NovelToon NovelToon

Jumat Legi

Asmarandana

Desa Sumberagung, 1968

- - -

Welahanane penggalih

Kawula tan isa manah

Ratri wis nendra lan lungse

Nanging ulun manindawa

Merga prana marana

Tan wales wulangun ulun

Sing duwe atmaka mendra

Belahan hatiku

Aku tidak bisa berpikir dengan benar

Malam sudah larut

Tapi aku masih terjaga

Karena hatiku sakit

Kau tidak membalas cintaku

Ku pastikan kamu mati

- - -

Wanita yang berumur sekitar 25 tahunan duduk bersila sambil melantunkan tembang Asmarandana. Sudah setengah jam ia menunggu kedatangan seseorang. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang. Sesekali ia mengusap keringat yang mengalir dari dahinya. Tiba-tiba sebuah delman dengan kuda berwarna cokelat berhenti di depan rumah peyot tempat wanita itu duduk. Turunlah seorang pemuda yang gagah. Setelah memberikan beberapa lembar uang kepada kusir delman, pemuda itu mendekati wanita yang sedari tadi menunggu kedatangannya.

"Sudah lama menunggu, Sukesih?" tanya si pemuda kepada wanita bernama Sukesih.

"Tidak, Kang Darman," jawab Sukesih.

"Maafkan aku. Kuda delman tadi sempat tidak mau berjalan. Jadi, kami terpaksa membujuknya sejenak," ujar Darman sambil mengibaskan tangannya karena kepanasan.

"Tidak apa-apa, Kang."

"Sudah beberapa hari ini kau selalu mengajakku bertemu di rumahmu. Setiap kutanyakan, kau pasti menjawab tidak ada apa-apa. Apa yang bisa kubantu untukmu?"

"Kakang tidak akan bisa membantu permasalahan saya."

"Kalau kau sendiri tak mau bicara, bagaimana caranya aku bisa mengerti permasalahanmu?"

"Sudahlah, Kang. Tak perlu berpura-pura. Kakang sebenarnya sudah tahu permasalahannya. Masalah dalam hidup saya adalah saya mencintai Kakang dan Kakang tidak pernah mencintai saya."

"Maafkan aku, Sukesih. Tidak seperti itu maksudku. Aku tahu kau begitu mencintai diriku. Tapi sayangnya aku tak pernah bisa menganggapmu lebih selain sahabat pada masa kecil."

"Itulah masalahnya, Kang. Saya tak bisa melupakan Kakang."

"Sudahlah, Sukesih. Kau cantik dan molek, tidak mendapatkan lelaki sepertiku bukanlah masalah yang sulit. Di luar sana banyak lelaki yang masih membutuhkan dirimu."

Sukesih terdiam sejenak, berusaha mencerna perkataan Darman dan melihat beberapa orang berlalu lalang di depan rumahnya. Para tetangga akan membicarakan dirinya esok hari, seperti biasa. Sebagai wanita murahan yang mengincar kekayaan Darman. Padahal Sukesih yakin, dia benar-benar mencintai Darman setulus hati.

"Apakah orang-orang masih membicarakan kita?" tanya Darman membuyarkan semua garis-garis kehidupan Sukesih.

"Iya," jawab Sukesih singkat.

"Kurasa mereka belum bosan mengurusi kehidupan kita."

"Bukan salah mereka. Tetapi salah dirimu sendiri, yang membuat orang-orang berpikir buruk tentangku. Andai saja kau bisa mengalah demi cintaku, orang-orang tidak akan berpikir seperti itu."

“Maafkan aku, Sukesih. Sudah berapa kali aku katakan kepadamu, aku tidak bisa mencintaimu. Lagi pula aku akan menikah dengan Ratri bulan depan.”

Tiba-tiba Sukesih mengeluarkan pisau dari belakang tubuhnya. Matanya melotot berwarna merah. Napasnya memburu sambil menodongkan pisau.

“Apa yang hendak kau lakukan, Sukesih?” tanya Darman bingung. Dia perlahan mundur dari tempat duduknya. Dia ingin meminta pertolongan warga tapi tidak ada seorang pun di sana. Beberapa warga yang lewat tadi sudah pulang ke rumah masing-masing.

“Aku tak bisa mendapatkanmu, maka Ratri pun tidak akan mendapatkanmu. Tak akan kubiarkan seorang pun bisa menyentuhmu. Akan kuantarkan kau kepada Yang Mahakuasa.”

***

“Saya mau dibawa ke mana, Kang?” tanya Sukesih pada Darman.

“Sudahlah, Sih. Ikut denganku saja. Ada seseorang yang menunggumu di sana.” Darman terus menarik tangan Sukesih ke sawah. Melewati parit dan hampir terjerembap ke dalam lumpur. Namun, hal itu tak membuat Darman melepaskan tangan Sukesih. Sukesih terus berjalan sambil berusaha membersihkan sisa-sisa lumpur yang melekat di bajunya. Tiba-tiba Darman berhenti di depan gubuk pinggir sawah. Di sana terdapat seorang wanita. Darman mendorong pelan Sukesih ke hadapan wanita itu.

“Siapa dia?” tanya Sukesih pada Darman. Di sisi lain wanita itu melemparkan senyumnya kepada Sukesih.

“Dia Ratri, anak kepala desa sebelah utara. Dia tunanganku.”

Sukesih terbelalak kaget. Tak mungkin Darman telah bertunangan dengan orang lain. Darman tidak pernah mengundang dirinya.

“Hai Mbak, saya Ratri,” ujar wanita itu memperkenalkan diri. Sukesih tidak menerima jabatan tangan dari Ratri. Sukesih malah memperhatikan postur tubuh Ratri dari bawah ke atas.

“Mbak, Mbak!” Ratri mengibas-ibaskan tangannya ke muka Sukesih.

“Eh eh, iya? Saya Sukesih.” Akhirnya Sukesih menerima jabatan tangan Ratri setelah melamun sedikit lama. Ratri tersenyum melihat tingkah Sukesih.

Ratri dan Darman asyik berbincang sambil menikmati angin sawah. Sukesih hanya menggeleng atau menganggukkan kepala jika mendengar pertanyaan dari mereka berdua. Mereka tak sadar, Sukesih yang tersakiti di sini. Air mata yang mulai menetes, segera diusap oleh Sukesih.

“Uumm … saya pergi dulu, ya. Saya belum cuci baju di rumah. Saya pamit ya Ratri, Darman,” pamit Sukesih pada pasangan kekasih itu. Mereka hanya mengangguk, setelah itu mereka kembali berbincang. Tak jarang mereka tertawa terbahak-bahak.

Sukesih pergi dengan perasaan kecewa. Hatinya pecah berkeping-keping. Dia tak pernah berharap menemui kejadian ini. Dulu, Sukesih pernah menyatakan perasaannya pada Darman. Tetapi, Darman menolak cintanya karena menganggap Sukesih tidak lebih sebagai sahabat masa kecil. Bahkan banyak wanita yang tidak sungkan menyatakan isi hatinya. Namun, semuanya ditolak mentah-mentah. Karena hal itu, Sukesih tak

pernah berpikir bahwa Darman akan bertunangan dengan orang lain. Darman memang sering menceritakan masalahnya dengan Sukesih tetapi tidak untuk kisah cintanya.

Darman benar-benar melupakan Sukesih, bahkan ketika bertunangan pun Darman tak mengundang Sukesih. Sukesih sadar dia bukan orang yang pantas untuk masuk ke rumah kepala desa. Namun, setidaknya dia bisa bercerita sedikit. Jika Sukesih tahu dia akan hancur seperti ini, dia tidak akan pernah menaruh rasa cinta pada

Darman.

Kini, dia hanya duduk di bawah pohon mangga. Sejuknya angin siang tak sesejuk hati Sukesih yang terbakar api cemburu. Sukesih benar-benar patah hati. Matanya sembap karena terlalu banyak air mata yang keluar sejak dia pergi dari tempat tadi. Sukesih pun mengerti kalau dia hanya menjadi orang ketiga.

Sukesih pulang ke rumah orangtuanya. Tetapi, dia tidak keluar kamar berhari-hari, hanya menangis setiap malam. Tentu saja keluarganya khawatir tentang keadaan Sukesih.

"Sukesih, ayolah keluar, Nak. Kamu tidak perlu memikirkan Darman terlalu lama. Keluar dan makanlah sesuatu," ujar ibu Sukesih sambil mengetuk pintu kamarnya. Namun, tetap tidak ada jawaban.

"Banyak lelaki di luar sana yang bisa menjadi milikmu. Tak perlu kau pikirkan Darman itu. Kau bisa sakit. Keluarlah dan makanlah." Lagi-lagi tidak ada jawaban. Sepintas hanya suara sesegukan di dalam kamar Sukesih. Ibunya kecewa karena usaha tidak berhasil.

Sukesih memutuskan untuk menceritakan semua ini pada sebuah kertas. Dia sering menceritakan kebahagiannya di kertas itu. Kali ini berbeda, Sukesih menulis kisahnya yang pahit. Dengan amarah yang meluap dan api cemburu, tak sekali dua kali dia menusuk-nusuk kertas itu. Hingga tak jelas apa yang Sukesih tuliskan di sana. Mata Sukesih memerah dan napasnya tersengal-sengal karena terlalu banyak air mata yang mengalir. Sukesih mengusap cepat air matanya. Dia akan mengisi kertas hari ini dengan tembang Asmarandana.

Tak perlu waktu lama untuk membuatnya, 7 baris lirik tembang sudah berjajar rapi menghiasi kertas Sukesih. Menjadi 14 baris dengan artinya. Sukesih tersenyum bisa menyelesaikan tembangnya. Dia mulai membaca dan menghafalkannya. Dia juga menggeleng-gelengkan kepalanya menikmati tembangnya sendiri. Di hati Sukesih sudah tertanam dendam. Dia akan menanamnya dalam-dalam hingga tumbuh tunas yang akan menuntunnya nanti.

***

Jleb!

Pisau tertancap pada tubuh Darman. Tidak hanya sekali. Sukesih menancapkan pisau itu berkali-kali. Mata Darman melotot merasakan sakit di dadanya. Tidak ada perlawanan dari Darman, hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari mulutnya.

"Aku tahu ini salah. Namun, cintaku padamu menutup semuanya. Daripada kau menikahi orang lain dan aku tidak mendapatkan cintamu, lebih baik kau mati," ujar Sukesih. Bibirnya sedikit terangkat. Awalnya, dia tersenyum lalu tertawa.

Tak Sukesih sangka, dia bisa membunuh orang yang dia cinta. Kini Darman ada di pelukannya, walaupun tak utuh lagi. Sukesih berusaha menyeret tubuh Darman menuju ke dalam rumahnya. Guci besar yang terbuat dari tanah liat sudah bersiap menerima tubuh Darman. Dengan susah payah Sukesih mendorong Darman agar masuk ke guci. Pisau yang menjadi saksi bisu telah Sukesih cuci, dan dia masukkan ke dalam tas kainnya. Dia akan pergi dari sini, dari desa, rumah, bahkan keluarganya. Dia akan pindah ke desa Sumbersoko dan menulis kisah baru di sana.

***

Teror

Bulan sudah singgah dilangit, memberi secercah cahaya di kegelapan. Rumah-rumah sudah memadamkan

lentera dan menutup pintu. Mereka ingin tidur agar esoknya bisa bekerja untuk menafkahi keluarga. Berbeda dengan lelaki berkulit hitam ini, seakan melupakan pesan dari Kepala Desa, dia nekat keluar untuk mencari sesuap nasi.

"Kang, haruskah malam ini kamu keluar?" tanya sang istri sambil menatap wajah lelaki dengan rambut yang menghiasi dagu dan bawah hidung.

"Kamu tahu sendiri, bagaimana sikap juragan kemarin. Dia datang ke sini sambil marah-marah karena sehari tak mencari bekicot. Kalau bukan demi kamu dan anak kita, lebih baik aku kelaparan daripada bekerja pada orang seperti itu," ujar sang suami sambil mengecek peralatan mencari bekicotnya. Hanya ember dan lentera yang dia bawa untuk mencari bekicot di tengah kegelapan sawah. Tak lupa juga ia membawa pisau untuk menjaga keselamatan.

"Tapi kata Kepala Desa tadi pagi, kita harus tetap berada di rumah untuk berjaga. Karena kita tak tahu pasti kapan dia datang." Sang istri masih mencoba mencegah suaminya.

"Tenang saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Peluk anak kita saat tidur, dan jangan pernah meninggalkan anak kita sendirian. Satu lagi, lentera rumah jangan sampai mati. Berharaplah tidak terjadi apa-apa hingga besok pagi." Sang suami melenggang pergi setelah menyampaikan pesan, walaupun dalam hati masih was-was setelah apa yang terjadi. Sang istri menghela napas setelah tidak lagi melihat suaminya. Lalu dia menutup pintu rapat-rapat, berharap tidak ada yang terlambat.

Sang suami melangkah menuju pekarangan sawah, melewati beberapa rumah, dan berhenti sejenak untuk

mencicipi pisang goreng di gardu terdekat.

"Mau ke mana, Pri?" tanya salah satu warga yang duduk di gardu sambil menyeruput kopi.

"Biasa Kang, cari bekicot. Sejak pagi, juragan tidak berhenti mengomel," jawab laki-laki bernama Supri ini.

"Berani ya, Pri? Meninggalkan anak dan istri di rumah," sela laki-laki berambut gondrong.

"Kalau bukan demi menghidupi keluarga, ya saya tidak mau Kang. Saya pergi dulu, ya." Supri meninggalkan beberapa warga di gardu yang sedang bersenda gurau.

Supri sudah sampai di sawah dan mulai menyenteri pinggiran parit. Hewan berlendir dan berwarna

kehitaman selalu menjadi temannya pada malam hari. Tiba-tiba semak-semak pinggir sawah bergerak, membuat cahaya lentera Supri mengarah ke sana.

"Siapa di sana?" tanya Supri. Tidak ada jawaban. Semakin lama, semak-semak bergerak semakin cepat. Membuat jantung Supri berdegup kencang, keringat di dahi keluar tanpa permisi. Kakinya mulai melangkah walau bergetar hebat. Ketika semak-semak berada 5 meter di depan Supri, semak-semak berhenti bergerak. Seolah-olah mengerti ada seseorang yang mengawasinya sekarang.

"Meooong!"

Kucing melompat dari balik semak-semak membuat Supri terkejut setengah mati. Hingga akhirnya dia marah-marah tak karuan. Supri berbalik menghadap sawah. Belum selesai rasa terkejutnya, kini di depannya ada seseorang. Bukan kucing atau anjing, dia makhluk seperti Supri, hanya saja dia lebih kecil. Cahaya lentera Supri mengarah pada makhluk ini. Tangannya berayun-ayun, tapi anehnya dia tidak memiliki kepala. Darah mengalir dari lehernya.

Supri tercekat, dia tak bisa berkata apa-apa. Matanya terus melotot. Jantung dan kakinya bergetar, akhirnya dia pingsan setelah rasa takut itu membuatnya terkencing-kencing.

***

Lagi-lagi warga berkumpul di tempat ini. Banyak pertanyaan dan masalah yang tak kunjung menemukan solusi. Kali ini mereka berkumpul dengan masalah yang berbeda.

Supri duduk dengan wajah pucat. Dia masih trauma dengan kejadian semalam. Kejadian yang sama sekali di

luar dugaan. Istri dan anaknya ikut khawatir sambil menenangkan suaminya yang terus meracau. Warga yang datang semakin banyak sambil membawa pertanyaan.

"Pak, sebenarnya apa yang terjadi di sini?" tanya salah satu wanita yang berkonde besar.

"Tenang Bu, kita juga masih berusaha untuk menanyakannya pada Kang Supri," jawab Kepala Desa. Supri ditemukan pingsan di pinggir sawah oleh warga. Sebab itu dia dibawa ke rumah Kepala Desa.

"Pak Supri, bisa bapak jelaskan kenapa bapak bisa pingsan di pinggir sawah?" tanya Kepala Desa pelan.

Supri mulai bercerita kejadian tadi malam sambil bergidik ngeri. Warga menganga mendengar pernyataan Supri. Tak mungkin ada hantu di desa ini. Desa ini tak pernah mendapat gangguan apa pun sejak bertahun-tahun.

"Pak, bagaimana ini? Masalah yang kemarin saja belum kelar, tapi kita diberi masalah lain." Pertanyaan warga membuat Kepala Desa menggaruk kepala. Dia bingung harus menjawab apa.

"Kita tenang dulu, ya. Semoga ada jalan keluarnya," sahut sang Kepala Desa.

***

Malam mencekam kembali datang, menaburkan debu-debu ketakutan. Keringat dingin membasahi tubuh tiap

warga yang masih terjaga.

"Beda ya rasanya. Tidak seperti malam-malam kemarin," kata kakek bermulut ompong. Entah siapa yang mengajak kakek itu ikut berjaga. Belum ketemu dengan bahaya, kakek ini bisa encok duluan.

"Iyalah, Kek. Gara-gara berita tadi pagi, suasananya jadi berbeda. Yang menyuruh Kakek ke sini siapa? Bawa singkong rebus segala lagi," sahut lelaki yang umurnya berbeda puluhan tahun.

"Kakek ini kan juga laki-laki. Jadi, kakek punya tanggung jawab juga."

"Haduuh ... sudahlah, terserah Kakek."

Di tengah perbincangan mereka, tiba-tiba terdengar seperti ada seseorang yang menendang sesuatu.

"Kek, Kakek dengar suara itu?" tanya lelaki muda tadi.

Kakek itu mengangguk sambil berhenti mengunyah singkong dan mendengarkan suara itu baik-baik.

"Suaranya dari belakang, Kek. Sepertinya dari rumah itu!" Tunjuk lelaki muda pada sebagian atap rumah yang terlihat dari gardu. Rumah itu lumayan cukup tinggi dari rumah lainnya. Lelaki itu siap dengan senter dan celurit di tangannya. Sementara kakek itu masih mencomot satu singkong dan berpegangan pada sarung

yang dikenakan lelaki di depannya.

Keduanya berjalan menuju belakang gardu sambil tetap berjaga melihat keadaan sekitar. Mereka melihat

seseorang yang menendang pintu saat menjauhi gardu. Dia mencoba menerobos pintu tapi tak bisa.

"Kamu maling, ya?" tanya si lelaki yang muda. Orang itu tidak menjawab dan terus menendang pintu. Di sisi lain, si kakek terus memegangi sarung pemuda di depannya hingga hampir copot. Mereka terus mendekat, tak tahu bahaya apa yang ada di depannya.

"Hei! Kamu maling, ya?" Pertanyaan yang sama dilontarkan sambil menarik orang itu. Cahaya lentera memberitahu yang sebenarnya. Tepat di depannya, berdiri makhluk tanpa kepala dengan tangan yang berayun-ayun seperti mencari sesuatu. Darah terus mengucur dari leher. Kakinya mengambang, tidak menapak tanah.

Keberanian lelaki itu tiba-tiba saja menghilang, kakinya bergetar hebat. Sang kakek masih sempat mengunyah dan menelan singkong rebusnya, sebelum akhirnya jatuh ke tanah tak sadarkan diri. Dengan susah payah, lelaki muda tadi berhasil mengumpulkan tenaganya untuk lari menyelamatkan diri.

***

Teror 2

Berbeda di gardu, berbeda pula di lapangan. Seorang penjual kue putri mandi mengayuh sepedanya melewati

tanah berumput. Dia baru saja pulang setelah menjajakan jualannya. Sebuah lubang kecil dari gerobaknya terus mengeluarkan suara, berlomba dengan suara yang berada di lapangan. Di tengah gelapnya malam penjual kue tak dapat melihat jelas apa yang sedang terjadi di sana. Gerombolan orang berkumpul di satu

tempat, seperti sedang melihat pertunjukan. Tapi tidak ada suara apa pun di sana, hanya suara tendangan. Penjual kue itu mendekat untuk mencari tahu. Dia berjalan sambil mengusap keringat-keringat yang menetes dari dahinya.

 "Hei! Sudah malam anak-anak, cepat pulang!" ujar lelaki paruh baya itu. Dia melihat beberapa anak menendang benda berwarna bundar. Sudah larut malam seperti ini, tapi mereka masih saja bermain bola. Karena perkataannya diabaikan begitu saja, akhirnya dia memutuskan untuk mendekat. Sayangnya, keberuntungan tak berpihak padanya malam ini.

 Penjual kue baru sadar, bahwa mendekati gerembolan itu adalah keputusan yang salah. Gerombolan itu

memang anak-anak, tapi tak memiliki kepala. Benda bundar yang mereka gunakan untuk bermain adalah kepala dengan bibir menyunggingkan senyum.

 "Setaaaan!" penjual kue ini berteriak sambil berlari meninggalkan gerobaknya.

 Dengan terengah-engah, akhirnya dia sampai di tempat tinggalnya. Dia tak tahu ada kabar apa yang sedang menunggunya di dalam sana.

 Malam ini berbeda, ada yang janggal dengan rumahnya. Dia terkejut ketika melihat lubang besar pada

rumahnya, tanda yang  tak diinginkan semua orang. Di dalam rumah sudah ada istrinya yang menunggu dengan mata sembap.

"Ada apa ini, Dek?" tanya penjual kue pada istrinya. Dia tidak ingin mendapatkan jawaban seperti dugaannya.

 "Dia menghilang," jawab sang istri sambil menangis tersedu-sedu.

"Kenapa bisa menghilang? Bukankah kamu berada di dekatnya?"

"Aku sudah menjaganya. Tapi, entah mengapa dia bisa menghilang." Sang istri memeluknya.

 "Besok pagi, kita pergi ke rumah Kepala Desa." Penjual kue itu menyuruh istrinya tidur, sedangkan dirinya duduk di dekat jendela sambil melihat bulan yang bersinar indah. Berbanding terbalik dengan keadaan rumahnya yang sedang gundah.

 ***

Bendera kuning menancap pada pagar rumah. Banyak orang yang datang untuk ikut berduka cita, menenangkan sang pemilik rumah, atau sekadar membunuh rasa penasarannya.

 "Ini semua salah Joko. Seandainya dia tidak meninggalkan kakekku sendirian, kakekku tidak akan meninggal seperti ini," ucap sang pemilik rumah sambil menatap Joko, lelaki yang semalam ikut berjaga di gardu sebelum

akhirnya lari terbirit-birit. Mata sang pemilik rumah berwarna merah dan berkaca-kaca. Sudah banyak air mata yang menetes setelah warga membawa kakeknya pulang tanpa nyawa.

 Joko sejak tadi hanya menunduk, sebab kecewa, malu, dan sedih menjadi satu.

 "Seharusnya dia paham, apa yang terjadi jika orang yang sudah tua bertemu dengan hal seperti itu. Jika saja Joko masih ada niatan untuk menyelamatkan kakekku, aku tak akan sesedih ini. Bahkan kakekku mungkin masih meminum kopi di teras rumah." Gadis itu masih menyalahkan Joko yang semakin merundukkan kepala.

 "Hei semuanya!" teriak seorang lelaki dengan baju berwarna cokelat buluk dan celana pendek yang senada.

 "Ada apa, Pak?" tanya Joko yang terkejut karena mendengar teriakan lelaki itu.

 "Pak Jaya kehilangan anaknya semalam." Jawaban lelaki itu membuat semua orang terkejut. Setelah kejadian banyak hantu yang meneror warga, apakah mereka harus mendapat musibah lagi?

 Mendengar hal itu warga kembali was-was karena ada dua bahaya yang mengancamnya di luar sana. Semua

orang segera meninggalkan rumah kakek yang meninggal tadi malam. Berpindah haluan ke rumah Kepala Desa untuk meminta pertanggung jawaban.

 Di rumah Kepala Desa sudah ada kedua orangtua korban bulan ini. Mereka bertopang dagu dan memegang kepala sambil memikirkan masalah ini.

 "Pak, bagaimana ini? Katanya sudah diselesaikan, kenapa masih berjatuhan korban?" tanya salah satu warga yang kebetulan ada di depan kerumunan.

 "Tenang, saya harap kalian tenang. Saya tahu masalah kalian, tapi yang kita hadapi bukan makhluk hidup biasa. Seberapa ketat penjagaan di desa ini, masih saja bisa ditembus oleh dia," jawab Kepala Desa.

 "Bisakah bapak dan ibu ceritakan bagaimana kejadiannya?" Pertanyaanya sang Kepala Desa membuat warga memutar bola mata, kesal. Semua warga sudah lelah dengan ucapan sang Kepala Desa.

 "Tadi malam saya menunggu suami saya pulang dari berjualan. Saya sudah menjaga anak saya dengan baik. Hanya saya tinggalkan untuk mengambil air minum, lalu dia sudah tidak ada," cerita sang istri penjual kue.

 "Bodoh! Kau berbohong tadi malam. Katamu sudah menjaganya, tapi kau tinggalkan mengambil air."

Sang suami mendorong kepala istrinya.

"Dia yang haus," sahut sang istri membela diri.

 "Sabar ya, Pak. Apa Ibu tidak bisa waspada? Biasanya sebelum anak-anak menghilang, ada suara nyanyian di luar rumah," ujar Kepala Desa dijawab gelengan oleh wanita itu. Melihat hal itu warga mengerutkan dahi.

 "Nyanyian itu berada di rumahku," sahut wanita bertubuh tinggi dan berkulit kuning langsat yang berada di pinggir kerumunan.

 "Awalnya, aku berpikir bahwa anak tetanggaku yang akan hilang. Tapi ternyata anak Ibu ini," lanjut wanita itu. Dia mengira anak tetangganya yang akan hilang karena dia sendiri tidak punya anak.

 "Sudah saya katakan, kita harus waspada setiap malam. Lihat ini! Nyanyian ada di rumah Mbak ini, tapi Ibu ini yang kehilangan anaknya. Jadi, kita harus tetap waspada sebelum kejadian ini benar-benar usai," terang Kepala Desa.

"Apa tidak ada cara lain selain waspada?" tanya wanita itu.

 "Semua warga laki-laki berkumpul di sini jam tiga sore. Kita diskusikan lagi masalah ini." Jawaban sang Kepala Desa membuat semua orang sedikit lega.

 ***

 "Bisakah kita memulai diskusi sebelum hari mulai gelap? Kalian tidak ingin pulang bertemu dengan mereka, kan?" Goda Kepala Desa sambil memainkan alisnya kepada beberapa warga yang asyik mengobrol dan makan gorengan yang disediakan.

 "Hehehe… bisa. Pak. Silakan dimulai," jawab Joko yang menyadari kesalahannya. Keadaan menjadi tenang, semua orang tidak ada yang berbicara kecuali sang Kepala Desa yang memberikan penjelasan tentang masalah yang harus dibahas.

 "Apakah bapak-bapak di sini tidak curiga, jika hantu itu ada hubungannya dengan hilangnya anak kecil di desa kita?" tanya lelaki yang tadi pagi sempat memberikan berita tentang hilangnya anak Pak Jaya.

 "Tunggu, maksud bapak apa?" tanya Kepala Desa.

 "Begini Pak, kita mengalami masalah berupa kehilangan anak kecil dan munculnya hantu dalam waktu

yang bersamaan. Mungkinkah anak yang hilang itu tadi dibunuh dan menjadi hantu?"

 "Tidak! Saya tidak punya pemikiran seperti itu. Jika itu benar, berarti anak saya juga dibunuh. Tidak!" sela Pak Jaya.

 "Jika kemungkinan itu tidak terjadi, dari mana munculnya hantu berukuran anak-anak itu?" Pertanyaan itu membuat semua orang khawatir.

 "Tolong jangan sebarkan kecurigaan Bapak kepada warga. Saya tidak ingin warga menjadi resah karena ini. Jadi, begini saja, solusi sementara adalah ada yang menjaga penculik itu agar tidak masuk, dan menjaga agar hantu itu pergi dari desa ini." Kata-kata terakhir dari Kepala Desa membuat semua orang menelan ludah. Siapa yang mau kejar-kejaran dengan makhluk halus itu? Lagi pula, ingin ditangkap dengan apa jika bertemu mereka? Mereka makhluk yang bisa berpindah-pindah tempat. Solusi yang sangat tidak masuk akal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!