Pagi yang indah, seorang supir mobil menghentikan mobil yang di kendara tepat di depan pintu rumah Andin yang menjulang tinggi berwarna putih. Dia menurunkan dua orang anak laki-laki yang berusia 6 tahun. Dua anak itu adalah Zyan dan Fikar. Kedua duanya menggunakan seragam taman kanak kanak. Setelah menurunkan anak majikan nya, supir itu menginjak gas. Kebetulan ada lintasan searah yang melingkari rumah Andin, supir itu menaruh mobil di bagian belakang rumah yang memang sengaja di luaskan sebagai tempat mobil mobil koleksi Hans terparkir.
Supir itu berkumis tebal dan wajahnya juga sudah keriput. Dia keluar dari mobil, berjalan ke luar dari lingkungan rumah majikannya ke sebuah paviliun yang lebih seperti rumah kecil. Supir itu mendorong pintu dan masuk, disana seorang anak berusia 5 tahun duduk bersila di lantai sambil menulis dengan ujung ranjang sebagai meja belajar.
Si supir yang bernama Arsen, tersenyum melihat antusias dan semangat putrinya yang sedang membuka tutup jemari nya dengan bola mata yang berotasi ke atas fokus berfikir. Mula mula Arsen melepaskan sepatu nya lalu jas dan menggantungkan itu di gantungan topi dekat pintu, lalu setelahnya dia membuka dasi dan menggantung nya juga di tempat yang sama.
"Malikha, ibu dimana? dia belum kesini?" Tanya Arsen sembari berjalan mendekati putrinya. Malikha menggeleng, dan tetap lanjut belajar.
"Belum, ibu bilang tunggu ibu dateng sambil kerjain soal ini. Ibu bilang Lika gak boleh keluar"
Suara kecil Malikha membuat Arsen tersenyum, walaupun tubuhnya terasa sangat lelah setelah bekerja Arsen tak langsung istirahat dia malah duduk bersila mendampingi putrinya.
"Lika, mau ayah bantu?"
"No no!" Seketika itu Lika memelototi ayahnya.
"Nanti bisa cepet selesai loh, emang Lika gak mau?" Tawar Arsen, namun anaknya berbeda dari kebanyakan anak kecil pada umumnya. Bukan nya menerima bantuan dari ayahnya, Lika malah tak menghiraukan itu. Seolah tak ingin fokus nya terbagi, Lika kembali mengerjakan soal penjumblahan yang ibunya tulis.
"Ayah, ayah liat meja tuan muda di rumahnya gak? dia baru beli dua hari lalu loh"
"Liat, liat. Bagus loh Lika"
"Ayah, kalo Lika minta di belikan meja belajar Rapunzel gimana? Rapunzel yang di tv, yah"
"Kalau kasur yang jadi meja belajar kan jadi gak bergaya, Yah... Lika pengen punya meja belajar Rapunzel"
Arsen terdiam, perkataan putrinya begitu menyentuh.
"Ayah jangan diem aja dong, Yah"
"Kalau Ayah gak bolehin yang Rapunzel, Lika mau yang Frozen aja. Gak apa apa kan Yah?" Ungkap Lika yang lebih ke membujuk sang ayah.
"Kalo Lika minta ke ibu gak akan di beliin Yah"
"Kata ibu, kita harus hemat. Kita bukan orang kaya. Tapi ayah mau kan beliin meja belajar Frozen? ya kan Yah?"
Arsen tetap terdiam seribu bahasa.
"Yah, kalo pake ini tuh" Kalimat Lika tertahan. Dia mulai menutup buku dan menata nya jadi satu bersama pensil. Kemudian dirinya naik ke atas kasur berdiri tegak.
"Liat nih Yah" Lika pun mulai meloncat loncat di atas kasur, rambut panjangnya yang terurai kala itu menjadi acak acakan setelah lama meloncat loncat. Melihat putrinya sedikit lemas, Arsen yang awalnya tersenyum secara sigap menahan kedua bahu putrinya lalu di dudukkan lah Lika.
"Sudah, nanti Lika bisa muntah"
"Yah, kalo kasur di jadiin meja belajar gak enak. Goyang goyang terus"
"Kok goyang sih? lagi dangdutan mungkin Lika.."
Lika tertawa dengan lelucon ayahnya, seolah olah yang di katakan ayahnya sangat lucu padahal yang sebenarnya terjadi Arsen hanya mencoba untuk mengubah pemikiran putrinya supaya tak meminta di belikan meja belajar besar berfasilitas lengkap seperti yang Zyan dan Fikar beli dua hari lalu.
"Lika, ayah kan disini kerja jadi supir mobil. Ibu disini ngurusin tuan muda. Lika belajar sendiri setiap hari di rumah. Kalau Lika minta yang mirip sama meja belajar tuan muda, Ayah sama ibu gak sanggup beli. Itu naik pesawat"
"Ayah kan cuma bisa naik mobil, ibu malah gak bisa naik mobil. Ibu bisanya ngayuh sepeda. Tapi kalau yang kecil, Ayah bisa beli di tokoh. Gak apa apa kan Lika?"
"Oke!. Lika kan kecil, rumah Lika juga kecil. Jadi meja belajarnya kecil. Kalau Tuan muda rumahnya besar jadi meja belajarnya besar, kan Yah?"
Bersyukurlah Arsen mempunyai putri lugu dan periang seperti Malikha. Selain rajin dan pintar, Malikha juga pengertian.
Di lain tempat, seorang wanita parubaya menggunakan seragam pelayan di dalam rumah Andin sedang membuka kancing seragam Fikar, wanita itu tak lain adalah Sari ibunda Malikha. Fikar menyamil stik berlapis coklat dan terlihat sangat menikmati nya. Seperti hari hari biasa, Sari selalu menggantikan Fikar pakaian dan menyiapkan pakaian apa yang harus di ganti. Sebenarnya tugasnya adalah mengurus kedua anak itu namun, Zyan menolak karena merasa dirinya bisa melakukan segala hal.
"Nah sudah" Sari tersenyum saat baju ganti sudah terpasang di tubuh Fikar. Fikar kemudian duduk di tepi ranjang bersamaan dengan berdirinya Sari. Sari melihat Zyan yang duduk di meja belajar dekat pintu kesulitan melepaskan ikatan tali sepatunya sejak tadi jadi dia mendekat.
"Biar saya bantu tuan.." Ujar Sari sambil mendudukkan diri.
"Tidak perlu! Aku bisa sendiri!" Zyan keras kepala dan tetap berusaha membuka ikatan tali sepatu yang sudah paten dengan menepis tangan Sari.
"Sari, aku bukan anak kecil! kau boleh berbuat seperti itu pada Fikar. Tidak padaku!" Sambung Zyan. Namun, karena Sari sudah menganggap mereka berdua seperti anaknya sendiri. Dia hanya tersenyum menyikapi keras kepala Zyan, yang setiap tutur katanya terdengar kasar. Sari tetap kekeh dan membuka ikatan tali sepatu Zyan, tangan mungil nya terhenti dia menatap lekat wajah Sari tak suka. Memang butuh usaha tak sebentar untuk membuka karena ikatan tali itu paten dan beberapa menit setelah berusaha keras akhirnya ikatan terbuka.
"Tuan muda, sekarang sudah bisa ganti baju. Perlu Sari ambilkan pakaian nya?" Tawar Sari lemah lembut. Melihat kelembutan Sari kepada dirinya, Zyan membuang muka tak suka. Kemudian dia turun dari kursi yang di duduki nya.
"Aku akan berganti sendiri. Keluar lah dari kamar ku. Aku tidak ingin melihat wajah mu Sari"
Sari berdiri, "Boleh saya bawa tuan muda Fikar turun?"
"Bukankah bunda meminta aku dan Fikar turun bersama? kenapa kau berani mempertanyakan itu!"
"Baiklah tuan, Sari tunggu di luar kamar. Jika tuan memerlukan bantuan, panggil saja. Sari akan datang"
Cklekk
Suara pintu tertutup, Sari berdiri di luar kamar menyandarkan punggungnya tertunduk lesuh. Tiba-tiba saja wajah putrinya hadir dalam diam nya. Malikha kecil yang periang tertawa cekikikan di atas ranjang. Separuh tubuhnya tertutup selimut dengan Arsen di sampingnya mengangkat tangan nya sambil bercerita.
Apakah Malikha akan keluar dan melanggar perkataan ku? Apa Arsen sungguh sudah kembali ke rumah? Belakangan ini aku selalu melampiaskan kelelahan ku pada Malikha. Nanti saat selesai bekerja, aku akan menyuapi nya. Dia pasti senang, sudah lama aku menempa nya agar jadi pribadi baik.
Tak lama setelah dia mengkhayalkan senyuman indah Malikha, pintu pun terbuka. Zyan berjalan dahulu, dia tak memperdulikan Fikar yang berjalan sambil menyamil sebungkus stik berlapis coklat. Mereka turun, dan duduk di meja makan.
"Zyan, kenapa lama? terjadi sesuatu?" Tanya Andin.
"Yah, sedikit. Aku bisa mengatasi nya, Bunda" Zyan duduk di kursi meja makan dan menyiapkan piring untuk dirinya sendiri. Lalu Fikar tiba, berjalan pelan sambil memeluk kemasan stik berlapis coklat favorit nya. Fikar kesulitan untuk naik ke kursi, Zyan awalnya enggan untuk menolong. Dia berdecak, laku mengulurkan tangan nya dan mengambil kemasan yang di peluk Fikar.
"Bodoh, lain kali jangan memeluk camilan seperti ini."
Sehingga pada akhirnya Fikar pun berhasil naik. Dia mengambil kembali kemasan favorit nya dari Zyan.
"Terima kasih.."
"Fikar, kau tidak akankenyang dengan memakan stik kecil itu. Perut mu besar, ayo isi pakai nasi dan ikan" Ujar Andin sambil menatakan nasi lauk pauk dan sayur mayur ke piring di depan Fikar. Lalu setelahnya, Sari datang dari dapur pelayan membawa dua celemek makan kecil. Dia berdiri di belakang Fikar lalu mengikatkan itu agar makanan yang tumpah tak mengenai pakaian nya. Begitu dia berpindah ke kursi Zyan, sudah lebih dulu Zyan menolaknya melalui sorotan mata tajam nya.
"Aku bukan bayi, Sari. Aku bilang aku tidak ingin melihat wajahmu!"
"Zyan!! dia lebih tua dari mu!!. Dimana rasa hormat mu padanya!" Tegas Andin membuat Zyan tertunduk takut. Dan terpaksa lah Zyan mengangguk lalu Sari memasangkan celemek makan berwarna biru muda kepada Zyan dan segera pergi ke dapur pelayan kembali.
Berpindah dari suasana di dalam istana Andin, Arsen mengangkat putri kecilnya ke udara lalu melempar lemparnya sambil bergelak tawa. Begitu pun dengan Malikha, dia terlihat sangat senang dan menikmati keadaan tubuhnya yang di lempar lempar. Karena merasa lelah di daerah lengan nya, Arsen pun menurunkan Malikha.
"Sudah sudah, ayah sudah lelah" Arsen turut duduk di samping Malikha.
"Ayah, kau mengatakan jika akan pergi membelikan ku meja belajar Frozen. Kenapa sekarang duduk disini? Apa ayah mencoba untuk membohongi ku?"
Arsen kembali di buat tertawa dengan pertanyaan naif putrinya.
"Kau ini bisa saja.. oke oke. Ayah tidak akan merasa lelah!" Segera Arsen berdiri.
"Ayah akan pergi membeli meja belajar Frozen untuk Malikha. Semangat!" Arsen mengepal kan tangan mengangkat nya ke udara lalu menurunkan nya sambil berseru penuh energi. Kemudian Arsen berjalan ke pintu dan memasang kembali jas juga dasi nya.
"Semangat ayah, hati-hati di jalan" Malikha melambaikan tangan dengan senyuman lebar di wajahnya.
"Lika jangan keluar, kalau soal selesai tunggu ayah datang ya...!" Teriak Arsen dari luar. Singkat kata, kini Malikha selesai mengerjakan semua soal yang ibunya berikan Malikha pun menutup buku tulis nya dan menaruh buku itu ke dalam laci beserta dengan alat tulis. Angin betiup sangat kencang, sampai sampai jendela rumah Malikha yang tak terkunci terbuka. Membuat Malikha terkejut bukan main.
Gadis kecil di tinggal sendirian di dalam rumah nya, sedangkan di luar angin betiup sangat kencang. Benar-benar masa yang membuat tubuh menjadi dingin. Malikha melihat pada kedua pintunya yang terbuka lebar, matanya menanti nanti seseorang datang. Jika tidak ibunya mungkin ayahnya. Malikha menjadi sedikit sedih karena bolak balik dirinya melihat ke arah pintu akan tetapi tidak terdengar suara depak langkah kaki mendekat. Dia pun memutuskan untuk berdiri di pintu, menimbulkan kepalanya lalu melihat ke sisi kanan dan kiri. Keadaan sekitar tetap sunyi, Malikha kembali masuk dan membawa boneka beruang besar berwarna biru cerah keluar rumah.
Tentunya ukuran boneka itu jauh lebih besar dari tubuhnya, sehingga saat dia membawanya bagian kaki boneka tetap menyentuh tanah. Dan ini kali pertama Malikha keluar rumah, sebelum ini dia tak pernah keluar rumah. Malikha berjalan pelan clinga clingu seperti orang bodoh di sekitarnya rumah nya.
Malikha terus melangkah, dan dia pun tahu dinding besar nan tinggi yang di depan rumahnya terus ada sampai ke timur sana. Sangat panjang, jika itu pagar rumah orang maka tak mungkin begitulah fikir Malikha. Gadis itu menemukan pintu kayu di penghujung tembok berwarna semen tersebut. Karena penasaran akan apa di balik nya, Malikha sedikit mendorong pintu itu sehingga cukup bagi matanya untuk mencuri curi lihat apa yang ada di dalam nya.
Karena angin mendadak berhembus kencang, Sari berlarian membawa dua sweater tebal di sekitar kolam renang besar pada bagian belakang rumah Andin. Disana Fikar sedang duduk di tepi kolam memainkan tablet nya sedangkan Zyan duduk di kursi santai membaca buku pelajaran sekolah.
"Tuan, angin nya kencang. Mari Sari pakaikan sweater ini, jika tidak anda akan jatuh sakit" Bujuk Sari pada Fikar dan tanpa memberikan penolakan sedikit pun, Fikar pun berdiri, kakinya sampai betis basah karena terendam air kolam. Ketika Sari menyadari kaki kecil Fikar basah, dia pun segera menurunkan tubuhnya dan mengeringkan kaki Fikar dengan celemek putih yang di kenakan nya.
"Duh tuan, jangan duduk duduk di tepi kolam yah.." Sari selesai mengelap, dia memakaikan sweater pada Fikar tanpa membuka terlebih dahulu pakaian nya.
"Nanti bisa masuk angin, selain itu tuan juga bisa tercebur ke kolam. Ini dalam tuan, nanti anda tenggelam dan kelagapan."
Fikar mengangguk lalu berjalan ke kursi di sebelah Zyan yang kebetulan kosong tanpa menghiraukan lagi tablet yang tadi dia mainkan tergeletak di lantai. Dia naik, dan mulai membuka buku majalah minyak wangi.
"Sari?" Suara kecil Fikar memanggilnya.
"Ya, Tuan"
"Sari, bisa kau jangan memberi tahu bunda aku duduk di tepi kolam sambil bermain tablet kakak?"
"Baik tuan, Sari mengerti"
"Terima kasih, Sari"
Sari mendekat ke Zyan, "Tuan, mau Sari pakaikan sweater nya?"
Seketika itu pula Zyan merasa di remehkan, dia menutup buku materi nya dan melempar itu ke tanah sebelum berdiri berhadapan dengan Sari. Dadanya naik turun cepat menahan emosi, sampai akhirnya emosi tersebut meledak. Zyan melempar sweater yang Sari bawa ke kolam renang.
"Sudah!! berhenti memberi perhatian lebih padaku. Aku bukan anak mu!"
"Sepulang sekolah! saat di meja makan! dan kau ingin terus menerus menyentuh ku?!. Sari, kau dan aku berbeda"
"Enyah dari hadapan ku, Sari!!"
"Tuan..." Sari mencoba memegang tangan kecil Zyan namun sudah lebih dulu Zyan menjauhkan tangan nya agar tak di pegang Sari. Dia semakin kesal, lalu mendorong tubuh Sari sekuat tenaga sampai Sari terjatuh. Tangan kecil Malikha membungkam mulutnya sendiri, menyaksikan bagaimana ibunya di perlakuan kasar seperti itu.
"Akkhhh" Rintih Sari merasakan sedikit sakit, walau begitu Sari tetap kembali berdiri. Fikar yang menyaksikan itu menyadari jika amarah kakaknya kembali membeledak. Dia langsung turun dari kursi nya dan berlari ke dalam sambil berteriak.
"Bundaaaa...!! Bundaa....!!"
Andin saat itu sedang bemesraan di depan pintu rumah melepaskan dasi suaminya karena mendengar teriakan Fikar dia pun berhenti dan segera mencari sumber suara kecil yang memanggil manggil nya.
"Bunda!" Fikar memeluk kaki Andin dan menyembunyikan wajahnya.
"Ada apa?"
"Kakak! dia mendorong Sari"
Sari??
Oh, istrinya Arsen!
"Baiklah baik, jangan panik, mari kita lihat bersama"
Bersamaan dengan langkah kecil Fikar yang berjalan di gandeng Andin langkah kecil yang sama pula berlari datang dari pintu kayu di ujung dinding pembatas. Seorang gadis kecil membawa boneka beruang biru dengan rambut terurai yang entah dari mana asalnya berlarian di dalam istana besar Zyan?? Sontak bola mata pangeran sombong itu membulat.
"Kenapa kau begitu pada ibu ku....!!! hiks hiks" Teriak nya sambil menangis menggeret boneka beruang biru nya. Dia berdiri berhadapan dengan Zyan, tinggi keduanya tak berbeda jauh. Masih tetap menangis gadis itu mendorong Zyan juga sampai terjatuh.
Pertama kali seseorang mendorong ku
Yang
Mendorong ku
Ibu??
Dia anak
Anak pelayan ku?
Beraninya dia!
Bruk! Zyan pun terjatuh, Andin segera berlari kesana dan mendekap putranya. Sari langsung menundukkan separuh tubuhnya merasa bersalah sekaligus takut.
"Maafkan saya Nyonya! ini salah saya!"
Andin tak menghiraukan kalimat Sari, dia membangunkan Zyan.
"Ayo bangun, kenapa kau sampai di dorong oleh nya? kau melakukan apa?"
Zyan tetap diam tak menjawab sorot matanya tajam pada Malikha kecil, pertemuan pertama yang tak terduga.
"Dd- dan siapa dia? teman mu?"
"Bukan" Singkat Zyan.
"Aku mana mungkin berteman dengan anak pelayan seperti nya. Dia anaknya Sari! muncul tiba-tiba dari pintu kayu belakang!. Cih, menjengkelkan"
"Kau duluan yang mendorong ibu dan memarahi nya, hiks hiks" Bantah Malikha.
"Aku mendorong ibumu, bukan dirimu. Tidak ada gunanya kau menangis di depan ku"
"Aku hanya sedikit sedih, aku tidak menangis. Kau masih kecil tapi sudah jahat! bagaimana nanti!" Teriak Malikha.
"Jahat? aku??"
Malikha menarik ingus yang belum keluar dan menyeka air matanya.
"Pergilah dari rumah ku. Jaga batasan mu!. Aku tidak bisa bertemu dan bicara dengan sembarang orang!" Usir Zyan. Melihat tingkah laku anaknya yang semakin tak benar, Andin mendaratkan tamparan tepat di pipi Zyan.
"Jaga bicara mu!"
"Bunda..." Mata Zyan berkaca kaca tak percaya jika Bunda nya yang sangat lembut dan penyayang tiba-tiba menimpanya sangat keras, membuat Fikar tersentak kaget.
"Kenapa semakin hari kau semakin sombong?! Apa bunda pernah mengajarkan mu mengusir orang?"
Zyan tertegun dan kehilangan kata untuk menjawab ibunya.
"Bunda tidak ingin melihat wajahmu sebelum kau menyadari perbuatan buruk yang sudah kau lakukan. Pergi masuk ke kamar!" Kali ini Andin harus bertindak tegas, karena merasa malu Zyan pun berlari tanpa memegangi pipinya yang memerah membentuk sebuah telapak tangan. Tanpa disadari saat dirinya berlari, Zyan berpapasan dengan ayahnya yang berdiri di ambang pintu.
Hans mendekat dan merangkul Andin,
"Andin?"
Langsung saja Sari menundukkan separuh tubuhnya saat melihat kehadiran Hans. "Maaf tuan, ini salah saya!"
"Jangan menyalahkan tuan muda Zyan, salahkan saya saja tuan!"
"Jangan tuan, saya mohon... hukum saja saya, saya tidak bisa menjaga putri saya tetap di dalam rumah. Saya meminta maaf atas namanya tuan.. moho-" Begitu takutnya dia kepada Hans sampai tak sadar telah berkata banyak.
"Apa yang kau katakan? aku tidak sedang mengajak mu berbicara" Ucap Hans.
"Oh, ya aku tidak tahu jika kau selama ini bekerja meninggalkan anakmu sendirian di rumah. Jika pekerjaan mu selesai segera kembali dan rawat putri mu. Untuk Zyan, dia memang harus di dewasakan"
"Mari, Andin" Hans menggiring Andin meninggalkan tempat itu.
Sari menggandeng Malikha dan boneka besar nya keluar dari rumah itu sangat kasar, dia keluar dari rumah lewat pintu kayu yang sama. Zyan berdiri di balkon sambil memegangi satu pipinya melihat kemana gadis penyebab bunda menampar nya pergi. Ternyata mereka menuju ke rumah kecil di belakang dinding pembatas rumahnya.
'Jadi selama ini dia tinggal di rumah itu ya?'
'Gadis beruang yang membuat bunda menamparku. Sebelumnya tak ada yang melakukan ini padaku, awas saja kau!'
Begitu tiba di rumah, dia memukuli anaknya tanpa ampun. Dari tangan kanan dan kiri nya bergantian, sambil menangis terisak isak Malikha menutupi wajahnya dengan boneka beruang besar.
"Kenapa kau membantah ibu!!"
"Kenapa kau keluar dari rumah!"
PAK PAK!
"Ibu mengatakan tidak boleh, ibu percaya padamu!"
"Kau mengecewakan ibu, Lika!"
PAK PAK!
"Ibu... hiks hiks, sakit"
"Kau akan tetap tak mendengarkan ibu! percuma di hentikan!" Sari terus mendaratkan pukulan silih berganti saat Arsen belum juga datang.
"Ampun ibu.. ampun! Lika tidak akan keluar lagi!"
"Ibu, hiks hiks.. sudah ibu huhuuu~" Malikha semakin mencengkram kuat boneka beruang yang melindungi wajahnya.
"Ibu, maaf...."
PAK PAK!
PAK PAK!
PAK PAK!
PAK!!!
Pukulan terkeras Sari kepada Malikha, membuat tubuh kecil itu tumbang ke lantai terbaring lemah dan saking sakit pukulan itu Malikha merasa tak kuat untuk memegang boneka nya sebagai perisai.
"Maaf ibu, hiks hiks"
"Apa kau sekarang mengerti perbedaan kita dengan mereka! kau akan mendorong nya lagi atau tidak!"
"Maaf ibu.... hiks hiks ibu..... ini sakit" Malikha mengangkat lengan nya dan menunjukkan itu sambil merintih kesakitan. Lalu Sari pun tersadar akan apa yang dia perbuat tadi, dia menjadi tak tega melihat putri kecilnya terbaring dengan bekas pukulan berwarna merah dalam jumlah banyak. Sari membungkam mulutnya dan membuang muka enggan menatap balik ke arah putrinya.
Maaf, Lika..
Ibu memarahi mu lagi
Tidak, ibu menyakiti mu
Maafkan ibu
Malikha terus menangis siang itu, sampai dia tertidur di lantai tanpa alas dan selimut memeluk boneka nya. Karena suara isakan tangis Malikha tak lagi terdengar, Sari menoleh dia melihat Malikha sudah memejamkan mata dan mengeluarkan dengkuran halus. Kedua matanya sebam, begitu pun hidungnya menjadi merah muda.
Sari segera mengangkat putrinya dan memindahkan Malikha ke atas kasur.
"Maafkan ibu, Lika. Lagi lagi kau menjadi sasaran atas kelelahan ibu setelah bekerja." Sari pun menutupi tubuh Malikha dengan selimut, lalu mengecup kening nya penuh kasih.
Kembali lagi ke tempat Zyan. Seseorang membuka pintu kamar dan masuk, dialah Fikar. Dia berjalan lesuh dari pintu sampai balkon dan begitu menemukan Zyan, dia langsung memeluk nya dari belakang.
"Kakak! maaf! hiks hiks"
"Eh?, kenapa? untuk hal apa?"
"Aku yang memanggil bunda, maafkan aku"
"Lupakan saja, aku tidak bisa melupakan hari ini" Ucap Zyan yang perlahan lahan melepaskan tangan Fikar yang melingkar di perut nya.
Sari pergi ke dapur rumahnya dan mulai memasak. Beberapa saat setelah lihai tangan nya bergerak, seseorang pun membuka pintu rumah.
"Lika?"
Sari menoleh kan kepalanya.
"Oh, kau ternyata. Ku fikir orang lain"
"Dimana Lika?" Tanya Arsen tak melihat keberadaan Lika di ruangan itu.
"Aku memindahkan dia di kamar, sengaja tidak ku biarkan tidur di ruangan ini" Sari menjawab sambil meniriskan ayam goreng.
"Astagaa.. pasti aku terlalu lama di jalan tadi, kasihan sekali dia" Arsen meletakkan meja kecil tipis yang terlapisi dengan plastik ke lantai kemudian dia masuk ke kamar mandi. Sementara Arsen di kamar mandi, Sari pun mulai menata tempat makan nya. Mulai dari menggelar karpet, lalu memindahkan piring piring berisi ke atas nya. Setelah siap, Arsen pun keluar dari kamar mandi dan sambil menggosok gosok rambutnya yang basah, Arsen berjalan ke satu satunya kamar di rumahnya.
Arsen membuka pintu, terlihat Malikha tidur sambil memeluk boneka beruang biru besar dan separuh tubuhnya tertutup selimut. Arsen masuk lalu mendaratkan kecupan pada kening putrinya.
"Mimpi indah, sayang.."
Arsen menegakkan kembali tubuhnya dan berlari ke hendak keluar dari kamar. Namun, dia kembali menghadap putrinya. Melihat tangan kecil Malikha terdapat bekas bekas cubitan yang berwarna biru ke ungu an, membuat pria tua berkumis itu melotot terkejut bukan main. Dia sempat kilat berjalan ke ruang utama dan disana terlihat istrinya sedang meletakkan nasi hangat ke atas piring kosong.
"Kau memarahi nya lagi. Kenapa?"
"Dd- dia nakal. Yah, dia nakal"
Arsen menjadi kehilangan kesabaran saat Sari mengatakan itu tanpa perasaan bersalah sedikit pun.
"Nakal itu hal yang sering terjadi pada anak anak! tidak perlu menyakiti fisik nya!"
"Hari ini aku tidak ingin berdebat dengan mu, mohon diamlah Arsen"
"Memangnya apa kesalahan Malikha, dia sejak tadi mematuhi mu. Tidak keluar rumah dan juga mendengarkan perkataan ku, apa kau sudah tidak waras sampai menyakiti nya"
"Tidak waras?!!" Teriak Sari, dia berdiri dan mulai menjelaskan dengan nada tingginya sebagai pembelaan diri agar Arsen berhenti berkata dan tidak menyudutkan nya.
"Arsen kau tidak tahu apa saja yang putri mu lakukan!"
"Dia keluar rsari rumah saat angin sangat kencang. Dia berjalan sampai ke pintu kayu"
"Sikap tuan muda Zyan padaku, aku sudah terbiasa bila dia bersikap seperti itu padaku, dan saat putri mu itu melihat nya"
"Waah! dia langsung berlari dan menolong seperti pahlawan. Dia menangis dan mendorong tuan muda!"
"Kau seharusnya mengerti, keluarga mereka seperti apa?. Dia menolong kita. Memberikan kita pekerjaan, memberikan tempat tinggal. Menjauhkan kita dari kampung tak benar itu. Seharusnya kita mengabdi pada mereka, bukan malah bersikap seperti putri mu"
"Terlebih lagi, saat tuan dan nyonya melihat. Putri yang kau bela itu bahkan berani menyalahkan tuan muda Zyan. Apa aku tidak memiliki alasan yang cukup untuk menghukum nya? huh!"
"Ayo jawab! sejak tadi bicara mu seperti pahlawan saja. Pelajaran apa yang kau tanamkan pada Malikha?! kau meracuni pikiran nya dengan apaa Arsen...!!" Darian semua yang Sari katakan, dia sengaja tidak mengatakan jika Malikha membela dirinya.
"Bukan Malikha!. Pengabdian mu yang berlebihan!"
"Berlebihan?? kau lupa seperti apa kampung itu?" Timbun Sari dan perdebatan pun tak bisa terhindarkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!