NovelToon NovelToon

Kamar No.11B

Part. 1

Sore ini aku masih berjalan mengelilingi kampus, mencari kamar kost. Tentu saja aku mencari kamar kost yang memiliki harga terjangkau, agar tak memberatkan ayah dan ibuku. Tak kupungkiri, pekerjaan ayah di kampung hanya seorang guru agama sekolah dasar. Sedangkan ibu, cuma seorang ibu rumah tangga biasa. Jadi, kami sebagai anak yang harus mengerti keadaan orang tua.

Aku Adi, mahasiswa tingkat satu sekaligus perantau yang baru menginjakkan kaki di kota besar ini. Sudah dua minggu sejak perkuliahan di mulai, aku belum mendapatkan kamar kost yang sesuai. Rata-rata, harga sewa kamar kost di sekitaran kampus lumayan mahal.

Sudah sekitar setengah jam aku mengitari daerah belakang kampus, namun tak menemukan kamar kost yang sesuai. Peluh membasahi dahiku, kemejaku basah oleh keringat, kaki pun mulai pegal.

Matahari memancarkan sinar jingga, langit pun perlahan-lahan mulai gelap. Suara mengaji dan shalawat terdengar saling bersahutan dari masjid dan mushola. Ah, sebentar lagi maghrib.

Aku berjalan tepat di belakang kampus, sebelah kiriku tembok kampus dan terlihat di dalamnya gedung tujuh lantai menjulang. Temboknya tinggi, penuh coretan dan gambar. Jalan ini tak terlalu besar, sebelah kananku sebuah lapangan rumput dan kebun kosong, lebat dengan pepohonan. Di ujung jalan kulihat sebuah mushola kecil, catnya putih, dan sebagian atapnya tertutup pohon besar.

Adzan berkumandang, syahdu dan menenangkan. Beberapa pria berpeci terlihat jalan menuju mushola. Segerombolan anak kecil berlarian saling canda, dan sekelompok wanita memakai mukena masuk ke dalam mushola.

"Ah, sebaiknya shalat maghrib dulu deh." pikirku. Aku pun berjalan menuju mushola.

Tak sengaja, mataku tertuju ke sebuah gang kecil di sebelah kanan jalan. Tak ada gapura, jalannya sedikit menurun dan nampak gelap. Di sisi kanan dan kiri hanya ada kebun kosong, namun di ujung jalan kulihat sebuah tiang lampu. Langkahku terhenti di depan gang, kulihat sebuah papan usang bertuliskan KOST PAK THAMRIN. Papannya terpaku di sebuah pohon, berwarna coklat. Tulisannya berwarna putih. Setelah shalat, aku harus ke kost ini.

Aku bergegas menuju mushola. Berwudhu lalu melaksanakan shalat maghrib, syukurnya aku tak tertinggal untuk berjamaah. Selesai shalat, aku menuju gang kecil tadi.

drrrrtttt.. drrrrtttt...

Ponselku bergetar. Mas Gun menelpon.

"Ya mas," kujawab telpon dari Mas Gun. Oiya, terhitung mulai di laksanakan OSPEK mahasiswa baru sampai saat ini, aku menumpang tinggal di kontrakan Mas Gun, kakak kelas sewaktu nyantren dulu. Namanya Mas Guntur, panggilan akrabnya Gun. Badannya tinggi dan gempal, kepalanya botak plontos, janggutnya lebat, kulit putih. Ia kakak kelas yang tegas sewaktu nyantren dulu.

"Dimana lo Di?" tanya Mas Gun.

"Ini lagi muter-muter nyari kost. Baru selesai maghriban nih. Kenapa mas?"

"Oooh, ngapain sih nyari kost? Udah di bilang kita barengan aja di sini." ucap Mas Gun.

"Hehehehehe.." aku tertawa.

"Yo aku ndak enak mas . Sampeyan, tiap hari banyak kawan yang dateng kesana. Aku takut ganggu." jawabku.

"Yowes sakarepmu ae. Lo nyari kost dimana Di?" tanya Mas Gun kembali.

"Ini di belakang kampus banget, yang ada lapangan kosong," jawabku sembari berjalan menuju gang Kost Pak Thamrin. Aku berhenti tepat di depan gang.

"Ooh di situ. Itu kan daerah sepi Di. Nggak banyak juga kost-kost-an disana." jelas Mas Gun.

"Ini dapet mas, cuma emang belum tanya-tanya sih. Baru aja mau kesana, eh sampeyan telpon."

"Ooh yowes. Kalo mau balik, kunci kamar gue taro di bawah keset ya. Gue mau ke warnet"

"Oke mas, suwun yo." aku menutup pembicaraan.

Aku pun berjalan memasuki gang ini. Jalannya sedikit menurun dan gelap, di ujung jalan ada sebuah tiang lampu penerangan. Lalu jalan berbelok ke kiri, tak ada rumah yang berdekatan di sini. Sekitar lima puluh meter dari tiang lampu di sebelah kanan, ada sebuah rumah kecil tak berpagar. Lampu terasnya tak menyala. Tanaman di depan rumah itu tak terurus, ilalang tumbuh tinggi. Namun terlihat belasan bahkan puluhan ekor kucing di terasnya. Aku lanjut berjalan melewati rumah kecil itu, dan sampailah di sebuah rumah dengan pagar pendek sedada berwarna hijau tua.

Rumahnya cukup besar dua lantai, tapi lantai atas nampak gelap tak ada lampu atau pun penerangan. Halamannya besar, banyak tanaman hias dalam pot kaleng. Di sebelah kiri teras ada sebuah pohon mangga besar, daunnya lebat. Aku berdiri di depan gerbang, melihat sekeliling. Sepi.

"Assalamualaikuuuumm!" aku mengucap salam cukup keras.

Sunyi. Tak ada jawaban.

"Assalamualaikuuuumm. Pak! Bu! Permisiii," teriakku kembali.

Lagi, tak ada jawaban.

"Assalamualaikuuuuuuuummm," kali ini aku teriak lebih keras.

Pintu depan terbuka. Ah, akhirnya. Seorang nenek keluar dari dalam. Ia berjalan ke arahku yang berdiri di depan gerbang. Jalannya pelan sedikit tertatih. Tubuhnya sedikit bungkuk. Rambutnya putih dan di konde. Ia mengenakan daster panjang berwarna hijau motif batik.

"Kamu yang teriak salam?" tanya si nenek.

"I..i..iya nek. Maaf nek." jawabku gugup. Si nenek melihatku tajam.

"Maghrib, jangan teriak-teriak! Nanti ada setan." ucap si nenek. Aku sedikit terhenyak.

"Ada apa?" tanya si nenek.

"Iya maaf nek. Saya mau tanya kost nek, apa ada kamar kosong?" tanyaku.

Si nenek diam. Melihatku dari ujung kepala hingga kaki. Tatapannya masih tajam.

"Mau kost sendiri apa bareng sama temen?" tanya si nenek.

"Kebetulan sendiri aja." jawabku.

"Ada yang kosong. Mau lihat?"

"Boleh nek. Tapi, saya mau tanya, kira-kira berapa ya sewanya?"

"Sendirian ya? Kamu kuliah apa kerja?"

"Kuliah nek. Mahasiswa baru." jawabku.

"Empat ratus lima puluh ribu, kalau kamu kost sendiri" jelas si nenek.

Nah, Ini harga yang lumayan cocok untukku.

"Mau lihat kamarnya nggak?" tanya si nenek kembali.

"Mau nek. Mau banget." si nenek lalu membuka gerbang.

Si nenek mempersilakan masuk, kami melewati pohon mangga besar, lalu berjalan ke arah kiri teras rumah. Ada garasi dan sebuah mobil sedan tua berdebu, di sebelah mobil sedan tertumpuk karung-karung besar, penuh botol dan gelas plastik bekas. Kami berjalan melewati garasi, ke arah belakang rumah.

Lalu sampailah kami di depan kamar kost. Ada lima kamar berjejer, memanjang. Di depan kamar terdapat area parkir motor cukup luas. Lalu, di depan kamar paling ujung kiri terdapat tangki air di atas tiang besi dan di sebelahnya terdapat tanah kosong dengan tiga pohon besar. Tiga kamar terlihat gelap, mungkin tiga kamar ini yang kosong. Ah, di tiap pintu kamarnya tertera nomor kamar.

Suasananya sepi dan tentram. Masih terdengar suara jangkrik. Ini yang aku suka, sedikit banyak suasana pedesaan ada di sini. Udaranya pun masih dingin, mungkin karena banyaknya pepohonan di daerah sini. Aku melihat-lihat sekeliling, kamar kost ini persis di belakang rumah dua lantai.

Dan si nenek, membuka kamar kedua, kamar nomor 11B.

Part. 2

Klik. Si nenek menyalakan lampu.

Wow, kamar ini cukup luas dengan tiga ruangan. Ruang depan, ruang tengah untuk tidur, dan ruang belakang dapur dan kamar mandi. Ini yang aku cari.

"Kamarnya tiga skat. Disini sudah ada lemari, paling kamu tinggal bawa kasur saja," ucap si nenek.

"Gimana? Mau ambil?" si nenek lanjut bertanya.

Aku masuk ke dalam, melihat ruang tengah. Ada lemari kayu tak terlalu besar di sudut ruangan.

"Saya sewa kamar ini nek. Luas, saya suka." jawabku. Si nenek hanya tersenyum.

"Eh tapi kok lantai di ruangan ini agak landai ya nek. Kenapa ya?" ungkapku. Ya, lantai di ruang tengah ini agak landai. Aku takut nantinya lantai ini akan runtuh.

"Oh ini. Nggak masalah kalau lantai ini. Dari dulu udah seperti ini. Aman-aman saja." jawab si nenek.

Aku lanjut melihat ruang belakang, dapur dan kamar mandi. Biasa saja, ruangannya lebih kecil. Kamar mandinya cukup bagus untuk ukuran kamar kost. Lantainya tidak licin, dan lampunya terang. Kunci di pintu kamar mandi juga berfungsi dengan baik. Cocok.

"Kapan saya bisa pindah ke sini nek?" tanyaku.

"Kalau kamu mau sewa, besok akan saya bersihin. Lusa kamu udah bisa tempatin kamarnya." jelas si nenek.

"Oke nek. Soal pembayaran gimana?" tanyaku kembali.

"Kalau kamu ada uang sekarang boleh di lunasin. Atau nanti saja pas pindah kesini" si nenek memberi pilihan. Aku pun setuju, akan kulunasi saat pindah kesini lusa nanti.

Si nenek mengajakku keluar, lalu mengunci pintu kamar 11B.

"Kalau gitu saya permisi nek. Saya balik lagi lusa sekalian pindah kesini. Makasih nek." ucapku.

"Iya dek, sama-sama."

"Oiya, saya Adi nek. Maaf ini nenek siapa?" tanyaku.

"Orang-orang panggil saya Nek Iyah."

"Saya permisi Nek Iyah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku berlalu meninggalkan Nek Iyah. Melewati garasi dan mobil tua, menuju halaman. Kubuka gerbang lalu meninggalkan Kost Pak Thamrin.

Kulewati rumah kecil depan yang penuh kucing. Eh, ada seseorang di depan rumah. Ia berdiri menghadap pintu rumah, memakai daster putih. Rambutnya panjang. Kuperhatikan ia hanya diri mematung di depan pintu rumah.

"Permisiii.." sapaku pelan.

"Yaaaaa.." ia menjawab dengan suara parau dan hampir tak terdengar. Aku pun berlalu. Sampai di tiang lampu, aku menoleh ke arah rumah tadi. Si wanita sudah tak terlihat lagi, ah mungkin sudah masuk bersama segerombolan kucing miliknya pikirku.

Kulihat jam di ponselku, 19:18. Aku bergegas menuju kontrakan Mas Gun. Malam ini aku tidur sendiri lagi nampaknya. Sejak Mas Gun kecanduan game, ia sering keluar malam. Menghabiskan malam di warnet, dan pulang menjelang subuh. Ya, nantinya aku pun akan tidur sendiri terus. Bedanya, tidur di kamar pribadiku.

Aku berjalan melalui kebun di sisi kanan dan kiriku, jalannya agak menanjak dan gelap. Sepi dan tak ada seorangpun lewat. Bahkan, seekor kucing pun tak nampak.

Uhukk. Uhukk

Suara batuk? Langkahku terhenti, kutengok sekelilingku. Tak ada orang. Rumah pun tidak ada. Suara batuknya seperti suara seorang lelaki tua. Mataku masih jelalatan mencari sumber suara. Nihil. Aku pun melanjutkan langkahku.

Uhukk. Uhukk.

Baru tiga langkah berjalan, suara batuk kembali terdengar. Kuacuhkan.

Uhukk. Uhukk. Uhukk

Suara batuknya terdengar dekat, dan tak menjauh. Aku mempercepat langkahku, kini aku sampai di depan gang. Hei, sudah tak terdengar lagi. Siapa tadi yang batuk? Dan, dimana orangnya? Tanda tanya menggelayut di otakku.

drrrttt drrrrttt drrrrttt

Mas Gun kembali meneleponku.

"Ya mas!" aku menjawab telepon Mas Gun.

"Lo langsung pindahan, apa cuma lihat-lihat sih? Kok lama banget?" tanya Mas Gun.

"Cuma lihat-lihat mas, pindahannya kemungkinan lusa." jawabku.

"Lho, lusa langsung pindahan? Emang udah cocok?" tanya Mas Gun sedikit terperanjat.

"Iya mas, kamarnya gede ada tiga skat. Pokoknya lebih bagus kamarku nanti ketimbang kamar kost-mu mas. Hahahaha." aku meledek Mas Gun.

"Halaahh. Yasudah, aku tunggu ya."

"Lho, tunggu apa mas? Bukannya sampeyan mau ke warnet lagi malam ini?" tanyaku.

"Nggak jadi, males ah. Cepet balik, kita makan bareng yuk!" ajak Mas Gun.

"Ooh, oke mas" jawabku sembari mempercepat langkah, lalu Mas Gun menutup telepon.

Aku berjalan melintas melewati lapangan. Gelap. Di kejauhan kulihat bayangan seorang lelaki berjalan menuju ke arahku. Akhirnya kami berpapasan. Seorang lelaki paruh baya dengan blangkon di kepalanya, mengenakan baju hitam panjang dan celana yang juga berwarna hitam. Kumisnya lebat, memutih di makan usia. Kerutan di pipinya sangat jelas terlihat.

"Permisi pak" sapaku. Ia hanya mengangguk. Sorot matanya tajam. Lalu berlalu melewatiku.

Cuma anggukan saja, jawab apa kek! gumamku dalam hati.

"Hei kamu!" panggil si kakek dengan lantang. Aku menghentikan langkahku, lalu berbalik badan.

"Ya kek," jawabku.

Aku terperanjat, sosok si kakek sudah tidak ada. Mataku melirik ke semua arah, mencari sosok si kakek tadi. Sampai-sampai aku berjalan menuju pinggir lapangan yang gelap, barangkali kutemukan si kakek. Aneh. Kemana perginya si kakek tadi? Hanya beberapa detik kami berpapasan dan ia memanggilku, dan sekian detik kuberbalik namun si kakek sudah tidak ada.

Ah sial, udah halu nih gue! aku membatin.

Singkatnya, aku sudah sampai di kost Mas Gun. Ia sungut-sungut menungguku yang lama tak kunjung datang. Perutnya sudah melilit kelaparan menungguku ujarnya.

"Buruan Di, laper nih gue!" gerutunya.

"Iya mas. Aku lepas sepatu dulu," jawabku sembari melepas sepatu dengan cepat dan melempar tas kuliah ke dalam kamar.

"Nah, udah kelar nih. Yuk, berangkat makan kita!" ajakku.

"Ah lama lo! Nih, bawa motor!" ucapnya seraya melempar kunci motor ke arahku.

Kami makan pecel lele di sekitaran kampus. Di sela-sela makan, aku dan Mas Gun berbincang.

"Jadi dapet kost dimana Di?" tanya Mas gun sambil menjejalkan sesuap nasi ke mulutnya.

"Persis di belakang kampus mas. Deket lapangan bola." jawabku.

"Hah? Lapangan bola?" Mas Gun sedikit terkejut.

Mulutku berhenti mengunyah.

"Kenapa mas?" tanyaku.

"Itu daerah sepi banget Di. Masih banyak kebun kosong lagi. Emang lo berani?"

"Emang apa yang perlu di takutin? Lagian suasananya enak kok, adem. Lo harus nginep sekali-kali di sana mas." ujarku.

"Iya boleh. Mbak, tambah nasi dong!" saut Mas Gun, lalu menyerahkan piring nasinya ke mbak penjual pecel.

"Lagian disana katanya banyak maling Di" sambung Mas Gun sembari menjilati jarinya yang penuh sambal.

"Ah, itu kan katanya. Belum tentu bener toh" jawabku.

"Eh mas, tadi gue ngalamin kejadian aneh mas," tuturku.

"Kejadian aneh gimana?" saut Mas Gun.

"Tadi gue papasan sama kakek-kakek. Terus dia mangil gue. Pas gue balik badan udah nggak ada tuh kakek." ceritaku.

"...." Mas Gun tak menjawab, ia sibuk mengaduk nasinya dengan sambal.

"Mas. Woi!" aku menepuk pundak Mas Gun.

"Mending lo cari kost lain deh!" sarannya.

"Yeee, apaan sih ni orang. Ujug-ujug nyuruh orang cari kost-an lain." sungutku.

"Gue cuma saran Di. Terserah lo aja, kan lo yang bakal tinggal di sana. Tapi banyak gue denger dari anak kampus, daerah sana memang banyak yang aneh-aneh sih. Makanya sepi." jelas Mas Gun.

Aku tak menggubris saran Mas Gun. Aku sudah kepincut dengan kamar itu.

Part. 3

Malam ini mulai kukemas seluruh barang-barangku. Tak enak rasanya menumpang cukup lama di kontrakan Mas Gun. Memang, ia tak pernah mempermasalahkan berapa lama kutinggal di sana, apa saja yang kulakukan. Tapi, kurang nyaman kalau harus terus menumpang.

"Mas, suwun yo," ujarku singkat sembari merapikan beberapa lembar pakaianku.

"Apaan sih Di, lebay amat." jawabnya singkat dengan hisapan rokoknya dalam.

"Gue maunya lo bareng kost di sini sama gue. Eh, malah mau kost sendiri." sambungnya.

"Kan udah gue bilang mas, nggak enaklah. Temen sampeyan tiap hari banyak yang datang ke sini." jawabku.

"Ya kalau nggak enak, kasih kucing aja Di. Hehehehe." Mas Gun terkekeh.

Mas Gun memang seniorku paling baik sejak nyantren dulu. Aku ingat sewaktu di pondok dulu, dia melindungiku dari senior iseng yang hendak membully. Mas Gun adalah murid ayahku saat di bangku sekolah dasar dulu. Info tentang kuliah dan kampus pun kudapat darinya.

drrrttt drrrttt

Ponselku bergetar. Mbak Ani?

"Assalamu'alaikum mbak." aku menjawab telpon mbak-ku.

"Waalaikumsalam. Kamu sehat Di?" tanyanya di sana.

"Alhamdulillah sehat mbak. Mbak sendiri sehat?"

"Sehat alhamdulillah. Gimana kuliahnya? Lancar?"

"Ya begitu mbak, masih lancar saja karena masih awal semester belum banyak kendala sih. Ayah ibu sehat mbak?" tanyaku.

"Bagus kalau lancar. Ayah sehat, cuma ibu lagi kurang enak badan. Biasalah, masuk angin," jawab Mbak Ani.

"Gimana, kamu sudah dapat kost-an belum Di? Ndak enak kalau numpang terus sama Guntur"

"Sudah mbak, baru tadi sore dapat harga yang cocok. Iya mbak, aku juga sudah bilang sama Mas Gun, ndak enak kalau numpang terus di sini." jawabku.

"Alhamdulillah kalau sudah dapat. Yowes, mbak cuma mau tanya kabar kamu saja. Inget pesan ayah ya, shalat jangan di tinggal."

"Nggih mbak, nggak di tinggal dong"

"Yasudah, salam buat Guntur. Bilang makasih sudah mau nampung Adi selama dua minggu. Assalamu'alaikum."

"Nggih mbak, nanti di sampaikan salamnya. Waalaikumsalam mbak."

Setelah percakapan singkat dengan Mbak Ani, aku kembali membereskan barang-barangku. Mas Gun sedang asik dengan game di ponselnya. Setelah selesai membereskan barang, aku membuat secangkir kopi dan duduk di depan kamar.

Kontrakan Mas Gun terletak di padat pemukiman dekat kampus. Banyak kost berjejer dan bertingkat-tingkat. Jam di ponselku menunjukkan pukul 22:41, suasana di sini tak begitu sepi. Masih banyak motor lalu lalang. Beberapa penjual makanan gerobak pun sesekali masih lewat.

Aku bersandar pada dinding depan kost Mas Gun, sesekali kuseruput kopi. Kupandangi suasana sekitar, namun mataku tertuju kepada sebuah bayangan tak asing. Kupicingkan mataku tajam, agar lebih jelas terlihat. Bayangan itu seperti sosok kakek tua yang berpapasan denganku tadi. Bayangan itu ada di samping sebuah kontrakan, dekat dengan sebidang tanah tempat pembuangan sampah.

Kuusap mataku berkali-kali, agar yakin dengan apa yang kulihat. Bayangan itu kini lebih jelas terlihat sebagai sosok kakek tua dengan blangkon dan baju hitamnya. Aku bangun dari dudukku, kuperhatikan si kakek. Matanya tajam melihatku. Separuh wajahnya gelap tak terpancar sinar, namun tatapannya jelas.

"Kek, kek! Kakek!" panggilku.

Si kakek tak menjawab. Ia hanya diam dan masih menatapku. Kupakai sandal, dan berjalan pelan menuju tempat si kakek berdiri.

"Wooii Di!" panggil Mas Gun dari dalam.

"Ya mas!" jawabku.

"Mau kemana? Ke warung ya?" tanya Mas Gun.

Aku kembali ke kamar dan menghampiri Mas Gun.

"Enggak kok," jawabku.

"Lah, terus lo mau kemana kalau bukan ke warung?"

"Em, itu. Anu mas," aku tergagap.

"Anu anu aja. Ini gue nitip rokok." Mas Gun memberikan selembar uang.

"Iya mas."

Aku berjalan menuju tempat si kakek tua berdiri. Sosoknya sudah tidak ada. Cukup lama aku berdiri dekat tempat pembuangan sampah, mencari sosok kakek tua. Namun tidak ada. Hanya segerombolan tikus sedang mengacak-acak seonggok plastik sampah. Aku pun berlalu, menuju warung membeli rokok.

"Beli rokok dimana Di?" tanya Mas Gun, dua jempolnya masih menari di layar ponselnya.

"Biasa mas, di warung Teh Kokom." jawabku sembari melempar sebungkus rokok pesanan Mas Gun.

"Oh di Teh Kokom, kirain beli di Kudus,"

"Hehehehehe, emang kenapa mas?" tanyaku.

"Lama banget pergi ke Teh Kokom doang. Gue kirain lo ke Kudus."

"Eh mas, masa tadi gue lihat kakek-kakek yang tadi deh." ucapku.

"Kakek-kakek yang mana?" tanya Mas Gun.

"Itu lho, kakek-kakek yang papasan sama gue di lapangan sana. Yang tadi gue cerita di tukang pecel. Lupa?"

"Iya inget. Terus kenapa?"

"Tadi pas gue samperin, udah ilang masa!" ujarku.

"Aaahh mati lagi! Sial!" Mas Gun teriak. Ia meletakkan ponselnya.

"Di, gue tanya sekali lagi ya," Mas Gun berkata. Aku mengangguk.

"Lo yakin mau kost di daerah sana?" tanyanya.

"Kenapa mesti nggak yakin mas?"

"Yeee ni anak, di tanya malah balik nanya. Jawab dulu!" sungut Mas Gun.

"Yakinlah mas. Masa nggak yakin, cuma ngekost doang kok." jawabku.

"Bukan itu masalahnya. Kalau cuma ngekost doang semua orang juga yakin-yakin aja. Di, di sana itu daerah sepi, banyak yang bilang disana itu daerah serem. Lo yakin masih mau kost di sana?" tanya Mas Gun meyakinkanku.

"Mas, bukannya gue nggak dengerin saran lo. Tapi, cuma di sana gue dapat harga lumayan murah, terus suasananya gue seneng. Gue yakin kok." jelasku.

"Menurut lo, kakek-kakek yang lo temuin tadi itu pertanda apa cuma kebetulan aja?" tanya Mas Gun kembali.

"Hahahahaha, ketemu kakek-kakek doang mas. Pertanda apaan? Hahahahaha." ledekku.

"Idiiihh, malah becanda ni anak."

"Lagian lo lebay mas. Masa ketemu kakek-kakek di bilang pertanda. Pertanda apaan mas?" ujarku.

"Gue nggak tau pertanda apa. Kan lo sendiri yang cerita, papasan sama kakek-kakek terus tiba-tiba tuh kakek hilang. Tadi juga, lo liat kakek yang tadi, pas di samperin hilang. Menurut lo itu pertanda apa kebetulan?" Mas Gun berkata.

"Oke mas, oke. Emang aneh sih, tapi menurut gue itu cuma kebetulan aja. Atau cuma halusinasi gue aja kali." ujarku.

"Oke, berarti kebetulan ya. Mudah-mudahan cuma kebetulan atau halusinasi lo aja ya." tanggap Mas Gun.

"Santai aja mas. Gue yakin nggak ada yang aneh-aneh." aku menenangkan Mas Gun.

"All right, that's your bussiness." gumam Mas Gun.

"Oalaahh, mulai deh gaya songongnya nih. Hahahahaha." ucapku sembari menonjok bahu Mas Gun pelan, ia pun tertawa.

Malam itu aku berbincang hingga larut dengan Mas Gun, ini adalah malam terakhirku di kontrakannya. Kebetulan juga, besok tidak ada jadwal kuliah. Mas Gun bilang, lusa akan ikut membantuku pindahan ke Kost Pak Thamrin. Baguslah, semoga semua berjalan lancar.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!