Gadis malang itu, masih menangis di pusara Ayahnya. Ia tak memperdulikan hujan yang mengguyur tubuhnya dan baju putih abu-abunya yang sudah kotor dengan tanah liat. Kehilangan Ayahnya untuk selamanya seperti mimpi buruk dalam hidup, Nona.
Gadis yang bernama Nona Vahirra dan baru berusia 18 Tahun, harus hidup sebatang kara setelah Ayahnya meninggal karena mengalami kecelakaan.
"Yang sabar Nduk." Usapan lembut di punggungnya dari Bik Inah, tetangganya. Tak dapat mengurangi rasa sedih yang sedang dialaminya saat ini.
Nona, masih menangis histeris. Orang-orang yang ikut mengantar Pak Muklis ke peristirahatan terakhirnya hanya bisa menatap pilu ke arahnya.
*"Maaf, kami tidak dapat menyelamatkan beliau." *Kalimat itu terus saja terngiang-ngiang dalam ingatan Nona, seketika itu juga dunianya hancur. Kalimat itu seperti cambuk yang menghujam hatinya. Rasa kehilangan yang ia rasakan, tidak dapat ia lukiskan dengan kata-kata. Harus seperti apa ia menjalani hidup setelah kepergian Ayahnya. Sedangkan yang ia miliki, hanya Ayahnya seorang. Sedangkan ibunya, sudah lama meninggalkan mereka karena tidak sanggup hidup serba kekurangan bersama Pak Muklis. Rela meninggalkan putri kecilnya demi laki-laki kaya.
"Bik, aku belum siap. Aku belum siap kehilangan Ayah, Bik." Tangis Nona masih belum dapat dikendalikannya. Hanya Bik Inah yang masih setia menemaninya, sedangkan para pelayat yang lain mulai pergi meninggalkan pemakaman satu persatu.
"Kita semua pasti akan kembali kesana. Tuhan lebih menyayangi Ayahmu, makanya Ia memanggil Ayah mu lebih cepat. Ayahmu pasti akan mendapatkan tempat yang lebih baik disana." Imbuh Bik Inah mencoba membuat Nona menerima kenyataan, yang nyatanya sangat pahit.
"Hanya Ayah yang aku punya, tempat aku berkeluh kesah, tempat aku mengadu. Tempat aku bergantung untuk hidup, Bik! Apa yang harus aku lakukan setelah ia tiada? Semuanya begitu tiba-tiba. Aku belum siap, aku benar-benar belum siap menghadapi dunia yang keras ini seorang diri." Lirih Nona.
Walau sekeras apapun Nona memohon, bukankah Ayahnya tetap tak akan kembali. Kehidupan harus tetap berjalan walau tanpa orang tersayang. Tempat Nona berlindung dari kejamnya Dunia. Kini hidup sebatang kara adalah hal yang mau tidak mau harus ia hadapi. Entah akan seperti apa kehidupannya setelah kepergian Orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
***
*POV NONA*
Satu minggu berlalu, Aku masih mengurung diri dikamar. Aku memilih untuk tidak bersekolah lagi.
Untuk membiayai kehidupanku sehari-hari saja Aku tidak mampu, apa lagi kalau harus membayar iuran sekolah.
Ayah ku yang seorang penjual sayuran tak banyak meninggalkan uang untukku setelah kepergiannya.
Dan aku pun tidak memiliki tabungan untuk menompang hidupku.
Aku masih terus saja menangis, walaupun sudah sekuat tenaga mengikhlaskan kepergian Ayah. Apa yang bisa aku lakukan selain itu?
Waktu terus berjalan, aku memilih berjualan kue keliling milik tetanggaku yang berbaik hati menawarkan pekerjaan untukku.
Dan itu cukup membantuku, paling tidak cukup untuk makanku sehari-hari. Walaupun aku hanya dapat makan sekali sehari dari hasil jualan kue tersebut. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk ku bertahan hidup.
***
Hari dimana, hidupku berubah.
Kehidupan yang tadinya kujalani baik-baik saja tanpa masalah. Walau hanya dapat makan sehari sekali. Kini berubah seperti hidup didalam Neraka.
*
"Aaww..." Tanpa sengaja, aku terserempet sebuah mobil saat sedang menjajakkan kue jualan ku.
Semua kuenya berhamburan.
Aku tak memperdulikan lenganku yang lebam karena terserempet, namun langsung berlari memungut kue-kue yang berhamburan tersebut.
"Ya Tuhan bagaimana ini." Gumam Ku dalam hati. Air mata ku sudah terbendung. Tanpa kue-kue ini aku tidak akan dapat makan hari ini. Apalagi kue-kue nya belum ada yang laku satupun dari tadi. Selain itu, aku juga harus ganti rugi.
"Maaf.. Maafkan saya. Saya tidak sengaja."
Aku menoleh ke sumber suara. Seorang bapak-bapak paruh baya. Dengan ekspresi sangat menyesal.
"Iyaa Pak, gak apa-apa." Aku kembali menoleh dan fokus memungut kue-kue tersebut.
"Kamu-!" Ucap bapak tersebut terputus. "Anaknya Pak Muklis?" Lanjutnya lagi.
Aku menoleh mendengar kalimat itu.
"Bagaimana Anda tahu?"
Bukannya menjawab pertanyaan ku, namun Bapak tersebut justru memperhatikan penampilan ku yang terlihat kumuh dan kusut.
Melihat gelagatnya yang aneh, aku memutuskan untuk meninggalkan Bapak tersebut.
"Tunggu!" Imbuhnya lagi, ketika aku berniat meninggalkannya.
Aku menghentikan langkahku, dan menoleh.
Bapak tersebut melangkah mendekatiku.
"Boleh saya mengantar kamu pulang? Ada yang ingin saya sampaikan."
Aku hanya terdiam.
"Tentang Ayahmu." Lanjutnya.
***
Aku mempersilahkan Bapak tersebut masuk, dan duduk diruang tamu alakadarnya.
"Apa yang ingin Anda sampaikan?"
Aku memulai pembicaraan.
"Sebelumnya aku ingin minta maaf."
"Untuk apa?"
"Sebenarnya, Putra saya yang menabrak ayahmu."
"Apa!" Aku bertanya, walaupun sudah sangat jelas mendengar ucapan Bapak tersebut.
"Tentu saja, kecelakaan itu tanpa disengaja. Anak saya sedang dalam pengaruh Alkohol, dan mengemudi dengan sangat cepat. Sehingga tanpa sengaja menabrak Ayahmu."
Aku terdiam..
Entah apa yang sedang aku pikirkan. Yang jelas, ada rasa sakit di dalam hatiku.
Aku begitu rapuh setelah kepergian Ayah. Dan untuk kesekian kalinya. Aku menangis lagi.
"Dan saya juga sempat mengobrol beberapa saat dengan Ayahmu. Beliau bercerita banyak hal tentangmu."
Aku hanya menanggapi itu dengan senyuman getir dalam tangis ku.
"Boleh saya membalas budi baik Ayahmu?"
Aku menoleh..
"Ikutlah bersamaku. Aku akan menikahkan mu dengan Putraku. Itu adalah pertanggung jawaban atas apa yang telah dia lakukan. Karena kesalahannya, dia telah merenggut seorang Ayah dari putrinya."
Aku tidak berfikir panjang. Yang terlintas dalam benakku adalah BALAS DENDAM!
Entah bagaimana pemikiran itu terlintas dalam benakku. Entah mengapa, rasa sakit dihatiku tiba-tiba saja memerintahkan aku untuk membalas perbuatannya yang sudah merenggut nyawa Ayahku.
***
Tidak perlu menunggu lama, Aku ikut bersama Bapak tersebut. Didalam perjalanan dia bercerita banyak hal tentang Putranya. Namun tak satu pun yang masuk dalam ingatanku. Aku justru sibuk dengan rencana ku.
Aku sedang begitu sibuk memikirkan cara seperti apa yang akan ku gunakan untuk membalas dendam pada orang yang sudah merenggut nyawa ayahku.
"Oh iyaa, saya bahkan sampai lupa memperkenalkan diri. Panggil saja saya Om Hery. Kalau boleh saya tahu namamu siapa?"
"Nona Vahirra."
Kami sampai di kediamannya. Kediaman yang luar biasa megah.
Aku bahkan tanpa sadar menganga melihat kemegahan rumah dari orang yang kini ku panggil Om Hery tersebut.
"Ini rumah apa istana?" Dalam benakku. Maklum, aku belum pernah melihat rumah semegah ini. Lahir dari keluarga yang sangat-sangat kekurangan dan tinggal di perkampungan membuatku sangatlah tertinggal dalam perkembangan global.
"Ayo, saya kenalkan dengan istri dan Anak-anak saya."
Aku turun dari mobil dan mengikuti langkah Om Hery.
Masuk kedalam rumah yang lebih tepatnya disebut istana itu dengan ekspresi yang tak dapat ku pungkiri, bahwa aku benar-benar terpana dengan rumah itu.
Kami langsung di sambut oleh istri Om Hery, ibu yang juga aku temui saat di depan ruang operasi. Sekitar hampir 6 bulan yang lalu.
Wajahnya kini terlihat begitu ceria. Beda jauh dari saat kejadian di rumah sakit tempo dulu.
"Ma, kenalkan. Ini Nona, Anak dari Pak Muklis."
Wajah ibu tersebut langsung berubah. Dia terlihat bingung. Lalu tersenyum canggung ke arahku.
Aku membalas senyumnya tulus.
"Ayo silahkan duduk dulu, ada yang ingin saya bicarakan dengan suami saya."
Kedua orang tua itu berlalu meninggalkan aku seorang diri di dalam ruangan besar itu.
Aku melangkah mendekati sofa yang terlihat tak jauh dari tempat ku berdiri.
Aku duduk sembari memperhatikan setiap sudut ruangan. Yang dipenuhi dengan perabotan mewah.
Cukup lama aku menunggu. Dan entah apa yang sedang mereka bahas.
Setelah menguap untuk kesekian kalinya, aku baru melihat ibu tersebut keluar dari balik pintu dan datang menemuiku. Dan kini dia seorang diri tanpa di temani Om Hery di sampingnya.
"Maaf sudah membuatmu menunggu lama." Ucapnya ramah.
"Tante udah bahas masalahnya dengan Om. Dan kami memutuskan akan menikahkan kalian ketika kamu tamat sekolah. Bukan kah kamu masih SMA sekarang ?" Dia memastikan.
Aku mengangguk. "Tapi aku udah putus sekolah tante."
"It's okey. Kami akan menyekolahkanmu."
Aku hanya terdiam, aku sama sekali tidak tertarik dengan pernikahan itu. Yang membuatku penasaran sekarang adalah. Dimana sosok orang yang telah menabrak Ayahku itu.
"Ayo Tante tunjukan kamarmu."
Aku ikut bangkit dari dudukku. Dan mengikuti langkahnya.
"Terimakasih Tan.."
"Ambarita.. Panggil saja Tante Ambar." Ucapnya sembari terus melangkah.
***
Seseorang mengetuk pintu kamar sesaat setelah aku baru saja terlelap untuk beberapa saat.
Pintu langsung dibuka tanpa menunggu aku membukakannya.
Dan ternyata itu Tante Ambar.
"Ayo makan dulu." Dengan begitu ramah. Yaa, aku memang sudah kelaparan sedari tadi.
Aku melangkah sambil membalas senyum ramah Tante Ambar.
Saat menuruni tangga aku langsung bisa melihat di meja makan sudah ada Om Hery dan kedua putri kembarnya. Aku bisa langsung tahu saat melihat mereka mengenakan baju yang sama dan wajah dengan kemiripan 99%.
Aku duduk disamping Tante Ambar. sambil melempar senyum kearah Om Hery dan Putri kembarnya.
Om Hery balas tersenyum, dan berbeda hal nya dengan Putri kembarnya yang langsung menunjukkan ketidak sukaannya terhadapku.
Dan aku sangat bisa memakluminya.
"Siapa dia ?" Tanya salah seorang Putri kembar itu. Dan sepertinya mereka seusia denganku. Begitulah perkiraanku.
"Kenalkan, dia Nona Vahirra. Mulai sekarang dia akan tinggal bersama kita." Om Hary menjelaskan.
"APA!" Serentak. Terlihat jelas mereka sangat kaget dengan penjelasan Om Hary tersebut.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi welcome to my new novel. Please like, comment, and vote for guys.
*Pov Author*
Di tempat yang berbeda. Anggara Prasetya, sedang menghambur-hambur kan uangnya untuk gadis yang baru dia kenal sekitar 2 hari yang lalu.
Anggara memberikan dia sebuah kalung perhiasan dan membiarkan gadis itu untuk memilih apa saja yang dia inginkan di mall tempat mereka berbelanja.
Gadis bertubuh ramping dengan busana super seksi itu tanpa sungkan memilih.
"Terimakasih sayang." Ucapnya sambil merangkul manja lengan kekar Anggara.
"Apa sudah cukup ?"
Gadis itu mengangguk dengan semangat.
"Baiklah, aku akan mengantar kamu pulang."
Sebuah kecupan merekah di pipi Anggara. Ucapan terimakasih dari si gadis untuk semua yang sudah diberikan oleh Anggara.
***
Pov Nona.
Disaat Om Hary dan putri kembarnya sedang berdebat antara mengizinkan dan tidak mengizinkan aku untuk tinggal.
"Ada apa ini ?"
Semua terdiam dan semua mata pun tertuju ke arahnya.
"Anggara." Tante Ambar memberi kode untuk ketiga orang itu agar berhenti berdebat.
Aku langsung menoleh untuk melihat sosok yang sedang aku tunggu-tunggu itu. Melihat wajahnya saja amarah ku sudah memuncak sampai ubun-ubun
Membayangkan betapa kesakitan nya Ayahku saat di tabrak oleh pria gila ini.
Dia melangkah dari ruang keluarga menuju ruang makan karena mendengar keributan yang terjadi disini.
"Lihat nih Kak, masa Papa bawa gadis kumuh ini untuk tinggal disini." Rengek salah satu dari putri kembar Om Hary sambil menunjuk ke arahku.
Tatapan Anggara pun mengarah padaku. Dan kini, kami saling bertatap-tatapan untuk seper-detik
Melihatku dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Untuk apa Papa bawa gadis ini tinggal disini ?" Tanya Angga dengan ekspresi heran. Sama sekali tidak mengerti dengan hal konyol yang dilakukan papanya.
"Dia tidak hanya akan tinggal disini saja. Dia juga akan menikah denganmu Anggara." Tante Ambar langsung ke inti permasalahan. Dan tentu saja itu membuat Anggara dan si kembar jadi shock bukan kepalang.
"Mama gak usah becanda deh Ma." Celoteh si kembar yang bernama Nindi.
"Iya ih, gak lucu tau." Sahut Nanda.
"Mama gak becanda Nindi."
"Apa maksudnya ini? Jangan jadikan hidupku sebagai lelucon!" Bentak Anggara dan setelah itu dia berlalu pergi. Begitu juga dengan Nanda dan Nindi yang juga ikut meninggalkan aku, om hary, dan tante ambar di meja makan.
Om hary menatap ke arah ku. Yang akhirnya ku lempari senyum ramah ku. Menandakan aku masih baik-baik saja.
Pertengkaran ini tidak lantas membuat aku ciut untuk tetap membalaskan dendam ku pada Anggara.
Aku begitu percaya diri untuk balas dendam. Dan terlalu cepat berekspektasi kalau aku akan berhasil.
Aku lupa akan jati diriku yang begitu rapuh dan lemah.
Aku tidak sadar dengan siapa aku berhadapan saat ini.
Anggara, si crazy rich yang sombong dan angkuh.
Hidupnya dikelilingi gadis-gadis dan alkohol.
Menjadi satu-satunya pewaris dari Gold Garden Group membuat dia besar kepala dan berprilaku sesukanya.
"Om akan bicara dengan Anggara dulu." Om Hary bangkit dari tempat duduknya. Dan menemui Anggara di kamarnya.
Kini tinggallah aku berdua dengan tante Ambar.
"Apa kamu yakin, mau terima perjodohan ini ?" Tante Ambar membuka pembicaraan.
Aku terdiam, mencoba merangkai kata-kata agar tante Ambar tidak curiga dengan maksud aku masuk ke rumah itu dan mengapa aku menerima perjodohan gila itu.
"Aku gak tahu tante, aku terserah sama kalian gimana baiknya."
Ah bodoh, jawaban macam apa itu. Dasar gadis payah. Aku menunduk dan memaki diriku sendiri didalam hati.
"Anggara orang yang tempramen, dia terlalu dimanja di keluarga ini. Jadi mungkin dia akan berlaku tidak baik padamu jika dia tidak menyukaimu. Apa kamu bisa bertahan dengan itu ?"
Aku hanya tersenyum canggung. Dan mengangguk perlahan.
Didalam hati "Bisakah aku bertahan Ya Tuhan"
Cukup lama pembicaraan antara Anggara dan om hary. Aku begitu was-was dengan apa jawaban dari perdebatan itu. Apakah om hary berhasil meyakinkan Anggara atau tidak. Jika tidak, rencana balas dendam ini akan gagal total.
Rencana balas dendam! Aku bahkan belum menyusun apa-pun untuk itu. Aku tidak tahu dari mana aku harus memulai dan apa yang harus aku lakukan.
Benar-benar gadis bodoh yang lemah.
Hampir satu jam berlalu, om hary kembali menemui ku. Raut wajahnya terlihat serius. Membuat aku ikut tegang jadinya.
"Bagaimana om ?" Aku begitu antusias dengan hasil dari pembicaraan mereka.
"Anggara tidak punya pilihan. Atau dia tidak akan mendapatkan apapun dari om."
"Pa!" Pekik Tante Ambar.
"Papa juga gak boleh terlalu memaksa Anggara, dia juga punya hak untuk memilih." Lanjut tante ambar yang juga sudah mulai emosi.
Namun om hary hanya terdiam lalu pergi meninggalkan kami. Tante ambar pun juga mengikuti langkahnya untuk melanjutkan adu argumen bersama om hary.
Setelah ditinggalkan seorang diri di ruang makan, aku pun memilih untuk masuk ke kamar.
Mulai menyusun apa yang harus aku lakukan.
***
Pov Anggara.
Seperti disambar petir, saat mengetahui kalau orang tua ku menjodohkan aku dengan gadis kampung dan kumuh.
Melihat dia saja sudah membuat aku tidak berselera, mulai dari penampilan hingga wajahnya yang pas-pasan.
Entah apa alasan orangtuaku sampai bisa memiliki pemikiran gila itu.
Yang jelas, sampai kapanpun aku tidak akan sudi menikahi gadis itu.
***
Pov Nona.
Tak lama berselang, seseorang membuka pintu kamar ku tanpa permisi. Dan membantingnya dengan sekuat tenaga. Aku yang baru saja menghempaskan tubuhku di atas ranjang, menjadi terlonjak kaget.
Dan ternyata itu Anggara, orang yang paling aku benci saat ini.
"Sebaiknya kamu angkat kaki dari sini sekarang juga !" Bentaknya tanpa permisi.
Aku hanya terdiam mematung.
"Jangan harap aku mau nikah sama gadis kumuh, dekil, macam kamu. Kamu tahu, kamu cewek terjelek yang pernah aku kenal. Jangan pernah bermimpi kalau aku bakalan sudi nikah sama gadis kampung macam kamu." Lanjut Anggara dengan penuh emosi.
Setelah itu dia berlalu pergi tanpa lupa kembali membanting pintu.
Dan seperti biasa, yang bisa aku lakukan hanya menangis.
Bukankah sudah ku bilang, aku begitu rapuh.
Entah bagaimana caranya aku akan membalas dendam ku pada Anggara. Sedangkan untuk membalas semua makian dan hinaan Anggara saja aku tidak sanggup.
Aku mencoba untuk tetap kekeh dengan pendirian ku. Aku mengabaikan peringatan Anggara yang sudah mengusirku dari rumahnya. Tanpa malu aku tetap berada di rumah itu dengan mengandalkan om hary.
Aku memilih untuk menghabiskan waktu didalam kamar. Aku menolak permintaan Om Hary yang selalu mengajakku makan bersama dengan anggota keluarganya.
Untung Om Hary mengerti dengan kecanggungan yang akan terjadi di meja makan jika aku mengikuti kemauannya. Dan membiarkan aku untuk selalu makan di dapur bersama para pembantunya.
💮💮💮
Om hary memasukkan aku ke sekolah yang sama dengan si kembar.
Hari ini, hari pertama aku masuk sekolah.
Dan 3 bulan lagi aku akan lulus SMA.
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap, dan berniat berangkat ke sekolah lebih awal.
"Nona."
Aku sudah sangat hafal dengan suara itu, Om hary. Langkah ku terhenti di halaman depan rumah.
"Iyaa Om."
"Kamu akan di antar Anggara ke sekolah."
"Hah! Ti..tidak perlu om, aku bisa sendiri."
"Sudah jangan membantah. Lagian sekolah mu searah dengan kantor."
Sambil tersenyum ke arahku. Entah apa maksud dari senyuman itu. Dari kejauhan, aku melihat Anggara sedang melangkah menuju ke garasi mobil. Dengan setelan jas serba hitam menambah kesempurnaannya. Sebenci-benci nya aku padanya, tak bisa ku pungkiri jika dia terlahir dengan sangat sempurna. Kaya raya dan ganteng pula.
"Masuk !" Setelah menghentikan mobilnya tepat di sampingku.
Terlihat jelas ekspresi kekesalan di wajahnya. Aku bisa langsung menebak, jika dia hanya terpaksa.
Dan aku juga tidak enak membuat usaha Om Hary yang sepertinya sedang berencana untuk mendekatkan kami ini jadi sia-sia.
Juga dengan sangat terpaksa. Aku masuk kedalam mobil Anggara.
Baru setengah perjalanan Anggara menghentikan mobilnya.
"Turun!"
"Apa?" Aku memastikan, berharap aku salah dengar.
"Aku bilang, TURUN!"
Aku melihat sekeliling. Ini jalanan sepi, akan sulit mendapatkan angkutan umum disini.
Dengan kesal Anggara turun dari mobil. Membukakan pintu mobil untuk ku dan memaksa ku untuk turun dengan kasar.
Aku hampir saja tersungkur jika tidak cepat menyeimbangkan tubuhku.
Tanpa menunggu lama, Anggara kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Meninggalkan aku seorang diri di sana tanpa sedikit pun belas kasihan.
***
Jelas, akhirnya aku terlambat di hari pertama sekolahku.
Namun untung saja aku tidak sekelas dengan si kembar. Aku akan menjadi bahan bully'an oleh mereka jika itu terjadi.
Hari pertama sekolah berjalan lancar tanpa hambatan. Walaupun masih sama seperti di sekolah ku yang dulu. Aku masih menarik diri dari orang-orang. Aku sama sekali tidak berniat untuk berbaur bersama anak-anak yang lain.
Sambil menunggu bus di halte, aku memilih untuk menulis.
"Hai anak baru ?"
Aku menoleh. Seorang cowok yang mengenakan seragam sekolah sama denganku. Lalu aku tersenyum dan mengangguk.
"Kenalin..." Menyodorkan tangannya.
Dengan berat aku balas menyodorkan tangan.
"Dany.."
"Nona."
"Aku ketua kelas mu."
"Benarkah ?"
Dany hanya terkekeh melihat ekspresi ku yang terkejut.
"Maaf aku tidak mengenalimu." Aku menunduk malu.
"Gak apa-apa. Wajar-wajar aja kok, ini kan hari pertama kamu sekolah."
Aku kembali diam. Ya, seperti biasa.
Aku tidak tahu caranya untuk memulai sebuah pertemanan.
"Kamu tinggal dimana ?"
"Hah.." Aku menoleh, aku sempat melamun beberapa saat.
"Jika kamu mau, aku bisa mengantarmu."
"Tidak perlu. Aku bisa naik bus saja."
"Akan lama jika menunggu bus, itu mungkin akan melewatkan jam makan siang mu."
"Tidak apa-apa." Tersenyum lagi. Entah mengapa aku seakan tak bosan-bosannya tersenyum. Ya, begitulah aku.
Dany menyerah.
"Baiklah kalau begitu. Mungkin lain kali." Dia tersenyum manis. "Aku duluan. Bye."
"Bye."
Dany beranjak, aku melepas kepergiannya dengan ikut melambaikan tangan karena reflek dengan apa yang dia lakukan.
Dalam hati aku kebingungan sendiri. Untuk apa aku lakukan hal itu ?
***
Ternyata benar seperti yang dikatakan Dany. Aku akan melewatkan jam makan siang ku. Perutku sudah keroncongan disaat berada di dalam bus. Apalagi dari pagi aku belum makan apapun.
Berulang kali aku melirik ke arah depan. Berharap akan cepat sampai ke rumah. Lebih tepatnya rumah om hary.
Aku turun di halte yang masih cukup jauh dari rumah om hary. Membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai dengan berjalan kaki.
Langit semakin gelap. Diselimuti mendung yang sedari tadi menemani perjalanan pulang ku.
Perlahan tapi pasti. Hujan mulai turun, semakin lama semakin deras. Membasahi tubuh mungilku yang mulai menggigil.
Dalam perjalanan pulang aku melihat mobil Anggara yang melintas perlahan. Aku yakin dia pasti melihatku. Dan mungkin saja sekarang dia sedang menertawakan aku didalam mobil mewahnya itu.
Tentu saja aku sama sekali tidak berharap tumpangan darinya.
Aku menarik nafas dalam. Lega rasanya karena rumah om hary mulai terlihat. Dan perjalananku tidak akan jauh lagi.
***
Pov Anggara.
Saat pulang dari kantor, aku melihat gadis kampung itu berjalan dalam hujan.
Dasar gadis bodoh. Bukannya berteduh malah terus berjalan dalam hujan.
Entah mengapa aku sangat benci padanya. Ingin sekali aku menendangnya dari rumah.
Sialnya aku tidak bisa berbuat apa-apa karena gadis itu mendapatkan perlindungan dari papa.
Rencana perjodohan itu benar-benar membuat aku semakin sakit kepala
***
Pov Nona.
Aku semakin menggigil kedinginan. Sambil memeluk tubuh ku sendiri, aku melangkah masuk ke rumah om hary melalui pintu belakang. Mengingat tubuhku basah dan pasti itu akan membuat rumah om hary akan kotor.
"Berhenti di sana !"
Suara itu membuat langkahku terhenti.
Anggara berjalan menuju ke arahku. Seperti biasa dengan ekspresi yang selalu terlihat emosi.
Dia memperhatikan tubuhku yang basah kuyup.
"Kamu akan masuk dalam keadaan seperti itu ?" Nada yang cukup membuatku menciut.
"Maafkan aku." Menunduk. Dan melihat air terus menetes dari baju dan rok sekolahku.
Aku langsung menyilang kan tangan di dadaku saat menyadari bra ku terlihat jelas di balik seragam sekolah berwarna putih.
Anggara mendekat, dan berdiri tepat di hadapanku.
"Apa yang kamu tutupi ? Aku bahkan sama sekali tidak tertarik dengan itu. Jangan mengotori rumahku dengan tubuhmu yang kotor itu gadis kampung !"
Aku terduduk di lantai setelah mendapatkan dorongan dari tangan Anggara yang sengaja membuat ku terjatuh.
💮💮💮
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!