Alana kembali ke pantry, untuk kembali menyeduh kopi pesanan staf administrasi. Kepalanya melayang pada kejadian beberapa menit yang lalu saat di loby.
Dia tidak sengaja menumpahkan kopi, hingga tuksedo pria itu tampak kotor. Alana masih ingat betul kata-kata pria itu, “Jangan harap kau bisa lepas dariku, bodoh!”
Alana bergidik ngeri, ancaman pria itu tidak bisa dia remehkan begitu saja. Melihat betapa seriusnya wajah pria itu, dan tatapan mengintimidasi yang di berikan padanya membuatnya semakin gelisah.
Meski Alana tidak tahu pasti siapa pria itu, tetapi melihat kharisma yang di tunjukan pria itu. Alana yakin, dia bukan orang dari kalangan biasa sepertinya.
Alana tersentak saat tangganya terasa panas, lamunanya buyar seketika. Alana meratapi nasib buruknya hari ini.
Selain berurusan dengan pria itu, kini tangannya sedikit melepuh karena air panas yang meluber dari cangkir membasahi tangannya.
***
Alana duduk di meja pantry sendirian, dia menatap makan siangnya tanpa selera. Tangan kanannya masih terasa sangat panas, padahal dia sudah mendapat pertolongan pertama dari rekan kerjanya.
Seorang pria dengan setelan tuksedo menghampirinya, “Mari ikut saya.”
Alana menaikan satu alisnya, “Ini waktu istirahat, tidak lihat saya lagi makan.”
“Tuan sudah menunggu! anda harus bertanggung jawab atas kekacauan yang ada buat.”
Nyali Alana menciut karena mendapatkan tatapan tajam dari pria tersebut. Apalagi pria itu membahas kejadian pagi tadi.
Sepertinya aku dalam masalah besar.
Melihat Alana yang diam saja, membuat pria itu tidak sabaran dan langsung menarik tangan Alana agar mengikutinya.
Keadaan hati tuan mudanya sedang tidak baik-baik saja, jika dia membiarkan Alana lebih lama itu artinya dia mencari mati.
Alana menghentakkan tangan pria itu yang berani menyeretnya. "Lepas! saya bisa jalan sendiri."
Tanpa bersuara pria itu kembali berjalan mendahuluinya.
Alana sedikit kesulitan menyeimbangkan langkahnya, karena pria di depannya itu memiliki langkah yang cukup lebar.
Alana menghela nafas lega saat mengetahui pria itu menunggunya di depan lift, mereka masuk bersamaan.
Mau ngapain cowo ini bawa aku ke lantai paling atas?
Pertanyaan itu muncul di benak Alana saat melihat pria itu menekan tombol lift.
Lift terbuka dengan lebar, aroma maskulin menyeruak begitu dia keluar dari lift. Alana tau ini lantai khusus sang pemilik sekaligus CEO di MA Group.
Astaga, aku cari mati ini namanya
Tubuh Alana terasa lemas, tenaganya hilang begitu saja. Rasanya tulang tubuh Alana melunak, tubuhnya seperti Akan ambruk seketika.
Alana meremas-remas ujung kemejanya, dia sungguh gugup. Ini untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki di lantai ini.
Pria itu membuka pintu ruangan, dan menatap Alana sekejap.
Alana hanya mampu memberikan senyum getir, rasanya dia ingin menangis sekarang.
Perasaannya tidak tenang, seperti memberikan rambu-rambu bahaya pada Alana.
Pria itu meminta Alana masuk melalui tatapan matanya, Alana mengangguk dan masuk mengikuti pria itu.
"Tuan," panggil pria itu.
Alana memperhatikan pria yang kini menatapnya dengan tatapan kelaparan.
Tatapan tajam dari pria itu membuat nyali Alana menciut. Alana memperhatikan bola mata berwarna hitam pekat milik pria itu, oksigen di ruangan itu terasa menipis dan membuatnya kesulitan bernafas.
Alana tidak salah mengenali, pria yang sedang duduk di meja kerjanya adalah pria yang tadi pagi dia tabrak.
Pria itu mengibaskan tangannya, meminta sekertaris nya keluar dari ruangannya.
Kepalanya mengikuti sekertaris itu hingga menutup pintu. Kepala Alana kembali melihat ke depan, tetapi kali ini dia hanya menunduk. Tidak berani untuk sekedar menatap pria di depannya.
Tubuhnya gemetaran, saat mendengar suara decitan sepatu yang beradu dengan lantai memenuhi Indra pendengarannya.
Jordan mengangkat dagu Alana agar menatapnya.
Alana terpaksa harus melihat bola mata hitam itu lagi, bibir pria itu menyeringai. Alana sudah tidak mampu menopang berat tubuhnya lagi.
Alana memperhatikan papan nama di atas meja pria itu, Jordan Mikhael Anderson.
Tubuh Alana terkesiap saat pria bernama Jordan itu mendorong tubuhnya hingga jatuh pada sofa yang ada diruangannya.
Alana mencoba bangkit, tetapi dengan cepat Jordan kembali mendorong Alana, lalu menindihnya. Sekuat tenaga Alana mendorong tubuh Jordan, tetapi percuma tenaga Jordan lebih kuat darinya.
Bahkan dorongan Alana pun tidak membuatnya goyah sedikitpun, “Lepaskan!” teriak Alana.
Namun nyalinya menciut saat Jordan semakin mengikis jarak di antara mereka, bahkan Alana bisa merasakan benda keras di atas pahanya.
“Teruslah memberontak, aku semakin bergairah melihat penolakanmu!” Jordan menyeringai iblis seraya meremas paha gadis itu. Membuatnya gemetar ketakutan.
Tuhan tolong aku ... pinta Alana di dalam hatinya.
Seringai yang muncul di wajah Jordan membuat Alana ketakutan, Alana mulai menitikan air mata.
Melihat wanita di hadapannya terlihat lemah, dengan cepat Jordan menyingkap rok wanita itu.
Alana berusaha mencegah tangan Jordan yang menyingkap roknya, tetapi usahanya gagal karena Jordan malah membuka dasi yang di pakainya untuk mengikat tangan Alana.
Alana semakin ketakutan saat melihat Jordan menurunkan celananya, air matanya mengalir begitu deras.
Gairah pria itu semakin menjadi, Jordan menekuk kedua tangan Alana di atas kepalanya, membuatnya lebih leluasa menyiksa Alana.
Dengan gerakan cepat Jordan merobek apapun yang menjadi penutup tubuh Alana, merobek apapun yang menjadi penghalang tubuh mereka.
Alana merasa ini ada di akhir kehidupannya, dalam sekejap Alana menjerit keskaitan.
“Aaaa!” Jordna menyergahnya dengan brutal, sakit tak terkira membuatnya keringat dingin.
Tempat terlembut Alana telah di guncang sekuat itu.
Mendengar Alana berteriak kesakitan membuat gairah Jordan semakin menjadi. Apalagi Jordan merasakan sesuatu yang menghalanginya di dalam sana. Pertama kali bagi Jordan untuk merobek sesuatu di dalam sana, jika biasanya dia hanya mendapatkan wanita-wanita penghangat ranjang, tetapi tidak dengan Alana.
Jordan memejamkan matanya menikmati sensani berbeda dari dinding lembut Alana. Sesekali Alana meringis di tengah isakannya karena permainan kasar Jordan.
Sekali lagi Jordan menyergah sekuat tenaga membuat Alana membuka mulutnya yang di iringi suara pekikan, sakit terdengar, membuat semua urat-urat di tubuhnya menonjol sempurna.
Sergahan itu membuat dinding lembut Alana luka dan robek untuk pertama kalinya, dia menatap sayu pada wajah iblis itu.
Untuk yang kesekian kalinya Jordan menyeringai, “Kau menyukainya?” Alana hanya merespon dengan erangan sakit dari mulutnya.
“Karena kau diam, aku menganggap itu sebagai jawaban iya! Jangan khawatir, ini tidak akan sesakit yang pertama, sayang!” imbuh Jordan mengatakan kalimat sayang dengan nada sensualnya.
Tak hanya sampai di situ saja, kini Jordan melahap dengan rakus bibir tipis Alana, lalu menyudahinya dengan gigitan yang membuat bibir bagian bawah Alana luka.
Entah sudah berapa lama waktu berlalu hingga akhirnya Alana menghentak kejang saat merasakan sergahan terkahir Jordan. Sergahan itu membuat cairan injeksinya meledak di dalam rahim Alana.
***
Tubuhnya terkulai lemah di atas sofa, Alana sudah tak melihat lagi sosok Jordan sejak lima belas menit yang lalu. Alana berusaha bangun dan mendapati kain putih yang tergantung, segera dia melilitkannya di tubuh mungil itu.
Merasa mempunyai kesempatan untuk melarikan diri Alana bangkit dan berlari menuju pintu. Dia tidak memperdulikan miliknya yang terasa perih saat berlari.
Tak peduli apa yang akan di katakan orang-orang saat melihatnya nanti, toh, harga dirinya telah rusak.
Alana menghela nafasnya, tatapannya fokus pada gedung yang menjulang tinggi di depannya. Gedung ini bagaikan saksi bagaimana Tuan muda itu merengut mahkotanya dengan cara kasar.
Ringisan keluar dari mulut Alana, jika saja pihak HRD tidak memintanya datang, rasanya Alana tidak ingin menginjakkan kakinya di sini.
Alana tidak bisa lari begitu saja dari tanggung jawabnya, dia berjalan memasuki area loby. Banyak orang yang menatapnya dengan padangan jijik.
Alana menundukan kepalanya semakin dalam, saat banyak wanita yang berbisik. Bukan sekedar bisikan karena Alana bisa mendengar ucapan mereka.
Kau lihat wanita yang tidak punya muka itu, berani sekali dia kembali.
Kau tahu itu wanita yang menjual tubuhnya pada Tuan muda kita.
Alana mempercepat langkahnya, dia sudah muak mendengar orang-orang yang berbisik tentangnya. Dia berjalan menuju ruangan HRD, setelah sampai di depan pintu Alana mengetuknya perlahan.
“Masuk.”
Setelah mendapat izin Alana masuk ke ruangan itu. Hal pertama yang dia lihat adalah tatapan tidak suka yang di tunjukan Bu Indri.
“Apa kamu tahu, seluruh penghuni gedung ini membicarakanmu.”
Alana menundukan kepalanya, percuma membela diri, tidak ada gunanya. Mereka semua tidak akan percaya dengan ucapannya, termasuk wanita di hadapannya.
“Jawab Alana! Apa benar kau menggoda tuan muda?” suara itu bertanya dengan nada membentak.
“Tidak,” jawab Alana singkat.
“Kau pikir saya tidak tahu, jelas-jelas kamu keluar dari ruangan tuan muda dengan sehelai kain?"
Alana berdecak kesal, dirinya merasa di sudutkan. Di tuduh menggoda tuan muda, jelas-jelas pria itu yang memaksanya.
Indri menampar Alana, dia tidak suka pada OG yang tidak sopan padanya.
Alana diam tanpa bergerak, meskipun tangannya ingin menyentuh pipinya yang terasa panas akibat tamparan HRD di depannya.
“Saya tunggu surat pengunduran dirimu, keluar!” titah Indri tegas.
Alana keluar dari ruangan itu dan kembali ke pantry, dia mencoba menenagkan dirinya.
Dua orang wanita menghampirinya, sebelumnya Alana tidak pernah melihat wanita itu. karena setiap OG mendapat bagian tugas di lantai yang berbeda.
“Buatkan saya kopi,” ujar salah satu wanita berambut panjang. Yang kini menatapnya dengan tatapan merendahkan.
Alana mengikuti perintah wanita itu, setelah dua gelas kopinya selesai Alana mendekati dua wanita yang tengah duduk di pantry.
“Kau tau ada seorang Office Girl yang berani menjajakan tubuhnya untuk tuan muda.” Keduanya terkekeh lebih kearah tawa yang menghina.
Alana memilih pura-pura tidak mendengar dan menyimpan gelas berisi kopi yang masih mengepul itu di hadapan mereka.
“Aku tahu, tidak tahu diri sekali wanita itu … sepertinya Office Girl itu kehausan belaian,” Mereka berdua tertawa cukup keras.
“Hina banget tuh Office Girl, gak ada harga dirinya.” Sindir wanita yang meminta Alana untuk membuatkannya kopi.
Alana mengepalkan tangannya, kesabarannya habis. Dia menarik tangan wanita yang terlihat menatap sinis padanya.
Wanita itu mendorong tubuh Alana hingga punggungnya membentur tembok. Dia mendekati Alana lalu mencengkaram rahang Alana.
“Berani sekali kau menarik tanganku.” Tangannya semakin keras mencengkram rahang Alana. “Wanita buruk rupa sepertimu tidak pantas menggoda tuan muda … aku rasa kau bosan hidup karena mencari masalah denganku.”
Alana berusaha melepaskan tangan wanita itu, dengan mendorong tubuh wanita itu dengan sangat kuat.
“Kau tidak pantas menghinaku,” geram Alana. Meskipun mahkotanya sudah hilang, dia tidak akan tinggal diam di perlakukan seperti itu, wanita itu tidak berhak mengiha dirinya.
Hari ini dia mendapat tamparan yang kedua, Alana hendak malangkah untuk menampar wanita itu kembali. Tetapi langkahnya terhenti saat teman wanita itu menumpahkan kopi yang di buatnya pada kepala Alana.
Alana menyeka wajahnya, kedua wanita itu tertawa puas melihat tubuh Alana yang kotor karena tumpahan kopi.
“Kau pantas menerimanya, Jal😏ng!” wanita itu menekan kata ‘Jal😏ng’ untuk menghina Alana.
Sepeninggalan kedua orang itu, tubuh Alana ambruk ke lantai. Dia menangis sesegukan mengeluarkan rasa sakit di hatinya.
Kenapa semua orang menyalahkanku, jelas-jelas lelaki itu yang salah!
Butiran bening terus meluncur dari kedua matanya, isakannya sangat menyayat siapapun yang mendengarkan tangis Alana. Seakan-akan ikut merasakan apa yang di alami Alana. Alana mengepalkan tangannya kuat-kuat, hingga urat tangan wanita itu menonjol.
Alana merasa lelah atas semua hinaan yang dia terima, apalagi perlakuan Kasar dari wanita yang terus menyalahkan dirinya.
Dia merasa malu, karena ini adalah pengalaman pertamanya mendapatkan pusat perhatian orang-orang karena mereka mengira Alana adalah wanita penjual tubuh.
Dia merasa kehilangan jati dirinya. Alana merasa berat jika harus berdamai dengan diri sendiri dan keadaan, dia tidak bisa memaafkan mereka yang telah membuat hidupnya terpuruk. Apalagi pria kasar itu, Bu Indri dan dua wanita barusan yang terang-terangan menyerangnya.
Alana mendongkakan wajahnya, dia melihat pisau di atas meja. Alana bangkit dan mengambil pisau itu, mengarahkannya pada pergelangan tangan Alana.
Tidak ada gunanya lagi aku hidup!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!