senang kalau kakek itu datang berkunjung soalnya Rea kan tidak pernah merasakan kasih sayang dari kakek" jawabku polos.
Sedari kecil aku memang tidak pernah merasakan kasih sayang dari kakek dan nenekku, karena mereka semua sudah meninggal. Nenekku meninggal saat aku belum dilahirkan, sedangkan kakekku meninggal saat usiaku masih 2 tahun. Jadi, dapat dikatakan bahwa saat kecil dulu aku sangat ingin merasakan kasih sayang kakek dan nenek, karena melihat teman-temanku sangat disayang oleh kakek dan nenek mereka.
Hari ini kakak ketigaku menjemputku di sekolah. Tentu dengan senang hati aku langsung menaiki motor bebek kesayangannya itu. Sepanjang perjalanan kakak ketigaku terlihat tengah memikirkan sesuatu, tetapi aku tak ingin menghiaraukannya karena kupikir mungkin itu adalah urusan orang dewasa.
Sesampainya di rumah, aku langsung meletakkan tasku di atas meja belajar dan langsung mengganti baju seragamku. Sedangkan kakakku bergegas menemui ibuku di dapur. Aku sedikit heran dengan tingkah kakakku yang seperti itu, karena biasanya dia adalah orang yang santai dan tidak pernah buru-buru seperti itu.
Selesai mengganti pakaian dan membersihkan tangan serta kakiku, aku pergi ke dapur untuk makan siang. Ya memang sudah menjadi kebiasaanku jika sepulang sekolah harus ganti baju, cuci tangan dan kaki terlebih dahulu, baru makan. Ketika di dapur tanpa sengaja aku mendengar percakapan kakak ketigaku dengan ibuku.
Penasaran dengan percakapan mereka, aku pun ikut mendengarkan dengan lebih seksama lagi sambil memakan makan siangku.
"Bu semalam Vian dengar suara gerobak berjalan melewati rumah kita loh" ucap kakak ketigaku serius.
"Ya mungkin ada pemulung yang lagi cari rongsokan" tanggap ibuku santai.
"Nggak mungkin bu, memang ada pemulung cari rongsokan tengah malam?" bantah kakak ketigaku.
"Mungkin kamu salah dengar Vian" sahut ibuku masih tak percaya.
"Awalnya Vian mikir gitu juga bu, tapi suaranya terus terdengar sampai tiga kali" ucap kakak ketigaku meyakinkan.
"Lalu setelah kamu dengar sebanyak tiga kali, apa yang terjadi???" tanya ibuku yang kini mulai penasaran.
"Suaranya hilang bu, sebenarnya Vian berniat ngintip lewat jendela, tapi takut nanti yang kelihatan malah seram" jawab kakak ketigaku sambil bergidik mengingat hal yang di dengarnya semalam.
Aku yang setia mendengar obrolan ibu dan kakak ketigaku hanya terdiam sambil menikmati makan siangku.
Usai makan siang, aku mengikuti kakak ketigaku ke dalam kamarnya, karena aku masih sangat penasaran dengan ceritanya tadi.
"Ngapain ngikutin kakak Re?" tanya Kak Vian heran.
"Kak ceritain lagi dong tentang yang kakak dengar tadi malam" ucapku memohon.
"Loh tadi kan kamu sudah dengar sendiri pas di dapur" ujar kakakku malas.
"Tapi aku masih penasaran kak, memang semalam kakak kenapa bisa mendengar suara gerobak berjalan itu?" tanyaku.
"Ya kakak tidak tahu juga kenapa bisa dengar Re. Kemarin kakak tidur larut karena keasyikan nonton tv soalnya" jawab Kak Vian apa adanya.
"Kakak nggak takut pas dengar itu?" tanyaku penasaran.
"Nggak Re, kita punya Tuhan yang selalu melindungi jadi nggak perlu takutlah" sahut Kak Vian santai.
Puas mendengar ucapan-ucapan dari kakak ketigaku, aku pun pergi meninggalkan kamarnya dan masuk ke dalam kamarku untuk mengerjakan tugas sekolahku.
Tanpa kusadari setelah selesai mengerjakan tugas sekolah aku tertidur pulas. Hari menjelang sore barulah aku terbangun dari tidurku. Bangun tidur, aku langsung pergi ke ruang makan untuk mengambil air minum.
"Eh anak ibu sudah bangun, sini duduk di sebelah ibu" ucap ibuku ketika aku berjalan ke ruang tamu. Aku pun duduk di sebelah ibuku yang terduduk di sofa ruang tamu.
"Gimana hari ini di sekolah Re?" tanya ibuku seperti biasanya. Ya ibuku sangat perhatian denganku dan saudara-saudaraku yang lainnya. Beliau selalu menanyakan bagaimana hari-hari yang sudah kami jalani seharian, baik di sekolah ataupun di tempat kerja. Sangat nyaman rasanya memiliki sosok yang mau mendengar cerita tentang aktivitas harian kita setiap hari.
"Ya seperti biasa bu, tidak ada hal yang menarik" jawabku jujur.
"Tapi bu, ibu percaya nggak sama cerita yang tadi diceritain oleh Kak Vian?" tanyaku penasaran.
"Percaya kok Re, karena kita ini kan memang hidup berdampingan dengan mereka yang tak terlihat. Apalagi tetangga-tetangga sebelah rumah kita sering bilang jika rumah kita ini memang angker" jelas ibuku.
"Serius bu? tapi selama di rumah ini Rea biasa saja kok" ucapku santai.
"Ya itu kan tergantung pemilik rumah juga Re, yang penting kita sekeluarga rajin berdoa dan mohon perlindungan pada Tuhan agar semuanya baik-baik saja" ujar ibuku.
Aku dan ibuku mengobrol santai sampai akhirnya ibuku menyuruhku untuk mandi karena hari sudah menjelang malam. Seperti biasa pukul 08.30 malam aku sudah masuk ke kamarku (lebih tepatnya kamarku dan kakak perempuanku) untuk tidur. Sedangkan orangtua dan kakak-kakakku masih asyik menonton tv sambil mengbrol.
Malam itu aku merasa sedikit gelisah dan kesusahan untuk masuk ke alam tidurku. Awalnya kupikir karena efek tidur siangku yang terlalu lama, sehingga membuatku malam itu tak bisa tidur nyenyak. Sampai akhirnya kakak perempuanku masuk ke kamar dan tidur di sebelahku.
Kakak perempuanku sudah tertidur dengan nyenyak, sedangkan aku masih tidak bisa memasuki alam tidurku. Sudah ku bolak-balik badanku, masih saja aku merasa sangat gelisah dan tidak bisa tidur.
Kudengar tv sudah dimatikan pertanda semua orang sudah masuk ke kamar masing-masing untuk tidur. Aku memaksakan diriku untuk tidur karena besoknya harus sekolah. Entah memang takdir atau tidak, tiba-tiba saja aku merasa ingin buang air kecil.
Dengan kesal aku bangun dari tempat tidurku dan pergi menuju kamar mandi. Kamar mandi di rumahku hanya ada satu buah dan letaknya di belakang dekat dapur. Usai menyelesaikan urusanku di kamar mandi, aku hendak kembali ke kamar. Namun, tiba-tiba ku dengar sayup-sayup suara gerobak berjalan di kejauhan.
Aku menajamkan pendengaranku untuk memastikan apakah benar yang aku dengar. Lama-kelamaan suara gerobak itu semakin mendekat dan terdengar melintasi rumahku. Sesampainya di ujung gang yang buntu, suara itu hilang dan mulai lagi terdengar dari arah masuk gang.
Ketika tengah serius mendengarkan suara gerobak berjalan itu untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundakku. Keringat dingin sudah membasahi keningku dan tentu saja aku sangat terkejut dengan tepukkan itu. Ingin kulihat ke belakang untuk mengetahui siapa gerangan yang menepuk pundakku, tetapi aku terlalu takut.
Sampai akhirnya suara Kak Vian terdengar, sehingga membuatku bernafas lega.
"Re kamu ngapain kok tegang gitu?" tanya Kak Vian heran.
"Ssstt!!!! coba kakak dengar deh" bisikku.
Kak Vian pun menajamkan pendengarannya, kemudian dia menatapku.
"Kakak dengar kan?" tanyaku masih berbisik.
"Ya kakak dengar kok Re, ayo coba kita intip!" ajak Kak Vian.
"Kakak saja, aku takut" bisikku.
Kak Vian langsung naik ke atas sofa dan mengintip melalui ventilasi di atas jendela. Karena penasaran, aku pun ikut mengintip lewat jendela dengan menyingkap sedikit gordennya. Kosong itulah yang terlihat oleh pengelihatanku. Namun, suara gerobak berjalan masih tetap terdengar di pendengaranku.
Aku menatap tegang kakakku, begitupula sebaliknya. Sampai akhirnya suara gerobak itu menghilang dan tak terdengar lagi.
"Re tadi kamu lihat apa?" tanya Kak Vian padaku.
"Kosong kak hanya suara yang aku dengar, kakak gimana?" tanyaku balik.
"Sama Re kakak juga hanya mendengar suara" jawab Kak Vian singkat.
Jantungku masih berpacu dengan cepat akibat mendengar suara tadi. Keringat dingin masih terlihat di pelipisku, sehingga membuat kakakku memeluk tubuhku.
"Udah Re kamu jangan takut, kita punya Tuhan jadi yakinlah jika Tuhan akan selalu melindungi" hibur Kak Vian sambil menepuk-nepuk punggungku.
"Kakak takut juga kan? buktinya detak jantung kakak juga sama seperti aku" ledekku.
"Kita tidur di ruang tamu aja yuk Re, soalnya sudah nggak kuat kayaknya kalau jalan ke kamar" ucap Kak Vian jujur.
Aku mengangguk pertanda setuju karena kakiku juga sudah lemas akibat kejadian malam itu. Malam itu aku dan Kak Vian tidur saling berpelukan di ruang tamu. Sungguh malam yang sangat menegangkan bagiku dan Kak Vian. Dalam hati aku bertekad jika besok pagi, aku harus menceritakan kejadian yang sudah aku dan Kak Vian alami malam itu.
Keesokan harinya, aku dan Kak Vian menceritakan kejadian itu kepada ibuku. Dan ternyata ibuku juga mendengar suara gerobak berjalan itu. Tentu aku dan Kak Vian sangat terkejut mendengar pengakuan ibuku. Pasalnya, tidak hanya kami berdua saja yang mendengar suara gerobak berjalan pada malam itu, tetapi ibuku juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!