"Apaan sih lo? Lepasin gue."
"Please Kak, aku butuh bantuan kakak." Firly terus menarik tangan Chika di lorong gedung kampus. Firly menarik kakaknya sampai di depan toilet yang sepi.
Chika melipat tangan di depan dada ketika Firly melepas tangannya. Ia jengkel pada adiknya yang tiba-tiba saja menarik tangannya ketika sedang asik ngobrol. Ia bukan tipe gadis yang penyabar, maka dari itu kini ia juga tidak sabar menghadapi Firly.
"Mau ngomong apa? Gue gak punya waktu," kata Chika dengan ketus.
"Kak tolong aku ya. Aku pengen lari dari pernikahanku sama Alfan. Aku gak bisa nikah sama dia."
Chika mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti mengapa adiknya ini tiba-tiba ingin lari dari pernikahan. Bukankah selama ini Firly tidak pernah membantah atau menolak atas perjodohan mereka? Lalu apa ini? Firly ingin lari ketika pernikahannya tinggal menunggu hitungan hari.
"Kenapa?" tanya Chika.
"Aku gak bisa ninggalin Dino. Aku sangat mencintai Dino, dan aku gak bisa nyakitin dia."
Chika tertawa mengejek. Ia menertawakan keputusan Firly. Menurutnya itu sangat lucu.
"Kenapa lo gak nolak pas dijodohin dua bulan lalu? Kemana aja otak lo selama ini?" Bukannya mencari solusi, Chika malah mengejek adiknya.
"Aduh Kak, aku serius. Mau ya bantuin aku?"
Chika diam sejenak. Ia memang tidak akur dengan adiknya ini. Mereka sangat bertolak belakang. Firly gadis pintar, baik, dan sopan, sedangkan dirinya gadis yang kurang pintar, sering keluar malam, dan tidak tahu sopan-santun. Namun, bagaimana pun juga, Firly tetaplah adiknya.
"Ok, gue bisa nolongin lo untuk kali ini. Tapi kalau gue gagal, lo gak boleh nyalahin gue."
Mendengar persetujuan dari kakaknya, Firly langsung memeluk kakaknya itu dengan sangat erat. Ia tahu jika kakaknya pasti akan membantu walaupun Chika tidak pernah bersikap ramah padanya.
"Thank you so much, Kak." Firly tersenyum bahagia.
"Somat-somat, gue gak ngerti," gerutu Chika.
* * * *
Chika berjalan menuju parkiran. Seseorang mengejarnya lalu melingkarkan tangan pada bahunya. Chika sudah tahu siapa orang itu. Tentu saja itu adalah temannya. Jika bukan, mana mungkin berani menyentuhnya. Jikapun iya, berarti orang itu telah siap untuk dipatahkan tangannya.
"Hai Chik, kayaknya lagi banyak masalah nih." Rio terus berjalan beriringan dengan Chika. Tangannya masih tersanggah di bahu Chika.
"Gak tau gue. Pokoknya hari ini gue badmood," jawab Chika tanpa menoleh pada Rio.
"Malam ini jadi gak balapan lagi? Taruhan kali ini lebih banyak duitnya."
"Berapa?" tanya Chika.
"50 juta."
Chika membulatkan matanya. Baru kali ini ada yang berani pasang taruhan dengan jumlah yang besar. "Widih, bisa kayak mendadak gue."
Tanpa sopannya Rio menepuk kepala Chika. "Lo udah kaya."
Chika hanya menyengir. Ia memang orang kaya, tapi menurutnya yang kayak itu kedua orangtuanya, bukan dirinya. Ia sama sekali tidak pernah menikmati harta yang orangtuanya berikan. Menurutnya, tidak baik menghambur-hamburkan uang orangtua hanya untuk bergaya sok kaya di depan teman-temannya.
Chika dan Rio sudah sampai di parkiran. Chika langsung menaiki motor ninjanya.
"Chik, kalau lo mau, entar kasih tau gue," kata Rio sambil memasang helm.
"Iya, tapi gue gak janji ya. Takutnya entar malem gak bisa kabur dari rumah."
"Yoi, gue cabut duluan ya," kata Rio lalu menancap gas dan melakukan selebrasi layaknya pembalap GP yang baru menang.
Chika tersenyum. Rio adalah teman dan sahabat terdekatnya. Chika tidak memiliki teman perempuan yang feminim. Semua temannya sama dengan dirinya, bar-bar, tukang berkeliaran di malam hari, dan nongkrong di pinggir jalan. Semua gadis baik dan feminim akan menjauhinya, mereka berkata tidak ingin dekat-dekat dengan pendosa. Chika hanya tersenyum. Orang yang menganggap dirinya tidak pernah melakukan dosa, justru orang itu telah membohongi dirinya sendiri.
Ketika ia akan menarik gas, Chika melihat sebuah mobil yang ia kenali. Mobil berwarna silver itu adalah milik Alfan, calon suami Firly. Mobil itu sepertinya mengarah ke arah motor Chika.
Kaca mobil terbuka dan kepala Alfan menyembul keluar. "Firly udah pulang belum?"
"Mana gue tau. Lo tanya aja sama temennya," jawab Chika tak acuh.
Alfan menarik nafas. Ia sudah menebak bahwa Chika tidak mungkin bisa menjawab pertanyaannya, gadis itu tidak pernah peduli pada adiknya.
"Kamu mau ke mana?" tanya Alfan. Matanya menyipit karena menahan teriknya matahari siang.
"Terserah gue mau ke mana. Bukan urusan lo," jawab Chika ketus.
Alfan kembali menarik nafas. Ia mengenal Chika dua bulan yang lalu, bersamaan dengan ia mengenal Firly di perjodohan waktu itu. Saat itu ia tahu bahwa kakak-beradik itu memiliki sifat yang sangat berbeda. Walaupun ia terpaksa menerima Firly, tapi ia masih bersyukur tidak dijodohkan dengan Chika. Apa nasibnya jika ia memiliki istri seperti Chika.
"Nah, itu dia," kata Chika sambil menunjuk ke arah depannya.
Firly berjalan dengan teman-temannya. Ia berjalan dengan sangat anggun. Tidak seperti Chika tadi yang berjalan bagaikan dikejar hantu.
Alfan tersenyum ketika melihat calon istrinya berjalan ke arah mobilnya. Memang ia belum mencintai Firly, tapi ia berusaha untuk mulai mencintainya.
Firly mengembangkan senyum pada Alfan yang masih berada di dalam mobil. Setelah sampai di depan Alfan, Firly membungkuk agar ia bisa melihat wajah pria tampan itu.
"Mas mau jemput aku?" tanya Firly manis.
Ia memang tidak menginginkan pernikahan dan tidak mencintai Alfan. Ia hanya berusaha bersikap manis agar Alfan tidak tersinggung.
"Iya, ayo masuk mobil." Alfan membukakan pintu di sebelah kursi penumpang depan.
"Kak Chika gak ikut kami?" tanya Firly sebelum masuk ke dalam mobil.
"Ogah. Udah deh sana pergi. Gue males lihat muka-muka bucin kayak kalian."
Firly dan Alfan malah tertawa. Mereka merasa lucu dengan ekspresi wajah Chika ketika sedang kesal. Tapi memang begitu lah ekspresi yang selalu melekat di wajah Chika. Ia hanya akan tertawa dan tersenyum ketika bermain atau nongkrong dengan teman-temannya di pinggir jalan.
"Kalau kalian gak mau pergi, gue yang pergi." Chika menarik tali gas lalu meninggalkan Firly dan Alfan. Alfan yang masih tertawa memperhatikan cara Chika mengendarai motornya.
"Chika jago bawa motor ya?" tanya Alfan ketika mereka sudah melaju di jalan raya.
Firly mengangguk. "Ya begitulah. Kakakku memang gak feminim. Maklumlah, dia memang begitu."
Sebenarnya Firly ingin menceritakan bagaimana keseharian Chika yang tidak diketahui oleh Alfan, tapi ia tidak ingin menjelekkan kakaknya sendiri. Bagaimana pun Chika adalah kakaknya.
Alfan masih fokus menyetir. Hari ini ia akan membawa Firly fitting baju pengantin. Hari pernikahan mereka sudah sangat dekat. Segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan sempurna.
"Kita fitting baju ya, habis itu kita makan siang," kata Alfan sambil menatap sekilas pada wajah Firly.
Firly tersenyum. "Ok, terserah Mas aja."
Di meja makan di antara ruang tengah dan dapur, Firly, Chika, Tia, dan Surya sedang makan malam bersama. Sesekali Tia memandangi Chika dan Firly secara bergantian. Firly memiliki manik mata hitam, kulit putih, hidup sedang, memiliki lesung pipi dan memiliki rambut hitam panjang.
Ia juga melihat Chika yang memiliki manik mata hitam, kulit putih, hidung mancung, dan rambut panjang yang diwarnai dengan warna pirang.
Dari penampilan, Tia dapat membedakan perbedaan sifat kedua anaknya. Firly selalu memakai rok ataupun memakai dress selutut, sedangkan Chika selalu memakai celana jeans dan levis yang diberi sobekan di sana-sini.
"Chika, kalau nanti adek kamu nikah, kamu jangan pake baju kayak gini ya," kata Tia di tengah keheningan.
Firly dan Surya serentak menoleh pada Chika yang masih fokus makan.
"Kamu denger apa yang udah mamah bilang?" tanya Surya tegas.
Chika menarik nafas panjang, kemudain menghembuskannya. "Iya Pah, Mah. Chika denger, kok."
Tia dan Surya hanya menggelengkan kepala. Mereka tidak habis pikir dengan putri sulungnya itu. Mungkin kesalahan mereka juga yang membiarkan Chika besar dan tumbuh bersama neneknya tanpa sentuhan kasih sayang dari orang tua. Seharusnya Chika bisa seanggun Firly, namun karena pergaulan, ia menjadi gadis yang tidak feminim.
"Chika udah selesai makan. Chika mau ke kamar."
Chika berdiri dan meninggalkan piring kotornya di atas meja makan. Ia berjalan menuju kamar yang ada di samping ruang tengah. Chika sengaja memilih kamar di lantai bawah agar memudahkan dirinya untuk kabur. Dan malam ini, ia juga akan kabur lagi.
* * * *
Suara derung motor terdengar membuat jalanan menjadi bising. Banyak laki-laki dan perempuan yang nongkrong di pinggir jalan. Mereka memakai jaket dan celana levis, rambut diwarnai dan memiliki banyak tindik.
Seseorang yang mengendarai motor ninja datang ke lokasi itu. Riuh tepuk tangan dan sorak semua orang terdengar ketika orang itu turun dari motor. Salah satu dari mereka menghampiri orang tersebut.
"Udah dateng?" Rio berjabat tangan dengan orang itu.
"Mana jagoan lo? Dari kemarin lo terus bangga-banggain dia." Vino melipat tangan di depan dada.
Rio terkekeh. "Sabar dulu dong, Bro. Dia masih dalam perjalanan," jawab Rio dengan santai.
Tak lama kemudian. "Nah itu dia," kata Rio sambil menunjuk ke arah motor yang baru datang.
Pengemudi motor itu turun dari motornya dan melepas helm. Seketika semua pria di sana bersiul untuk wanita itu, terkecuali Vino. Vino belum bisa berkedip untuk beberapa saat. Ia sulit mempercayai ada gadis yang begitu cantik ikut balap liar.
"Hai, apa kabar?" sapa Rio ketika Chika sudah berada di hadapannya.
"Pastinya baik," jawab Chika santai.
"Nah, ini namanya Chika, jagoan gue. Dan Chika, ini Vino, orang yang berani taruhan 50 juta," kata Rio memperkenalkan Vino dan Chika.
Vino tersenyum lebar. "Enggak, gue ganti kesepakatan. Gue bakal tambah jadi 70 juta. Gimana?" Ia menatap Chika dan Rio secara bergantian.
"Pasti ada syaratnya," kata Chika sambil tersenyum sinis.
Vino tersenyum semakin lebar. Menurutnya, Chika itu sangat menarik. Dari gaya bicaranya, ia bisa langsung tahu sifat dari gadis itu.
"Kok lo tau?" tanya Vino pura-pura penasaran.
"Ya jelas tau lah. Udah banyak yang kayak gitu. Inget ya, gue di sini untuk balapan, bukan untuk yang lainnya," jawab Chika dengan ketus.
"Hahahah, gue suka gaya lo. Ok langsung aja dimulai."
Lima sepeda motor berjejer di belakang garis start. Diantara mereka ada Chika dan Vino. Chika adalah satu-satunya pembalap wanita di sana. Ketiga pembalap lainnya tentu sudah tahu kemampuan Chika, sehingga mereka tidak akan meremehkan gadis itu. Berbeda dengan Vino yang tak tahu menahu soal kemampuan Chika. Ia masih menganggap dirinya lah yang paling hebat.
Seorang gadis berambut coklat mengangkat sebuah bendera, dalam hitungan ketiga, bendera itu di kibaskan ke bawah. Bersamaan dengan itu, lima motor langsung melesat cepat.
Untuk putaran pertama Vino yang memegang posisi paling depan, sedangkan Chika masih berada di posisi ketiga. Vino tersenyum bangga karena dirinya yang berada jauh di depan.
Saat sedang membanggakan dirinya, tiba-tiba Chika menyalip pada tikungan ke kanan. Chika memberikan jari tengah pada Vino lalu kembali menancap gas. Vino tidak marah, ia malah tersenyum.
"Ternyata lo cewek yang menarik."
Vino kembali menambah kecepatan. Kini Vino dan Chika saling salip-menyalip. Persaingan sangat ketat hingga para penonton berteriak untuk menyemangati jagoan masing-masing.
Di lain tempat.
"Gini caranya aku bisa telat. Pake jalan pintas aja kali ya?" Alfan menggerutu pada saat jalanan macet.
Alfan memutar setir untuk memutar arah. Ia memilih untuk melewati jalan pintas. Walaupun jalan yang akan ia lewati terkenal sering jadi lintasan balap liar, namun ia tidak peduli. Yang terpenting ia dapat menghadiri rapat malam ini.
Mobil Alfan mulai memasuki kawasan itu. Dari kejauhan ia melihat keramaian. Banyak motor dan pemuda-pemudi yang sedang bersorak. Saat itu Alfan langsung yakin bahwa mereka sedang menonton balap liar.
Tak jauh dari mobilnya, ada dua motor berjenis sama melaju dengan sangat cepat. Buru-buru Alfan mengerem mobilnya untuk menghindari kecelakaan lalu lintas. Ia melihat motor ninja berwarna merah melaju dengan sangat cepat, dan akhirnya sampai lebih dulu di garis finish dibandingkan dengan motor yang berwarna hitam.
Saat sang pemenang turun dari motor dan melepaskan helmnya, Alfan langsung membelalakkan matanya. Ia tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. "Chika?"
Ia melihat Chika berjabat tengan dengan beberapa orang di sana. Ia juga berpelukan dengan lawan mainnya tanpa ada rasa canggung sedikitpun.
"Aku gak salah lihat, kan? Itu Chika. Masa kerajaan dia kayak gini? Ini gak bisa dibiarin."
Alfan menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya menuju kerumunan orang itu.
Chika menoleh ke belakang karena ada cahaya lampu yang menyoroti nya. Begitu mobil berhenti, turunlah sosok pria tampan menggunakan jas. Ia langsung berjalan menghampiri Chika.
"Jadi ini kelakuan kamu?" Alfan berkacak pinggang.
Semua pandangan tertuju pada Alfan dan Chika. Para wanita langsung berdecak kagum melihat ketampanan pria yang sedang berbicara dengan Chika. Bagaimana tidak, Alfan memiliki postur tubuh yang tinggi, dan tegap. Wajahnya pun sangat tampan. Mata, alis, hidung mancung, bibir, dagu dan rahangnya, semua berpadu dengan sempurna.
"Ngapain lo ada di sini?" tanya Chika ketus.
"Aku yang nanya, ngapain kamu di sini? Apa orang tua kamu tau kelakuan anaknya ini?" tanya Alfan tegas.
Chika berkacak pinggang dengan keangkuhannya. "Heh lo, bukan urusan lo gue mau ngapain. Mending lo cabut dari sini. Jangan rusak mood gue."
"Aku calon adik ipar kamu. Sebagai adik, aku harus jagain kakaknya. Sekarang ikut aku." Alfan menarik tangan Chika.
"Apaan sih lo? Lepasin tangan gue!" Chika berusaha menarik tangannya.
Seseorang menahan tangan Alfan yang sedang menarik Chika. Alfan menoleh pada orang itu.
"Lo gak denger apa yang dia bilang tadi? Dia minta lo lepasin tangan dia." Vino berdiri sambil memandang lurus pada mata Alfan.
"Apa hak kamu nahan aku? Kamu bukan anggota keluarga dari kami." Alfan bukan tipe laki-laki pecundang. Walupun ia tahu ia akan dikeroyok jika baku hantam dengan Vino, tapi ia tetap dengan keberaniannya. Alfan kembali menarik tangan Chika.
"Lepasin Chika," kata Vino dengan tegas.
"Gak akan," jawab Alfan dengan tegas pula.
Vino mengepalkan tangannya. Kemudian .... 'Bukk!' satu pukulan mendarat di wajah Alfan.
Alfan tidak tinggal diam, ia membalas pukulan itu. 'Bukk!' kali ini Vino yang tersungkur. Saat Alfan akan memukul lagi ....
"Stop!" Chika berteriak. "Ok gue pulang."
Chika membantu Vino berdiri. "Sorry, gue harus pulang."
Chika menarik tangan Alfan untuk masuk ke dalam mobil. Sebelum masuk, Chika berteriak pada Rio. "Lo anter motor gue ke tempat biasanya."
"Aw! Pelan-pelan," gerutu Alfan.
"Udah lo diem aja. Suruh siapa pake paksa-paksa gue."
Kini Chika dan Alfan sedang duduk di bangku taman. Alfan terpaksa membatalkan rapat dengan rekan bisnisnya.
Chika sibuk mengompres luka di sudut bibir Alfan menggunakan air dan sapu tangan yang baru Alfan beli dari warung di dekat taman itu.
"Tiap malam kamu balapan liar?" tanya Alfan.
Chika menekan kompresan pada sudut bibir Alfan. "Aw! Kamu ini bisa santai gak sih?"
"Makanya lo gak usah bahas itu. Males gue jawabnya."
"Cuma balapan liar aja, kan? Gak lakuin yang lainnya?"
Kembali Chika menekan luka Alfan. Kali ini Alfan menjauhkan wajahnya.
"Ogah gue ngobatin muka lo." Chika melipat tangan di depan dada. Ia benar-benar kesal pada Alfan yang ia pikir terlalu ingin tahu tentang dirinya. "Gini-gini gue masih punya harga diri. Gue bukan cewek murahan yang mau dicicipin sana-sini," jawab Chika tanpa memandang Alfan.
"Jangan bohong," kata Alfan sambil menyipitkan matanya.
Chika menoleh pada Alfan lalu menatap tajam pada Alfan. "Memangnya muka gue kelihatan tukang ngibul? Ngeselin banget sih lo. Gue bersyukur yang dijodohin sama lo itu bukan gue."
Alfan tersenyum sinis. "Memangnya aku mau sama situ? Idih amit-amit punya istri tukang balap liar. Harusnya kamu tuh contoh adik kamu. Pendiem, nurut sama orang tua, feminim, anggun, cantik, baik, pinte-"
"Terus aja sebut semua. Bentar lagi juga lo bakal nangis."
"Sok tau kamu," kata Alfan sambil tertawa kecil.
"Memang gue tau. Kalau gak percaya, lihat aja nanti."
Alfan hanya mampu tertawa kecil. Sampai kapanpun, berbicara dengan calon kakak iparnya ini tidak akan ada habisnya. Lebih baik menyudahi pembicaraan bila akhirnya harus bertengkar dengan Chika.
"Ekhm, bentar lagi aku manggil kamu kakak dong ya," kata Alfan.
Chika menoleh sebentar. "Untuk apa? Umur lo berapa?" tanya Chika.
"27 tahun," jawab Alfan.
"Umur gue 24 tahun. Tua-an lo dari pada gue. Jadi gak usah panggil 'kakak', risih gue dengernya."
Tiba-tiba Alfan tertawa. Entah apa yang menurutnya lucu. Chika sampai bingung dibuatnya. "Lo kenapa? Kesambet apaan lo?" tanya Chika. Ia tersenyum ngeri.
Setelah meredakan tawanya, barulah Alfan bisa menjawab. "Umur kamu 24 tahun? Masih kuliah? Umur berapa kamu masuk kuliah? Keburu tua duluan sebelum dapet kerja," kata Alfan.
Chika tersenyum miring. "Kalau gak tinggal kelas, gak gaul. Gue pernah gak naik kelas."
"Hmmm berarti kamu sama Firly memang benar-benar beda jauh ya. Firly pinter, selalu dapat juara kelas, selalu juara dalam lomba apapun. Kok bisa bertolak belakang gitu sih?"
Chika terdiam. Ia sudah sangat bosan mendengar orang membanding-bandingkan dirinya dengan Firly. Sudah banyak orang yang menghinanya lalu membandingkan dirinya dengan Firly. Mereka selalu membanggakan adiknya itu.
"Kenapa kamu diem aja?" tanya Alfan yang menyadari Chika melamun.
"Gak kenapa-napa. Cuma omongan lo tadi udah sering gue denger. Udah bosen gue."
Alfan tersenyum kecil, ia tahu jika Chika malas membahas soal perbedaan dirinya dengan Firly. Alfan mengambil alih sapu tangan dari Chika. "Ayo pulang. Udah malem, biar aku anter kamu pulang."
Chika berdiri dan menatap langit malam. "Gue udah biasa sama malem, jadi lo gak perlu nganter gue pulang."
Alfan ikut berdiri. "Gak ada penolakan. Kamu harus aku anter pulang."
Chika menarik nafas panjang. Apa lagi yang bisa ia lakukan. Ia malas sekali jika harus naik kendaraan umum. Tidak ada pilihan lain selain pulang bersama Alfan. "Ok, tapi lo gak boleh cerita ke orangtua gue."
"Jadi orangtua kamu gak tau kalau kamu balapan liar?" tanya Alfan.
Chika tersenyum masam. "Lo gila apa b*go? Orangtua mana yang ngebiarin anaknya balapan liar? Apalagi gue perempuan. Ya jelas orangtua gue gak tau dan gak boleh sampe tau. Lo gak usah banyak cingcong deh, mau nganter gue pulang gak nih?"
"Iya-iya, dari tadi ngegas mulu."
Alfan berjalan menuju mobilnya, kemudain membuka pintu penumpang depan. "Buruan masuk," katanya pada Chika.
Dengan malas Chika berjalan dan masuk ke dalam mobil lewat pintu yang dibukakan oleh Alfan. Setelah Chika masuk, Alfan juga masuk ke dalam mobil.
* * * *
Hari pernikahan telah tiba. Rumah kediaman keluarga Wijaya sudah dipenuhi oleh tamu undangan. Rumah itu sudah dihias oleh dekorasi yang sangat mewah dan pastinya mahal. Tentu saja pesta itu diadakan dengan semeriah mungkin. Alfan dan keluarganya adalah pembisnis yang terkenal sukses. Tidak mungkin mereka mengadakan pesta kecil.
Di kamar pengantin, Firly sedang dirias oleh perias pengantin. Ia mengenakan kebaya pengantin yang sangat indah. Namun ada satu yang merusak penampilannya, yaitu ekspresi wajah. Firly kelihatan sangat gelisah. Sesekali ia melirik pada jam dinding. Sampai detik ini, Chika belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu. Firly pikir itu adalah WO, tapi ternyata perkiraannya salah. Orang itu adalah Chika. Chika membuka pintu lalu masuk ke dalam kamar.
Firly tersenyum melihat penampilan kakaknya yang tidak seperti biasanya. Chika mengenakan gaun panjang berwarna pink. Walaupun rambutnya masih berwarna merah, namun kali ini Chika menata rambutnya itu.
"Kakak kayak artis yang siap tampil," canda Firly.
"Gak usah banyak cingcong lo. Nanti gak gue tolongin." Chika kesal karena Firly mengejek penampilannya. Walaupun orang mengatakan hari ini ia sangat cantik dan anggun, tapi untuk Chika, rasanya ia sedang memakai baju baja. Ia tidak bisa bergerak dengan bebas.
"Kak, kapan Kakak bantuin aku?" tanya Firly.
Dua perias yang sedang merias Firly sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan kakak-beradik itu. Mereka hanya fokus pada tugasnya saja.
Chika tersenyum, ia mengeluarkan dua sapu tangan. Tanpa diduga, Chika membekap dua perias itu dengan sapu tangan tersebut. Firly sampai membulatkan matanya ketika melihat Chika nekad membius para perias itu. Tak butuh waktu lama, dua perias itu sudah jatuh ke lantai.
"Ngapain lo bengong? Cepet ganti baju. Kalau lo lari pakai kebaya begini, yang ada lo jatoh. Setelah ganti baju, lo turun dari balkon. Si Rio udah nyiapin tangga di sana. Habis itu dia juga yang bakal bawa lo pergi dari sini."
Mendengar apa yang diucapkan oleh kakaknya, Firly langsung berdiri dan memeluk Chika. "Makasih banyak, Kak. Aku sayang Kakak."
Chika hanya diam saja. Ia tidak membalas pelukan dari Firly. "Ya elah, lebay banget sih lo. Cepetan, kita gak punya banyak waktu."
Firly mengangguk, dengan cepat ia mengganti pakaian. Ia juga tidak lupa membawa tas ransel yang sudah ia siapkan sejak kemarin.
"Cepetan. Kalau lo ketangkep, gue angkat tangan. Gue gak mau berurusan lagi sama apa yang bakal terjadi kedepannya." Chika membukakan pintu yang mengarah ke balkon.
"Ok, Kak. Sekali lagi makasih."
Benar saja yang dikatakan oleh Chika tadi, di sana sudah ada tangga kayu. Tangga tersebut menghubungkan antara lantai balkon dengan tanah. Tanpa membuang waktu lagi, Firly langsung menuruni tangga. Sedangkan Chika, ia memastikan bahwa tidak ada orang yang melihat Firly kabur.
Firly sudah berhasil keluar dari area rumah. Kini Chika bisa menarik nafas lega. Janjinya pada sang adik sudah ia tepati. Kini waktunya ia lari juga. Jangan sampai kedua orangtuanya menanyakan keberadaan Firly pada dirinya.
Dengan langkah yang hati-hati, Chika berjalan untuk keluar kamar. Saat akan meraih gagang pintu, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Di saat yang bersamaan, Tia berteriak ketika melihat para perias tergeletak di lantai.
"Aaaa! Apa yang terjadi?"
Tia mengalihkan pandangan pada Chika yang berdiri mematung sambil membulatkan mata. Kemudian matanya menyapu seluruh kamar.
"Firly mana?" tanya Tia.
"Ma-ma-mamah, Firly ...."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!