NovelToon NovelToon

Matahari Di Tengah Hujan Deras

Chapter 1 (Prolog)

Happy Reading ❣

...“Yang peduli diabaikan, yang abai dipedulikan. Selucu itukah kehidupan?”...

...~MDHD~...

Lapangan basket yang terdapat di SMA Pelita Bangsa itu tampak ramai dengan banyaknya murid yang berkumpul menyaksikan beberapa siswa yang sedang melakukan rutinitas latihan basket. Beberapa di antaranya ada yang berteriak, ada pula yang hanya diam menonton, seolah-olah tengah menyaksikan sebuah peristiwa untuk mengisi waktu luang ketika free class yang memang selalu ada di hari Jumat ini hadir,

“YUHU! SEMANGAT VINO MAINNYA! SEMANGAT!” teriak seorang gadis hingga berdiri dari duduknya. Tangannya memegang sebuah spanduk berisikan tulisan Semangat Vino! Dia adalah Tasya, salah satu gadis yang tergila-gila dengan pesona salah salah siswa yang bermain basket di sana. Dan, semua orang juga tahu bahwa gadis itu tak pernah lelah untuk mengejar seorang Vino.

“Sya, lo bisa nggak sih jangan teriak-teriak gitu? Kuping gue budek rasanya denger teriakan lo!” sentak Arin, teman gadis itu sambil menutup telinganya dengan kedua tangan.

“Hehe maaf, Rin. Kalau nggak gitu, takutnya Vino nggak tahu kalo gue lagi nyemangatin dia,” sahut Tasya disertai senyum lebar yang mungkin terkesan menyebalkan bagi sahabatnya ini. “AYO VINO SEMANGAT!”

Tak menghiraukan peringatan dari Arin, Tasya justru kembali berteriak dengan suara lantang, yang makin keras. Teriakan itu langsung saja disambut oleh berbagai tatapan tak suka dari para penggemar Arvino. Namun, Tasya tak memedulikannya, dia tetap pada aktivitasnya memberikan semangat untuk Vino.

“Sya, La, kantin kuy, lapar gue,” ajak Arin kepada kedua sahabatnya. Akan tetapi, Tasya tampak tak mengalihkan pandangannya dari permainan basket itu.

“Woi, Natasya! Lo dengerin gue nggak sih?!” geram Arin sambil menarik lengan Tasya, membuat gadis ifu refleks menoleh.

“Kenapa?” tanya Tasya.

“Kantin yuk, gue lapar, ini udah jam setengah sembilan.” Tasya melirik sekilas ke arah jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya.

“Lo duluan aja sama Lala, nanti gue nyusul, gue mau nyamperin Vino dulu, tuh udah pada selesai main,” ucap Tasya sambil menunjuk ke arah sekumpulan orang yang berjalan bergerombol keluar dari lapangan basket.

“Terserah lo deh, gue udah lapar. Ayo, La, kita duluan.” Arin beranjak dari duduknya sambil menarik lengan Lala, membawanya melangkah menuju ke kantin untuk mengisi perutnya yang sudah sedari tadi keroncongan minta diisi ulang, sedangkan Lala hanya bisa menurut saja.

Setelah Arin dan Lala pergi, Tasya juga ikut bangkit dari duduknya, dia menghampiri Vino dengan sebotol air mineral di tangannya.

“Vin, nih gue bawain minum buat lo.” Tasya menyodorkan botol air mineral pada Vino.

Vino hanya melirik sekilas ke arah Tasya, lalu berjalan pergi meninggalkan gadis itu, diikuti oleh kedua temannya . Tentunya tanpa berniat mengambil botol dari Tasya.

“Haih, Vino! Ini gue beliin buat lo tau!” Tasya berdecak sebal sambil berjalan membuntuti Vino.

Vino berbalik, menghadap ke arah Tasya yang tersenyum ke arahnya.

“Gue masih mampu beli air mineral doang!” Kemudian, tanpa mau menoleh lagi, pria itu pergi begitu saja menuju kelasnya.

Tasya hanya mampu tersenyum simpul. Tak sekali dua kali Vino memperlakukannya seperti ini. Namun, Tasya hanya mampu bersabar dan percaya bahwa keajaiban Tuhan itu benar-benar ada. Dia yakin, cepat atau lambat, kebersamaannya dan Vino bukanlah suatu hal yang mustahil, bukan lagi mimpi yang didapat bahkan tanpa harus tertidur.

Puk!

Tasya menoleh tatkala seseorang tiba-tiba saja menepuk pundaknya dari belakang.

“He!, mending buat Abang aja minumnya, Abang haus nih,” ucap seorang pria yang lebih tua setahun dari dirinya. Dia bernama Gilang, tepatnya adalah Gilang Arvito L. Pria itu begitu saja mengambil botol yang berada di tangan Tasya, lalu meneguknya hingga tandas.

“Ih, Bang! itu, kan airnya buat Vino, bukan buat Bang Gilang.” Tasya mengerucutkan bibirnya sebal lantas berjalan meninggalkan Gilang.

Melihat hal itu, Gilang langsung membuang botol yang dipegangnya ke tempat sampah. Dia segera menyusul Tasya dan mengimbangi langkah kaki gadis itu.

“Hei, jangan marah, nanti pulang sekolah kita beli es krim, hm?”

Tasya berbalik, kedua sudut perempuan itu seketika tertarik ke atas. Dia mengulurkan jari kelingkingnya pada Gilang, yang dengan cepat ditautkan oleh jari kelingking pria di samping.

“Janji?”

“Pingky promise,” ucap Gilang sambil mengacak pelan rambut Tasya.

“Bang, rambut Tasya rusak nanti.!”

“Ayo ke kantin, Abang udah lapar nih.” Gilang menarik tangan Tasya, membawa gadis itu pergi menuju kantin.

“Oh ya, Bang. Bang Alvan mana?” tanya Tasya yang sejak tadi tak melihat kehadiran sosok Abang kandungnya itu.

“Oh Alvan, tadi dipanggil sama Pak Heru ke kantor. Enggak tau deh suruh ngapain,” sahut Gilang, “kamu cari tempatnya, biar Abang yang pesan makanannya,” lanjutnya setelah tiba di kantin, dan dibalas anggukan oleh Tasya.

Seperginya Gilang, Tasya mengedarkan pandangannya ke segala arah, mencari keberadaan kedua sahabatnya.

“Nah, itu dia Arin,” batin Tasya. Gadis itu berjalan menghampiri Lala yang sedang duduk anteng menikmati makanan, juga Arin yang sesekali terkikik melihat ke arah ponselnya. Entah apa yang gadis itu lakukan dengan ponselnya.

Saking asiknya dengan ponsel, rupanya Arin tak menyadari kehadiran seseorang di depannya.

Brak!

Suara gebrakan meja itu mengalihkan perhatian Arin, dia mendongak guna melihat siapa yang berani menggangu waktu santainya. Seketika dia merotasi bola matanya malas, kala mengetahui siapa yang ada di hadapannya ini.

“Berisik lo!” hardiknya lalu kembali fokus pada ponselnya.

“Lo tau nggak? Lo itu udah kayak orang gila, ketawa-ketawa nggak jelas sambil nontonin ponsel,” celetuk Tasya lalu duduk di depan Arin. “Temen lo kenapa sih, La?” lanjutnya kepada Lala.

Lala menggeleng, menanggapi. Sejenak dia menyeruput pelan es tehnya sebelum menjawab pertanyaan dari Tasya.

“Lala juga nggak tahu, Sya. Kayaknya dia lagi jatuh cinta makanya ketawa-ketawa nggak jelas begitu.”

Tak berapa lama, Gilang pun datang membawa dua mangkok mi ayam, juga dua gelas jus jeruk.

“Nih, dimakan.” Gilang menyodorkan semangkuk mi ayam pada Tasya.

“Makasih, Bang,” ucap Tasya lalu mencampurkan mi ayam dengan bumbu penyedap rasa.

Tampaknya, Arin tak terganggu sama sekali dengan kehadiran kedua orang yang berada di depannya ini. Buktinya, dia masih saja asik dengan ponselnya dengan sesekali menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya.

“Lo kalau makan kayak gitu di depan mama gue, gue yakin lo pasti bakalan kena amuk.” Tasya kemudian mengambil ponsel Arin lalu menyimpannya di saku rok abu-abunya.

“Ck, balikin HP gue, ganggu aja sih lo.” Arin berdecak tak suka.

“Makan dulu, baru gue balikin ponsel lo. Ya nggak, La?” ujar Tasya, meminta persetujuan dari Lala. Sedang yang ditanya hanya mengangguk lalu memakan mi ayamnya.

“Haih, seneng banget sih lo gangguin gue,” desis Arin lalu memakan sotonya.

Tasya hanya menggidikkan bahunya acuh, lalu mulai tampak asik mengobrol dengan Gilang. Tak mengindahkan tatapan tajam yang sejak tadi dilayangkan ke arahnya. Temannya itu memang sesekali harus diberikan pelajaran. Etiket tidak baik akan terus berlanjut jika telah terbiasa. Dan, Tasya tak ingin jika di kemudian hari Arin justru dikecam karena perangainya yang kurang baik.

To be continued ....

Chapter 2

Happy Reading❣

...“Setiap anak punya potensi dan kemampuannya masing-masing. Kamu tidak bisa memaksa ikan untuk memanjat seperti monyet, dan kamu tidak bisa memaksa ayam agar dapat terbang setinggi mungkin. Hargai yang kamu miliki, sebelum hal itu menjadi sebuah senjata makan tuan yang akan menikammu di masa depan.”...

...~MDHD~...

Dengan tangan kanan yang dimasukkan ke dalam saku celana, juga tangan kiri yang memegang tas yang disampirkan di pundaknya, Gilang tampak berjalan santai . Tujuannya kali ini adalah kelas Tasya, tentunya untuk menghampiri gadis itu.

“Sya!” panggilnya, tatkala telah berdiri di ambang pintu kelas Tasya.

Tasya menoleh ke sumber suara.

“Bentar lagi, Bang!”

Sambil menunggu Tasya yang tampaknya sedang membereskan alat belajarnya, Gilang memainkan ponselnya sebentar guna mengusir kebosanannya. Tak lama kemudian, Tasya pun datang dengan tas yang sudah tergendong di punggungnya.

“Ayo, Bang!” Tasya menarik lengan Gilang agar berjalan dengan cepat. Padahal, sebenarnya dia yang membuat lambat.

Gilang hanya mampu menggeleng melihat kelakuan Tasya dengan senyum yang mengembang mengembang pada kedua sudut bibirnya. Dia senang melihat senyum dan tawa gadis itu, apalagi jika disebabkan karenanya.

Namun, baru beberapa langkah dari pintu kelas, sudah ada saja yang memanggil nama mereka. Ah ralat, hanya Tasya saja.

“Tasya!” teriak seorang gadis sambil berjalan menyusul mereka, diikuti oleh satu gadis lainnya di sampingnya.

“Eh, Rin, La. Maaf, ya nggak nungguin kalian tadi, hehe. Soalnya gue mau ke kedai es krim sama Bang Gilang,” ucap Tasya sambil senyum seolah-olah tak merasa bersalah. “Ya udah deh, kita duluan, ya! Dadah, ketemu besok, Lala, Arin!” Tasya melambaikan tangannya ke arah dua sahabatnya yang hanya bisa saling pandang.

Gilang dan Tasya pun berjalan sambil sesekali melontarkan percakapan. Hingga tak terasa mereka telah tiba di parkiran. Keduanya melangkah menuju mobil milik Gilang.

Gilang membukakan pintu mobil untuk Tasya. Terlihat begitu perhatian, bahkan pria itu juga menjaga kepala Tasya agar tak berbenturan dengan bagian mobil.

“Makasih, Bang Gilang.” Tasya tersenyum setelah duduk tenang di kursi samping kemudi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Es krim rasa vanila kayak biasa, ‘kan?” tanya Gilang memastikan.

Tasya mengangguk cepat dengan mata berbinar bahagia. Terlihat seperti anak kecil yang begitu antusias ttakala mendapatkan hal yang mereka inginkan.

“Wah, Bang Gilang selalu tau kesukaannya Tasya.”

“Harus dong.” Gilang tersenyum jemawa, lantas berjalan untuk memesan es krim untuk mereka.

Sambil menunggu Gilang kembali, Tasya mengambil ponselnya yang berada di dalam tasnya. Tujuannya adalah untuk menghubungi abangnya, bahwa dia pulang terlambat karena mampir ke kedai dulu. Gadis itu belum sempat memberi kabar kepada sang abang.

“Chat sama siapa sih, asik banget kayaknya?”

Pertanyaan itu membuat Tasya mendongak, dia menatap Gilang sambil tersenyum kecil.

“Oh ini, Bang, Tasya lagi ngabarin Bang Al.”

Gilang mengangguk paham, kemudian menyodorkan se-cup es krim ke arah Tasya.

“Makasih, Bang.” Gilang hanya mengangguk lagi. Keduanya kemudian memilih untuk menghabiskan es krim mereka, sebelum benar-benar mencair dan tak lagi nyaman untuk dinikmati.

Beberapa saat setelahnya, es krim yang mereka nikmati pun telah habis.

“Pulang sekarang?”

Tasya tak menjawab, perempuan itu justru lebih dahulu menatap jam yang melingkar sempurna di lengan kanannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore.

“Iya, Bang. Udah jam segini ternyata.”

“Ya udah, ayo,” ajak Gilang. keduanya lantas kembali memasuki mobil Gilang, dan memulai perjalanan ke rumah Tasya.

Hanya perlu waktu selama 15 menit, mobil Gilang pun telah berhenti di depan rumah Tasya.

“Abang duluan, ya, Tasya,” pamit Gilang sambil masih setia memegang setir.

“Enggak mampir dulu, Bang?” tanya Tasya sambil menoleh pada sang lawan bicara.

Gilang menggeleng.

“Enggak deh, udah sore soalnya. Lagian masih banyak tugas di rumah.”

“Hati-hati dijalan, Bang!” pesan Tasya. Perempuan itu lantas turun dari mobil dan melambaikan tangan kepada Gilang.

Gilang mengangguk lalu menghidupkan mesin mobilnya dan mulai mengendarainya kembali, setelah menekan klaksonnya.

Setelah mobil Gilang sudah tak terlihat lagi di pandangan matanya, Tasya pun berbalik. Dengan gontai gadis itu berjalan memasuki rumah kediaman keluarganya.

“Assalamu'alaikum, Ayah, Bunda, Bang Alvan. Adek pulang.” Tasya mengucapkan salam seiring langkahnya memasuki rumah.

“Waalaikumussalam. Adek dari mana?” tanya Tera yang sedang duduk di ruang keluarga sambil menonton siaran televisi.

Tasya menghampiri sang mama, lalu meraih tangan wanita itu dan menciumnya.

“Tadi habis beli es krim sama bang Gilang, Bun,” sahutnya, yang dibalas anggukan kecil dari sang mama. “Oh iya, Bun. Bang Alvan mana?” lanjutnya, menanyakan keberadaan abangnya.

“Kayaknya lagi di kamar istirahat, tadi bilang sama bunda katanya capek.”

Tasya mengangguk paham.

“Kalau gitu, Tasya ke kamar dulu, ya, Bun.”

Setelah mendapat anggukan dari bundanya, Tasya melangkah menuju kamarnya.

Sampai di kamar, gadis itu segera menggantung tasnya di dekat lemari lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang tanpa ada niatan untuk mengganti seragamnya terlebih dahulu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Gilang memarkirkan mobilnya di garasi rumah, tepat berada di samping motor sang adik. Sejenak lelaki itu mengembuskan napas kasar saat keributan dari kediamannya itu kembali terdengar. Bukan ini yang dia harapkan. Hampir setiap saat, keributan itu selalu menyambut kepulangannya. Dan, parahnya lagi, dia harus menjadi penengah di antara dua orang laki-laki berbeda usia yang hampir setiap saat beradu argumentasi itu.

Setelah merasa dirinya lebih tenang dan siap, Gilang pun turun dari mobil dan berjalan memasuki rumah. Siap tidak siap, dia memiliki tanggung jawab agar perseteruan antara ayah dan adiknya itu cukup sampai di sini, walau dia yakin, besok pasti akan ada episode baru lagi.

“Kenapa kamu nggak pernah berubah sih, selalu saja berbuat onar di sekolah?” tanya seorang pria paruh baya yang sedang memarahi anak bungsunya dengan nada geram.“Harusnya kamu contoh abangmu itu. Dia nggak pernah berbuat onar,” lanjutnya dengan amarah yang makin menjadi-jadi, terlihat jelas dari warna wajahnya yang kian memerah.

“Pa, ini aku bukan Bang Gilang. Kita memang saudara, tapi kita nggak sama, Pa. Kita beda! Terus aja Papa beda-bedain aku sama Bang Gilang. Pada kenyataannya aku selalu salah di mata Papa. Papa terus nuntut aku biar bisa kayak Bang Gilang, tapi aku nggak bisa, Pa. Ini diri aku. Papa nggak bisa paksain aku buat jadi orang lain ...,” sahut anak yang dimarahi dengan suara yang semakin melemah di akhir kalimatnya.

Dia benci dibeda-bedakan, dia benci dituntut agar mau menuruti keinginan orang lain dan mengorbankan keinginannya. Dia tak pernah membenci papanya, yang dia benci adalah sifat sang papa yang selalu saja menuntutnya agar menuruti semua keinginan pria itu.

“Udahlah, Vino capek ngomong sama Papa!” ucapnya. Dia mengambil tasnya yang tergeletak di lantai, lalu pergi meninggalkan Bagas yang menghela napas sambil mengusap wajahnya kasar.

Sedangkan Gilang, dia masih setia berdiri di ambang pintu. Entah sudah berapa ratus kali dia menyaksikan pemandangan seperti ini. Semua bisa terselesaikan, asal ada kesadaran dari diri dua laki-laki itu sendiri. Bagas dengan kesadarannya bahwa tak semua anak harus memiliki potensi dan kemampuan yang sama, dan Vino dengan kesadarannya agar berhenti membuat ulah.

Mereka memang saudara kandung , tetapi selama ini Gilang tak pernah benar-benar dekat dengan Vino, walaupun berada dalam satu atap yang sama. Bahkan, di sekolah pun tak ada yang tahu bahwa dia adalah abang kandung dari seorang Arvino, sebab Gilang selalu menyingkat nama marganya. Bukan malu, hanya saja Gilang lebih nyaman berlaku seperti itu.

“Pa!” panggil Gilang sambil berjalan menghampiri sang papa yang tengah menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tamu sambil memijit pelipisnya dengan mata yang terpejam.

“Iya, Lang?” sahut Bagas, tanpa mengubah posisi duduknya.

“Papa nggak seharusnya beda-bedain Gilang sama Vino. Kasihan Vino, Pa. Dia berhak buat menentukan pilihannya, keinginannya. Vino udah besar. Vino udah SMA, Vino bukan anak kecil lagi,” tutur Gilang tatkala sudah duduk di samping Bagas.

“Papa cuma nggak mau masa depan Vino berantakan, Nak. Kamu tau bagaimana perangai adikmu, ‘kan? Papa atur aja dia seperti ini, apalagi kalau Papa biarkan, jadi apa nanti dia?”

“Tapi, Pa. Kasihan Vino, dia pasti tertekan.”

“Udah-udah, sekarang kamu ganti baju, terus istirahat, Papa juga mau istirahat, Papa capek.”

Gilang hanya menghembuskan napas pelan. Beginilah setiap dia berusaha berbicara kepada papanya agar tidak terlalu menekan Vino. Gilang tahu, papanya ini ingin yang terbaik untuk anaknya, hanya saja caranya yang salah. Semenjak mamanya meninggal, papanya ini menjadi lebih tegas pada anak-anaknya. Dia selalu ingin anaknya menjadi orang-orang yang pandai.

“Ya udah, Gilang ke kamar dulu ya, Pa. Papa istirahat. Jangan capek-capek.” Bagas hanya mengangguk, kemudian Gilang berjalan meninggalkan Bagas di ruang utama.

To be continued ....

Chapter 3

Happy reading❣

...“Sepertinya semesta sangat sulit untuk membiarkan penghuninya menikmati kebahagiaan, buktinya selalu ada mendung yang dapat menghadang di tengah cerahnya bahagia.”...

...~MDHD~...

Ketenangan itu didapat tatkala matanya memandang ke arah langit dan membayangkan jika sang mama ada di sini, menemaninya, dan mengusap punggungnya. Sekadar mengatakan “Mama ada di sini, denganmu, untukmu”, tentunya akan membuat hati menjadi lebih siap untuk menerima semua tantangan hidup.

Namun, bagaimana jika ketenangan itu hanya sekadar imajinasi? Hanya mimpi? Ya, mimpi yang tak ingin diakhiri. Akan tetapi, pada kenyataannya semesta memang tak pernah membiarkan penghuninya menikmati kebahagiaan dalam waktu yang lama. Ketenangan itu pasti akan diusiknya, atau parahnya lagi, keterangan itu akan diporak-porandakan, hingga tak ada lagi hal yang mampu membenahinya dan mengembalikannya seperti semula.

Vino menghela napas panjang. Lelaki itu berdiri di depan balkon dengan rokok yang berada di sela kedua jarinya. Dia menghisap benda bernikotin itu, kemudian mengembuskan asapnya secara perlahan, berharap segala emosi yang masih membuncah di dadanya dapat tertawa oleh asap yang dia embuskan.

“Terus-terusan aja nuntut gue biar jadi kayak Bang Gilang. Kenapa Papa nggak pernah ngertiin keinginan gue?” gumamnya. Ternyata emosi itu masih saja ada.

Ceklek!

Pintu kamarnya terbuka, tetapi Vino enggan menoleh, sekadar hanya untuk melihat siapa yang dengan berani memasuki kamarnya.

“Vin!” panggil seseorang dengan diiringi langkah kali, dapat Vino ketahui bahwa orang itu sedang berjalan mendekatinya.

“Ngapain lo ke sini?” ketus Vino lalu kembali menghisap rokoknya.

“Buang barang itu!” tegas Gilang, tak terbantahkan.

Vino berbalik, dia menghadap pada Gilang yang sudah berdiri di hadapannya. Bukannya mendengarkan, Vino justru mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya tepat di depan wajah Gilang, yang seketika itu saja membuat Gilang terbatuk-batuk. Vino tahu, bahkan sangat tahu, bahwa Gilang begitu anti dengan asap rokok. Jangankan mengisapnya, menghidup asapnya saja sudah berhasil membuat laki-laki itu terbatuk-batuk.

“Peduli apa lo sama gue?”

“Gue bilang buang barang itu!” Tak menghiraukan pertanyaan adiknya, Gilang kembali mengulang perintahnya setelah batuknya reda.

Kali ini Vino menurut, dia membuang putung rokoknya lewat balkon kamar. Lantas, matanya menatap tajam ke arah Gilang.

“Lo sama Papa sama aja, ya! Sama-sama suka merintah gue seenaknya. Gue cuma boneka kalian ya? Haha ....” Vino tertawa hambar. Dia kemudian berbalik, kembali pada posisinya. “Sejak Mama meninggal, gue nggak pernah lagi ngerasain yang namanya keluarga harmonis. Keluarga harmonis itu cuma ada di film yang pernah gue tonton. Realitanya, keluarga harmonis itu bullshit,” lanjutnya sambil menatap datar ke arah Gilang.

“Kita semua sayang sama lo. Gue, Papa, cuma pengin yang terbaik buat lo!” tegas Gilang sambil mengarahkan telunjuknya ke arah Vino.

“Kebaikan gue apa kebaikan lo sama Papa, hah?! Papa selalu aja ngebeda-bedain gue sama lo! Papa selalu nuntut biar gue bisa kayak lo. Pada kenyataannya, gue nggak pernah lebih baik dari lo di mata Papa. Di mata Papa, gue ini selalu salah, dan selamanya akan tetap begitu ...,” ucap Vino dengan nada lirih di akhir kalimatnya. Dengan beraninya air mata pria itu mulai mengalir dari pelupuk matanya.

Gilang menarik Vino ke dalam dekapannya sambil menepuk-nepuk punggung adik laki-lakinya itu pelan.

“Gue capek, Bang. Gue capek selalu diatur kayak gini, Papa selalu ngatur-ngatur keinginan gue, gue juga pengin nentuin pilihan gue kayak anak-anak lain.”

“Maka dari itu, buktiin ke Papa kalau lo bisa jadi lebih baik dari gue. Gue tahu cara Papa buat lo lebih baik itu salah, tapi percaya sama gue, Papa itu sayang sama lo. Papa cuma nggak pengin kalau masa depan lo hancur nantinya,” tutur Gilang sambil memegang kedua pundak Vino, jangan lupakan senyum tulus yang terpancar di wajahnya.

Dia tak suka melihat wajah rapuh adiknya. Dia merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik jika mendapati adiknya dalam posisi rapuh seperti ini.

“Ya udah, sekarang lo istirahat. Nanti kalau udah waktunya makan malam, gue bangunin lo,” lanjut Gilang lalu meninggalkan Vino di kamar.

Sepeninggal Gilang, Vino mengusap kasar wajahnya, lantas berjalan menuju ranjangnya. Dia membanting tubuhnya di atas ranjang.

“Gue nggak tahu, Bang. Sampai kapan pun gue nggak bakalan bisa lebih dari lo. Lo itu orang tertulus yang pernah gue temuin di dunia ini. Lo itu selalu unggul di mata Papa, sedangkan gue selalu kalah sama lo,” monolognya, lalu perlahan mulai memejamkan matanya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Tok-tok-tok!

Alvan mengetuk pintu kamar Tasya, bertujuan untuk membangunkan adiknya agar makan malam terlebih dahulu. Mengetahui tak ada tanggapan dari pemilik kamar, Alvan pun memutuskan untuk langsung masuk saja. Sepertinya, adiknya itu tertidur.

Ceklek!

Benar saja seperti dugaannya, Tasya masih berdamai dengan alam mimpinya dengan seragam yang tentunya belum diganti oleh gadis itu.

Alvan menghampiri Tasya, dia duduk di tepi ranjang milik Tasya.

“Dek, bangun, Dek!”

Tasya menggeliat, lalu perlahan mengerjapkan matanya.

“Iya, Bang, kenapa?” tanyanya dengan suara khas orang bangun tidur.

“Kebiasaan kalau pulang sekolah nggak langsung ganti baju, malah langsung tidur. Mandi dulu sana, habis itu makan malam.”

“Tasya masih ngantuk, Bang.”

“Buruan, Ayah sama Bunda udah nunggu di meja makan tuh,” ucap Alvan, menunjuk luar pintu kamar dengan dagunya.

Dengan malas Tasya mulai bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke kamar mandi guna membersihkan diri.

Sepuluh menit lamanya, akhirnya Tasya telah selesai mandi dan menggunakan piyama bermotif Keroppi kesukaannya. Dia mulai melangkah menuruni tangga, berjalan ke dapur menghampiri anggota keluarga yang telah menunggunya sejak tadi.

“Malam, Ayah, Bunda, Bang Al!” sapa Tasya dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya. Lantas, duduk di salah satu bangku meja makan.

“Baru bangun, Dek?” tanya Rafa, melirik sekilas ke arah putri bungsunya itu.

“Hehe iya, Yah.”

🎀

Saat ini, Tasya sedang berbaring di ranjangnya setelah selesai mengerjakan tugas matematika yang akan dikumpulkan besok.

“Huh, ngapain, ya enaknya?”

Tangannya terulur mengambil ponselnya yang berada di balas dekat ranjangnya.

Nah, lebih baik dia mengganggu Vino saja. Tasya mulai mengetikkan sebaris kalimat di layar ponselnya, lalu menekan tombol send, mengirimnya ke Vino.

^^^Anda^^^

^^^Malam Vino (read)^^^

^^^Vino kok cuma read sih (read)^^^

^^^Penguin balas dong (read)^^^

^^^Serasa chatting sama artis (read)^^^

^^^Vino!! (read)^^^

“Haih, ngeselin nih anak. Hobinya nge-read mulu,” monolog Tasya kemudian kembali mengetikkan sesuatu di sana.

^^^Anda^^^

^^^Lo tahu g karma orang yang suka banget nge-read chat orang lain tanpa ada niatan balas?(read)^^^

^^^Nanti jenazahnya cuma dilihatin doang, nggak bakalan dikubur (read)^^^

Vino Ganteng

Ap? (read)

^^^Anda^^^

^^^Giliran balas singkat banget sumpah. Gini ya gue bilangin. Lo itu kalau gue chat harusnya bersyukur, jadi WA lo kagak sepi-sepi amat (read)^^^

“Vino ngeselin, seneng banget bikin gue darting. Dahlah gue mau bocan aja.”

Kemudian Tasya memejamkan matanya, niat tidurnya gagal gagal saat terdengar dering ponselnya. Dia segera mengangkat ponselnya di depan wajahnya, siapa tahu Vino, bukan? Hehe, berharap sedikit tak apa, bukan?

Senyum di bibirnya seketika memudar kala tahu siapa yang menelponnya.

...Arin soplak...

...Is calling......

Dengan ogah-ogahan, Tasya mulai mengangkat telepon dari sahabatnya itu.

“Kenapa?” tanyanya malas.

“Kenapa suara lo kayak orang mager?”

“Berisik, ada apa?”

“Nggak papa sih, ngetes doang, siapa tahu lo udah gila.”

“Nggak jelas banget sih lo.”

Tut-tut-tut!

Dengan kesal Tasya segera mematikan sambungan teleponnya. Malas sekali rasanya meladeni Arin yang tingkat kegabutannya kelas kakap.

Ponselnya kembali berdering. Taysa segera mengangkat tanpa mau melihat siapa yang menelponnya.

“Ada apa lagi sih, ganggu aja lo!” geram Tasya, usai menempelkan ponselnya di telinga.

“Kamu kenapa, Tasya?”

Eh ini bukan suara Arin, ini kayak suaranya ..., batin Tasya, lantas Tasya melihat siapa peneleponnya. Nahkan benar saja, ini Bang Gilang bukan Arin.

“Hehe maaf, Bang, tadi Tasya kira ini Arin.”

Terdengar suara tawa dari Gilang.

“Oh, nggak papa, kirain kamu kenapa tiba-tiba marah-marah.”

“Hehe sekali lagi maaf, ya, Bang. Soalnya Tasya kesel, si Arin nelepon nggak guna banget.”

“Iya nggak papa, Sya. Btw kamu udah makan?”

“Udah, Bang, baru aja selesai makan.”

“Besok berangkat mau bareng sama Abang?”

“Boleh, irit ongkos. Bang alvan kayaknya juga besok nggak sekolah.”

“Lah kenapa?”

“Ada urusan katanya, nggak tahu deh urusan apa.”

“Oh, ya udah. Kamu tidur gih, biar besok nggak telat.”

“Ya udah Tasya matiin, ya, Bang teleponnya? Selamat malam abang Gilang.”

“Malam juga, Tasya.”

Tut-tut-tut!

Tasya menaruh kembali ponselnya di atas nakas.

“Coba aja Vino nggak datang, pasti sampai sekarang Tasya masih suka sama Bang Gilang sepenuh hati. Sekarang mah cuma tersisa perempat doang hati Tasya buat bang Gilang. Selebihnya udah buat Vino,” gumam Tasya lalu memejamkan mata, hendak berdamai dengan alam mimpinya.

To be continued ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!