Beberapa minggu ini hujan kerap mengguyur kota Medan. Rumput pakis yang tidak dipersilahkan kedatanganya semakin bertunas subur mengitari setiap sudut pagar rumah warga, tanpa terkecuali rumah kepala komplek itu. Matanya membeliak sempurna takkala menyambangi belukar yang jangkungnya sepantaran dengan patung anjing yang tercegak di perkarangan rumahnya.
“Re, tolong ambilin papa gunting pagar di gudang ya” Antonius. Lelaki itu melaung suara ke penjuru bilik putri sematawayangnya. Hari ini ia komplit direpotkan dengan kesibukan komplek dan pasca Natal yang membuatnya harus wara wiri Gereja-rumah seperti setrika.
“Iya pa” Sahut gadis tujuh belas tahun itu dari dalam kamar. Ia membangkitkan tubuh dengan ogah, seharian ini aktivitasnya hanya telentang telangkup diatas airland kesayangannya.
Ester Abra
“Re, ngemall yuk” Dia menyipitkan mata, menerawang jelas pesan singkat yang bersarang dalam ponselnya.
Anda
“Oke Nyuk”
Ester Abra
“Mobil atau motor?”
Anda
“Angkot”
Ester Abra
“Emang ada ya princess naik angkot?”
“Re, mana guntingnya?” Antonius berkacak pinggang, ia mendengus geram lantaran gunting pagar yang tak kunjung datang. Punggungnya terasa mencelos dari tempat, kalau bukan karena gadis malasnya itu, ia pasti sudah terbaring lelap melepas penat. Antonius memang sengaja tidak mengizinkan tukang kebun untuk urip di rumah mereka setelah insiden kehilangan sepeda motor dua tahun silam. Ya, pencurinya adalah asisten rumah tangga mereka sendiri.
Anda
“Apasih nyuk, emak sambu kali wkwk”
Ester Abra
“Sumpah deh kalo bukan sahabat gue udah gue gibang lu”
Anda
“Siapa takut” Gadis itu terkekeh kocak. Dia dan Ester atau yang kerap disapa dengan bunyuk itu memang kukuh berteman sepeninggal mamanya saat sekolah dasar. Serupa saudara kandung, Ester sangat paham seluk beluk kehidupan dara berhidung mancung itu.
“IRENE NATALIA” Vokal Antonius pecah lebih power, dia menyebut lengkap nama putrinya dengan menekan volume pada ujung nama. Ia menggeleng bengis atas kelakuan Iren, menarik nafas dalam beserta bahu setengah mencongol ke atas.
“Astaga papa” Irene menelan salivanya dengan payah, menyembulkan tubuh lalu tunggang-langgang mengambil gunting pagar di dalam gudang.
“I-ini pa” Katanya terbata. Antonius tampak kesal, ia memandang horizontal bocah tunggalnya itu.
“Kalau disuruh orang tua itu cepat manut” Perintahnya seraya menunjuk Iren tepat di depan mata.
“Punya anak satu kok susahnya minta ampun. Jangan dibiasain!” Lanjutnya seraya merampas kasar gunting pagar yang masih terkepal di tangan Iren. Dengan buru-buru ia memotong rumput pakis itu setelah melihat kucuran air hujan yang kembali jatuh dari kaki langit.
Irene memang jadi berat diatur semenjak mamanya meninggal dunia. Dia mengalami despresi ringan dan sempat dibawa ke psikiater suwaktu sekolah dasar. Tidak terlalu berhasil, tapi cukup mampu menggugurkan delusi Irene tentang mamanya terus menerus.
***
Ting nong ting nong
Bel berbunyi, pertanda Ester sudah berdiri di muka pintu. Irene menatap jam yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya, pukul tujuh malam.
“Hello my bunyuk, long time no see” Katanya dengan tangan terhalang di depan dada. Ia mematung tepat di pusat pintu dengan senyum setengah mengembang.
“Apasih lebay” Ester memutar kedua bola mata seraya mengukir tanya. Irene seakan absen bertemu dengannnya selama satu tahun bulat.
“Hai om, apa kabar?” Sapanya setelah menceburkan diri ke dalam rumah Irene sembari mencium punggung tangan Antonius, lelaki itu tampak menyimpan banyak lelah malam ini.
“Ya beginilah” Jawab Antonius nyaris sumringai, menutupi rasa penatnya.
“Ohiya Re, tadi papa baru transfer ke rekening kamu ya” Antonius membelokkan pandangan, menatap putrinya yang tengah membenahi tatanan rambut.
“Oh my god papa” Mata Irene membulat kunci dengan mulut sedikit ternganga. Kesambet apa papanya setelah huru haranya sore tadi, batinnya dalam hati.
“Papa baik banget ini kan belum jadwal aku terima money” Lanjutnya membalas tatapan Antonius dengan binar. Senyumnya pecah membulatkan gundukan besar yang berada di kaki matanya.
“Never mind. Lagian papa kasihan sama kamu udah dimarahi sore tadi” Antonius mengelus lembut puncak kepala hawa tali jiwanya itu. Begitulah pribadinya, dia memang tegas tanpa harus mengeliminasi perlakuan manja jelita untuk Irene.
***
“Re, udah selesai pr bu Frisca belum? Nyontek dong” Ester menatap Irene yang tengah menyantap Richeesenya dengan bibir termanyun, matanya setengah berkaca berharap diberi selembar kertas berisikan jawaban pr dari konconya itu.
“Belum” Sahut Irene irit bicara.
“Lah, terus aku gimana dong?”
“Ya kamu kerjain sendirilah”
“Re” Katanya serempak membekuk lengan Irene “Plis dong” Ia mendongakkan wajahnya persis di hadapan Irene, menggantung harapan lewat tatapannya yang khusyuk.
“Mau sampai kapan jadi conteker terus?” Ledek Irene dengan nada menyindir. Irene memang pintar, acapkali teman-teman sekelasnya meminta uluran tangan dari Irene, terlebih kalau itu pelajaran hitung-hitungan.
“Ih conteker apasih. Re kerjain dong, besok dikumpul loh” Ester mengayun tenaga pada bahu Irene, ia sukses membuat gadis itu berhenti makan secara paksa.
“Ih iya deh iya, ntar aku kirim filenya” Merasa terganggu, akhirnya Irene mengiyakan permohonan Ester.
“Yipi, you’re the best Irene” Ester melompat kegirangan, tak perduli jika ada beberapa pasang mata yang menatapnya nanar.
***
Dinner selesai. Mereka meneruskan kegiatan dengan berlang-lang ria di dalam gedung lapang itu. Tempat ini memang pusat perbelanjaan terkomplit di kota Medan, tak ayal jika disumpeki oleh manusia dari belahan Medan manapun.
“Re, lucu banget” Seru Ester dari pojok ruangan setelah mereka memasuki doll shop.
Irene sekedar mesem tipis, ia masih fokus memilih boneka yang klop untuk dijadikan pajangan di atas meja nakasnya. Sesekali ia melirik orang yang berlalu lalang di dalam toko itu, malam ini terlihat lebih ramai dari lazimnya.
“Re, bagusan ini atau yang ini?” Tanya Ester dengan memboyong dua boneka berbeda warna. Sebenarnya bisa saja ia membeli dua sekaligus, tapi mengingat maminya bukan pecinta boneka Ester mengurungkan niatnya dan hanya memilih satu diantara dua.
“Yang i-“ Suara Irene terhenti begitu saja takkala seorang gadis remaja dengan baluran pakaian serba hitam berkelebat tepat di hadapan mereka. Wanita itu tersenyum minim dengan badan setengah menunduk pertanda meminta celah jalan pada keduanya. Irene termangu, ia menatap tanpa berkedip. Wajah gadis itu sangat cantik meskipun tanpa polesan makeup, pipinya kemerahan dengan dagu setengah bulat. Perangainya sopan serta pernak perniknya yang sempurna hitam membuatnya berbeda dengan gadis-gadis lain di pengelihatan Irene.
“Re” Tepukan keras pada pundak Irene berhasil membuyarkan pandangannya. Ia membiarkan gadis itu berlalu dan kembali menghadap Ester.
“Eh iya apa tadi?” Katanya gelagapan.
“Ini” Ester mengangkat tinggi bear doll itu, sejajar dengan wajah Irene.
“Yang ini aja” Katanya seraya menunjuk bear doll berpoleng cokelat tua.
***
Malam kian larut, melenggangkan setiap lorong komplek itu. Irene yang tengah syur dengan gadget masih membuka sempurna kedua bola matanya. Fikirannya masih bermukim pada gadis yang ia temui di Mall tadi, bahkan senyumnya masih bertengger sempurna di atas alam khayal Irene. Sontak, jemarinya mengetik beberapa huruf pada pencarian google di ponselnya.
Telusuri
Wanita berpakaian hitam
Ia menatap pusat layar handphone sembari menunggu garis hijau menyamperi angka 100. Matanya binar menanti objek figur yang tengah ia ingini.
“Ah sial!” Raut wajah masam terlukis di rupa. Pelacakan google itu memamerkan beberapa wanita berbusana hitam tanpa penutup kepala. Ia menggeleng samar seraya menautkan kedua alisnya pertanda sedang menimbang-nimbang sesuatu.
Selang beberapa detik kemudian Irene menganggukkan kepala gelagat mengerti. Ia tersenyum penuh luapan, merasa yakin bila cara ini akan berhasil.
Anda
“Hai Fat, mau nanya dong. Kalau perempuan Muslim yang pakaiannya hitam hitam gitu biasanya disebut apa ya?”
Fatimah Putri
“Ukhti. Kenapa Re?”
Anda
“Nothing, thanks ya Fat”
Tak ingin dicurigai, Irene buru-buru menamatkan percakapannya via whatsapp dengan Fatimah. Ia kembali mengulas misinya dengan menekan bintilan merah pada pencarian goole.
Benar saja, gambar objek yang dianganinya kini muncul dengan jumlah yang lebih dari ia ingini. Senyumnya membentang di wajah, ia menarik selimut setengah dada seraya mengarahkan layar ponsel tepat di ambang matanya.
“Ternyata hitam itu indah” Lirihnya seraya menscroll layar ponsel keatas dan kebawah.
~
Bersambung
Vote and comment guys
Sehat selalu ya 😉
Kriiing
Tangannya berupaya meraih jam beker yang berdering di atas nakas. Ini merupakan kali ketiga jam itu berbunyi setelah beberapa kali Irene memencet tombol offnya. Semalaman ini gadis itu terlampau enak dengan gadgetnya sehingga membuatnya kehilangan waktu tidur.
“Re bangun Re! Udah jam berapa nih?” Jerit Antonius sekaligus menggedor pintu kamar Irene. Ia menghirup nafas dalam, menetralisir darahnya yang hampir mendidih karena gadisnya. Kesiangan memang sudah menjadi tabiat Irene sejak dulu, tak ayal jika Antonius banyak menadah laporan getir dari pihak sekolah tentang keterlambatan Irene yang nyaris saban hari.
Dering jam beker yang disempurnai dengan gedoran pintu dari Antonius makbul membuat Irene tertegak dari lelapnya. Matanya menjegil takkala melihat jarum jam yang membidik angka delapan. Ia sudah terlambat dari 20 menit yang lalu.
Berbekal dengan jurus tiga jari plus air yang diusapkan pada kawasan mata, Irene menancap gas motornya agar lekas sampai pada bangunan penuh kisah kasih itu. Beruntung tempat yang dituju tidak jauh dari komplek ia tinggal, hanya membutuhkan waktu tujuh menit untuk sampai kesana.
“Holy shit!” Katanya mendengus sewot dengan kacakan pinggang diatas motor. Rupanya gerbang sekolah sudah ditutup.
“Mang Udin mana bisa diajak kompromi.” Gumamnya dalam hati. Biasanya ia akan menghadiahkan beberapa lembar kepeng sepuluhribuan acapkali terlambat ke sekolah agar satpam membuka kembali pintu gerbang. Namun tidak pada satpam yang satu ini, ia lebih mempraktikkan prinsip disiplin pada profesinya.
Irene menyugar rambut kebelakang, memantau setiap penjuru dari bangunan itu. Tilikannya bertahan pada tembok putih yang tengah direnovasi.
“Aku tau.” Katanya seraya menembak telunjuk keatas awan.
Mang Udin memarani siswi yang tampak repot dengan gadgetnya dari ujung post satpam. Entah apa yang sedang dirundingkannya namun mang Udin yakin kalau hal itu masih bersinggungan dengan keterlambatannya pagi ini.
“Duh uwis bali.” Ketus mang Udin dengan logat Jawanya ketika hendak menyamperi Irene di seberang jalan. “Youeslah.” Lanjutnya seraya berbalik badan kembali ke post satpam.
***
Irene tidak pulang. Ternyata dia hanya memainkan balik motornya menuju pelataran buntut sekolah. Dengan tarikan nafas yang tinggal seperdua ia berkoar pada Ester dari balik tembok berdasar putih.
“Nyuk, udah di belakang belum? Cepetan ini ambil buku kimia aku terus kumpulin di meja guru. Bilang aja sama bu Retno kalau aku lagi sakit.” Teriaknya seraya bertengger di atas pondasi bangunan yang nyaris rampung.
“Cepetan Nyuk, kaki aku sakit nih!” Vokalya menyesak pertanda sedang menahan sesuatu, ada materi kasat mata yang kini menancap pada sol sepatunya.
“Oke dapet. Terus kamu mau kemana?” Tanya Ester setelah gol menggaet buku biru berukuran mini.
“Cabutlah. Mau gimana lagi? Udah telat.” Jawabnya pasrah seraya menggeol-geolkan kaki agar serpihan kayu itu mencelos dari tapak sepatunya.
Akhirnya Irenpun angkat kaki meninggalkan kajian kimia yang seharusnya menjadi santapannya di hari ini. Baginya tidak ada sesuatu yang lebih menarik selain mangkir dari kewajiban sekolah dan sungutan guru killernya.
***
“Sakit bu. Tapi itu tugasnya udah di depan, tadi pagi saya ambil ke rumahnya.” Suara Ester terdengar power dari pojok kelas sesudah bu Retno memanggil nama Irene dari buku absen.
“Sakit atau cabut? Ngambil di rumahnya atau tembok belakang?” Pertanyaan bu Retno membulatkan sepasang indra penglihatan Ester.
“Dari mana perempuan ini tahu?” Batinnya. “A-anu bu itu-“ Ia menjawab dengan terbata, sudah tidak ada lagi dalih untuk bersilat lidah. Mungkin bu Retno menangkap basah keduanya yang tengah mengoper buku dari balik tembok secara diam-diam.
Bu Retno menyedot oksigen panjang lalu melepaskannya secara bertahap untuk menetralkan murkanya yang nyaris membeludak. Pasalnya ini adalah kali kesekian Irene dan Ester berlaku demikian, bu Retno sebagai wali kelas mereka akan menelan malu bila hal ini diketahui oleh guru lain terlebih jika itu kepala sekolah.
“Kalian berdua ini maunya apa sih?” Tanyanya seraya mengatupkan buku absen.
“Berkali-kali ibu peringati jangan lempar buku dari balik tembok. Kalian taukan tembok belakang sedang direnovasi? Kalau ada apa-apa gimana? Lagian kalian ini udah besar, dua belas SMA malah. Ga malu lempar buku dari balik tembok terus cabut entah kemana? Ingat kalian sudah dua kali kena SP, sekali lagi kalian ngulah jangan salahkan ibu kalau kalian di drop out dari sekolah ini.” Gertak bu Retno dengan panjang kali lebar.
“Terutama Irene.” Lanjutnya dengan nada lebih rendah. Meskipun Irene sedang tidak berada di ruangan, tapi ia yakin kalau Ester akan mengirimkan celotehya pagi ini pada join nakalnya itu. “Ibu tau kalian sering dikasih contekan kan? Irene itu pintar, tapi sayang adabnya terlalu minim untuk dipilih sebagai bintang kelas. Adab itu di atas segalanya nak, percuma kalian pintar kalau adabpun masih perlu diajar.”
Semua murid hanyut membisu mendengar penuturan dari bu Retno. Begitulah sosoknya, ia senantiasa perduli pada siswanya meskipun beberapa dari mereka jarang mengindahkan segala nasihatnya. Ah! Semoga anak-anak itu segera berubah.
~
Irene tersenyum was-was mengindahkan dumelan Ester mengenai bu Retno. Diteguknya jus jeruk yang tersuguh dengan sendat, matanya memutari seantero caffe pertanda mempertimbangkan sesuatu.
“Kalau aku sih ga masalah didrop out dari sekolah itu, tapi papa? Kamu tahukan kalau selama ini aku cuma sewa tukang ojek buat jadi wali palsu waktu aku kena SP?” Irene menyibak rambutnya kebelakang, kakinya menyentak kecil di atas ubin caffe, ia merasa cukup tidak lega siang ini.
“Bisa jadi sambel balado aku kalau sampai papa tahu.” Timpalnya dengan sedotan jus jeruk terakhir.
“Iyasih Re, mami aku pasti juga bakal marah banget kalau sampai aku didrop out gara-gara suka cabut.” Sahut Ester seraya mengusap wajahnya kasar.
Tidak ada jawaban setelah itu, keduanya saling hanyut dalam fikiran masing-masing. Ester sibuk dengan menungannya sedangkan Irene repot dengan buah pikirannya.
“Eh bentar deh mau keluar.” Kata Irene membuyarkan lamunan Ester setelah suasana hening selama beberapa saat. Ester tak membalas sepatah kata pun, ia hanya menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan perkataan Irene. Ditontonnya punggung sekutunya itu sampai benar-benar lenyap dari ambang pintu caffe.
Irene bergegas keluar dari dalam caffe, tidak ada misi khusus selain ingin membuang cairan kental yang finis membanjiri jalan napasnya. Beberapa hari ini tubuhnya memang kurang apik akibat alkohol yang ditenggaknya dalam porsi bukan main beberapa pekan lalu.
Berbekal jari telunjuk dan biang tangan, Irene menjepit hidung runcingnya dengan bertenaga.
“Hadeh banyak banget sih lu ingus.” Katanya seraya membungkukkan badan setengah tiang.
“Astagfirullah kalian ini. Jangan ngetawain orang sembarangan, barangkali dia memang lagi sakit.” Suara itu sukses menghentikan kegiatannya, ia mengangkat kepala lalu melacak haluan suara.
“Astaga!” Katanya refleks membalikkan badan. Matanya terbelalak, ternyata ada sekawanan pria yang sedari tadi memperhatikannya dari kacek beberapa meter. Mereka berbusana dengan tidak lumrah di mata Irene.
Ia tak berkutik, kukuh pada posisi membelakangi mereka. Ditutupnya rapat-rapat lingkungan wajahnya dengan kedua telapak tangan agar mereka tak sempat melihat pipinya yang memerah karena malu.
“Sial!” Ketusnya jengkel setelah gerombolan lelaki itu hilang dari pengelihatannya.
Ia kembali memasuki caffe setelah menamatkan hajatnya di luar. Namun betapa terkejutnya dia saat geng pria yang meledeknya tadi juga berada di dalam caffe itu. Mereka baru saja masuk dan duduk tepat disamping table dirinya dan juga Ester.
Langkahnya terhenti, ia sekelebat berfikir dalam bagimana caranya supaya mereka tidak menyaksikan kehadiran dirinya di dalam caffe yang sama.
“Ah aku tau.” Irene menaikkan sesisi alisnya seraya menyunggingkan senyuman tipis.
Dengan agak berjinjit kaki ia melalui meja sekawanan lelaki itu, mendindingi wajahnya dari balik rambut lalu menyeluduk dari renggangan batang tubuh pelayan caffe yang berlalu lalang.
“Kamu ngapain Re?” Seru Ester penasaran dari pojok bangku. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, memperhatikan gerak gerik Irene yang mencurigakan.
Mendadak cekakaan akbar berhasil menyempal dari mulut beberapa orang yang memperhatikan kelakuannya, siapa lagi kalau bukan gerombolan lelaki yang meledeknya tadi. Mereka kembali dipingkalkan dengan lagak Irene yang nyata menjajal untuk meniadakan diri.
“Bunyuk hah!” Sungunya geram. Tubuhnya beralih kaku, ia melirik Ester dengan pandangan bengis. “Awas kamu!” Irene mereguk nafas dalam sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak.
“Jangan sembarang ngetawain orang.” Kalimat itu kembali terlantun dari suara yang sama. Penasaran dengan si pembicara akhirnya Irene membidik tatapan runcing ke meja sebelah.
Tap
Matanya membulat sempurna, seketika jantungnya berdegub tidak karuan, sekujur tubuhnya bergetar kecil serta bibirnya yang tanpa sadar ternganga tiga centi meter.
“Ga- ga- ganteng banget.” Sanjungnya refleks. Ia menyorot lajang itu tanpa berkedip. Baru kali ini ia menyelami wajah lelaki yang tampannya mengungguli aktor dunia. Sampul hijau yang membungkus bagian kaki, koko putih dengan liris hijau setara dengan motif bawahannya serta peci hitam yang menyisakan bagian poni nyata sangat apik dalam sorot matanya. Bagi Irene penampilan semacam itu memang sedikit ganjil, karena dalam perjalanannya ia serius absen mendapati sesiapapun yang berpenampilan serupa itu. Namun di sisi lain inilah yang membuatnya terbawa-bawa, lelaki itu berbeda. Mungkin ia baru selesai melaksanakan ibadah, taksir Irene dalam fikiran.
“Re!” Ester menepuk kuat bahu gadis yang tengah mabuk kepayang itu, ia tak pernah melihat Irene melambungkan senyum pada lelaki manapun, kecuali Antonius, papanya.
“Eh ha?” Sahutnya gelagapan. Dengan cepat ia membuang muka, menatap apa saja agar tidak memandang kembali wajah syurga itu.
“Kamu suka ya sama laki-laki itu?”
~
Bersambung
Vote and comment guys
Semoga kalian sehat selalu 🤗
“Ha a-aku gapapa Nyuk.” Lirihnya agak menyuruk, seketika ia siuman dari mabuk cendawannya. Pipinya memerah seperti kepiting rebus, Ia melirik kembali wajah muda itu lewat ekor mata, meyakinkan kalau semuanya sudah baik-baik saja.
Dan
Tap
Pandangan mereka saling bertemu, ternyata lelaki itu turut serta memperhatikan belingsatan Irene. Dengan cepat pria itu menarik parasnya dari mata Irene, menundukkan muka seraya menyematkan telapak tangan di atas dada bidangnya.
Memergoki itu, Irene kontak membenakan tatanan rambutnya yang sama sekali tidak bobrok, ia merasa setengah minder.
“Apa aku jelek di mata dia?” Batinnya dalam kalbu. Kali ini ia benar-benar dibuat kalang kabut oleh adam berpeci hitam itu.
~
***
“Kamu engga pulang Re?” Tanya Lulu, temen sekelas Irene.
“Iya sebentar lagi.” Jawabnya datar.
Siang ini matahari cukup menampakkan dirinya dengan sempurna. Tegak tanpa penyangga, membakar seperti api. Terik matahari itu sukses membuat Irene merasa malas untuk pulang ke rumahnya sendiri. Ia lebih memilih duduk di taman dengan tegukan lemon tea serta kebab sapi yang siap untuk dilahapnya.
“Kalau gitu aku duluan ya.” Tepuk Lulu pada pundaknya seusai mereka finish membereskan tugas.
Irene hanya tersenyum, siang ini dia cukup diberatkan dengan gunungan tugas yang dilayangkan oleh Bu Retno.
“Huh!” Hembusan nafasnya terdengar kasar. Ia memperhatikan gumpalan awan yang bergelantungan di kaki langit-langit alam. Kata orang langit itu adalah simbol kebahagiaan, maka dari itu acapkali ia menyoroti bentangan langit ketika merasa sesak ditimpa oleh rasa kewalahan.
“Assalamu’alaikum.” Suara familiar itu terdengar jernih di telinganya. Dengan cepat ia menoleh ke arah sumber suara untuk memastikan siapa orang yang sudah tercermin dalam benaknya.
Dep
Benar saja. Itu adalah suara lelaki yang kemarin membuat jantungnya serasa ingin copot. Energinya sempurna kembali, persis seperti saat pukul tujuh pagi tadi. Ditatapnya lekat-lekat paras syurga itu, ia tak menyangka bila akan dipertemukan kembali dengannya di pelataran hijau ini.
“A-aku harus jawab apa?” Gemingnya sedikit ketir. Pasalnya salam yang selalu dilafalkannya selama ini berbeda dengan salam yang dilontarkan oleh lelaki itu.
Dihantui perasaan canggung, ia coba menyambut salam lelaki itu dengan senyum termanis yang belum pernah diberikannya kepada siapapun. Perasaannya semakin ketar ketir karena dalam waktu yang bersamaan lajang itu kembali membalas mesam-mesemnya dengan lambaian tangan. Ah! ini benar-benar suatu keajaiban, sambit Irene pada fikirannya sendiri.
“Oh my god Irene.” Ia berdesis geram pada diri sendiri seraya menggigit bibir bagian bawahnya. Jantungnya kembali melompat tak karuan, bahkan lebih membahana ketimbang awal mereka bertemu, pasalnya kini lelaki itu mulai melenggang mendekatinya yang tengah termangu di atas bangku taman.
“Satu dua tiga…” Hitungnya dalam hati, dan
Plak!
Seketika nafasnya tersenggal, degub jantungnya melamban seakan stok oksigen sudah habis, senyumnya luntur, tatapan matanya bergeser pada dedaunan kering yang berceceran di atas tanah.
“Ternyata dia bukan menyapaku.” Lirihnya seraya memicingkan mata dalam. Betapa malunya dia kala itu, wajahnya menebal lebih tebal dari tembok pertahanan China.
“Tapi dia menghampiri siapa?” Herannya mengudara. Ia memutar kepala 180 derajat, membuntuti langkah kaki lelaki itu sampai persis berlabuh di hadapan seorang wanita. Kini keduanya tampak membincangkan sesuatu dengan akrab.
“Apa! Jadi dia udah punya pacar?” Irene terkejut bukan kepalang, ia seakan terperosok ke dalam lembah berduri sampai-sampai minuman yang belum ludes dibabatnya kini tumplak menggenangi sepatunya sendiri.
Wanita itu berpenampilan persis seperti ukhti cantik yang pernah ditemuinya satu minggu lalu. Semua serba menjulur dengan warna senada, bedanya wanita itu mengenakan pakaian berdasar merah muda. Ah! Tidak-tidak, itu memang dia, sorot matanya sangat persis dengan perempuan yang pernah ia kagumi kala itu.
“Hah!” Tangannya mengepal di atas kedua paha serta rahangnya yang mengeras seakan sedang menahan amarah. Moodnya benar-benar ambrol hari ini. Buru-buru ia merapikan perkakas sekolahnya yang masih berserakan di atas bangku, mencebloskannnya kembali ke dalam tas lalu pergi dengan tarikan gas motor di atas rata-rata.
~
***
Seperti biasanya, gelita singkat kali ini Irene tak henti menenggak beberapa gelas alkohol untuk mendinginkan alam sadarnya. Didampingi Ester sandingan akrabnya, ia meresapi bayang kerlap kerlip lampu diskotik.
Beginilah kehidupan malamnya. Ibarat bayi kucing yang kehilangan induk, jiwanya sempurna hancur melakoni hidup tanpa sentuhan tangan dari sepasang insan tercinta. Ia memang masih memiliki Antonius, mobil mewah dan harta yang berlimpah. Namun apalah arti dari seragam pusaka bila rohaninya total beristirahat dari cinta kasih mama.
Irene masih terjaga menyaksikan omnivora yang tubuhnya mulai ambruk diatas meja. Mereka adalah para manusia yang garis hidupnya mutlak seprihatin irene, hanya jalan ceritanya saja yang berbeda.
“Irene Natalia.” Paras pria yang tidak asing mencongol dari balik keg bir yang tertata di atas meja tinggi. Pria berjambang lebat itu melisankan lengkap nama Irene, seakan sudah kenal dengan gadis berhidung mancung itu.
“Ka-kamu?” Katanya sendat-sendat dengan mata separuh membulat. Ia menyilau intens sepasang iris jejaka yang baru saja menegurnya, seakan tak percaya bila hadirnya akan terasa di bumi ini lagi.
“Bu- bukannya kamu udah-“
“Shhhht.” Potongnya cepat pada perkataan Irene seraya menempelkan jari telunjuknya tepat di depan kedua bibir tipis dara itu.
“Mana mungkin aku bisa meninggalkanmu.” Timpalnya dengan tilikan runcing. “Kamu adalah bagian dari kota Medan yang tak bisa untuk kulupakan.” Ia memampang raut doyan, menyelisik setiap kerjapan manik mata Irene.
Samuel. Pria berjambang rimbun itu adalah seseorang yang pernah ia patahkan hatinya. Keduanya pernah berkasih sebelum akhirnya Irene melakukan tindakan nekat pada lelaki itu. Meskipun jalinan mereka pernah berlayar selama enam semester, tetapi Irene tidak pernah secuil kapaspun untuk bisa menitikkan hati pada sosok Samuel. Ia hanya menunggangi Samuel sebagai tukang antar jemput gratisnya sebelum ia benar-benar bisa untuk mengendarai motor sendiri.
Irene terhenyak, tenggelam dalam rasa ketidaksangkaannya. Darahnya seperti merembas dari pangkal kepala menuju ujung kaki.
“Kamu mau apa?” Nadanya naik satu oktaf dengan bulir keringat pada pelipis kirinya.
“Mau kamu.” Pria itu melenggang kearah kiri seraya mengerlingkan sebelah matanya, melewati Irene yang kukuh hilang akal atas apa yang baru saja terjadi.
Limbung. Tubuh gadis itu tumbang di atas barstool berdasar hitam. Ia menyeka matanya yang mulai menjatuhkan titik air, was-was jika Samuel akan berbuat keji pada dirinya.
“Ada aku Re.” Pautan lengan Ester membungkus sekujur tubuh Irene.
~
***
“Re pergi dulu ya pa.” Irene mencium punggung tangan Antonius hikmat, membenakan rok abu-abunya yang sedikit miring lalu melaju menuju sekolah dengan matic mahkota hatinya.
Pagi ini berbeda. Ia pergi tanpa diiringi oleh sorotan sinar surya dari celah-celah ranting pohon. Mulutnya komat kamit di seturut jalan, persis seperti orang yang tengah memahfuzkan sesuatu.
Mangivera indica : mangga
Cocos nucifera : kelapa
Salaccaedulis : salak
Ma- ma- ma-
“Tuhkan lupa lagi.” Rengeknya pada diri sendiri. Semalaman ini isi kepalanya disesaki oleh bahasa latin dari nama buah-buahan. Tidak ada yang menjadi dorongan hatinya untuk mengingat 30 bahasa latin itu kecuali pak Bobby, guru anom yang menjadi dambaan setiap siswi.
“Bunyuk udah sampe belum ya?” Ia membuang muka dari jalan raya, meraih sesuatu dari dalam saku bajunya. Pagi ini dia memang ada janji dengan Ester untuk belajar bersama, tembakannya hanya satu yaitu agar ia dapat menerima cokelat dari pak Bobby atas kemenangannya menghafal 30 nama buah dari bahasa latin.
Anda
“Nyuk dimana? Aku udah jalan nih.”
Irene mengetik beberapa huruf pada layar ponselnya. Seharusnya dia bisa saja menelpon Ester saat itu juga, namun ia mengurungkan niatnya mengingat jalanan yang sedang gempal oleh pengendara. Percuma, suara Ester tidak akan terdengar, begitu fikirnya.
Kedua matanya kelewat asyik menekuni benda kecil yang tengah tergenggam di tangan kirinya. Ia terlalu antusias untuk pelajaran biologi hari ini. Sesekali ia menarik kedua sudut bibirnya seraya mengerjapkan mata, mengimpi-impikan cokelat manis yang akan diberikan pak Bobby kepada dirinya.
Tiba-tiba laungan empat oktaf memecahkan seluruh pandangan gadis itu. Mendadak tubuhnya terasa mengudara beberapa detik sebelum akhirnya terhempas di dataran yang terasa keras.
Sakit
Sangat sakit
***
Bersambung
Vote and Comment guys
Sehat selalu yaa🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!