NovelToon NovelToon

Giro - The Shrouded Paradise

Act 1: Beautifull Morning Might Not Be a Beautifull Day

Setiap orang memiliki jalan takdirnya tersendiri. Kau boleh mengatakan hidupmu begitu menderita, begitu memilukan, atau bahkan begitu menyesakkan. Tetapi, selama kau bisa terus hidup dan berjuang, selama kau membuang kata "menyerah" dalam hidupmu, kau masih tetap memiliki kesempatan untuk merubah jalan takdirmu. Percayalah.

Desa Ardheim.

"Sepertinya sudah cukup untuk hari ini" ucap seorang remaja berkulit cokelat itu sambil memungut beberapa batang kayu bakar terakhir dan menyimpannya dalam keranjang di punggungnya.

"Nova pasti senang hari ini, aku berhasil menemukan beberapa jamur payung kesukaannya!" lanjutnya sambil membasuh keringat yang menetes di dahinya.

"Baiklah, mari kita pulang!" dia berjalan menyusuri hutan yang lebat untuk kembali ke rumahnya.

Begitulah pekerjaan Giro sehari-hari, pergi ke hutan di pagi hari untuk mencari kayu bakar dan makanan untuk keluarganya. Jika beruntung, dia bisa menemukan beberapa tanaman herbal yang bisa dia jual di kota siang harinya. Giro masih berumur 15 tahun, walaupun dia masih kecil, sebagai seorang anak tertua dari tiga bersaudara, dia tetap harus melakukannya.

Giro adalah seorang anak yang selalu ceria. Dia memiliki dua orang adik, satu laki-laki dan satu perempuan. Ayahnya telah meninggal beberapa tahun lalu, sejak saat itulah ibunya yang menjadi tulang punggung keluarganya. Ibunya berprofesi sebagai pembuat anyaman dari bambu, entah itu keranjang, bakul nasi, hingga sapu lidi. Giro yang merasa jika pekerjaan ibunya cukup melelahkan, akhirnya memutuskan untuk membantunya. Setiap pagi ia selalu pergi ke gunung untuk mencari kayu bakar dan herbal untuk dijual. Siangnya, ia membantu ibunya mencari bambu untuk dibuat anyaman.

Adik pertamanya adalah seorang perempuan berumur 8 tahun yang bernama Nova. Dia bertugas memasak dan membantu ibunya membuat keranjang yang akan dijual di kota. Sedangkan adik keduanya adalah seorang laki-laki bernama Giru yang berumur 3 tahun, masih belum bisa membantu banyak, malahan Giru lebih banyak mengganggu ibunya yang bekerja.

Entah karena dia terlalu bersemangat atau bagaimana, hari ini dia pergi cukup jauh kedalam hutan yang terletak di belakang rumahnya. Mungkin karena pagi ini Giru, adik laki-lakinya, kembali berulah. Berlari-lari membawa batang kayu dan tidak sengaja tersandung batu dan terjatuh, sayangnya batang kayu yang dia bawa terlempar dan merobek selendang Nova yang sedang dijemur.

Giro memarahi adiknya, karna selendang tersebut adalah satu-satunya selendang yang dimiliki Nova. Tanpa selendang, malam hari akan cukup membuat tidak nyaman karna sangat dingin.

"Tidak apa-apa kak, selendangnya masih bisa dipake kok. Nanti aku akan coba meminjam jarum dan benang ke tetangga agar bisa dijahit kembali" ucap Nova mencoba menghentikan amukan Giro terhadap adiknya.

Dan karena muka memelas Giru yang menggemaskan, akhirnya Giro menyerah dan berhenti memarahi Giru.

"Kakak akan mencoba pergi ke kota setelah mencari kayu bakar sambil menjual beberapa keranjang yang Ibu buat, jika ada uang lebih, nanti kakak belikan selendang baru buat Nova" ucap Giro sambil memasang keranjang di punggungnya.

"Gak usah repot-repot kak, ini masih bisa dipake kok" ucap Nova tidak mau kakaknya terlalu kelelahan, hanya agar ia punya selendang baru.

"Gak apa-apa, mungkin kakak bisa menemukan beberapa tanaman herbal di hutan, bisa sekalian kakak jual juga nanti siang" ucapnya sambil tersenyum, mencoba meyakinkan adiknya.

"Kamu jangan nakal ya sayang, maaf kakak sempat marahin kamu tadi" ucap Giro sambil mengusap rambut Giru, adik terkecilnya.

"Iya kak, maafkan Giru" jawab Giru dengan tampang memelas.

"Yasudah kalau begitu kakak berangkat dulu, nanti kakak cari jamur payung kesukaan Nova biar nanti malam bisa makan enak!" seru Giro sambil melambaikan tangannya.

"Hati-hati kak!" ucap Nova tersenyum dan melambaikan tangannya juga.

"Dadah kakak!" teriak Giru dengan begitu menggemaskannya.

Giro pun berjalan memasuki hutan di belakang rumahnya. Hutan yang cukup lebat, tapi memiliki banyak sekali anugerah Tuhan berupa makanan dan obat-obatan. Giro menyusuri jalan setapak yang telah tersedia disana, terbentuk secara alami oleh orang-orang yang melaluinya. Sepanjang perjalanan, Giro melihat-lihat di berbadagai sudut yang merupakan tempat tumbuhnya tanaman herbal, satu atau dua herbal yang langka bisa dia jual dengan harga yang cukup mahal.

Akhirnya Giro berhasil sampai di tempat tujuannya. Dia mengusap keringatnya sebelum bersiap melanjutkan pekerjaannya, mengumpulkan kayu bakar dan tanaman herbal sebanyak mungkin.

Seperti yang diduga, hujan semalam membuat banyak tanaman herbal dapat dengan mudah ditemukan. Biasanya mereka tersembunyi dengan baik di balik daun-daun yang jatuh ataupun ranting pohon yang berserakan. Bahkan, mereka seringkali bersembunyi dibawah batu atau batang pohon yang lembab. Jika kau tidak terbiasa, kau akan kesulitan mencari tanaman-tanaman herbal tersebut. Tapi untungnya, Giro sudah cukup mengetahui berbagai herbal dan dimana mereka biasa bersembunyi.

Setelah cukup lama mencari kayu dan tanaman herbal yang ada disana, akhirnya Giro merasa jika keranjangnya sudah terisi penuh, menandakan jika ia sudah selesai dan harus segera pulang. Walaupun pagi ini terasa cukup melelahkan, tapi ia cukup senang karena akhirnya, Nova tidak perlu khawatir soal selendangnya yang sudah tipis karna tidak pernah menggantinya.

"Sepertinya cukup untuk membeli selendang baru buat Nova" gumam Giro sambil tersenyum puas setelah melihat keranjangnya penuh dengan kayu bakar dan berbagai tanaman herbal yang bisa ia jual di kota.

Tak menunggu lama, Giro pun bergegas untuk segera pulang agar ia bisa segera pergi ke kota dan akhirnya membeli selendang baru untuk adiknya.

Entah apa yang mengganggu fikirannya, perjalanan pulang pagi ini tidak seperti biasanya. Dia tidak melihat satupun hewan liar, padahal biasanya pasti ada rusa ataupun kelinci yang berlari kesana kesini. Perasaan aneh yang ia rasakan membuatnya tergesa-gesa untuk segera pulang. Ia berlari secepat yang ia bisa. Hutan ini sudah seperti taman bermain baginya, setiap hari pergi kesini untuk mengumpulkan kayu bakar. Bahkan mungkin, jika matanya tertutup pun, dia masih bisa dengan mudah keluar dari hutan.

Sniff.. sniff... Giro mencium sesuatu.

"Apakah ada yang membakar kayu di desa?" Giro mencoba agar tetap optimis setelah dia mencium bau asap dari arah desanya.

Tapi tetap saja, bau asap tersebut semakin membuat fikirannya tidak tenang, dia berlari semakin cepat berharap semuanya baik-baik saja.

Tapi ternyata kenyataan tak selalu menyenangkan.

Alangkah terkejutnya Giro ketika ia melihat api berkobar dengan begitu gagahnya, menari diatas rumah-rumah penduduk desa. Giro tidak bisa melihat dengan jelas kedalam desa karena kepulan asap yang begitu pekat. Giro segera menerobos masuk kedalam desa sambil terlihat begitu panik, hanya beberapa jam saja sejak ia pergi untuk mengumpulkan kayu bakar, dan sekarang semuanya telah berubah merah membara oleh api yang menjalar.

"Apa yang terjadi disini?" gusarnya sambil tercengang melihat kobaran api yang melahap pemukiman desa. Dia melihat sekelilingnya, tidak asa satupun orang disana. Kemanakah mereka? Giro tidak banyak berfikir, dia langsung pergi menuju rumahnya. Berharap jika penduduk desa sudah mengungsi pergi dari sana.

Ketika ia hendak bergegas menuju rumahnya, tiba-tiba ia terhenti oleh sebuah suara di belakangnya.

"Ohh, ternyata masih ada yang masih selamat. Darimana saja kau, Nak?" ucap suara tersebut.

Pikiran Giro semakin kalut, dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua tidak seperti yang ia bayangkan. Walaupun pemandangan di depan matanya berkata sebaliknya.

Act 2 : What Lies Below

Desa Ardheim merupakan sebuah desa kecil yang terletak di lereng Gunung Guma. Penduduk desa ini kebanyakan berprofesi sebagai petani atau membuat kerajinan untuk dijual di kota. Jarak dari desa ke kota sebenarnya cukup jauh, pergi berjalan kaki di pagi hari membutuhkan waktu hingga siang untuk mencapai kota.

Tidak ada hal yang spesial tentang desa ini. Lalu apa yang yang sebenarnya terjadi saat ini? Apakah karena kecelakaan dari seseorang yang membuat seluruh desa terbakar? Ataukah karena ada orang yang menyerang desa? Tapi siapa? Jika benar seperti itu, mengapa mereka menyerang desa ini? Semakin dia memikirkannya, semakin sakit kepalanya. Apa mungkin mereka hanya kelompok bandit biasa yang sedang bosan? Omong kosong! Hanya karena bosan mereka meratakan seluruh desa?

Tiba-tiba lamunannya terpecah karena suara yang muncul dari arah belakangnya.

"Ohh, ternyata masih ada yang masih selamat. Darimana saja kau, Nak?" ucap suara tersebut.

Langkah Giro terhenti, dia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Dia berharap jika fikirannya tentang bandit yang menyerang desa tidak benar.

"Mungkin mereka berniat menolong para penduduk desa!" gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Yo! Apa kau penduduk desa ini?" tanya salah satu diantara mereka sambil mendekati Giro yang masih terlihat begitu panik.

Mereka ada dua orang, satu diantara mereka berbadan besar dengan kepala plontos. Tangannya memegang palu yang sangat besar, terlalu besar bahkan untuk tubuh gemuknya. Dan satunya lagi tidak sebesar temannya, tapi tetap terlihat cukup besar untuk ukuran orang biasa, walaupun dia terlihat tidak membawa senjata.

Giro mencoba mengamati kedua orang didepannya. "Betul, apa yang terjadi disini?" dengan hati-hati Giro mencoba menjawab pertanyaan mereka.

"Syukurlah! Kami sudah mencari ke seluruh desa, mencoba menemukan jika ada yang masih selamat!" seru pria berbadan gemuk tersebut.

"Ikut aku, semuanya yang selamat berkumpul di luar desa! Mungkin, keluargamu ada disana!" tambahnya mencoba meyakinkan Giro untuk mengikutinya.

Entah mengapa perkataan orang tersebut sama sekali tidak membuat Giro tenang. Dia merasakan ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak bisa memastikannya.

Giro mencoba melihat sekelilingnya. Memang benar, dia tidak menemukan mayat ataupun bercak darah di sekelilingnya.

"Mungkin memang terjadi kecelakaan disini, dan para penduduk sudah pergi ke tempat yang aman. Lebik baik aku mencoba mengikuti mereka" gumam Giro dalam hatinya.

"Ayo, apalagi yang kau tunggu?" ajak pria gendut tadi sambil menjulurkan tangannya.

"Baiklah..." jawab Giro sambil mengikuti mereka berdua. Setidaknya, masih ada harapan jika yang mereka katakan memang benar adanya. Selain itu, dia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti mereka.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa tidak kita bunuh saja dia disini?" bisik salah satu dari mereka.

"Tenang, lihatlah badannya. Dia masih kecil, tapi memiliki badan yang cukup tegap. Mungkin Kapten bisa menggunakannya atau mungkin menjualnya sebagai budak" jawab si gendut pelan.

"Hmm... Ide yang bagus, mungkin kita bisa dapat bonus dari Kapten setelah menemukan anak sepertinya" gumam temannya setelah memeriksa tubuh Giro yang memang cukup mengesankan untuk anak seumurannya.

Giro sama sekali tidak bisa mendengarkan apa yang dibicarakan oleh kedua orang di depannya itu. Tapi entah mengapa instingnya berkata bahwa mereka tidak bisa dipercaya begitu saja. Tetapi, karena dia tidak bisa melakukan apapun, dia hanya mengikuti mereka berharap yang terbaik akan terjadi.

"Sebenarnya apa yang terjadi disini?" ujar Giro bertanya kepada mereka.

"Ohh itu... Seseorang menyebabkan kebakaran di rumahnya, dan ternyata perlahan apinya menjalar ke rumah-rumah lainnya" jawab si gendut dengan santai.

"Tenang saja, setelah kami datang, kami mencoba untuk menolong penduduk yang selamat" tambah temannya sambil tersenyum.

Jawaban tersebut tetap tidak bisa membuat Giro tenang. Rumahnya terletak di ujung desa, mungkin tempat yang mereka tuju berada dekat rumahnya, agar ia bisa melihat kondisi rumahnya sekarang. Ingin sekali ia berlari ke arah rumahnya dan segera melihat keadaan keluarganya, tapi entah mengapa dia merasakan hawa yang tidak mengenakan dari kedua orang itu. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti mereka berdua dengan tenang.

"Oh akhirnya kita sampai..." ucap si gendut.

"Kapten! Kita menemukan seorang anak yang selamat di desa!" teriaknya ke arah kerumunan.

"Huh?" jawab seseorang sambil menolehkan kepalanya ke belakang.

Alangkah terkejutnya Giro dengan apa yang baru saja dia lihat di depan matanya sendiri. Dia tidak bisa bergerak sama sekali. Kakinya bergetar sangat hebat. Tiba-tiba dia memuntahkan isi perutnya.

"Huweeekkk...!!!" rasa mual tiba-tiba menyerang perutnya setelah dia melihat pemandangan di depannya. Air matanya keluar tanpa diundang, membasahi seluruh wajahnya. Fikirannya kalut, dipenuhi oleh prasangka yang buruk.

"Apa ini??! Apa yang sebenarnya terjadi?!" teriaknya dalam hati sambil terus memegangi mulutnya yang penuh oleh muntahannya sendiri.

"Ohh.. Sepertinya kamu penduduk desa ini, Nak?" ucap pria yang dipanggil Kapten tadi kearah Giro.

Dia mengeluarkan pedang yang berada di pinggangnya dan berjalan perlahan menuju Giro. Giro tidak bisa bergerak sama sekali. Tubuhnya tidak bisa mengikuti perintahnya.

"Apa ini akhirnya?" fikiran Giro melayang mencoba untuk tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dia menutup matanya, mungkin saat ia membukanya, pemandangan tersebut akan menghilang. Mungkin, semua ini hanyalah mimpinya. Mungkin...

Tapi terkadang, kenyataan tak selalu seperti keinginan.

Act 3: The Thing that Will Last Forever

Pemandangan didepan mata Giro bukanlah pemandangan yang pantas dilihat oleh anak seumurannya. Mayat penduduk desa ditumpuk layaknya sampah yang hendak dibakar. Entah apa tujuan orang-orang ini, yang pasti saat ini dia sedang berada dalam bahaya.

Walaupun Giro masih berumur 13 tahun, tapi ini bukan pertama kalinya dia menghadapi bahaya. Seringkali saat pergi ke hutan dia harus berhadapan dengan peristiwa yang sangat berbahaya hingga mengancam nyawanya. Dari tanah longsor hingga lari dari harimau maupun serigala.

Perlahan kemampuannya dalam memutuskan sesuatu semakin baik, karena dalam keadaan yang genting, satu keputusan yang salah dapat merenggut nyawanya. Dan sekarang, kemampuan bertahan hidupnya seolah diuji hingga batasnya.

"Dilihar dari keranjangmu, sepertinya kau baru pulang dari gunung?" tanya sang Kapten kepada Giro.

"Iya... Tiap hari aku pergi ke gunung untuk mengumpulkan kayu bakar" jawab Giro berusaha agar tetap terlihat tenang, walau matanya memancarkan amarah yang luar biasa.

"Mata itu... Aku pernah melihat tatapan seperti itu sebelumnya" gumam sang Kapten.

"Kau lihat luka di mataku ini? Ini adalah luka yang kudapat dari orang yang memiliki tatapan sepertimu" lanjutnya sambil memegang bekas luka yang menggores matanya, luka yang cukup besar hingga menutupi sebagian besar wajah kirinya.

"Apa kau takut kepadaku?" tanya Kapten sambil mengacungkan pedangnya kearah Giro.

"Aku takut kalau jawabanku akan mengecewakanmu" jawab Giro sambil terus mencoba waspada. Dia tahu jika orang di depannya itu bukanlah orang biasa. Salah menjawab, dan nyawanya yang jadi taruhan.

"Ohh... Sepertinya tatapanmu dibarengi dengan sedikit keberanian. Bagus sekali.." ucap Kapten sambil tersenyum sambil mendekatkan wajahnya kearah wajah Giro.

"Tapi kau tahu Nak, keberanian tanpa kemampuan hanyalah omong kosong" lanjutnya.

"Apa kau memiliki keluarga disini, Nak?" tanyanya dengan santai.

Tiba-tiba Giro teringat keluarganya. Apakah mereka berhasil selamat atau... Tidak, dia tidak ingin berfikiran seperti itu. Dia berharap ibu dan adik-adiknya berhasil melarikan diri sebelum semua penduduk desa ditangkap.

"Ya, aku punya seorang ibu dan dua orang adik" jawabnya perlahan, mencoba menyembunyikan ketegangannya. Giro mencoba melihat kearah tumpukkan mayat di depannya, berharap tidak menemukan ibu dan adik-adiknya diantara mayat-mayat tersebut.

"Sayang sekali. Sepertinya keluargamu berada disana. Kau mau mencarinya?" lanjut sang Kapten sambil menunjuk kumpulan mayat di belakangnya.

Giro pun segera berlari kesana. Dia melihat satu persatu mayat didepannya. Bau darah begitu segar di hidungnya. Tapi dia tidak peduli, dia hanya ingin keluarganya tidak berada disana.

Tangannya berhenti mencari ketika matanya melihat sebuah tubuh perempuan paruh baya yang memeluk erat dua orang anak kecil.

"Nova... Giru... Ibu..." ucap Giro lirih.

Kesedihannya tidak mampu terbendung lagi. Air matanya mengalir membasahi pipinya. Rasa sakit yang luar biasa menusuk jantungnya. Rasa sesak yang begitu menghabiskan nafasnya. Mengapa? Satu-satunya pertanyaan menggema dalam fikirannya.

Dia meraih tubuh mereka bertiga dengan tangan mungilnya.

"AAARRRRRGGGHHHHHH.....!!!!" teriak Giro yang tak mampu lagi menahan semuanya.

"Maafkan kakak, Nova, Giru... Kakak tidak ada di samping kalian saat kalian benar-benar membutuhkan kakak..." lirihnya sambil terisak.

Ia terisak, terus terisak. Dengan tangan gemetar dia menoleh ke belakang, linangan air matanya tidak bisa menutupi pancaran kemarahannya. Dia menatap sang Kapten tanpa rasa takut sedikitpun, seolah berkata "Kau akan membayar semua ini!".

"Hoo... Benar-benar tatapan yang mengerikan..." ujar sang Kapten tersenyum.

Dia berjalan perlahan ke arah Giro sambil menyandarkan pedang besar yang ia pegang di pundaknya. Tepat didepan Giro yang terus menatap matanya, dia berjongkok dan mendekatkan wajahnya tepat didepan wajah Giro.

"Tatapan seperti itu bukanlah tatapan yang dimiliki oleh orang yang putus asa dan takut" ujarnya sambil memegang dagu Giro dengan jarinya.

"Itu adalah tatapan yang penuh keberanian dan harga diri, tatapan dari singa yang terluka." lanjutnya.

"Apa kau membenciku?" tanya Kapten.

Yang ada difikiran Giro saat itu hanyalah kebencian. Melihat senyum yang terpajang di wajah sang Kapten benar-benar membuatnya muak. Ingin sekali ia mengambil pedang yang dibawa Kapten dan menebas lehernya. Tapi ia sadar, ia tidak memiliki sedikitpun kesempatan untuk melakukannya.

Orang didepannya itu bukanlah orang sembarangan. Dia memiliki tubuh yang besar dengan otot yang begitu kekar. Rambutnya panjang namun ditutupi oleh helm berbentuk kepala singa, atau mungkin itu adalah kepala singa sungguhan hasil buruannya. Dia memakai zirah besi yang sangat berkilau. Giro sama sekali tidak bisa melihat sedikitpun celah yang dimiliki olehnya.

Giro hanya bisa terdiam sambil terus menatap mata sang Kapten. Kepedihan yang ia rasa tidak serta merta membuatnya melakukan hal yang bodoh.

"Walaupun kau tak berkata apapun, tapi matamu sudah menjawab semua pertanyaanku" ujar sang Kapten.

"Bakar semua mayat! Kita pulang hari ini" teriak kapten kepada anak buahnya.

"Dan untuk anak ini..." lanjutnya.

"Aku tidak ingin meninggalkan satupun orang yang selamat. Tapi aku menyukai matamu itu, Nak." gumamnya sambil melihat kearah Giro.

"Bawa dia! Mungkin dia bisa berguna untuk kita." lanjutnya sambil beranjak dan pergi dari sana.

Giro pun diikat menggunakan rantai besi dan di lemparkan kedalam gerobak yang penuh dengan barang rampasan. Matanya kembali melihat mayat ibu dan kedua adiknya. Air mata kembali mengalir di pipinya. Rasa yang teramat sesak mengumpul di dadanya. Api perlahan melahap mayat mereka. Kepulan asap menjadi pertanda perpisahan mereka untuk selamanya.

"Maafkan aku Ibu, Nova, Giru..." ujarnya lirih.

"Aku berjanji, aku akan membalaskan dendam kalian dengan balasan yang tidak akan pernah mereka lupakan" lanjutnya sambil menutup matanya.

Janjinya hari itu menjadi janji yang akan menjadi titik balik kehidupannya. Kehidupan bahagia dan hangat bersama keluarganya sudah tidak ada lagi.

Gerobak yang ia tumpangi perlahan melaju, pergi menjauh dari desa yang selama ini ia tinggali. Selamat tinggal.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!