Siang itu, dibawah terik matahari yang sangat menyengat, seorang gadis berseragam putih abu berdiri didepan pagar rumah yang sangat besar. Gadis itu adalah Bulan Arandita rahayu, putri dari salah satu ART dirumah besar itu.
Bulan memandang takjub rumah dihadapanya itu. Bagimana tidak, rumah itu sangat besar, mungkin berpuluh puluh kali besarnya jika dibanding kontrakan 2 kamar yang dia tempati bersama ibunya.
"Ibu." Sapa Bulan saat melihat ibunya keluar dari gerbang besar itu.
Arum, wanita setengah baya itu tergopoh gopoh keluar setelah mendapat telepon dari Bulan. Dia tak ingin anaknya kepanasan terlalu lama diluar.
"Harusnya kamu tidak usah repot repot kesini, bukankah kamu harus sekolah?" tanya sang ibu.
"Bulan gak repot kok Bu. Lagipula Ibukan harus selalu minum obat darah tinggi. Bulan tidak mau karena lupa membawa ibu jadi tidak minum obat siang ini."
Begitulah hubungan mereka berdua. Ibu dan anak itu saling menyayangi. Bulan sudah tidak memiliki ayah, ayahnya meninggal karena kecelakaan 10 tahun yang lalu. Kerena itu ibunya harus bekerja sebagai ART untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
"Jam segini kamu kok sudah pulang sekolah Nak?" tanya sang ibu sambil merapikan rambut Bulan yang sedikit berantakan karena tersapu angin.
"Harusnya belum Bu, tapi kan Bulan udah selesai ujian akhir. Jadi sudah gak ada pelajaran lagi. Hari ini Bulan minta ijin pulang duluan." Bulan berusia 18 tahun, dia baru saja menyelesaikan ujian akhir di salah satu SMK di Jakarta.
Tin... tin....
Melihat mobil majikannya datang, penjaga langsung membuka lebar gerbang rumah mewah itu.
Pemilik mobil itu tak lain adalah Bharata, majikan ibunya Bulan. Bharata terus memperhatikan gadis berwajah innocent yang tengah mengobrol dengan asisten rumah tangganya.
"Siapa gadis itu?" tanya Bhara kepada asisten pribadinya yang kala itu sedang menyupirinya.
"Maaf Tuan, saya tidak tahu. Sepertinya kerabat dari pembantu yang sedang diluar itu." Jawab Mario sang asisten pribadi.
"Cari tahu tentang gadis itu secepatnya?" titah Bhara.
"Baik tuan."
Melihat majikannya pulang, Arum segera kembali ke dalam rumah.
"Siapa gadis tadi?" tanya Mario saat Arum baru masuk rumah.
"Putri saya Tuan." Jawab Arum sopan.
"Dia masih sekolah? siapa namanya?"
"Namanya Bulan, dia baru selesai ujian, sebentar lagi dia lulus SMA."
Arum tak menaruh curiga sedikitpun dengan pertanyaan Mario. Dia mengira pertanyaan itu masih dalam batas wajar.
Setelah mendapatkan informasi tentang itu, Mario segera melaporkan kepada Bhara.
Bhara menugaskan Mario untuk mencari tahu lebih detail tentang Bulan.
Bhara sudah memiliki 2 istri tapi belum memiliki anak. Istri pertamanya bernama Dilla yang berusia 39 tahun sama dengannya. Dilla divonis tidak bisa memiliki anak karena ada kerusakan pada rahimnya.
Dilla sudah 2 kali melakukan aborsi saat masih muda, hal itu membuatnya tidak bisa hamil lagi.
Dilla dan Bhara pacaran sejak kuliah. Orang tua Dilla tidak menyetujui hubungan mereka karena Bhara hanya anak angkat dati kluarga Prayoga.
Bhara tidak memiliki hak waris dari segala harta keluarga Prayoga. Semua warisan jatuh ke tangan adiknya yang merupakan putra kandung Prayoga.
Dilla pernah hamil 2 kali saat masih berpacaran dengan Bhara. Saat itu mereka masih muda, masih jauh keinginan untuk menikah dan punya anak. Ditambah lagi tidak ada restu dari orang tua Dilla.
Bhara dulunya adalah pecandu narkoba, sama dengan Dilla. Hidup mereka sangat hancur dimasa muda. Bhara pernah dipenjara gara gara kasus narkoba. Hingga dia diusir dari rumah. Sejak saat itu Bhara sangat membenci orang tua angkatnya.
Semua berubah saat adik Bhara meninggal karena kecelakaan. Prayoga meminta Bhara untuk kembali ke rumah dan mengelola perusahaan. Bhara yang memang butuh harta itu untuk mengambil hati orang tua Dilla tidak membuang kesempatan itu.
"Kamu sudah pulang Mas?" Sapa Dilla saat melihat suaminya masuk ke kamar. "Tumben kamu pulang siang hari ini?" Tanya Dilla sambil baranjak dari pembaringan lalu menghampiri suaminya.
"Aku sangat lelah." Jawab Bhara sambil mendudukkan tubuhnya disofa.
"Kau pasti kelelahan karena semalam tidak tidurkan? Kau selalu begitu jika dirumah Bia." Ucap Dilla dengan wajah cemberut.
"Hai.... kenapa wajahmu seperti itu?" kau sendiri yang menyuruhku menikah dengan Bia. Lalu kenapa kau cemburu sekarang?"
Bianca adalah istri ke 2 Bhara. Dia dulunya adalah sekretaris Bhara. Dilla yang ingin Bhara bahagia menyuruhnya menikah lagi agar memiliki keturunan. Tapi sudah hampir 3 tahun menikah dengan Bia, mereka belum juga memiliki keturunan.
"Aku tidak cemburu, hanya saja aku tidak suka kalau kau meninggalkan pekerjaan hanya gara gara terlalu lelah." kata Dilla sambil memijit bahu suaminya.
"Aku hanya bekerja keras agar segera memiliki anak. Kau tahukan, dokter bilang kesuburanku menurun akibat obat obatan terlarang, rokok dan miras yang selalu aku konsumsi dulu."
"Tapi kan kau sudah berhenti Mas. Kemungkinan kesuburanmu sudah kembali normal lagi."
Bukan hanya Dilla yang divonis tidak bisa hamil. Tapi Bhara juga memiliki riwayat sebagai pecandu narkoba dan miras serta rokok. Karenanya, kesuburannya menurun.
"Entahlah, tapi Bia belum juga hamil sampai sekarang. Mungkin ini hukuman untuk kita. Tuhan sudah 2 kali memberi kita kesempatan. Tapi kita malah menggugurkannya." Bhara sangat menyesal dengan kebodohannya saat masih muda dulu.
"Sudahlah Mas, jangan ungkit masalah itu lagi." Dilla benci sekali kalau masa lalunya diungkit. Sampai sekarang bahkan dia belum bisa memaafkan dirinya sendiri yang telah dua kali membunuh janinnya.
"Aku setuju dengan idemu untuk menikah lagi." Ucap Bhara tiba tiba.
"Apa aku tidak salah dengar. Beberapa hari yang lalu kau mati matian menolak. Kenapa sekarang kau tiba tiba setuju?" Dilla merasa ada yang aneh. "Jangan jangan kau sedang jatuh cinta pada seseorang?" tebak Dilla.
"Entahlah."
"Ish." Dilla berdecak kesal sambil memukul bahu suaminya.
"Kenapa kau marah? bukankah kau yang menyuruhku menikah lagi karena Bia tak kunjung hamil?" Bhara menatap wajah cemberut Dilla.
"Aku tetap saja seorang istri. Aku pasti cemburu jika suamiku bilang mencintai wanita lain. Dan kau terlihat bahagia. Dasar puber kedua," maki Dilla.
"Hahaha." Bhara justru tertawa mendengar omelan istrinya. Baginya Dilla adalah partner hidup terbaiknya. Dilla ada untuknya saat sedih maupun senang. Masa lalu kelam mereka membuat mereka saling memahami satu sama lain. Bhara bahkan tidak pernah berniat menikah lagi walaupun Dilla tidak memiliki anak. Tapi karena Dilla memaksa, akhirnya Bhara menikah untuk yang ke dua kalinya dengan Bianca.
"Ralat kata katamu barusan, aku tak pernah bilang mencintai. Aku hanya sedikit tertarik."
"Siapa wanita itu?" Dilla penasaran.
"Aku juga tidak tahu, aku hanya melihatnya sedang mengobrol dengan salah satu asisten rumah tangga kita didepan gerbang."
"ART yang mana?"
"Mana aku tahu, aku tak hafal ART dirumah ini."
"Apa gadis itu sangat cantik hingga kau tertarik saat baru melihatnya."
"Cantik, wajahnya innocent, aku suka yang seperti itu." Ucap Bhara sambil mengingat ingat lagi wajah gadis yang dilihatnya barusan.
"Sakitnya hatiku." Dilla memegang dadanya. "Kau sangat keterlaluan, bisa bisanya memuji wanita lain didepanku?" Dilla melotot ke arah Bhara.
"Nanti aku panggilkan dokter jika hatimu sakit. Biar dioperasi dan diganti dengan hati yang baru." Bhara hanya menanggapi Dilla dengan candaan.
"Keterlaluan sekali kau Mas." Dilla mencubit pinggang Bhara.
Seperti itulah Dilla, demi kebahagiaan suaminya, dia rela melakukan apapun. Bhara adalah laki laki berusia 39 tahun yang angkuh dan kejam. Tapi didepan Dilla, dia berubah menjadi pribadi yang hangat dan humoris. Ibarat kata, Dilla adalah pawangnya Bhara. Hanya Dilla satu satunya orang yang berani memerintah Bhara.
Bhara menganggap Dilla adalah sebagian dari hidupnya. Dilla adalah orang terpenting baginya. Walaupun dia menikah lagi, tidak ada yang sebaik Dilla dalam hal partner hidup.
"Apa perlu aku membantumu untuk mencari tahu siapa gadis itu?" tanya Dilla.
"Kau memang selalu bisa membaca pikiranku. Baru saja aku ingin meminta bantuanmu, tapi kau sudah menawarkan diri. Tapi aku sudah menyuruh Mario mencari tahu."
"Ternyata kau sudah melangkah lebih cepat dari dugaanku." Dilla menghela nafas berat. Sebenarnya hatinya sakit melihat Bhara tertarik dengan wanita lain selain dirinya. Tapi harus bagaimana lagi. Di bukan istri yang sempurna. Tak ada pilihan lain selain dimadu. Tapi sanyangnya, madunya yang bernama Bia tak kunjung hamil setelah 3 tahun menikah dengan Bhara. Hingga Dilla menyuruh Bhara untuk menikah lagi.
"Jangan seperti itu, kau segalanya bagiku. Jika kau melarangku menikah, aku tidak akan menikah lagi." Bhara menggenggam tangan Dilla lalu menciumnya.
Setelah dari tempat kerja ibunya, Bulan langsung ke cafe langganannya. Bulan sudah mengganti seragamnya dengan baju biasa dan tak lupa memakai topi dan masker untuk menutupi wajahnya.
Tin tin
Bulan menoleh mendengar suara klakson mobil. Senyumnya merekah tatkala melihat mobil mewah yang ia tunggu berhenti di depan cafe.
"Hei Moon, aku sangat merindukanmu." Seorang pria langsung memeluk Bulan setelah gadis itu masuk ke dalam mobil. Pria itu adalah Satria, pengusaha kaya raya berusia 38 tahun keturunan ningrat. Moon adalah panggilan sayang Satria pada Bulan.
"Ketahuan banget boongnya, kemarin kemarin aja selalu nolak kalau aku ngajak ketemu." Ucap Bulan dengan tampang cemberut.
Satria memang sangat sibuk akhir akhir ini hingga membuatnya tak ada waktu untuk bertemu Bulan.
"Bukannya aku menolak, tapi aku sangat sibuk. Sudah jangan cemberut begitu, cantiknya ilang. Sebagai tanda permintaan maaf Om, Om akan membelikan apapun yang kau mau asalkan gak marah lagi. Soalnya kalau kamu marah, hidup jadi gelap."
"Kok bisa gitu?"
"Ya iyalah, Bulannya kan ngambek, gak mau keluar, gelap dong."
"Dih, gombalan Om gak mutu." ucap Bulan sambil menyebikkan bibirnya.
"Udah ah marahannya, Om itu kangen baget tahu sama kamu." Ucap Satria sambil mencubit hidung mancung Bulan.
Gadis itu langsung tersenyum, dia mana bisa marah dengan Satria. Digombalin dikit aja langsung meleleh.
Melihat senyum Bulan yang merekah dibibir merahnya, membuat Satria tak tahan untuk tak menciumnya. Dia langsung menempelkan bibirnya pada bibir Bulan. Menyesapnya perlahan lalu melumattnya. Bibir itu sudah menjadi candu bagi Satria. Lidah pria itu mulai bermain main dalam mulut manis Bulan. Bulanpun membalas ciuman itu tak kalah mesra.
Mereka berdua tak mempedulikan supir yang ada didepannya. Dunia terasa milik mereka berdua, yang lain cuma ngontrak, termasuk pak supir.
Ya, dibalik wajah innocentnya, Bulan adalah seorang sugar baby. Sudah hampir setahun dia menjadi sugar baby Satria.
Bulan sangat pandai menyembunyikannya. Tak ada satu orangpun temannya yang tahu termasuk ibunya sendiri. Bulan beralasan jika dia sering pulang malam karena bekerja part time disebuah cafe kepada ibunya.
Disekolah Bulan termasuk gadis yang banyak disukai teman lelakinya. Tapi Bulan selalu menolaknya dan beralasan tidak ingin pacaran. Semua orang mengira jika Bulan gadis polos yang tidak pernah pacaran. Bahkan Bulan juga tidak pernah mau jika diajak temannya jalan atau nongkrong.
Imej Bulan sangat bangus dimata semua teman dan guru sekolahnya.
"Apa kau ingin jalan jalan dulu, aku akan membelikan apapun yang kau mau," tutur Satria.
"Tidak usah, aku tidak ingin beli apapun," jawab Bulan sambil bergelayut manja di lengan Satria.
Bulan tidak seperti sugar baby lainnya yang selalu meminta barang barang mewah. Dia hanya menerima uang bulanan dari Satria. Hal itu membuat Satria makin menyayangi Bulan dan bahkan mulai mencintai gadis itu.
Baginya Bulan sangat istimewa, sangat berbeda dari gadis lainnya.
Satria langsung menindih tubuh Bulan sesampainya mereka di apartemen milik Satria. Hasratnya yang sudah terpendam selama seminggu ini tidak bisa ditahan lagi.
******* Bulan terus mengiringi setiap hentakan Satria. Sesekali Bulan juga mengambil alih permainan dengan menjadi joki di atas tubuh kekar Satria.
Pergulatan panas itu baru berhenti setelah keduanya mencapai puncak kenikmatan.
"Apa kau lelah?" tanya Satria sambil mengelap peluh di dahi Bulan.
"Hem, tapi aku sangat menikmatinya." Jawab Bulan sambil membelai dada bidang Satria.
"Apa kau sudah melihat saldo rekeningmu, tadi aku sudah menyuruh Boy untuk mentransfer uang padamu." Boy adalah asisten pribadi Satria.
"Kenapa sudah memberiku uang lagi, bukankah ini belum jadwalnya Om ngasih uang bulanan." Kata Bulan sambil mengambil ponselnya untuk mengecek saldo di rekeningnya.
"Banyak banget Om." Bulan terbelalak saat melihat saldonya bertambah 50juta. Biasanya Satria memberi uang bulanan 30 juta pada Bulan.
"Tidak apa apa, anggap saja kau sedang banyak rejeki."
"Terimakasih Om." Bulan menghujani Satria dengan ciuman lalu memeluk erat tubuh kekar itu.
"Apa uang bulanan dari ku tidak cukup? kenapa aku tidak pernah melihatmu memakai barang barang branded?"
"Om tahu kan jika ibuku hanya seorang asisten rumah tangga. Apa kata dunia jika aku memakai barang barang branded. Lebih baik uangnya aku tabung untuk biaya kuliah dan modal usaha nantinya." Bulan tidak ingin orang orang menaruh curiga jika melihatnya memakai barang barang branded. Wajah innocentnya sangat membantu untuk menyembunyikan jati dirinya sebagai sugar baby.
Bukan tanpa alasan Bulan menjadi seorang sugar baby. Dia ingin punya uang untuk biaya kuliah dan membuka sebuah butik. Selain itu, sebenarnya Bulan juga memendam rasa pada Satria. Pria itu memang sangat tampan diusianya yang sudah 38tahun. Bulan yang kehilangan sosok ayah sejak usia 8tahun, merasa sangat nyaman saat bersama Satria.
Tapi Bulan sangat sadar diri, dia sangat jauh berbeda jika dibanding dengan Satria. Dia hanya gadis miskin sedang Satria adalah pria terhormat keturunan ningrat. Menjadi sugar baby Satria menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Bulan.
"Jangan pikirkan uang kuliah, aku yang akan membiayai kuliahmu. Tidak hanya sampai S1, bahkan jika kau ingin kuliah sampai S3,.aku akan membiayainya. Gunakan saja uang dariku untuk bersenang senang," tutur Satria sambil membelai rambut Bulan.
"Kenapa Om sangat baik padaku?" Wajah Bulan menjadi sendu mendengar penuturan Satria. Satria memang sangat baik pada Bulan. Tak pernah sekalipun dia bertindak kasar. Dalam hal ranjangpun, Satria selalu memperlakukan Bulan dengan lembut. Hal itu yang membuat Bulan merasa diharga walau dia hanya berstatus sugar baby.
Tanpa sepengetahuan Bulan, sebenarnya Satria memendam perasaan padanya. Tapi Satria tidak bisa mengatakan itu Karena keluarganya tidak mungkin bisa Menerima Bulan. Keluarga Satria keturunan ningrat, mereka hanya akan menerima menantu yang derajat sosialnya sama.
Satria adalah duda beranak 2, dia gagal pada pernikahannya. Dia dan istrinya sama sama sibuk dengan pekerjaan. Hal itu membuat mereka jarang sekali berkomunikasi dan lebih sering cek cok.
"Aku ada hadiah untukmu." Satria membuka tasnya dan mengambil sebuah kotak dari sana.
"Cantik sekali Om." Bulan sangat terharu saat melihat isi kotak itu adalah sebuah kalung mas putih. Kalung itu dihiasi dengan liontin berbentuk bulan sabit dengan taburan permata. Dibalik liontin itu, ada inisial huruf S.
"Kau tahu artinya?" Bulan menggeleng.
"Inisial huruf S dibelakang bentuk bulan mengartikan jika bulan adalah milik Satria."
Bulan langsung memeluk Satria, dia sangat terharu hingga air matanya menetes.
Satria mengambil kalung itu lalu memasangkannya pada leher jenjang Bulan. "Kalung ini sangat cocok untukmu."
Bulan tersenyum sambil memegangi kalung barunya.
"Aku harus pergi untuk beberapa hari ke Amerika."
"Berapa hari?"
"Entahlah, mungkin sekitar 10 hingga 20 hari."
"Kenapa lama sekali." Bulan mengerucutkan bibirnya.
"Sebenarnya aku ingin mengajakmu, tapi sebentar lagi kau mau wisuda. Jadi tidak mungkin aku mengajakmu."
"Tapi Om tidak mengajak perempuan lain kan?"
"Tentu saja tidak. Wanitaku hanya satu, hanya kau, mana mungkin aku mengajak wanita lain. Berjanjilah padaku, saat aku pergi, kau tidak akan macam macam. Kau hanya milikku. Bulan hanya milik Satria." Satria menegaskan kata katanya.
"Mana mungkin aku akan macam macam. Tidak ada sedikitpun niatku untuk pergi darimu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu kecuali kau meninggalkanku."
"Terimakasih Moon." Satria kembali mengecup bibir Bulan, melumattnya dan menjelajahi setiap sudut mulutnya.
Tangannya sudah mulai meraba area sensitif milik Bulan. Hasratnya untuk bercinta kembali datang.
Mendapat sentuhan dari Satria membuat Bulan tidak mampu lagi menahan diri. Desahann demi desahann keluar dari bibir merahnya.
Sudah selama satu minggu Mario mengikuti Bulan. Dia mencari tahu semua tentang gadis itu.
"Bagaimana?" tanya Bhara pada Mario.
"Nama gadis itu adalah Bulan. Selama seminggu ini tidak ada hal mencolok dari kegiatannya. Dia hanya kesekolah, setelah itu langsung pulang. Sepertinya dia gadis rumahan. Dia tidak pernah keluar dengan temannya atau mampir kemana mana saat pulang sekolah. Dia juga tidak pernah diantar pacarnya. Dan saat saya bertanya pada salah satu teman sekolahnya, mereka bilang Bulan tidak punya pacar."
"Kelas berapa dia?"
"Kelas 3, sebentar lagi dia lulus."
"Bagus, atur cara agar besok aku bisa bertemu dengannya," titah Bhara.
"Baik Tuan."
"Ya, sepertinya dia gadis yang sesuai dengan kriteriaku. Gadis innocent itu benar benar membuatku tertarik. Dia sangat tepat untuk dijadikan istri ke 3 ku. Aku harus bisa menikah dengannya," batin Bhara.
*****
Tin tin tin
Bulan menoleh saat merasa mobil disebelahnya terus membunyikan klakson. Mobil itu tiba tiba berhenti didepan Bulan.
Seorang pria berjas hitam keluar dari mobil mewah itu.
"Permisi Nona, Tuan saya ingin bertemu dengan anda." Mario berbicara kepada Bulan. Sesaat kemudian dia melihat seorang pria membuka kaca jendela mobilnya.
Pria itu adalah Bharata.
"Bisakah nona ikut kami sebentar?" Tanya Mario lagi.
"Maaf Tuan, tapi sepertinya anda salah orang. Saya sama sekali tidak mengenal tuan anda," jawab Bulan. Perasannya tiba tiba tidak enak. Dia tak mengenal pria itu, lalu kenapa dia ingin bertemu?
"Nama anda Bulan kan?"
"Darimana anda tahu?"Bulan terkejut mendengar pria didepannya mengetahui namanya. Dia semakin merasa takut.
"Saya bahkan juga tahu jika ibu anda bernama Arum. Alamat anda dan sekolah anda."
Bulan terbelalak kaget. Dia bingung kenapa pria ini mengetahui semua tentangnya.
"Jangan bingung seperti itu, kami bukan orang jahat. Yang didalam mobil itu adalah Tuan Bharata, majikan ibu anda."
Bulan bernafas lega mendengarnya. Tadinya dia pikir jika orang didepannya itu berniat jahat. Tapi setelah tahu jika dia majikan ibunya, Bulan sedikit lega.
"Maaf Tuan, ada keperluan apa ya beliau ingin bertemu dengan saya?"
"Bisakah ikut kami sebentar, ada yang ingin Tuan saya bicarakan dengan anda."
"Baiklah." Akhirnya Bulan menurut, bagaimanapun dia adalah majikan ibunya. Jadi Bulan merasa harus bersikap sopan padanya.
Mobil yang membawa Bulan dan Bhara berhenti didepan sebuah restoran mewah. Dia bertanya dalam hati, ada urusan apa majikan ibunya mengajaknya ke restoran mewah?
"Maaf Tuan, apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?" Bulan sangat penasaran.
"Lebih baik kita makan dulu, kau baru pulang sekolah, kau pasti lapar."
"Baiklah." Bulan mengangguk.
Setelah makanan datang, mereka menyantapnya tanpa banyak bicara. Bhara terus menerus menatap ke arah Bulan, dan hal itu membuat Bulan merasa risih.
Bulan mengecek ponselnya. Dia berharap Satria mengirim dia pesan. Saat ini dia sangat merindukan Satria. Perbedaan waktu 12 jam membuat mereka jarang berkomunikasi.
"Apa kau suka makanannya?" tanya Bhara.
Bulan yang sibuk memikirkan Satria tak sadar jika Bhara berbicara padanya.
"Apa yang dipikirkan gadis ini, dia seperti tidak bisa fokus padaku. Biasanya wanita lain selalu mencari perhatianku. Tapi kenapa gadis ini malah sibuk dengan ponselnya." gumam Bhara dalam hati.
"Apa kau suka makanannya?" Bhara kembali bertanya.
"Eh, iya Tuan, makanannya enak." Jawab Bulan dengan sedikit gugup.
"Tidak usah tegang seperti itu, santai saja." Bhara mencoba mencairkan suasana.
Bulan berusaha tersenyum walaupun sebenarnya dia malas. Menurutnya lebih baik berada dikamar memikirkan Satria daripada makan bersama Bharata. Hal ini hanya membuang waktunya percuma.
"Apa kau sedang menunggu chat dari pacarmu? kulihat kau selalu saja memperhatikan ponselmu dari tadi?" tanya Bhara.
"Tidak Tuan, saya hanya melihat lihat baju di online shop." Bulan berbohong, sebenarnya dia memang menunggu chat dari Satria.
"Apa kau ingin beli baju, aku bisa mengajakmu ke butik yang terkenal untuk membeli baju," tawar Bhara.
"Tidak perlu Tuan, terimakasih."
"Kau bisa membeli apa saja yang kau mau, anggap saja hari ini aku sedang baik."
"Tidak Tuan, terimakasih." Bulan terus saja menolak. "Apa yang sebenarnya ingin anda bicarakan?" Bulan sudah tak sabar ingin tahu apa maksud majikan ibunya mengajaknya bertemu. Dia malas sekali ditempat ini, suasana begitu tidak nyaman baginya. Ditambah lagi tatapan mengintimidasi dari Bhara yang membuatnya risih.
"Sebentar lagi kamu luluskan?" tanya Bhara.
Bulan hanya menjawab pertanyaan Bhara dengan Anggukan. "Saya ingin memberimu beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Kata ibumu kau sangat ingin kuliah."
"Terimakasih atas niat baik Tuan. Tapi saya sudah mendapat beasiswa dari tempat lain. Lebih baik anda berikan pada anak karyawan anda yang lainnya saja." tolak Bulan dengan sopan karena tak ingin membuat Bhara tersinggung.
"Lepaskan beasiswa itu, saya akan memberimu beasiswa sampai S3."
"Sekali lagi maaf Tuan, saya tidak bisa. Sepertinya tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Kalau begitu saya permisi dulu." Bulan beranjak dari duduknya lalu meninggalkan Bhara.
"Kenapa gadis ini selalu saja menolakku," batin Bhara.
"Tunggu." Bhara mengejar Bulan lalu menarik tangan gadis itu hingga jatuh dipelukan Bhara.
Bhara menatap kedua mata indah Bulan. Jantungnya berdegup kencang.
"Tolong jangan kurang ajar, lepaskan saya," Bulan berusaha lepas diri dari pelukan Bhara.
Bukannya melepaskan, Bhara malah mendekatkan wajahnya pada wajah Bulan. Dekat, dekat dan makin dekat hingga membuat keduanya saling merasakan hembusan nafas satu sama lain. Tubuh Bulan gemetaran mendapatkan perlakuan seperti itu.
"Tolong jangan kurang ajar." Teriak Bulan tepat didepan wajah Bhara.
"Kurang ajar sekali kau, kau pikir kau siapa bicara seperti itu padaku. Aku bisa memecat ibumu sekarang juga kalau kau bicara kurang ajar padaku," ancam Bhara. Dia tak terima Bulan membentaknya.
"Memangnya apa salah saya dan ibu saya. Kenapa ibu saya mau dipecat? Saya hanya tidak suka jika anda memaksa memeluk saya. Saya tidak ada niatan untuk kurang ajar atau tidak sopan pada orang yang lebih tua. Justru anda yang tidak sopan dan kurang ajar pada saya." Bulan pergi meninggalkan Bhara yang tengah emosi.
"Shit, beraninya gadis itu menghinaku." Bhara mengepalkan tangannya lalu melampiaskan kemarahannya dengan memukul meja disebelahnya.
Melihat Bulan keluar dari restoran, Mario yang tadinya duduk di meja agak jauh, mendekat ke arah Bhara.
"Cepat atur pernikahanku dengan Bulan," titah Bhara.
Mario bingung dengan perintah Bhara. Dia melihat sendiri jika Bulan pergi dan seperti tak suka pada Bhara.
"Tapi.... bukankah... "
"Siapkan minggu ini juga." Bentak Bhara memotong kata kata Mario.
Mario menggaruk garuk kepalanya. Dia benar benar bingung dengan tugasnya kali ini.
"Apakah Bulan bersedia?" Mario ragu ragu bertanya tentang hal itu.
"Itu urusanmu."
"Maksudnya?" Mario membulatkan matanya.
"Kau yang harus mencari cara agar Bulan mau menikah denganku. Aku tak peduli cara apa yang akan kau lakukan. Bahkan jika kau menggunakan cara kotorpun, aku tak peduli. Yang penting dalam minggu ini aku harus menikah dengan Bulan."
Apapun yang dikatakan Bharata hukumnya adalah wajib untuk dipenuhi oleh Mario. Dia sungguh frustasi. Tugasnya kali ini sungguh diluar nalar. Kalau saja bukan karena gaji yang besar, ingin rasanya dia keluar dari pekerjaannya.
"Apa kau gila Tuan, bisa bisanya kau menyuruhku mengatur pernikahanmu dengan gadis yang tak mau menikah denganmu. Bahkan kau hanya memberiku waktu 1 minggu." Gerutu Mario dalam hati.
Bharata menjadi uring uringan akibat penolakan Bulan. Para karyawannya tidak luput dari palampiasan kemarahannya. Mario menjadi orang yang paling sering kena marah gara gara ini. Mario benar benar tidak tahan, dia terus memutar otak agar bisa membuat Bharata menikah dengan Bulan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!