NovelToon NovelToon

Zeeta Dan Dunia Sihir

Prolog

Apa yang akan terjadi jika semua manusia bisa mewujudkan sihir hanya dengan imajinasinya? Tentu saja ada banyak hal!

Baik itu adalah kekayaan, kejayaan, kekuasaan, keabadian, kekuatan, dan masih banyak lagi. Keinginan manusia selalu hanya pada hal-hal yang berkaitan dengannya.

Namun, ketahuilah. Dunia akan kacau balau apabila manusia dianugerahi oleh kekuatan semacam itu.

Mereka dapat hidup damai di kerajaan yang disebut Aurora sampai saat ini hanya karena suatu keajaiban belaka. Tetapi, anugerah itu sebenarnya adalah kutukan. Kutukan dari seorang penyihir atas perilaku mereka terhadapnya. Kendati demikian, hal tersebut hanya dianggap sebuah legenda atau cerita turun temurun belaka.

Garis bawahilah, bahwasannya, kerajaan Aurora hanya salah satu dari sekian banyaknya manusia di dunia, yang tentu saja mendirikan kerajaan ataupun kekaisaran lain. Dan dari tiap kerajaan atau kekaisaran tersebut, mereka memiliki kisahnya masing-masing.

Manusia selalu membuat kesalahan, tetapi mereka bisa belajar dari kesalahan itu dan menjadi individu yang lebih baik. Karena itulah saat ini ada Elf, Peri, dan bermacam-macam makhluk sihir lainnya.

Mereka hidup berdampingan bersama manusia. Semuanya dapat berjalan dengan damai hingga tiga ratus tahun lamanya.

Kerajaan Aurora tetap berkembang sebagaimana mestinya sebuah peradaban—bersama dengan eksisnya kekuatan supernatural di dalam tubuh masing-masing, hingga mereka telah mampu menciptakan mesin. Seperti alat transportasi, mesin pembantu rumah tangga, dan lain-lain yang cara penggunaannya tergantung pada tiap mesin. Ada yang memerlukan sihir, ada juga yang tidak perlu sama sekali. Akibatnya, keseimbangan mana dari alam terhadap seluruh makhluk hidup telah usang akibat ulah manusia tanpa mereka sadari.

Akibat perbedaan kapasitas mana antara bangsawan—yang kebanyakan dari mereka memiliki kapasitas mana yang besar daripada rakyat jelata, manusia membuat mesin untuk membantu mereka yang lemah. Bagi mereka yang tidak bermana besar, mesin adalah penyelamat hidup. Namun, bagi mereka yang bermana besar, segalanya dapat dikuasai. Tirani atas perbedaan kekuatan sihir jelas terjadi di dunia sihir ini, bahkan ini juga berlaku untuk anak-anak.

Sihir adalah kekuatan serbaguna yang dapat mewujudkan apapun yang diimajinasikan oleh sang pengguna. Meskipun begitu, sang pengguna tak bisa sembarangan menggunakan sihir, sebab mana yang dimiliki terikat dengan nyawanya sendiri.

Apabila mana mereka habis ketika ingin mewujudkan suatu sihir, maka besar kemungkinan ia akan mati. Oleh karenanya, sihir bukanlah kekuatan yang bisa digunakan seenaknya oleh manusia meskipun itu serbaguna.

Walaupun manusia dapat menggunakan sihir sesuai keinginan mereka, banyak rahasia-rahasia tentang dunia sihir yang mereka tinggali masih belum terkuak, bahkan hingga zaman telah menginjak usia "modern". Orang-orang yang telah terpacu pada pembuatan mesin tak begitu ingin tahu seperti apa dunia sihir yang mereka tinggali. Padahal nyatanya, jika mereka benar-benar ingin menguak rahasia tersebut. dunia sihir itu sendiri bisa dikuasai oleh satu individu.

Setiap awal pasti memiliki akhir....

Layaknya seorang anak perempuan dari sebuah desa di ujung kerajaan yang berusia delapan tahun, Zeeta, yang bermimpi untuk bisa mahir menggunakan sihir tanpa mengetahui takdir yang sedang menunggunya. Ketika ia mengetahuinya, seluruh hidupnya sebagai anak desa telah berakhir....

Zeeta hanyalah anak kecil biasa yang hidup bersama keluarga desanya dengan bahagia.

Atau seharusnya seperti itu.

Ia harus mengangkat kaki dari kehidupan bahagianya, ketika semua yang berharga untuknya, bahkan nyawa keluarga di desanya akan direnggut oleh seorang bangsawan.

Dia hanyalah anak perempuan berusia delapan tahun. Apa yang bisa diharapkan darinya? Tangan mungilnya terlalu kecil untuk menopang tanggung jawab seperti itu. Takdir seperti apa yang sebenarnya menunggu Zeeta?

Zeeta tidaklah hidup untuk menyelamatkan orang lain ataupun untuk memperbaiki sesuatu, namun ia hidup untuk mengakhiri segalanya. Mengakhiri apa yang sedang terjadi di dunia sihir itu.

Untuk menuntaskan apa yang telah menjadi tanggung jawabnya, Zeeta pun bertualang ke berbagai tempat dan bertemu dengan berbagai orang dan makhluk sihir.

Dari petualangannya tersebut, pada akhirnya ia harus menentukan jalannya sendiri.

Ini adalah kisah petualangan gadis belia di dunia yang penuh dengan bermacam-macam makhluk sihir, kekuatan, dan konflik.

[Tambahan - Daftar Arc]

Arc 1: bab "Kehidupan Baru" s/d bab "Layaknya Nenek, Layaknya Cucu".

Arc 2: bab "Bertemu dengan Keluarga" s/d bab "Dunia yang Diramalkan".

Arc 3: bab "Bersiap Diri" s/d bab "Pulangnya Tuan Putri ke Rumah".

Arc 4: bab "Luka di Hati" s/d bab "Keseharian Aurora yang Kembali Damai".

Arc 5: bab "Makhluk yang Kuat pun Lemah" s/d bab "Rahasia Dunia dan Ambisi untuk Menang".

Arc 6: bab "Alasan Belle" s/d bab "Secercah Cahaya dari Dunia".

Arc 7: bab "Apakah Ini Sebuah Tekad? Atau Hanya Tegar?" s/d bab "Sang Penyihir Harapan [END]".

Kehidupan Baru

Langit biru membentang luas. Awan menari-nari diiringi angin, membawa kesejukan dan kedamaian untuk makhluk di daratan. Burung-burung pun tak ingin kalah. Layaknya terbebas dari penjara yang biasa disebut sangkar, mereka terbang dengan sangat meriah. Sementara, burung-burung di rindang pepohonan, siulnya menggema bersama-sama meyambut hari dengan kicauan merdu.

Sungai yang membentang panjang tanpa deru tangis yang kencang, menambah kedamaian pada suatu desa bernama Lazuli. Pagi hari ini masyarakat desa tengah memancing, ditemani para wanita yang tengah memetik hasil perkebunan mereka di seberang sungai. Hasil perkebunan itu adalah apel, buah berbentuk jeruk berwarna merah muda yang disebut renjie, yang kaya akan air dan sangat manis, serta berbagai jenis sayuran.

Dari kelompok yang memancing tersebut, ada satu orang pria yang memancing dengan cara tak biasa. Sementara kawan-kawannya harus memakai pancingan, pria itu memakai tangan kosong.

Tidak, tidak.

Dia tidak mengambil ikan-ikannya dengan tangan kosong, namun dengan mengeluarkan sesuatu seperti serpihan-serpihan berwarna merah dari telapak tangannya.

Serpihan ini disebut mana. Dengan imajinasinya, pria itu menarik keluar para ikan akibat sihir yang tercipta dari mana-nya tanpa perlu menunggu ikan untuk terpancing umpan. Hal tersebut membuat ikan tangkapannya lebih banyak dari kawan-kawannya.

Mana merupakan kekuatan yang sangat dibutuhkan ketika seorang manusia ingin mengeluarkan sihir. Setiap individu memiliki mana, tetapi kapasitas mereka berbeda-beda. Tanpa mana, keberadaan sihir akan sirna.

“Hei, Arthur! Meskipun kau memiliki mana yang lebih banyak dari kami, sisakanlah ikannya untuk kami!” seru seorang pria berambut merah cepak dan bermata hitam yang tidak terima melihat hasil tangkapannya lebih sedikit dari pria bernama Arthur tersebut.

Arthur tersenyum. “Hei, hei, santai saja, Recko! Aku sudah selesai, kok. Lagi pula aku juga harus segera membuka kedaiku."

Ia kembali menggunakan sihirnya untuk mengangkat seluruh ikan tangkapannya. Jika tanpa bantuan sihirnya, ikan-ikan itu akan memiliki berat hampir sepuluh kilogram.

Arthur memiliki rambut lurus berwarna cokelat kehitaman yang panjang. Ia mengikat rambutnya ke belakang seperti ekor kuda. Hidungnya terlihat seperti ingin berpisah dari wajahnya. Janggut tipis menghiasi wajahnya dimulai dari tepi telinga, matanya berwarna kuning kejinggaan.

Arthur merupakan pria terkenal di desa Lazuli. Tidak hanya diantara kalangan wanita karena perawakannya yang tinggi, cukup berotot, dan wajah yang tampan, Arthur juga terkenal dikalangan pria sebab kemampuannya dalam pekerjaan. Hampir tidak ada yang tidak bisa dia lakukan dengan sihirnya. Selain itu, Arthur adalah satu-satunya orang di desa Lazuli yang memiliki mana besar, sehingga ia termasuk orang-orang yang langka di antara rakyat jelata.

Ketika ia akan beranjak dari sisi sungai, ia melihat sesuatu dari sudut kiri pandangannya—sebuah keranjang piknik yang hanyut.

Tentu saja hal tersebut menceletukkan rasa penasaran Arthur. Ia kembali berimajinasi agar sihir yang membawa seluruh ikan ini, sampai dengan selamat di kediamannya. Kemudian ia segera bergegas mendekati keranjang tersebut.

Semakin ia mendekat ke keranjang, semakin sadar pula dirinya bahwa keranjang yang seharusnya untuk piknik itu berisi makhluk yang tak seharusnya ada di sana. Ia segera mengangkat keranjangnya dari sungai, lalu memeriksa apakah makhluk itu baik-baik saja.

“Siapa, sih, di zaman seperti ini yang masih menghanyutkan bayi ... tega sekali,” katanya menggerutu. Ia tak menyangka apa yang baru saja ia temukan.

Seorang bayi tampak hangat karena diselimuti lampin berlapis-lapis dari balik hingga atas tubuhnya. Selain lampin, ia juga dihangatkan oleh selimut. Di atas selimutnya terdapat sebuah anting berwarna ungu yang masih terlalu besar untuk dipakainya. Pola bulan purnama yang terukir pada anting tersebut mengejutkan Arthur. Selain anting, terdapat secarik kertas di sebelahnya.

Mengesampingkan pola anting yang ia kenal tersebut, ia lekas memberitahu orang-orang yang ada di sekitarnya. Betapa terkejutnya orang-orang di sana setelah mendengar Arthur. Merekapun lantas mendekati Arthur untuk melihat secara langsung. Memang seperti ucapannya, ada bayi di keranjang. Mereka juga tampak kaget saat melihat anting berpola bulan purnama tersebut.

“Hei, dia ini...,” kata seseorang dari kerumunan itu.

“Masalah anting itu kesampingkan dulu. Seseorang tolong bacakan isi suratnya, tanganku sibuk untuk membawa keranjang ini,” pinta Arthur.

Recko yang ada di dekatnya pun membantunya. Ketika telah dibuka, Recko segera membacakan apa yang tertulis di sana.

..."Siapapun yang menemukan bayi ini, aku yakin kalian semua terkejut atau mungkin marah padaku. Tetapi, ada alasan kuat mengapa kulakukan ini terhadap darah dagingku sendiri. Aku, Alicia, ibu dari bayi bernama Zeeta ini, secara terpaksa menghanyutkan anak perempuanku....”...

Mendengar ini, semua orang yang ada di sana terkejut. “Alicia? Bukankah dia…,” gumam orang-orang. Mereka seperti tahu siapa wanita bernama Alicia tersebut.

“Teruskan,” pinta Arthur dengan wajah serius.

...“Seperti yang kalian ketahui, keberadaan keluarga kami dalam kondisi yang rumit saat ini. Ketika aku menulis surat ini, tak begitu banyak waktu yang kami miliki. Untuk itu, kumohon rahasiakan tentang identitas anakku, sampai anakku berumur delapan tahun dan saat bulan purnama tiba pertama kalinya di tahun itu. Ada suatu kewajiban yang anakku harus selesaikan dan kalian tahu apa itu … tolong, rawat anakku dengan baik. Dialah satu-satunya harapan.......

"Pesan berakhir," tutup Recko sekaligus melipat lagi kertas yang dipegang ke bentuk awal.

Semua orang di sana terdiam. Raut wajah mereka seakan memberi empati terhadap bayi cantik ini.

Arthur pun membuat keputusan. “Mari kita beritahu Kepala Desa."

Mereka yang ada di sana setuju dan bergegeas ke rumah Kepala Desa.

......................

Arthur tengah duduk bersebelahan bersama dua tetangganya yang merupakan pasangan suami-istri di sebuah sofa berwarna cokelat. Pasutri tersebut adalah Recko dan Grilda.

Grilda memiliki rambut pirang panjang sepanjang punggung dan bermata hijau permata. Pasutri ini mewakili kelompok orang sebelumnya untuk berdiskusi dengan Kepala Desa tentang bayi bernama Zeeta ini.

Suasana hening melanda mereka disaat Kepala Desa membaca surat yang terhanyut bersama keranjang itu. Seperti pria di atas setengah abad pada umumnya, Kepala Desa telah memiliki beberapa rambut putih di sekitar kening dan telinganya.

Ditemani suara radio yang telah sedikit disunyikan di sudut kanan atas meja, Kepala Desa juga terkejut ketika membaca nama ibu dari Zeeta. Ia sedikit melirik ke arah bayinya. “Jika dia memang punya anting itu... tunjukan padaku,” katanya meminta.

Arthur yang sibuk menggendong bayi perempuan itu diwakili oleh Grilda. Ia mengambil anting dari keranjang yang dibawa oleh Recko. “Ini….” Grilda menunjukkan antingnya.

“Tempelkan anting itu ke telinganya, jika itu bersinar, maka dia memanglah harapan kita."

Grilda segera mengikuti arahan Kepala Desa. Beberapa saat setelah ditempelkan, pola bulan purnama itu bersinar biru. Tanpa mengerti situasi yang terjadi di ruangan itu, Zeeta mulai aktif seperti bayi pada umumnya dengan menunjukkan senyum polosnya dan gerakan tangan serta kakinya. Ia seperti bereaksi terhadap antingnya.

Kepala Desa memejamkan matanya, kemudian berkeputusan, “Jika hanya menambah seorang bayi, tidak akan jadi masalah, bukan? Arthur, apa kaubisa merawat bayi ini?”

“Hah? Aku?” Arthur mengerutkan alisnya.

“Ya, tentu saja dirimu. Hanya kaulah satu-satunya orang di desa yang memiliki mana yang besar. Jika sedari

kecil dia sudah dirawat oleh orang sepertimu, maka ketika dia besar nanti, dia tidak akan kesulitan dalam menggunakan mana-nya.”

“Yah… soal itu kau benar, Kepala Desa... aku tak menyangkalnya! Tapi aku tidak pernah merawat anak, bahkan menikah saja belum!” Arthur bersikeras untuk menolaknya.

“Lagipula, jika masalahnya ada pada mana, Recko dan Grilda bisa merawatnya sementara aku jadi gurunya. Iya, ‘kan?” sambung Arthur meminta dukungan.

Recko yang memandangi tingkah Zeeta yang tidak bisa diam sejak antingnya bersinar berkata, “Arthur ada benarnya, Kepala Desa."

Mendengarnya, Arthur lantas memberikan Zeeta kepada Grilda. Namun, baru beberapa saat digendong olehnya, Zeeta mulai menangis.

“Cup cup cup … tenang, sayang … tenanglah ….” layaknya seorang ibu yang telah berpengalaman, Grilda berusaha menenangkan Zeeta dengan mengayunkan gendongannya ke kanan dan kiri, tetapi usahanya tidak berbuah. Lantas, Grilda mengembalikan Zeeta pada Arthur dan ia segera tenang kembali diikuti senyumnya yang begitu manis.

Grilda, Recko, dan Kepala Desa juga ikut tersenyum karenanya. “Sudah ditentukan,” kata Grilda menyeringai.

“Haah… aku tidak percaya akan jadi orang tua sebelum menikah … kalau begitu, mohon bantuannya, orang tua yang sudah berpengalaman….” Dengan berat hati, mau tidak mau Arthur mengadopsi Zeeta.

“Serahkan saja pada kami!” balas Recko memberi jempol kiri serta senyum lima jarinya.

“Jika kau kesulitan, akan ada kami yang membantu. Soalnya semuuua orang di desa adalah keluarga, fufufu...” Grilda terkikih, ia menganggap hari-harinya akan semakin terhibur.

“Ya, karena dia adalah satu-satunya harapan, kita harus benar-benar merawatnya.” Kepala Desa mengakhiri percakapan.

......................

Lima tahun telah berlalu sejak hari dimana Arthur mengadopsi Zeeta. Zeeta telah tumbuh cantik dengan rambut sudah sepanjang tengkuk. Kala itu, warna rambutnya belum nampak jelas, namun kini, warna violet terpampang jelas. Dengan sebagian rambutnya diikat satu ke arah samping menggunakan jepit berbentuk bola berwarna merah, itu menambah kesan imut padanya. Anting ungu yang sebelumnya terlalu besar ia pakai, telah menghiasi telinga kirinya. Satu hal yang berbeda, pola di anting yang sebelumnya berbentuk bulan purnama, kini berubah jadi bulan sabit. Tidak diragukan lagi, anting itu adalah anting yang spesial.

Saat ini ia memakai piyama beruang ber-hoodie yang sedikit kebesaran untuknya. Piyama itu berwarna dominan putih dengan corak cokelat di sisi lengan, hoodie, kantung, serta celana.

Dari tempat duduknya yang berada di meja pelanggan, Zeeta menatapi secara serius sosok ayahnya yang sedang memasak. Tanpa melewati sedikit pun langkah-langkahnya, mata birunya berbinar-binar tatkala ayahnya hanya sibuk menggerakkan tangan dan jemarinya kesana dan kemari untuk menyiapkan bahan-bahan sambil memasak, serta menyiapkan piring saji secara bersamaan. Ditemani serpihan-serpihan merah yang keluar dari tangannya, Zeeta semakin terpaku memandanginya.

“Ayah keren sekali...,” gumam Zeeta yang terpukau.

Kedai ini memiliki desain dapur terbuka. Apa yang dimasak dan dibuat oleh koki dapat dilihat langsung oleh pelanggan. Kedai ini tidaklah mewah, namun bisa dibilang elegan, sebab kedai ini memiliki pernak-pernik unik seperti lentera kecil yang dipasang di setiap sudut langit-langit ruangan.

Lenteranya sendiri berwarna hitam pucat, lentera-lentera itu tetap dibiarkan menyala meskipun tidak gelap dengan api kecil berwarna biru. Tetapi jika malam telah menyambut, apinya akan dibesarkan. Dengan letaknya yang ada di desa, meski ini adalah kedai, tempat ini adalah rumah bagi Arthur. Meski begitu, ia tidur dan melakukan keseharian lainnya bersama Zeeta di lantai dua.

“Zeeta, apa kau haus?” tanya ayahnya yang membuat Zeeta sedikit tersentak sebab ia terlalu fokus.

“U-uhm. Sedikit...,” balas Zeeta.

“Apa kau mau cokelat? Atau kau lebih memilih jus?” tanya Arthur kembali untuk memastikan.

“Ehm …." Zeeta bimbang. "Aku pilih cokelat!” setelah memantapkan apa yang ia mau, Zeeta menjawabnya dengan semangat sambil mengangkat tangan kanannya. Ketika ia mengangkatnya, hoodie dari piyamanya menutup wajahnya.

“Baiklah … pegang gelasnya dengan erat ya!” Arthur meninggalkan sebentar tumis di wajannya dan menjentikkan jemarinya. Setelah itu, sebuah gelas khusus anak-anak dan sebotol cokelat dari kulkas terangkat dari tempatnya menuju meja di mana Zeeta berada.

Ketika gelasnya sampai di tangan Zeeta yang kecil melalui serpihan yang sama dari ayahnya, Zeeta memegang erat gelas tersebut seperti kata ayahnya. Tak lama kemudian, sebotol cokelat yang merupakan hasil olahan desa, tertuang dengan cara yang sama. Senang melihat cara kerja sihir yang menurutnya hebat, ia lekas meminum cokelatnya sampai habis.

"Pwah!" suara yang terdengar dari Zeeta menunjukkan betapa puas dirinya dengan disertai sisa cokelat di sekitar bibirnya.

Menyaksikan keseluruhan kejadian wholesome itu, membuat para pelanggan Arthur tersenyum hangat dengan kepolosan Zeeta dan betapa imut tingkah lakunya.

“Haahh… selain masakanmu yang lezat, aku jadi ingin semakin sering datang kemari jika bisa terus melihat keseharianmu bersama Zeeta yang seperti ini ….” Seorang pria yang membawa keranjang untuk berkebun belum bisa menghilangkan senyumnya untuk Zeeta. Tempat dia duduk saat ini berada tepat di depan Arthur yang sedang memasak.

“Asal kau tahu saja, aku tidak bermaksud mempertontonkan putriku sendiri untuk mempromosikan kedaiku, aku hanya tidak punya pilhan lain selain membawanya ke sini agar bisa sekalian mengawasinya!” sahut Arthur yang kemudian menyajikan santapan ke pria itu.

Pria itu menyambut makanannya. “Oh, terima kasih!

"Aku tahu kok, semua orang di Lazuli juga tahu hal itu, tenang saja!” pria itu segera menyantap santapannya. “Uuuhh… lezat sekali!"

“Hei, Arthur! Aku tambah birnya!” Recko yang juga menjadi pelanggan Arthur harus berteriak untuk memesan karena ia ada di meja dekat pintu masuk.

Zeeta menolehkan kepalanya ke Recko. “Kenapa Paman tambah birnya? Ini, kan masih pagi! Ayah bilang kalau seseorang terlalu banyak minum begitu, tidak baik untuk tubuh!” ia menggembungkan pipinya tanda cemberut.

“Ahahaha… baiklah. Bagaimana jika jus, apa aku boleh?” tanya Recko dengan senyum kecut.

“Uhm! Tentu saja!” senyum manisnya tampak kembali dengan natural.

“Seperti yang kaudengar, kali ini aku akan mengurangi kebiasaanku,” sahut Recko.

“Hahaha, bahkan Recko si Pemburu kalah dari Zeeta, ya!” tukas seseorang berkomentar yang kemudian menjadi gelak tawa seisi kedai.

Arthur merasakan tarikan di celemeknya dari bawah. Ia menoleh dan mendapati Zeeta. “Ada apa?” tanyanya.

“Aku ingin bantu!” balas Zeeta dengan binar di mata biru cantiknya.

“Tidak apa, Ayah bisa melakukannya sendiri. Lagi pula Ayah akan menggunakan sihir, jadi tidak terlalu merepotkan." Jawaban Arthur yang disertai senyum itu justru mendapatkan cemberut dari Zeeta.

“Aku ingin bantu!” ia menggoyangkan kembali celemeknya.

Melihat kegigihannya, Arthur menghela napas. Ia menyerah. “Baiklah, bisa kaubawa ini ke meja Paman Recko?” Arthur menyiapkan satu gelas penuh berisi jus jambu di atas nampan.

“Baik!”

“Kalau begitu, pegang nampannya dengan erat dan bawalah perlahan. Oke?” Arthur menyerahkan nampannya pada Zeeta sambil berjongkok.

“Oke. Serahkan padaku!” Zeeta pun membawa nampan itu selangkah demi selangkah untuk sampai ke tujuan. Ketika sampai, Recko mengambil gelasnya dan berterima kasih pada Zeeta.

“Sama-sama. Setelah ini, semangat berburunya ya, Paman Recko!” Zeeta sekali lagi menunjukkan senyumnya.

Rona merah tampak sedikit di pipi Recko. “Y-ya, tentu saja! Aku kan si Pemburu, Recko!” ia terpesona oleh senyum Zeeta. Ia merasa diberi semangat dan kekuatan oleh senyum itu.

“Recko?!” tatapan sinis dari Arthur terasa oleh bulu kuduk Recko.

“A-apa boleh buat, 'kan?! Jangan tiba-tiba marah!” tukas Recko yang lalu menjadi gelak tawa kembali di kedai itu. Zeeta hanya bisa ikut tertawa bersama mereka.

......................

Arthur yang sebelumnya bersikeras menolak untuk merawat Zeeta, telah menjadi sosok ayah yang bisa diandalkan. Demi merawat Zeeta, ia tak keberatan meski harus kurang tidur sehingga menimbulkan kehitaman di sekitar matanya. Nama kedainya pun telah ia ubah menjadi "A n’ Z", meski terkesan tidak menarik, ia memutuskan untuk merubahnya atas cintanya pada Zeeta.

Kesehariannya yang sebelumnya hanyalah bujangan yang membuka kedai lalu mengumpulkan bahan-bahan, telah berubah menjadi sosok yang lebih sibuk. Membeli peralatan yang diperlukan anak-anak seperti buku dongeng, alat makan, pakaian, makan dan minum, serta mengumpulkan saran-saran seperti apa saja yang harus ia lakukan sebagai single parent. Tak lupa juga ia menyisihkan waktunya untuk melatih Zeeta dalam menggunakan sihir.

Arthur berpikir bahwa hidup barunya tidaklah begitu buruk meski pada awalnya ia cukup kesulitan. Ia bersumpah untuk terus merawat dan menyayanginya sebagai ayah hingga waktu yang ditangguhkan ibu kandung Zeeta telah tiba.

Sihir

Sebentar lagi fajar akan menyingsing dan kembali bertugas untuk menerangi bumi dan menghangatkan seisi bumi. Masih dalam suasana yang damai seperti biasanya, Arthur telah beraktivitas dengan memotong kayu untuk perapian di kedai dan di lantai dua. Hal ini cukup penting karena sebentar lagi akan masuk usianya musim dingin.

Zeeta juga mulai terbangun dari tidur lelapnya akibat sinar fajar yang "mencoloknya", disertai dengan kehangatan. Tidak hanya itu, ia juga mendengar suara bising di lantai bawah. Masih ditemani rasa kantuk dan rambutnya yang sangat amburadul, Zeeta turun ke lantai satu sambil memanggil ayahnya dengan nada yang sayu.

“Ayaaahh ... di mana...?” Zeeta agak memekik.

“Ah, apa Ayah membangunkanmu? Ayah ada di luar!” suara ayahnya terdengar dari luar, tepatnya di sisi kanan—yaitu tempat untuknya berlatih sihir sekaligus untuk memotong kayu bakar.

Zeeta kemudian bersandar di pintu, lalu mengerutkan sebelah alisnya. “Apa yang Ayah lakukan?” tanya Zeeta.

“Hmm? Tidak bisa kau lihat? Memotong kayu bakar. Sebentar lagi kan musim dingin. Oh, rambutmu masih berantakan, lho."

“Oh, benar....” Zeeta segera merapikan rambutnya dengan tangan mungilnya. “Maksudku, kenapa Ayah tidak pakai sihir?”

“Terlalu sering pakai sihir kan berbahaya untuk tubuh manusia. Sesekali tidak salah, dong, Ayah memakai kekuatan Ayah sendiri."

Zeeta yang baru bangun tidur pun teringat. “Oh iya, aku baru ingat ... kalau kita terlalu sering memakai mana, tubuh kita tidak akan bisa menahan mana yang ada di alam."

“Yap. Karena sebenarnya mana dari alam, jika tubuh kita tak memiliki mana sama sekali, kita akan lenyap dari dunia ini.”

“Hmmm....” Zeeta duduk di lantai dan menaruh kepala di lututnya.

“Kenapa? Apa kau takut?” tanya Arthur yang menyeringai.

“Ti-tidak! Tidak mungkin aku takut! Hanya saja aku berpikir kenapa manusia tidak bisa seenaknya menggunakan mana. Lagian, kalau alam juga punya mana, kenapa manusia tidak memakainya jika mereka kehabisan mana?”

Pertanyaan Zeeta membuat Arthur terhenti dari kegiatannya. “Kemarilah, akan Ayah beritahu alasannya.” Arthur berjongkok dan membuka tangannya lebar untuk mengundang Zeeta. Anak perempuan manisnya itu pun segera berlari dan naik ke pangkuan ayah tercintanya.

“Mana dari alam memang bisa digunakan oleh manusia, tetapi hal itu sangat jarang ditemukan. Alasannya, mana dari alam jauh—sangat jauh lebih kuat daripada milik manusia!”

Dengan menggambar dua bola api sebagai perandaian di tanah, Arthur menjelaskan kepada Zeeta. Ia membuat bola api yang sangat besar untuk perandaian mana alam, dan bola api kecil untuk mana manusia.

“Kau pasti tahu, 'kan alasannya? Ayah pernah menceritakan ini dengan suatu legenda.” Kata-kata Arthur langsung memaksa Zeeta untuk berpikir.

Zeeta berusaha memperkuat ingatannya dengan memejamkan matanya kencang-kencang, dan tak lama kemudian ia terlintas akan suatu legenda tentang kutukan penyihir. “Kutukan penyihir itu?” tanya Zeeta.

“Ya, benar sekali. Meskipun semua manusia di kerajaan ini bisa menggunakan sihir, tetapi itu adalah hasil dari kutukan penyihir yang balas dendam terhadap perilaku manusia di sekitarnya. Oleh karena itu, mana milik alam dan manusia tidak bisa disamakan.”

“Lalu ... bagaimana penyihir itu bisa ... mengutuk....

"Hmmm...?”

Zeeta memiringkan kepalanya—seakan dapat jawabannya sendiri.

“Ahaha, kau pintar sekali, Nak!" Arthur mengelus kepala Zeeta. "Ya, penyihir itulah salah satu manusia yang bisa menggunakan mana dari alam. Selain karena perbedaan itu, manusia juga tidak bisa seenaknya menggunakan sihir jika imajinasi untuk mewujudkan sihir yang diinginkan tidak jelas, serta mana si manusia terlalu lemah.”

“Kenapa...?”

“Hmm? Apa kaulupa lagi? Bukankah sudah Ayah ajarkan padamu, terwujudnya sihir yang diinginkan disebabkan oleh kejelasan imajinasi, dan kuat atau lemahnya mana si pengguna.”

“Oh iya ... hehe, maafkan aku.”

“Aku juga ingin kaupahami betul tentang hal ini. Kalau imajinasimu tidak jelas ketika akan menciptakan suatu sihir, itu akan sangat berbahaya. Bisa saja sihir yang ingin kau ciptakan tidak terwujud, atau bahkan sihir itu menjadi lepas kendali dan malah melukai dirimu dan orang disekitarmu. Berhati-hatilah, Nak.” Arthur menepuk bahu Zeeta.

“Uhm. Akan kuingat!”

“Tapi, masih ada pengecualian untuk mana yang lemah itu!”

“Eh? Pengecualian?”

“Ya. Karena selemah apapun mana yang dimiliki seseorang, jika dilatih....” Arthur membuat bola api kecil berwarna merah sekecil kacang di tangan kanannya. “Anggap saja sekecil ini....” Zeeta terpaku pada api di tangan Arthur.

“Bisa jadi sebesar ini!” Arthur membesarkan bola api itu sebesar kepala Zeeta secara tiba-tiba.

“Wah!” Zeeta yang terkejut mendekap ke ayahnya.

.

.

.

.

"Eh...? Tidak panas...?” Zeeta kebingungan mengapa bola api yang ada sedekat itu dengan dirinya bisa tidak panas.

“Nah, itu juga karena kejelasan imajinasi. Apa sekarang kau paham?”

“Waaah ... jadi, setiap mana manusia bisa besar?”

“Ya. Setiap manusia memiliki potensi sihirnya masing-masing, meskipun ada mana yang terus dilatih tidak bisa sebesar yang Ayah contohkan, manusia tetap bisa menggunakan sihir.”

“Hmm? Lalu kalau begitu, kenapa orang-orang di desa jarang menggunakannya?”

Mendengar pertanyaan ini, Arthur tersenyum kemudian mengelus lembut kepala Zeeta. “Kau tahu, Nak? Meskipun sihir bisa mewujudkan apapun, tetapi sihir tidaklah mutlak. Seperti yang Ayah katakan sebelumnya, manusia butuh mana dan imajinasi untuk menciptakan sihir. Selain itu, jika manusia terlalu sering menggunakan sihir, nyawa mereka jadi dalam bahaya. Apa kau mengerti?”

“Uhm. Sedikit ... tapi Yah, kenapa Ayah masih terus memakai sihir kalau nyawa Ayah nanti dalam bahaya?”

“Karena sihir yang Ayah pakai tidaklah begitu menguras mana. Ah, membahas itu lain kali saja, ya. Bukankah hari ini kau ada janji dengan Recko dan putranya Danny?”

Zeeta benar-benar terlupa akan hal itu. Ia terkesiap. “A-a-aku akan bersiap dulu! Kalau mereka datang, suruh mereka tunggu aku ya, Yah!” ia lalu berlari masuk ke dalam.

“Ya! Jangan terburu-buru, nanti terjat—“ belum menyelesaikan ucapannya, Arthur mendengar suara jatuh. “Apa kau baik?!” tanyanya agak berteriak.

“Ya! Aku oke!” balas Zeeta yang juga sedikit berteriak dari dalam.

“Hahah ... dasar....” gumam Arthur menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

Arthur segera kembali mengerjakan pekerjaannya yang terhenti tadi. Tak lama kemudian, Recko datang membawa senapan di punggungnya beserta anak laki-lakinya yang lebih tua setahun dari Zeeta, yang bernama Danny.

Tugas anak lelaki tersebut memiliki tanggung jawab yang tidaklah kecil, ia membawa keranjang besar di punggungnya. Keranjang tersebut akan dipakai sebagai wadah hasil buruan mereka nanti. Danny memiliki rambut cepak berwarna merah dan bermata hijau seperti ayahnya.

“Hei, Arthur!” sapa Recko pada Arthur sambil melambaikan tangan kanannya.

“Oh, baru saja dibicarakan,” sahut Arthur yang tetap memotong kayu.

“Oh? Apa maksudnya itu?”

“Bukan apa-apa. Aku hanya baru mengajari Zeeta beberapa hal dan dia terlupa kalian memiliki janji. Tunggu sebentar, ya.”

“Hahaha, dia sekali....”

“Hei, Paman!” panggil Danny kepada Arthur. Arthur menengok ke Danny. “Kenapa Paman mengizinkan Zeeta berburu bersama kami? Apa kau tidak khawatir?”

“Khawatir? Tentu saja aku khawatir, tapi aku ingin dia lebih tahu banyak hal selain memasak. Lagi pula, ada Recko si Pemburu bersamanya,”

“Heei! Ada aku juga!” Danny seperti tersulut emosi namanya tidak disebut.

“Ho? Apa kau mau bilang kaubisa melindungi putriku, ha?” Arthur bertolak pinggang dan menatap Danny dengan tatapan kematian.

“Tentu saja aku bisa! Aku tidak akan kalah dari ayahku!”

“Jika kau lelaki, maka kau harus pegang ucapanmu! Oh, kalau kau bisa mendapatkan LIMA ekor buruan, aku akan memberimu LIMA roti lapis dan susu madu kesukaanmu. Apa kausanggup dengan tantangan ini?”

“HA?! YANG BENAR?! Gratis?!” Kepercayaan diri Danny mulai retak.

“Ya. Tentu saja! Tapi kau tidak boleh melepaskan pandanganmu dari Zeeta. Jika kau melepaskannya....” Arthur memunculkan bola api di tangannya. “Kau mengerti, 'kan?” Ia tersenyum jahat.

“Glek...." Danny menelan liurnya. "Ba-baiklah! Kuterima tantangannya! A-aku akan masuk ke dalam dan menunggu Zee!” Danny berlari masuk ke dalam rumah Arthur—kabur dari ketakutan.

“Haaah ... kau ini. Dia hanya anak kecil, kenapa kau ladeni dia dengan serius?” tanya Recko yang mengerutkan alisnya.

“APA KATAMU?! 'HANYA'...?! Justru karena 'HANYA' itulah aku harus waspada! Anak perempuanku bisa saja tiba-tiba merasakan sesuatu pada anakmu, dan aku tidak sudi akan hal itu!” Arthur begitu emosi seakan Zeeta ingin direbut darinya. Ia menyilangkan tangannya.

“Ahahaha....” Recko hanya bisa tertawa menanggapi Arthur yang sudah berubah.

“Yang lebih penting, mereka harus tahu kalau Zeeta adalah harapan terakhir kerajaan. Mungkin dengan membawanya mendekat ke hutan, mereka bisa menyadari mana milik Zeeta....”

“Ya, kau benar. Mungkin saja Zeeta dapat melihat mereka.”

“Kuserahkan Zeeta padamu, Recko.” Mimik Arthur serius dan ia memegang bahu Recko.

“Baiklah.” Recko juga menjawabnya dengan serius. Recko dan Danny pun menunggu Zeeta bersiap untuk melanjutkan keseharian mereka untuk berburu di hutan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!