Sejak kecil mama dan papa selalu memenuhi setiap hal yang ku butuhkan, tidak ada celah untuk ku mengeluh. Aku sangat menyukai setiap hal yang mama dan papa rencanakan untukku.
Bagi keluarga besarku, aku adalah sosok yang sangat mereka banggakan.
Dunia rasanya berputar di bawah kakiku, setiap hal yang ku inginkan seolah tersaji dalam mangkuk saji tanpa harus bersusah payah mencarinya. Entah ini berkah atau hukuman, aku sangat menikmatinya.
"Hari ini jam 10.30 nona Seren akan tiba di bandara Soekarno Hatta. Bos yang akan menjemputnya langsung, atau saya sendiri yang akan menjemputnya?"
Bobby, sekertaris yang ku pekerjakan sejak dua tahun silam ini benar-benar sangat berisik. Ia tidak membiarkanku menikmati hariku walau hanya sebentar saja. Meskipun begitu aku sangat mempercayainya, tidak ada orang lain yang lebih baik darinya yang cocok berada di sampingku.
Seren adalah wanita pilihan mama yang di jodohkan dengan ku. Ia gadis anggun yang berhasil mencuri hatiku saat pandangan pertama. Wajahnya bersinar seperti Rembulan, kulit putih, hidung mancung, bibir tipis dan tatapan tajam matanya berhasil menjeratku. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari wajah cantiknya, seolah kecantikan itu menjadi candu bagiku.
Lima tahun yang lalu aku berhasil menyematkan cincin di jemari lentiknya, namun hingga saat ini ia selalu menolak diajak kepelaminan dengan alasan karirnya.
Karirrr???
Aku benci kata itu, meskipun begitu aku selalu menyetujui permintaannya untuk tetap menjadi model yang memiliki jam terbang yang cukup padat.
Setahun terakhir ini, aku bertemu dengannya hanya dua kali. Mungkin karna itu aku tidak terlalu merindukan sosoknya. Walaupun aku mengetahui itu, tidak ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku.
Aku merindukan harum tubuhnya dan pelukan hangatnya.
Aku mulai tidak sabar menantikannya. Meskipun begitu, aku akan duduk diam menantikan kedatangannya di ruang kerjaku.
"Apa agendaku hari ini?"
"Siang ini bos akan meeting dengan wakil dari perusahaan BC Group, dan sore harinya akan ada pihak Malaysia yang akan datang keperusahaan untuk menjalin kerjasama sesuai rencana yang boss agendakan."
"Aku akan menunggu di kantorku, segera hubungi aku jika kau sudah menemukan Seren."
Bobby mengangguk sambil menyodorkan berkas kerja sama yang harus segera ku tanda tangani.
"Kau tidak perlu mengantarku! Aku akan masuk sendiri, aku tidak ingin Seren menunggu terlalu lama."
Bobby mengangguk sambil membungkukkan tubuh jenjangnya, memberi hormat dengan caranya.
Selama lima tahun terakhir aku sangat sibuk mengembangkan perusahaan keluarga yang berdiri sejak tahun delapan puluhan. Bisa di bilang aku adalah sosok keras yang selalu bersemangat mengembangkan potensi yang terpendam.
Aku memang cuek, tapi di dalam kamusku, aku tidak akan merugikan siapapun. Jangan berpikir untuk mengusik ku karna aku sangat benci orang yang berani menentangku. Sekali orang itu mencoba mengarahkan jarinya padaku, maka aku bersumpah atas nama ibuku, akan kupatahkan tangannya dengan segala kemampuanku.
"Hhsstt. Kecilkan suaramu, pak Alan sudah datang." Ucap salah seorang karyawan wanita bertubuh kurus sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
"Selamat pagi pak." Semua orang menyapa sambil tersenyum, karna itu memang etika seorang karyawan pada atasan.
Aku hanya bisa memamerkan senyum terbaik yang ku punya untuk menenangkan mereka. Semakin baik seorang atasan pada bawahannya, maka akan semakin baik mereka dalam pekerjaannya.
Hatiku berdebar sangat kencang, aku sudah tidak sabar menunggu kedatangan Seren kekasih hati yang sangat ku dambakan.
"Apa yang mengikatmu sampai kau susah sekali mengatakan, 'ayo kita menikah' aku merindukan saat dimana kau bangun disampingku untuk pertama kalinya." Pikiran kotor mulai menggangguku. Aku harus mengendalikan diri sampai kau halal bagiku.
Tokk.Tokk.Tokk.
Suara ketukan pintu berhasil membuyarkan pikiran erotis yang dari tadi menari di benakku.
"Maaf pak Alan. Mas Bobby tadi telpon, katanya nona Seren tidak di temukan di penerbangan manapun!"
"Apa?" Aku terkejut sambil berdiri dari kursi kebesaranku. Rasanya mustahil, Seren kebanggaanku tidak mungkin membatalkan rencana kami tampa pemberitahuan.
"Itu benar pak Alan. Bahkan mas Bobby sudah memeriksa semua Maskapai Penerbangan, sayangnya nama nona Seren tidak ada dalam daftar mereka." Ucap Iklima sepupu Bobby yang sekaligus merangkak menjadi asisten pribadinya.
"Apa kamu yakin?" Tanyaku dengan wajah tak percaya. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Iklima selain anggukan kepala meyakinkan.
Lututku terasa lemas, segera ku raih ponsel disaku kemeja, menekan nomor Bobby dengan perasaan campur aduk. Sedih dan terluka.
Kau dimana? Tidak mungkin! Beraninya kau! Jika kau salah maka aku yang akan membunuhmu. Aku mematikan ponsel tampa mendengar penuturan Bobby, berani sekali orang rendahan seperti dirinya menghina Seren ku. Walau aku sangat mempercayainya, aku tidak akan membiarkannya menghina cintaku.
Clingggg...!
Sesuai janjinya Bobby mengirimkan vidio WhatsApp, vidio yang tidak ku ketahui apa isinya.
Boss. Nona Seren tidak akan datang. Sebaiknya boss meninggalkan wanita itu, bos berhak mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari pada wanita serigala berbulu domba itu. mendengar ucapan Bobby darah ku terasa mendidih, ingin sekali aku menghajar mulut yang berani menghina wanita yang sangat ku cintai itu.
Pelan aku mulai membuka vidio yang dikirimkan Bobby.
Mataku terbelalak, nafasku naik turun tidak beraturan, tubuhku terasa bagai di sambar petir. Sakit, sangat sakit. Kecewa, marah, terluka, jijik, semuanya tercampur menjadi satu. Aku melempar ponsel itu sampai hancur berkeping-keping. Iklima yang melihatku hanya berdiri mematung, aku rasa ia kasihan padaku. Dan aku? Aku sangat benci jika ada yang mengasihaniku.
"Pak Alan, apa bapak baik-baik saja?" Tanya Iklima masih dengan sikap kasihan.
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirku selain melambaikan tangan mengisyaratkan Iklima meninggalkanku sendiri di ruang sunyiku.
Aku hancur. Benar-benar hancur. Kebahagiaan yang ku banggakan bagai embun yang menguap ke udara. Aku lari kekamar mandi.
Huekkk. Huekkk. Huekkk.
Semua yang kumakan untuk sarapan pagi tadi keluar tak tersisa. Melihat vidio Seren bercumbu dengan peria lain membuatku muntah.
Aku merasa jijik pada Seren. Dan aku lebih jijik lagi pada diriku sendiri, bisa-bisanya aku mencintai wanita jalang sepertinya. Pantas saja setiap kali memintanya menikah denganku, ia selalu memiliki alasan yang tidak bisa ku mengerti.
Aku meraih jas yang kusampirkan di sandaran kursi, meninggalkan perusahaan yang terasa bagai neraka.
Iklima yang ku temui di depan pintu ruanganku hanya diam dengan raut wajah yang hampir menangis. Apa dia merasakan dukaku? Aahh tidak mungkin, kami tidak sedekat itu.
Untuk sementara waktu aku tidak akan bisa bekerja, kesedihanku terasa memekakkan dada.
Jika aku tidak terlalu buta dalam mencintainya, mungkin rasa sakitnya tidak akan separah ini.
Kesedihan ini? Sanggupkah aku bertahan dari rasa sakitnya?
Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu.
Dan kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu.
Yang memberatkan punggungmu
Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama) mu.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Qs.94:1-6).
Kemana aku akan kembali, aku bahkan tidak sedekat itu dengan Tuhan. Tuhan yang selalu mama sebutkan Maha pengasih dan Maha Penyayang.
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim.
Dengan menyebut Nama Allah yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.
...***...
Bobby kembali kekantor dengan perasaan sedih yang sangat mendalam. Selama dalam perjalanan ia hanya memikirkan bosnya yang terlihat kuat namun sebenarnya ia sangat rapuh.
"Iklima, bos ada dimana?" Tanya Bobby sambil berjalan kearah Iklima yang duduk di bangkunya, mencoba mencerna kejadian yang masih belum di mengerti nalarnya.
"Aku tidak tahu. Setelah melihat vidio yang mas kirimkan, wajah bos langsung pucat. Ia melempar ponselnya sampai sehancur ini." Ucap Iklima sambil mengeluarkan pecahan Ponsel yang ia masukkan kedalam plastik putih.
Hhmmm! Bobby menghela nafas, penuh penyesalan. Ia berpikir, seharusnya ia tidak mengirimkan vidio itu, walau bagaimanapun bosnya berhak tahu apa yang terjadi di belakang punggungnya.
"Memangnya vidio apa yang mas Bobby kirim, sampai bos semarah itu?" Tanya Iklima penasaran.
Bobby mengerutkan keningnya, sambil mendekatkan wajahnya pada wajah sepupunya itu. Iklima salah tingkah, ia memundurkan wajahnya sambil memicingkan matanya, kesal.
"Anak kecil tidak boleh tahu." Ucap Bobby sambil melanyangkan tangannya menyentil jidat Iklima.
Sssttt. Aauuu! Iklima meringis kesakitan. Sementara Bobby, peria nakal itu hanya tersenyum melihat sepupunya kesakitan.
"Dasar jahat." Teriak Iklima pada Bobby yang terus melangkah meninggalkannya.
Anak kecil...? Iklima sangat membenci kata itu. Tentu saja Iklima sangat marah, diusianya yang sudah menginjak dua puluh dua tahun ada orang yang berani mengatainya 'ANAK KECIL'.
Lihat saja nanti, aku pasti akan membalasmu mas Bobby konyol...! Lirih Iklima sambil merapikan meja kerjanya yang tidak terlalu jauh dari meja kerja Bobby.
...***...
Perutku masih terasa mual, mengingat cara Seren bercumbu dengan peria lain membuatku merasa jijik. Aku merasa sangat jijik sampai-sampai sekujur tubuhku terasa nyeri.
Terkadang untuk melepas penat, sesekali aku akan mengunjungi tempat hiburan malam. Meminum minuman yang dilarang Agama, bahkan mama pun selalu mengatakan hal yang sama.
Alan, sayang. Seorang laki-laki akan menjadi Imam bagi keluarganya. Mama tahu, mama dan papa bukan pasangan yang sempurna. Seorang wanita tidak hanya butuh Harta, mereka juga butuh kasih sayang, dan yang lebih penting dari itu, sanggupkah kamu membawa keluargamu masuk kedalam Surga? Menggenggam tangan mereka dan berkumpul bersama?
Hatiku terasa perih.
Penghianatan Seren bagai lampu merah yang akan menghentikan jalannya kehidupanku. Bagaimana aku akan meneguk kebahagian dengan wanita lain jika wanita yang ku cintai saja menghancurkan hatiku sehancur-hancurnya.
Di bandingkan pada Seren, aku lebih kesal pada diriku sendiri karna air mata sialan ini tidak mau berhenti menetes.
Tampa ku sadari, mobil yang ku kendarai sudah meninggalkan Ibu Kota sangat jauh.
"Ponsel. Dimana ponselku?" Aku mulai mencari ponselku sambil melempar semua barang yang ada di dalam mobil.
"Ahh iya, aku sudah menghancurkan ponsel sialan itu." Ucapku pelan sambil mengetuk kepalaku dengan tangan kanan.
"Aku akan tiada jika aku tidak melampiaskan amarah ini! Bagaimana aku akan melaspiaskannya jika orang yang membuatku sangat marah tidak ada di depanku."
Hhhuuhh! Aku membuang nafas kasar, berharap apa yang terjadi hari ini hanya mimpi belaka. Semakin aku mencoba melupakannya, semakin jelas wajah Seren menari-nari di pelupuk mataku.
Aku keluar dari mobil sambil menahan sesak yang bersumber dari dadaku.
Huekk. Hueekk. Huekkk.
Lagi-lagi aku memuntahkan isi perutku.
Seren berani melakukan hal yang sangat menjijikkan, benar-benar di luar dugaanku. Aku memang pria brengsek, walaupun begitu aku tidak akan pernah melakukan hal seburuk itu pada wanita yang ku cintai sebelum ada ikatan halal.
"Tuhan, aku tahu aku tidak begitu dekat denganmu. Maafkan aku karna berani meminta padamu, bimbing langkah kakiku agar aku tidak tersesat jalan." Lirih ku pelan sebelum aku benar-benar hilang kesadaran.
...***...
"Dimana anak nakal itu? Kenapa tidak ada kabar darinya. Hikkhikk." Bu Nani benar-benar sedih mengetahui sejak tiga hari ini Alan menghilang tanpa kabar.
Tidak seorangpun yang mengetahui keberadaannya.
Bahkan semua tempat telah disusuri oleh semua anak buah pak Otis, papanya Alan. Tetap saja nihil belum ada kabar apapun.
"Ada apa dengan anak mu, kenapa dia sangat cengeng? Aku yakin dia memiliki masalah, karna itu dia melarikan diri seperti pengecut." Ucap oppa Ade yang merupakan anggota tertua keluarga Wijaya.
"Papa jangan bicara seperti itu. Biar bagaimanapun dia adakah putraku, kebanggaanku." Balas bu Nani dengan derai air mata yang tidak bisa ia bendung.
"Apa oppa tidak khawatir cucu kita menghilang? Bukan satu hari, tapi ini sudah tiga hari." Ucap omma Ochi istri oppa Ade.
Oppa Ade hanya bisa diam mendengar ucapan istrinya sambil mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia juga khawatir, namun ia tidak ingin memperlihatkan itu di depan keluarganya. Hanya orang lemah yang akan menunjukan kelemahannya kemudian menangis karna hal sepele.
"Cepat temukan dia." Teriak pak Otis pada anak buahnya.
"Jika kalian tidak bisa menemukan putraku, kepala kalian yang akan jadi tebusannya." Ucap pak Otis lagi kemudian melempar
ponselnya kelantai.
Sabina terkejut ketika ponsel yang di lempar papanya tepat mengenai kakinya. Seumur-umur ini pertama kalinya ia melihat papanya yang lemah lembut itu marah sampai merusak barang.
"Sabina, sayang. Maafkan papa nak." Ucap pak Otis sambil berjalan kearah Sabina kemudian memeluk putrinya itu.
Sabina hanya mengangguk pelan. Ia mengarahkan pandangannya kearah mamanya yang masih menangis sedih.
"Kak Alan. Kakak dimana, kak?" Lirih Sabina palan. Ia menghampiri mamanya yang masih menagis kemudian merangkulnya dari belakang.
...***...
"Anda sudah bangun? Syukurlah." Ucap perempuan separuh baya sambil meletakkan segelas air putih di atas nakas yang tidak terlalu jauh dari tempatku terbaring lemah.
Rumahnya sangat kecil, mataku menerawang kesegala arah, hanya ada satu kamar dan ruang tengah.
Tidak ada kasur empuk, tempat ku berbaring hanya tempat tidur biasa beralaskan karpet bermotip bunga-bunga.
Setelah wanita separuh baya itu meletakkan segelas air, ia langsung meninggalkanku sendiri. Entah apa yang dimasaknya, suara percikan minyak terdengar sangat keras karna memang jarak dapurnya hanya dibatasi dinding papan yang sudah lapuk dimakan usia. Aku benar-benar heran ternyata di Negara yang ku banggakan ini masih banyak orang yang tinggal di tempat sekumuh itu. Aku tidak bisa menyebut tempat ini rumah, karna sesungguhnya kamar mandikupun jauh lebih luas.
Meskipun begitu aku sangat bangga pada pasangan separuh baya itu, mereka terlihat sangat bahagia di tengah kekurangannya. Tidak seperti diriku yang memiliki segala hal tapi masih saja kekurangan.
"Pak, jangan kemana-mana dulu. Malam ini sepertinya akan ada badai. Ibu tidak ingin bapak kenapa-napa.." Ucap wanita separuh baya itu pada suaminya sambil menyodorkan segelas koffe. Dan tanpa sepengetahuan mereka aku meninggalkan rumah tua itu sambil berjalan tertatih-tatih.
...***...
"Nenek. Nenek. Nenek dimana?" Ucap seseorang sambil berteriak. Suaranya tidak terlalu jauh, bahkan sekarang aku melihat seorang gadis muda yang tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri.
Ia berlari sambil menoleh kenan dan kekiri, tadinya aku merasa baik-baik saja. Entah kenapa tiba-tiba saja bayangan Seren yang sedang bercumbu dengan pria lain kembali berputar-putar di kepalaku.
Aku marah. Sekuat tenaga aku berlari kearah gadis itu. Menarik lengannya dari belakang. Sorot matanya membuatku takut, ia sangat terkejut.
"Kamu siapa? Lepaskan tanganku!" Ucapnya kasar.
Aku rasa tubuhku demam lagi. Pasangan separuh baya itu bilang selama tiga hari ini aku tidak sadarkan diri. Aku sendiri tidak sadar bagaimana aku bisa berada di tempat ini, terjebak dihutan yang biasa dilewati pendaki yang ingin mendaki kegunung Butak.
Dan gadis ini, kenapa dia bisa muncul di hadapanku. Apa aku sudah tidak waras? Sekarang aku melihat wajahnya tampak seperti Seren. Ia masih tetap berontak, dan hal itu semakin membuatku kesal. Darahku terasa mendidih, padahal sekarang gerimis perlahan datang.
Aku mendorong tubuh yang terlihat tampak seperti Seren itu. Tubuhnya menghempas pohon besar dan dia meringis kesakitan. Tentu saja aku tidak perduli itu, aku ingin balas dendem padanya, Seren gadis jahat yang sangat kubenci.
"Apa yang anda lakukan?" Ucap gadis itu berteriak.
"Kamu berani berteriak padaku? Sekarang lihat apa yang bisa ku lakukan padamu!" Ucapku kasar sambil mendekat padanya.
Aku mengunci tubuh gadis itu dengan kedua lengan kekarku, ia tetap berontak. Semakin ia berontak semakin aku menguatkan dekapanku padanya. Aku melempar penutup kepalanya kasar. Ia berteriak sambil menangis, suaranya bergetar karna ketakutan.
"Aku tidak perduli jika kamu menangis sampai air matamu kering. Kamu berani bermain dengan peria lain di belakangku. Apa laki-laki itu melakukan ini padamu, hah?" Teriakku kasar. Gadis malang itu terus-menerus berontak, suara tangisnya semakin membuatku ingin memasukinya lebih dalam.
"Kamu menangis dihadapanku, sementara dengan peria laknat itu kamu tersenyum manis, hah?" Aku masih melihat wajah Seren yang menangis di depanku.
Tubuh lemah itu benar-benar tidak bisa menandingi tenagaku. Ia kalah, namun ia tidak pasrah. Tamparan keras mendarat di wajahku. Aku tidak perduli itu, aku hanya ingin membalas Seren.
Satu jam berlalu, gadis itu masih menangis pilu. Wajahnya terlihat pucat. Aku kembali sadar, wanita yang kuhimpit bukan Seren namun wanita lain. Sekujur tubuhku merinding ketakutan. Kenapa aku sebuas ini? Aku bertindak seperti Singa Kelaparan. Dan gadis ini, siapa dia?
Aaahhh? Aku berteriak, marah pada diriku sendiri. Gadis itu menangis tanpa mengeluarkan suara. Aku menyelimuti tubuh polosnya dengan jas yang tadinya kulempar kasar.
"A-P-A Yaanng sudahhhh anda laakukannn kepadaku...?" Ucap gadis itu dengan derai air mata kesedihan.
"Tidakkahhh andaaa takut kepada Allah." Ucapnya pelan.
Mendengar nama Allah tubuhku bergetar, entah karna demam atau karna ketakutan mendengar nama itu, aku benar-benar tidak tahu. Dengan sisa-sisa tenaganya ia membaca ayat suci yang tidak ku mengerti maknanya.
Wa la taqrabuz-zina innahu kana fahisyah, wa sa'a sabila.
Dan janganlah kamu mendekati zina, zina itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (Qs. Al-Isra: 32).
Aku merasa jijik pada diriku sendiri, aku meninggalkan gadis lemah itu sendiri tanpa menoleh kebelakang. Aku benar-benar pengecut.
...***...
Fatimah Azzahra!
Ayah dan ibuku memberi nama itu karna mereka berharap aku akan tumbuh menjadi wanita tegar dan penyayang.
Sejak berusia lima tahun aku tinggal bersama nenek Alma, ibu angkat dari ayahku. Nenek Alma sangat menyayangiku, akupun sangat menyayanginya.
Lima tahun yang lalu suami nenek Alma, kakek Alfa tiada karna terjebak ketika akan mendaki kegunung Butak.
Gunung Butak memiliki ketinggian 2.868 MDPL. Gunung Butak sendiri memiliki dua jalur, yakni jalur Panderman dan jalur Blitar. Jalurnya cukup berat dan melelahkan. Kakek Alfa sendiri sangat suka tantangan, sejak masih muda beliau selalu melakukan pendakian keberbagai gunung yang berbeda di indonesia.
Namun kali ini berbeda, berkali-kali nenek Alma meminta pada kakek Alfa agar tidak pergi mendaki kegunung, beliau tetap ngeyel sampai akhirnya beliau wafat karna kedinginan dan kurangnya bekal.
Sejak kakek Alfa tiada, nenek Alma seperti mayat hidup. Beliau makan, minum, bahkan sampai membuang kotorannya pun di atas ranjang.
Wa wassainal-insana biwalidaih, hamalat-hu ummuhu wahnan 'ala wahniw wa fisaluhu fi 'amaini anisykur li wa liwalidaik, ilayyal-masir.
dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyampihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada Aku kembalimu.
Seumur hidupku, aku akan selalu berbakti pada nenek Alma. Bagiku beliau adalah Pahlawan tanpa tanda jasa dalam kehidupan hitam putih ku, tidak akan ada warna tanpa kehadirannya.
Kali ini beliau menghilang seperti asap tanpa jejak, aku berlari keseluruh penjuru kota Surabaya hanya untuk menemukan keberadaannya. Aku berlari sambil membawa fotonya, bertanya kepada semua orang yang ku temui, sambil berharap ada yang melihat nenek Alma.
Aku semakin sedih karna tidak ada yang tahu keberadaan wanita separuh baya itu.
Hikkk.hikk.hikk.
Aku mulai menangis sesegukan. Apa yang akan terjadi pada hidupku jika orang yang selama ini menjadi penopang ku tidak lagi bersamaku. Bayangan-bayangan buruk seolah menari di pelupuk mataku, aku semakin ketakutan.
"Berpikirlah Fatimah, berpikirlah!" Aku mencoba mengingat semua tempat yang bisa di kunjungi nenek Alma. Tidak ada petunjuk yang bisa ku temukan selain mengarah kegunung Butak.
Ndok. Tadi malam nenek mu ini mimpi bertemu dengan kakekmu, dia terlihat tampan dengan pakaian putihnya. Ia bahkan menggunakan surban putih yang nenek belikan terakhir kali untuknya, wajahnya terlihat tampan. Nenek takut kakek mu akan melupakan nenek karna dia muda sementara nenek sangat tua.
"Ia, itu benar. Nenek Alma pasti kegunung Butak, lokasi terakhir kakek Alfa ketika beliau masih hidup." Lirih ku pelan sambil menghapus air mata dengan punggung tangan ku.
Ya Allah. Tidak ada orang yang bisa ku mintai tolong. Lirihku pelan. Aku tidak memiliki apapun yang bisa ku banggakan selain Iman di dada dan nenek Alma yang selalu mencintaiku tanpa syarat. Aku hanya bisa berharap semoga beliau baik-baik saja.
...***...
Gunung Butak dikenal dengan jalurnya yang landai namun panjang dengan pemandangan yang sangat indah. Terkadang kenyataan tidak sesuai harapan, hari itu kabutnya sangat tebal, dan jarak pandang hanya sepuluh meter.
Medan menanjak cukup tinggi dan keluar masuk hutan, daerah batu yang terkenal dingin di tambah lagi musim hujan.
Malam itu menjadi pengalaman buruk yang ku alami, medan menanjak cukup tinggi dan terasa makin berat di tengah gelap serta hujan gerimis.
"Nenek. Nenek. Nenek dimana?" Panggilku sambil berteriak. Aku yakin nenek Alma pasti ada di hutan ini. Setiap kali merindukan kakek Alfa, nenek Alma selalu mencari kesempatan untuk kabur dariku.
Aku berlari sambil menoleh kekanan dan kekiri, berharap nenek Alma ada di setiap sudut yang ku cari. Aku terkejut ketika seseorang menarik lenganku kasar dari arah belakang.
"Kamu siapa? Lepaskan tanganku ." Bentakku kasar. Dengan sekuat tenaga aku terus saja berontak, yang membuatku takut orang itu semakin kesal dan kasar. Ia mendorong tubuhku kasar, aku meringis kesakitan ketika tubuhku menghempas pohon besar yang lapuk di makan usia.
"Apa yang anda lakukan?" Ucapku berteriak lebih keras. Sepertinya hati dan pikirannya telah dirasuki Iblis terkutuk, sedetikpun tidak ada rasa belas kasihannya pada ku, padahal aku terus menerus memohon untuk di lepaskan.
"Kamu berani berteriak padaku? Sekarang lihat apa yang bisa ku lakukan padamu!" Ucap lelaki itu kasar sambil mendekatkan dirinya padaku.
Lelaki itu mengunci tubuhku dengan kedua lengan kekarnya, aku tetap berontak. Semakin aku berontak semakin ia menguatkan dekapannya. Aku terkejut ketika ia melempar penutup kepalaku kasar. Aku mulai berteriak sambil menangis sesegukan. Sekujur tubuhku bergetar karna ketakutan.
"Aku tidak perduli jika kamu menangis sampai air matamu kering. Kamu berani bermain dengan peria lain di belakangku, apa laki-laki itu melakukan ini padamu, hah?" Bentak lelaki itu kasar.
"Kamu menangis di hadapanku, sementara dengan peria laknat itu kamu tersenyum manis, hah? Teriak lelaki itu lagi lebih keras dan kasar.
Aku tidak bisa menandingi tenanganya. Aku kalah namun aku tidak pasrah begitu saja. Sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya, dan hal itu semakin membuatnya kesal.
Satu jam berlalu, aku masih menangis pilu.
Apa salah ku Tuhan sampai aku di perlakukan seburuk ini...? Aku tidak tahan dengan diriku sendiri, lalu bagaimana aku akan berani menghadapkan wajahku padamu? Aku kotor. Aku kotor. Teriakku dalam hati.
Aku merasa jijik pada diriku sendiri. Bagaimana aku bisa membalas Manusia berhati Iblis ini jika aku sendiri tidak bisa menggerakkan tubuh ku. Aku terlalu lemah walau hanya untuk sekedar memakinya.
Aaahhh! Lelaki itu berteriak membuatku semakin ketakutan padanya. Aku menangis tanpa mengeluarkan suara. Iblis tidak bisa berbuat baik, dan sekarang setelah lelaki itu menghancurkan harga diriku sehancur-hancurnya ia menyelimuti tubuh polosku dengan jas yang tadinya ia lempar kasar.
"A-P-A yaanng sudahhhh anda laakukannn kepadaku?" Ucapku dengan derai air mata kesedihan.
"Tidakkahhh andaaa takut kepada Allah?" Ucapku lagi dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar.
Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, aku mulai membaca ayat suci.
Wa la taqrabuz-zina innahu kana fahisyah, wa sa'a sabila.
Dan janganlah kamu mendekati zina, zina itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (Qs. Al-Isra: 32).
Lelaki itu meninggalkanku sendiri tanpa menoleh kebelakang. Aku ingin memaki. Tapi siapa yang akan ku maki? Memaki Takdir? Aku tidak seberani itu untuk mempertanyakan Tuhanku!
Kitab Taurat di tulis sebelum nabi Adam AS diciptakan. Kitab Taurat 40 tahun lebih dulu di tulis sebelum nabi Adam di ciptakan. Di dalam Kitab Taurat terdapat pernyataan bahwa nabi Adam AS durhaka kepada Allah SWT hal itu sejalan dengan yang tertulis dalam Al-Quran:
Dan durhakalah Adam kepada Allah dan sesatlah dia. (Qs.Thaha:12).
Bagaimana aku bisa menyalahkan Takdir yang telah di tulis jauh sebelum Tuhanku menciptakanku?
Aku tahu ini berat. Sangat berat. Aku hanya bisa mohon agar diberikan kekuatan untuk menjalani sisa kehidupanku dengan kekuatan dan kesabaran.
Namun tetap saja Air mata kesedihan ini tidak bisa berhenti menetes, dan sekarang aku merasakan pusing dan mual di saat bersamaan. Pandanganku berkunang-kunang, semenit kemudian hanya kegelapan saja yang ada karna aku mulai hilang kesadaran.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!