NovelToon NovelToon

Bintang Perak

Prologue

Seperti air ... mengalir, menggenang ataupun menetes, tetaplah air dengan segala kebaikannya.

Tidak!

Aku tidak seberguna itu.

Seperti gunung ... tinggi menjulang.

Meskipun meletus dan hancur, namun akan selalu dikenang.

Tidak!

Aku tidak setangguh dan sefenomenal itu.

Seperti rumput liar ... tumbuh berkembang di alam bebas, lalu kemudian mati tanpa ada yang menyadari.

ITU MUNGKIN AKU!

"BINTANG ANUGERAH"

Dua kata yang mengisi baris nama di kartu identitasku.

Aku terlahir dari sebuah ketidakadilan.

Aku tumbuh dengan cambukan kebencian.

***

Berangkat dari keterpurukan, kini usiaku mendekati angka 22 tahun. Saat ini aku tengah sibuk melakoni skripsi di semester tua kuliahku. Cukup lumayan untuk anak terbuang sepertiku bisa mencapai titik ini. Titik di mana segelintir orang, terjebak dalam ketidakmampuan.

Bicara tentang diriku, aku kini hanya tinggal seorang diri di sebuah kamar kost kecil yang berukuran 2,5 × 2,5 meter persegi di ujung jalan dekat kampusku.

Kenapa aku memilih demikian, sedangkan ayahku adalah seorang pebisnis kelas cemerlang bergelimang harta?

Untuk itu akan ku jelaskan nanti!

Untuk memperpanjang napas, aku bekerja paruh waktu. Mengajar les anak-anak yang memerlukan bantuanku. Lumayan, bisa untuk membayar sewa kost yang kadang nunggak.

Aku mengisi waktu kosong dengan narik ojek online selepas kegiatan kuliah dan mengajar. Ya, hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi dan sedikit keperluan lain yang mendasar.

Alhamdulillah, aku masih bisa bernapas dan berdiri dengan tangguh!

Bicara kepahitan, ternyata hidupku tak sepahit empedu. Aku menambah tumpukan syukurku, karena ternyata aku tak sendirian di sini. Aku masih memiliki mereka.

Ya, mereka!

Hari ini, aku memarkirkan motor bututku di halaman sebuah rumah mewah bergaya kekinian. Rumah yang menyediakan makanan gratis, juga rumah yang bisa kujadikan penyangga tubuhku saat lelah.

Namun bila dibandingkan, rumah ini jauh lebih kecil dari rumah ayahku di pusat kota. Rumah mewah yang tak bisa aku nikmati segala fasilitasnya. Rumah neraka!

Aku bergerak menuju pintu yang menjulang beberapa puluh senti di atas kepalaku.

Pintu itu mulai kuketuk.

Satu dua kali ketukan tak ada sahutan. Namun pintu berhasil terbuka pada ketukan ke tiga.

Dan muncullah seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, yang wajahnya sudah sangat kukenali. Bik Mumun. "Siang, Bik," sapaku.

"Den Bintang." Bi Mumun tersenyum. Senyuman khas yang biasa ia sunggingkan setiap kali bertemu denganku. Untuk itu aku sadar, wajahku terlalu tampan untuk tak disenyumi siapa pun. "Langsung ke kamarnya aja, Den," katanya.

"Ok." Sekilas kutepuk pundaknya seraya melangkah memasuki rumah besar itu menuju lantai dua di mana kamar yang kutuju berada.

Tanpa kutoleh lagi, aku sudah tahu, Bik Mumun pasti sedang menatap punggungku dengan senyuman tersihir.

Ini bukan sebuah bentuk kepercayaan diri, namun kenyataan pasti yang tak bisa dipungkiri. Wanita mana yang bisa menolak pesonaku? Kukibaskan kerah bajuku yang abstrak, karena saat ini aku tak sedang memakai kemeja.

Sampai di depan pintu.

Sekedar memberitahu, untuk daun pintu yang satu ini, aku tak perlu mengetuknya, karena makhluk penghuni di dalamnya, adalah seorang yang kekurangan asupan akhlak!

Setelah menerobos masuk, tanpa berkata, aku langsung merebut toples camilan yang bertengger cantik di tangan sang pemilik kamar. Dia yang tengah asyik dengan tontonan di ponselnya, cukup tersentak dengan ulahku.

"Balikin, Setan!" serunya seraya menyambar toples itu kembali dari tanganku. Namun tak berhasil, karena aku lebih dulu menghindar dengan tawa keras di bibirku.

Dia akhirnya diam dan berpasrah, karena ada hal yang membuat geraknya terbatas.

"Tar gue ambilin lagi," ujarku.

"Balikin, Bin. Tar dia mewek lagi." Nah, suara itu milik Jibril, sahabatku si Arabian face, yang sedang asyik berselonjor kaki di atas sofa pojok ruangan. Tak tinggal, buku bergambar manga disibaknya halaman demi halaman, selalu menjadi lakon wajib baginya ketika berada di ruangan ini.

Aku mendudukkan tubuhku di sebuah kursi setelan meja belajar dengan posisi miring. Toples camilan manis dengan rasa kacang itu masih tak lepas di genggamanku, sambil terus kurogoh isinya dan kulempar ke dalam mulutku berulang.

"Abis ngapain lu? Kelaparan banget kayaknya?"

Pertanyaan itu terlontar dari mulut si pemilik rumah, lelaki bertubuh tinggi bermata sipit yang tidak terlalu sipit, dengan kulit putih dan pucat seperti adonan bakwan.

Kenma! Kozume Kenma, begitulah orang tuanya memberi nama.

Nama yang menjengkelkan!

Jadi kupastikan, di dalam kamar ini, ada aku dan kedua sahabat gasrakku itu. Ya, mereka adalah temanku melepas tawa, juga berlatih tinju.

Tinju tanpa ring dan sarung tangan.

Tinju tanpa ronde dan sabuk emas.

Tinju yang mendasar pada dendam dan kerusuhan.

GELUD!

"Gue abis narik. Sepi," jawabku menyahuti pertanyaan Kenma.

"Lo gak ngajar?" lanjutnya bertanya.

"Libur. Bocahnya sakit."

"Hmm."

Kenma manggut-manggut menanggapi ucapanku. Kulihat wajah dan telapak tangannya mulai sibuk mencari sesuatu.

"Nyari apaan, lu?" tanyaku.

"Kipas."

"Buat?"

"Ngipasin anuan gue," jawabnya seraya terus mengedar pandang dan tangan yang sibuk menyibak sekelilingnya.

"Di bawah bantal lo, Kenma." Jibril memberitahu tanpa mengalihkan pandangan dari komik yang dia baca.

"Oiya!" Kenma tersenyum setelah mendapatkan apa yang dicarinya. Dan terlihat ia menyibak sedikit ke atas sarung yang melingkar dari pinggang hingga ke lututnya itu. Lalu mulai mengibaskan kipas itu ke arah sensitif.

"Panas banget emang?" tanyaku.

"Iya, ampe keringetan gini. Sakit lagi," balasnya meringis dengan kepala tertunduk, fokus pada apa yang dikipasinya.

"Masa?" tanyaku lagi, seraya mendekat ke arahnya. Dan ....

"Astaghfirullah!" pekikku setelah melihat pemandangan buluk di balik sarung Kenma. "Ini kelamaan lu ungkep, ampe ngeces gitu!"

Jibril bangkit mulai tertarik. "Masa iya, sih? Coba gue pengen liat!" Dan ia mulai mendekat. Menundukan kepalanya dengan sebelah telapak tangan menyibak sarung yang sedikit menutupi pusat perhatian. "Anjimm! Ini mah harus di sunat ulang, Kenma!"

Chapter 2

"Anjimm! Ini mah harus di sunat ulang, Kenma!"

Refleks Kenma memukul bahu Jibril. "Lu yang bener aja, Goplok!" serunya. "Masa iya gue di sunat ulang? Bisa makin pendek pendekar gue!"

Tanpa mengukir rasa malu setitik pun, Kenma masih dengan pedenya memperlihatkan sempol ajaibnya di depan kami. Entah ada kelainan atau memang urat malu itu sudah terputus seiring tubuhnya yang memanjang, dan otak yang berkembang meluas dengan segala pemikiran gasraknya.

"Yeee, elu dibilangin ...." Jibril sembari terus mengamati pendekar yang disebutkan Kenma. "La itu lu liat tu, yang putih-putih meleleh itu apa?" seraya menunjuk bagian yang dilihatnya.

Aku pikir sebentar lagi Kenma akan mengalami patah tulang leher, karena tunduknya yang semakin melengkung dengan kaki tersibak lebar.

Aku masih menahan tawaku. "Lu mau, pendekar lu beneran ilang separo, gara-gara infeksi?" tambahku yang berhasil membuat Kenma mengangkat kepalanya dan melotot ke arahku.

"Otak lu infeksi! Ini masih baru, Setan!" serunya dengan pukulan yang cukup keras di lenganku. "Sono lu berdua! Bikin darah gue item aja!" lanjutnya sembari menurunkan sarung lorengnya hingga tertutup melewati paha. "Aawww!!!"

"Kenapa, lu?!" tanya Jibril cepat seolah cemas.

"Sakit, Goplok! Gue katupin kaki gue kelewat rapet."

Tak bisa lagi menahan, akhirnya aku dan Jibril meledakan tawa sekeras-kerasnya. Menggoda makhluk yang satu itu, lebih menyenangkan dari apapun. Hingga tawaku mulai mengundang tetesan air mata.

Over gelak!

"Berisik, Anjim! Pergi lu berdua!" Kenma mulai bangkit dengan posisi kaki setengah kuda-kuda. Dan mulai berjalan tertatih, mencubit bagian depan sarungnya agar tak mengenai sang pendekar yang masih terluka akibat proses sirkumsisi.

"Haha ...." Semakin keras tawaku dan Jibril menggema, hingga bergaung melewati batas ruangan.

"Dia yang ngusir, dia yang cabut!" Aku memegangi perutku yang mulai pegal.

"Mau kemana, lu?!" Jibril bertanya dengan sisa tawanya.

"Terserah gue!" balas Kenma yang baru melewati batas pintu kamarnya. "Pengen suci aja ampe segininya idup gue," keluhnya seraya terus memapah kaki egangnya.

"Hahaha ...."

"Diem lu, Anjimm! Suka banget liat gue menderita!" Terlihat Kenma menghentikan langkahnya hanya untuk menimpal kata.

Ampuunn!!!

...-...

Beberapa waktu kemudian, masih di kamar Kenma. Ketika aku dan Jibril tengah asyik dengan stik playstation di tangan kami, suara dering ponsel milik Kenma terus bernyanyi menuntut tanggapan.

"Angkat, Bin."

"Elu aja!"

"Ntar lu curangin. Upin gue ntar lu matiin."

"Kalo gue angkat, Mail gue elu sikat."

"Kagak, gue baek. Palingan gue lindes."

Aku melirik lelaki itu sekilas dengan tatapan sebal. "Lindes pale lu!"

Begitulah kami berseteru. Saling lempar, saling menyayangkan dengan bodoh game Upin Ipin dan kawan-kawan yang sedang kami mainkan di layar televisi sebesar keset itu.

Kami melanjutkan permainan kembali dengan khidmat, kala dering itu mulai sampai pada batas durasinya.

"Awas lu! Jangan deket-deket. Mail mulai nyampe tebing, nih!" seru Jibril dengan tubuh meliuk, mengikuti arah si Mail yang terus bergerak di layar.

"Ya elah, Upin gue ketinggalan lagi!"

KRIIIIINGGGG ....

"Bunyi lagi tu, Jie. Angkat sono!" seruku tetap fokus pada layar di depan kami itu.

"Ah elu," cebik Jibril yang pada akhirnya mengalah. Dengan malas ia menaruh stiknya dan bergerak mendekat ke arah ponsel dengan gigitan pisang di punggungnya itu. Benda pipih itu terus bernguing di atas nakas di samping ranjang ceper milik sang pemilik. "Hallo."

"...."

"Ah, yang bener, Mang?! Elu gak bohong, kan?!"

"...."

Mendengar nada terkejut Jibril, aku menolehkan kepalaku ke arahnya.

"Yakin lu anak-anak Rotal yang lakuin?" sambung Jibril lagi.

Aku masih diam memperhatikan dengan stik yang masih kupegang.

"Oke-oke, gue ke sana sama Bintang."

"Ada apaan, Jie? Siapa yang telpon?" tanyaku penasaran, saat Jibril mulai menaruh ponsel itu ke tempatnya semula.

"Basecamp kita diobrak-abrik Rotal," ungkapnya.

"Serius lu?" Aku terperanjat diiringi suara tawa aneh yang berasal dari layar televisi di hadapanku. 'Game over' begitulah tulisan yang tertera didalamnya ketika mataku berhasil menangkapnya. "Eh, mati!"

"Ude matiin! Kita cabut sekarang!" pinta Jibril dengan wajah seriusnya.

"Oh, oke, oke."

Setelah memastikan benda-benda itu rapi kembali, kami pun pergi meninggalkan kamar yang sedari tadi ditinggal pemiliknya itu.

Ketika mulai menuruni tangga, Jibril yang berjalan lebih dulu di depan, tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Ada apaan?" tanyaku ikut menyetop laju langkahku di anak tangga ke tiga dari atas.

"Lu liat noh."

Aku mengikuti arah wajah Jibril. "Ya, Allah!" pekikku keras.

Sesaat aku dan Jibril saling melempar pandang. Lalu ..., "Hahaha!" Kami meledakkan tawa kembali sekeras-kerasnya, manakala sebuah tontonan absurd di mana Kenma tengah duduk bersantai ria di sebuah sofa.

Wajahnya terjurus lurus ke arah televisi, dengan sebuah kipas angin tipe berdiri yang sudah diturunkannya rendah hingga hampir menyentuh lututnya. Kipas tersebut dihadapkan tegak ke area sakral mesin produksinya.

Sarung loreng itu masih menutup hingga ke lutut, namun tak dirapatkannya, guna membiarkan angin menembus titik gerahnya.

Dan sepertinya tawa keras kami cukup membuatnya tersentak. Hingga kepalanya berputar refleks ke arah kami. "Terus aja lo berdua ketawain gue!" Lalu kembali membalik wajah pada perhatiannya semula dengan balutan wajah datar.

"Lu ngapain pindah ke situ? Gak malu lu diliat Bik Mumun?" tanyaku yang kini sudah menginjak anak tangga terakhir. Sementara Jibril sudah lebih dulu mendekat ke arahnya.

"Bik Mumun udah gue kasih kartu merah! Dia dilarang maen di area sini," jelasnya sengklek.

"Dasar kampret!" Toyoran telunjuk Jibril di keningnya.

Seraya mengusap dahinya .... "Lu ngapain pada turun? Kangen gue, ya?" Kenma dengan lagak pedenya seperti biasa.

"Ogah!" balasku.

"Kita mau cabut. Kata Mang Adul, basecamp kita diobrak-abrik anak-anak Rotal," ungkap Jibril memberitahu.

"Serius, lu?!"

"Iya."

"Trus kalian berdua mau ngapain?" lanjut Kenma bertanya.

Aku dan Jibril sudah berdiri disampingnya.

"Abis kita liat keadaan basecamp Gaijin, gue sama Jibril mau langsung tandangin markas si Yongki pe'ak itu," cetusku dengan kilatan nafsu dan amarah.

Amarah karena perusakkan manusia-manusia itu, dan nafsu dalam ketidaksabaran untuk segera memainkan tinjuku.

"Lu berdua yakin? Anggota mereka kan banyak banget."

"Lu pikir gue takut!" Jibril sembari melempar pandang ke arahku.

Dan aku tersenyum menanggapi. "Banyak bukan berarti kuat!" timpalku. "Cabut, Jie!"

"Hmm."

Menepuk sekilas pundak Kenma, aku dan Jibril mulai menggerak langkah meninggalkan Kenma menuju pintu keluar.

Namun baru saja kunaikan kakiku ke atas kuda besiku di halaman, Kenma datang menghentikan laju gerakku juga Jibril yang baru saja menstarter motor gedenya.

"Tungguin!"

Dengan langkah yang terlihat seperti seekor kera, Kenma menyusul kami berpulas wajah penuh harap. "Gue mau ikut."

"Kampret! Yang bener aja lu!" Jibril tak setuju.

"Iya, kita ini mau gelud, bukan mau ngemall!" selorohku. "Lu mau cirit ajaib lu kena tampol?!" lanjutku seolah menakuti. "Tar kalo buntung pusaka lu, gimana?"

"Gue bisa! Lu bedua liat, nih!" Seraya memasang kuda-kuda dengan telapak tangan terkepal yang dimajukannya ke depan, dan satu lainnya di depan dada.

Aku lalu turun menghampiri si sableng bernama Kenma itu. Kusentuh kepalan tangannya, lalu kupindahkan satu tangan bagian kanannya ke atas kepala, dan kirinya kutaruh ke belakang pantatnya. "Nah, ini baru bener," ujarku kemudian meledakkan tawa kembali sekeras-kerasnya. "Hahaha ...."

Disusul Jibril yang sudah terpingkal seraya memukuli bagian depan kuda besinya. "Jalan aja masih kayak simpanse, lagak lu mau ikutan gelud. Haha ...."

"Setaaaannnnn ...!!"

Chapter 3

Berpacu beriringan, membelah jalanan dengan udara yang mulai merayap senja. Meskipun motorku dan motor Jibril berlainan kasta, tapi ia tetap mengimbangi kecepatan laju rongsokku yang sudah jelas beberapa puluh CC kalah telak di bawah Ninja miliknya.

Solidaritas harga lepas!

Tak lama, tempat yang kami tuju pun sudah berdadah di depan mata. Kutepikan motorku di samping motor Jibril yang sudah lebih dulu terparkir di halaman kecil sebuah bangunan yang memiliki luas sekitar 60 meter persegi itu.

Sekedar info, bangunan ini mulanya adalah sebuah toko kelontong milik salah satu anggota kami, Ardhan. Namun karena suatu hal yang entah apa, akhirnya tempat ini dikosongkan keluarganya.

Karena seringnya tempat ini kami gunakan untuk nongkrong dan berkumpul ria sesama anggota geng, akhirnya Ardhan berinisiatif menjadikan tempat ini sebagai basecamp. Entah perizinan seperti apa yang dilayangkannya pada kedua orang tuanya, biarlah cukup jadi urusannya.

Basecamp Gaijin!

Gaijin adalah nama geng yang ku bentuk bersama Kenma, Jibril dan beberapa anggota lainnya. Nama itu sendiri kucetuskan dari sebuah keisengan, yang tiba-tiba saja disetujui teman-temanku.

Sungguh aneh!

Kembali pada anggota. Jika dihitung, keseluruhan dari kami mungkin berjumlah sekitar lima belas orang yang mengisi basecamp utama. Yaitu tempat yang kini kami jejaki sekarang.

Entah apa mulanya, kini anggota Geng ini sudah menjamur hingga ratusan pemuda. Mereka tersebar di beberapa titik daerah dengan beberepa basecamp, namun masih berada di kota yang sama.

Oke cukup! Kembali pada tujuan utama kami.

Dengan langkah tergesa, aku dan Jibril memasuki bangunan itu.

"Bussreet!!! Anjenggg!!" seru Jibril dengan ekspresi kagetnya.

Aku langsung memposisikan diriku di sampingnya yang kini berdiri di ambang pintu. "Bener-bener ngajak perang ni bocah," timpalku geram.

"Bintang, Jibril."

Sontak, mendengar suara itu, kami serentak menoleh ke arahnya.

"Mang Adul." Aku membalik tubuhku menghadapnya. "Ini gimana ceritanya?"

"Mamang juga kagak tau, Bin. Pas Mamang balik dari pasar, tu gerombolan ude pade naik ke motornya masing-masing, nyang diparkirin serampangan di depan warung Mamang, siap lari," terangnya.

"Mamang yakin kalau itu anak-anak Rotal?" Jibril memajukan sedikit tubuhnya ke sampingku.

"Iye, Mamang masih inget itu beungeut si Yono."

"Yono?" Aku dan Jibril saling melempar tatap dengan wajah mengernyit.

"Iye, itu si Yono nyang dulu sempet berantem ame elu di depan warung Mamang gegara perempuan."

"Yongkiiiii ...!" ujarku dan Jibril bersamaan.

"Elaah ... ngapa jadi Yono?" sambungku.

"Hehe ... Mamang kagak nyaho, Bin." Mang Adul menggaruk kepalanya yang mungkin berkutu itu dengan wajah cengengesan.

"Tapi mereka gak rusakin warung Mamang, kan?" Jibril mengambil pertanyaan.

"Alhamdulillah kagak, Jie. Warung Mamang masih mulus rahayu," balas pria 43 tahun blasteran Sunda Betawi itu.

"Syukur deh kalo gitu."

Aku mulai melangkah memasuki bangunan itu. Dengan wajah memerah penuh kegeraman, kutatap sekeliling tempat yang kini porak poranda.

Grafiti bertuliskan "Gaijin" hasil desain grafis Buyung temanku, telah dirusak dengan pilokan-pilokan tak jelas anak-anak Rotal sialan itu.

Bangku-bangku kayu hasil daur ulang yang tertata apik melingkar di tengah ruangan, telah hancur tak berbentuk. Bahkan dua matras lesehan tempat kami bersantaipun, terlihat amburadul dengan sayatan-sayatan lebar hingga terlihat seperti lumbrukan sampah konfeksi.

Kusentuh partikel-partikel yang telah hancur itu dengan hati memanas. Lalu sejurus kemudian perhatianku jatuh pada sebuah benda. Kutatap dan ku putar-putar benda berayun itu, sampai akhirnya kuselipkan ke balik baju di punggungku.

"Bangsaaatt!!!" teriak Jibril seraya berputar mengelilingi ruangan. "Gak bisa dialem ini!"

"Kita cabut, Jie." Tanpa melihat apapun lagi, dengan potongan kecil busa kasur yang kuremas keras di kepalanku, aku melenggang keluar dari tempat itu.

"Tunggu, Bin!" Jibril menghentikan laju gerakku yang baru saja hendak menstarter motor bututku.

"Apaan?!" tanyaku ngegas.

"Gue kirim pesan dulu ke anak-anak di group. Biar mereka nyusul."

"Terserah lu!" Aku mulai menghidupkan mesin kuda besiku itu.

"Bin!"

"Ape lagi, Jiiii?" Disaat semangat juangku menggebu seperti ini, rasanya ingin sekali kutampol wajah Jibril yang imut itu sampai penyok.

"Lu ikut motor gue aja. Biar gak kelamaan. Gue khawatir motor lu tetiba ngadat di jalanan." Jibril menyarankan.

Aku berpikir senjenak.

Benar juga! Aku menyadari, bahwa kudaku ini memang tidak akan mampu menembus jalanan seperti turbo. Hehe ... Tidak jadilah kutampol wajah glowingmu itu, Jie, batinku cengengesan. "Bener juga lu," sahutku dengan menurunkan gebu suaraku. "Mang, titip motor gue, yak?!"

"Iya, Bin." Pria paruh waktu itu menghampiri cepat seraya menangkap bandul kunci yang kulempar ke arahnya. "Ati-ati dah lu pade."

"Iya, Mang," sahutku yang kini sudah bertengger manis di belakang boncengan Jibril. Kupeluk tubuh rampingnya yang berisi itu erat, namun tak cukup menimbulkan reaksi apapun pada kelelakianku.

Dikira gue Uyuy suka sesama pedang. Amit-amit!

"Siap, Bin?" tanya Jibril memastikan.

"Oke, goooo...!!!!"

Tanpa babibeh, mesin yang sudah menyala itu dipaut Jibril dengan sekali hentakan dan langsung meluncur dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang mulai temaram.

Tak butuh waktu lama, seperti mendapat dukungan alam, karpet merah terbentang memberi jalan. Tanpa melewati untaian kemacetan, kami sudah sampai di kawasan kekuasaan Rotal yang terletak di sekitar area pabrik-pabrik skala besar di jantung kota.

Jibril memarkirkan Ninjanya di halaman sebuah minimarket bertuliskan 'Alamart' yang letaknya sedikit jauh dari kawasan. Kulihat diselipkannya sehelai pecahan lima puluh ribu ke telapak tangan seorang lelaki penjaga parkir. "Gue titip motor gue, Bang. Jagain baek-baek," pintanya.

"Siap, Gan!" Pria krempeng itu menyahuti tegas.

Dan kami pun mulai berjalan memasuki sebuah gang kecil dengan pencahayaan minim yang dihimpit tembok-tembok besar pabrik di kedua sisinya.

"Lu yakin mereka ada di tempat?" tanya Jibril seraya menggerakkan kepalanya ke depan dan belakang, penuh antisipasi.

"Gue yakin," sahutku.

Namun saat kaki kami mulai menjejak ujung gang yang mulai melebar ....

"Hoooyyy ... ada Bintang dan Jibril dari Gaijin!!"

Suara keras itu cukup membuat kami terlonjak kaget.

"Mereka beneran ada, Bin." Jibril mulai sigap dengan kuda-kudanya. Sepertinya kepalan tangannya mulai dirayapi gatal. Gatal untuk segera melayangkan tinjunya.

Atau mungkin ... kena kutu air. Hmm....

Aku hanya memasang senyuman simpul. "Sabar, Jie." Kusentuh pundaknya sekilas.

Baru beberapa menit bertimpal kata, kulihat di depan kami sudah berjejer sekitar lima orang lelaki dengan usia hampir setara dengan kami. Namun tak terlihat ada Yongki di antara mereka. "Mau apa kalian kemari?" tanya salah satu di antaranya.

Aku memajukan tubuhku beberapa langkah. "Gue cuma mau ngajakin ngopi. Bos lu mane?" tanyaku santai.

"Gak usah pake bohong kalian! Lagian Yongki gak ada di sini." Dengan ringan salah satu dari jejeran lelaki itu menyahuti.

"Gue bukan pembohong. Apalagi pengecut seperti kalian. Yang berani ngobrak-ngabrik basecamp kita di waktu kosong!" ujarku masih berlagak adem.

"Kita cuma mo minta pertanggung jawaban!" Jibril maju mendekat kearah mereka dengan kedua lengan terlipat di depan dada.

"Hahaha ...." Tawa ejekan mereka meledak menggema. "Tanggung jawab lo bilang?!"

"Ogahhhh!!!" Lainnya menyahuti bersamaan diakhiri tawa setan yang sumpah demi apapun membuat aliran darahku bergolak semakin panas.

"Oke! Kalau gitu silahkan pilih, bagian tubuh kalian yang mana, yang pengen gue patahin lebih dulu?!" Sarkas Jibril menantang.

Aku menyeringai menanggapi kicauan sahabatku itu. Ajip, Jie!

Mereka mulai saling beradu pandang. Aura pertempuran sudah kental mengudara di tempat ini.

Tak ada ketakutan!

Daaann....

^^^Bersambung .....^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!