"Tolong beri aku waktu satu minggu lagi, aku akan melunasinya. Aku mohon!"
Pria paruh baya yang telah babak belur itu bersimpuh mencium kaki Hayden yang tak bergeming dengan tatapan sinis dan wajah angkuhnya.
"Aku tidak mempunyai wewenang untuk memberimu tenggang waktu, Mr. Moore. Kau lunasi hutangmu sekarang, atau mati!"
Pria yang dipanggil Mr. Moore itu semakin merapatkan wajahnya pada kaki Hayden. Memohon - mohon pada pria tampan berkaca mata hitam itu untuk mengampuninya.
Hayden menarik nafas dalam - dalam. Diraihnya pistol dari balik mantelnya, lalu diarahkan ke atas kepala Mr. Moore yang masih menempel di kakinya.
"Please." Mr. Moore masih meratap padanya. "Don't kill me (jangan bunuh aku)."
Hayden menggeleng. Satu tembakan tepat mengenai bagian belakang kepala pria paruh baya itu. Dia pun terkapar bersimbah darah.
"Sorry, Mr. Moore. Nothing personal, it's just business."
Hayden tersenyum miring. Disimpannya kembali pistol yang baru saja dia gunakan untuk meledakkan kepala pria paruh baya itu di balik mantel panjangnya. Lalu melangkah meninggalkan ruangan berdesain klasik itu dengan langkah seringan angin.
Dua orang berpakaian hitam dan juga berkaca mata hitam bergegas masuk ke dalam ruangan untuk membereskan kekacauan yang dibuat oleh Hayden.
***
***
***
***
Hi, aku Lady Magnifica.
Salam jumpa kembali ya. Ini novelku yang entah kesekian kalinya. Moga - moga nggak mangkrak dan selalu in the mood untuk ngelanjutinnya.
Enjoy!
AURORA AVE, SEATTLE, WASHINGTON.
"Sampai jumpa besok, Keemo."
Kirana melambai ke arah pria paruh baya bermata sipit yang tengah sibuk di belakang meja kasir. Menghitung lembaran dollar yang dihasilkan toko kelontong Vietnamnya hari ini. Pria yang dipanggil Keemo itu mengangkat tangannya sekilas. Lalu kembali menyibukkan dirinya dengan penghitungan penghasilannya.
Kirana merapatkan mantel tebalnya begitu keluar dari pintu toko yang cukup besar itu, menghalau udara musim dingin yang begitu menusuk. Syal tebal yang dipakainya pun rasanya tak cukup bagus untuk melindungi lehernya dari suhu minus malam itu.
Gadis berambut panjang hitam itu melangkahkan kakinya menelusuri trotoar menuju stasiun bawah tanah yang akan membawanya pulang ke area Georgetown, di mana dia tinggal. Sekitar lima belas menit perjalanan menggunakan kereta bawah tanah dari Aurora Ave, tempatnya bekerja.
Suasana di dalam kereta tampak lengang. Hanya ada beberapa penumpang yang sibuk dengan ponsel masing - masing. Kirana tak berminat untuk berkutat dengan ponselnya. Dia lebih tertarik untuk duduk diam sembari memejamkan matanya, menunggu hingga voice over menginformasikan pemberhentian di stasiun terdekat dengan tempat tinggalnya.
Next stop, Georgetown station (pemberhentian selanjutnya, stasiun Georgetown).
Kirana beranjak dari duduknya dan segera melangkah keluar begitu screen door terbuka untuk beberapa saat. Langkahnya cepat menaiki tangga menuju ke jalan raya. Gedung tempatnya tinggal berjarak hanya beberapa blok saja di depannya. Sembari merapatkan mantelnya, Kirana berjalan dengan cepat melewati beberapa gerombol pemuda berkulit hitam yang langsung menghadiahinya dengan siulan. Begitu yang harus dihadapinya setiap hari. Tinggal di area miskin di Seattle, apa yang diharapkan selain lingkungan yang kurang aman, bukan?
Setengah berlari Kirana berhasil menjauh dan sampai di depan gedung apartemennya.
"Hi, Lupe," sapanya pada seorang wanita berbadan tambun yang tengah membawa dua bungkus plastik hitam besar dan berjalan melewatinya.
"Hei, Kirana." Wanita yang dipanggil Lupita itu menyahut. "Pulang telat?"
"Yeah, sedikit lembur," jawabnya. "See you, Lupe."
Kirana memasuki gedung dan memencet tombol lift yang akan membawanya ke lantai lima, di mana flatnya berada. Pintu lift terbuka. Sesosok pria tegap berbalut mantel panjang, dengan rambut kecoklatan dan sedikit berantakan, berjalan keluar dari lift dan melewatinya. Ada beberapa saat mata Kirana bertemu dengan sepasang mata biru miliknya.
"Hi," sapa Kirana ramah.
Pria itu hanya memandangnya sekilas. Tanpa menyahut, tanpa memberikan senyum, pria itu melewati Kirana seakan - akan tidak ada siapa - siapa di sana.
Kirana memandangi punggung kokohnya hingga pintu lift tertutup, lalu mengedikkan bahunya. Dia belum pernah melihat pria itu sebelumnya.
Ah masa bodoh.
Lift membawanya ke lantai lima di mana flatnya berada. Dibukanya pintu flat dan dengan segera menghamburkan tubuhnya ke atas kasurnya. Lelah. Hanya itu yang dirasakannya.
Ponsel di dalam tasnya bergetar. Diraihnya benda itu dan diperiksanya. Mom.
Kira, I need money.
Kirana mendesis. Lalu melempar ponselnya sembarang.
***
Kirana tengah mengunci pintu flatnya ketika dilihatnya pria yang berpapasan dengannya semalam di lift itu sedang membuka pintu sebelah.
"Hi," sapa Kirana. "Kau tinggal di sini?"
Pria itu menoleh ke arahnya. "Yeah." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Kemudian masuk ke dalam flat dan menutup pintunya rapat - rapat.
Kirana mendesis. Namun tak mau ambil pusing. Bergegas dia menuju lift dan turun menuju lobby.
Sampai di lobby dilihatnya Lupe, tetangga sebelah flatnya tengah mengobrol dengan dua orang wanita penghuni apartemen yang lain.
"Hei, Kirana," panggilnya.
Kirana menghampiri wanita berbadan tambun itu dan menyapanya.
"Kau tahu ada orang baru yang menempati flat sebelahmu?" tanya Lupe.
"Ah, pria dingin dan misterius itu," sahut Kirana sembari membayangkan sekilas wajah dingin milik pria itu.
"Kau sudah bertemu dengannya?" tanya Lupe.
"Aku berpapasan dengannya. Sepertinya dia tipe orang yang tidak ingin berbasa - basi dengan tetangga." Kirana terkekeh.
"Tapi dia sangat tampan, bukan?" celetuk seorang wanita berkulit hitam dengan dandanan menor, yang Kirana ketahui dia adalah seorang janda beranak dua yang tinggal di lantai empat. Lupe terbahak mendengar celetukannya.
"Dia tidak mungkin melirikmu, Eleanor." Seorang wanita hispanik berbadan kurus dengan gaun terusan selutut ala tahun 60an mencibir.
Kirana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diliriknya jam di pergelangan tangannya.
"Sorry, Ladies, I gotta go to work (maaf Ibu - Ibu, aku harus berangkat kerja)," pamit Kirana seraya melangkah meninggalkan ketiga wanita itu.
"See you later, Kirana."
Kirana hanya mengangkat tangannya ke udara tanpa menoleh. Punggung mungilnya pun menghilang dibalik pintu utama lobby.
.
.
Kirana merenggangkan otot - ototnya yang terasa pegal. Hari ini pengunjung toko kelontong vietnam milik Keemo, cukup banyak. Sementara hanya ada dia dan Sandra, rekan kerjanya yang bekerja di sana. Membuatnya sedikit kewalahan.
"Kira, bisa kau gantikan aku sebentar? Aku harus ke toilet." Sandra, rekan kerjanya, menghampirinya bersama dua orang pengunjung di belakangnya. Dua orang lelaki dan perempuan paruh baya bermata sipit.
"Sure." Kirana tersenyum pada kedua pengunjung yang sepertinya suami isteri itu. "What can I do for you?"
"Kami mencari bahan untuk membuat Gỏi cuốn." Sang pria menjawab.
"Owh, sebelah sini."
Kirana mengantar keduanya menuju rak bahan - bahan mentah dan juga saus khas vietnam. Kemudian mempersilahkan mereka untuk memilih bahan yang dikehendaki.
Sementara menunggu keduanya selesai, Kirana menyapukan pandangannya ke sekeliling. Pandangannya berhenti pada meja kasir di mana Keemo, sang bos, tengah berbicara dengan seorang pria muda berambut cokelat. Wajah pria paruh baya itu terlihat sedikit pucat.
Dia?
Kirana berusaha memastikan bahwa pria muda yang tengah berbicara dengan Keemo adalah tetangga barunya, si pria dingin dan misterius.
Benar dia.
"Nona, kami tidak bisa menemukan saus sambalnya," ujar si wanita paruh baya mengejutkannya.
"Owh, ya, di sebelah sini."
Kirana membantu keduanya menemukan saus sambal yang mereka cari. Kemudian gadis itu kembali menoleh ke arah kasir, namun pria itu tak terlihat lagi. Hanya ada Keemo yang berdiri menopang badannya dengan kedua tangannya memegang tepian meja kasir. Wajahnya terlihat cemas.
"Kira, mau ikut minum denganku nanti?" bisik Sandra yang tiba - tiba muncul entah dari mana.
"Emm .. aku tidak tahu, aku harus mengunjungi ibuku."
"Sayang sekali." Sandra memasang wajah kecewanya.
"We'll see."
Wajah Sandra berbinar. "Kabari aku sepulang dari tempat ibumu ya."
Kirana mengangguk. Kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya melayani pengunjung toko yang datang silih berganti. Namun pikirannya tidak bisa lepas dari tetangga barunya itu dan Keemo. Keduanya saling kenal. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa bosnya itu terlihat gundah?
***
Kirana menaiki tangga apartemen kumuh di mana ibunya tinggal. Langkahnya cepat menuju lantai dua dan menghampiri pintu bertuliskan angka 105.
Diketuknya pintu keras - keras. Tak ada jawaban. Kirana memutar kedua bola matanya seraya mendesis.
"Mom!" Kirana kini menggedor pintu dengan keras. Berharap Ibunya bisa mendengarnya.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pintu pun dibuka dari dalam. Seorang wanita berumur sekitar empat puluhan muncul dari balik pintu. Bau alkohol yang cukup tajam langsung tercium di hidung mungil Kirana.
Kirana menghela nafas dalam - dalam. "Kukira kau sudah menjadi mayat," ujarnya seraya menerobos masuk ke dalam flat sempit itu.
Sang Ibu hanya terkekeh. "Kira, aku buatkan masakan spesial untukmu."
"Ohya? Tumben?"
Sang Ibu mengajak Kirana ke area dapur yang sempit dan hanya dibatasi oleh sebuah lemari panjang, memisahkannya dengan ruang tamu.
"Nasi kuning, lengkap dengan lauknya." Sang Ibu berujar dengan gembira. Menunjukkan hasil masakannya yang terlihat istimewa. "Kau harus tahu masakan khas Indonesia. Ini resep dari leluhurmu."
"Mom, aku sudah pernah makan nasi kuning."
"Benarkah?"
Kembali Kirana memutar kedua bola matanya. Kemudian memijit keningnya untuk menghalau rasa pening yang tiba - tiba melanda kepalanya.
"Terus bagaimana ini? Siapa yang akan makan masakanku?" Wajah Sang Ibu seketika berubah menunjukkan kesedihan.
"Aku akan memakannya. Tapi kau harus membantuku."
"Okay." Sang Ibu mengangguk - angguk. Lalu menopang dagunya dengan kedua telapak tangannya. "Kau tahu, Ayahmu dulu sangat suka dengan masakanku."
"Mom!" bentak Kirana kesal. "Jangan sebut dia di depanku lagi, okay?"
"Okay, sorry." Sang Ibu terdiam seketika dan dengan gerakan pelan menghidangkan dua piring nasi kuning beserta lauknya, masing - masing untuknya dan Kirana.
"Bon appetit (selamat makan), Kira."
Kirana hanya mengangguk. Lalu dalam diam gadis itu menikmati nasi kuning yang sebenarnya sangat lezat itu. Namun hatinya begitu perih ketika sesekali memandang wajah Sang Ibu yang terlihat lelah dan menyimpan duka yang mendalam.
"Bagaimana pekerjaanmu, Kira? Apa kau betah? Apa gajimu bagus?"
Kirana menghela nafas dalam - dalam. Dirogohnya dompet yang ada di dalam tasnya, lalu mengambil dua lembar 100 dolar dari sana. Kemudian disodorkannya pada Ibunya.
Wajah Sang Ibu seketika berbinar demi melihat lembaran abu - abu dengan angka berwarna hijau itu.
"Awwh, thank you so much, My Sweetie Pie Baby," ucapnya seraya meraih lembaran itu dan menyelipkannya ke belahan dadanya.
"You're welcome, Mom."
Kirana beranjak dari duduknya dan segera membereskan piring - piring kotor dari meja makan.
"I gotta go, Mom," ujar Kirana begitu meja makan telah rapi kembali.
"So soon?"
"Yeah, ada teman yang sedang menungguku."
"Well, okay, then."
Kirana mencium sekilas pipi Sang Ibu. Wanita itu tampak kecewa memandangi punggung puteri semata wayangnya yang kini menghilang di balik pintu.
Di luar sana, Kirana menyandarkan sejenak tubuhnya di dinding begitu dia menutup pintu flat Ibunya. Gadis itu memejamkan matanya, kemudian menggeleng pelan. Sudut matanya mengembun.
Kirana meraih ponsel dari kantong jaketnya.
Sandra, di mana aku bisa menyusulmu?
***
9LB HAMMER BAR, GEORGETOWN, SEATTLE.
"Kira, akhirnya kau datang juga!" Sandra berseru dengan gembira begitu melihat Kirana muncul di hadapannya.
"Sorry, I'm late (maaf aku terlambat)," ujar Kirana seraya mengambil tempat duduk di samping Sandra.
"Nah, the night is young (malam masih panjang)," kekeh Sandra. "Owh, kenalkan teman - temanku, Rachel dan Selena."
Dua orang gadis hispanik dengan dandanan punk yang duduk di seberangnya itu melambaikan tangan mereka.
"Girls, this is my partner in crime (teman - teman, ini adalah partner kriminalku), Kira." Sandra mengibaskan tangannya sembari terkekeh. "Joking. She's my best friend (bercanda, dia sahabatku)."
"Hi, Kira."
"Hi, nice to meet you."
Kirana tersenyum. Rasa hangat mulai menyelimuti hatinya. Suasana bar yang ramai sedikit membuatnya terhibur. Disapunya pandangan ke seluruh ruangan. Semua pengunjung bar telah tenggelam dalam keasyikan mereka masing - masing. Tak terasa kepalanya mulai bergerak - gerak mengikuti alunan musik yang sedang dimainkan oleh satu band reguler di atas panggung kecil di sudut ruangan bar.
"Here, Kira, try this (coba ini)."
Kirana terkesiap ketika Sandra menyikut lengannya dan menawarinya segelas cocktail dengan cairan berwarna biru.
"Uufh, looks good (kelihatannya enak)," gumam Kirana sembari menyambar gelas dari tangan Sandra dan meneguknya. "Kuat sekali." Kirana dengan susah payah menelan cairan biru yang terasa membakar tenggorokannya. Sandra dan dua orang temannya terbahak melihat reaksi wajah Kirana.
"Hei, give me more (kasih lagi)."
"Hahah, now you're talkin', girl (begitu dong)."
Sandra mengisi kembali gelas Kirana dari satu pitcher yang masih penuh. Lalu mengisi gelasnya sendiri dan juga gelas Rachel dan Selena.
"To feminism (untuk faham feminis)." Sandra mengangkat gelasnya. Diikuti oleh Kirana, Rachel dan Selena. Bersulang untuk apapun.
.
.
Sandra menghentikan mobilnya tepat di depan gedung apartemen Kirana yang terlihat sepi.
"Hei, Kira, kita sudah sampai." Sandra mengguncang tubuh Kirana yang menelungkup di atas dashboard.
Dengan berat Kirana membuka matanya. "Emm .. what time is it (jam berapa ini)?" ujarnya seraya mengucek matanya.
Sandra menunjuk layar di dashboardnya. Jam satu dini hari.
Kirana bersendawa beberapa kali. "Ugh .. aku rasa aku akan muntah."
"Hei, kau akan baik - baik saja?"
Kirana mengangkat kedua tangannya. "Yeah, yeah, tentu." Gadis itu kembali bersendawa. "Kau hati - hati menyetirnya, jangan sampai polisi menangkapmu," kekehnya seraya membuka pintu mobil.
"Sampai jumpa, Kira."
"Bye, Sandra."
Kirana menutup pintu mobil dan dengan sempoyongan diseretnya langkah memasuki gedung apartemen yang lengang. Tak ada seorang pun terlihat di sana.
"Ouwh, sial, aku pusing sekali," gumamnya seraya memencet pintu lift berkali - kali. Namun pintu lift tidak juga terbuka. "Ada apa dengan lift sialan ini?" makinya kesal.
"Sial, sial, kurasa aku harus naik tangga," gerutunya seraya memutar langkahnya menuju tangga.
"Lantai lima, huh?" Kirana memandangi anak tangga yang terasa panjang mengular ke atas. Membuat kepalanya berputar - putar dan isi perutnya bergolak.
"Oh, no."
Kirana berpegangan pada dinding sembari menaiki anak tangga satu persatu. Namun lama kelamaan gadis itu merasa kelelahan dan akhirnya menjatuhkan dirinya dan mulai merangkak naik.
"Owh, aku tidak tahan lagi."
Huekkkh.
Kirana memuntahkan sebagian isi perutnya di atas anak tangga. "Oh sial, seseorang pasti akan membunuhku," ujarnya seraya mengelap mulutnya dengan punggung tangannya.
"Aku akan membersihkannya besok!" serunya entah pada siapa.
"Ayo, Kirana, beberapa anak tangga lagi."
"Sialan, aku terlihat seperti Ibuku sekarang." Kirana terbahak.
Dengan susah payah akhirnya Kirana berhasil sampai di lantai lima. Masih dengan merangkak dia mendekati pintu flatnya dan berusaha membukanya.
"Sialan, kenapa pintunya tidak bisa kubuka?" ujarnya seraya mencoba memasukkan kuncinya. Namun kunci itu tak bisa dia gerakan.
"Damn, it's stuck (sialan, macet)!!" serunya seraya mencoba menggerak - gerakan kunci ke kanan dan ke kiri namun benda itu tak bergeming.
"Noo, noo," jeritnya seraya mendudukkan dirinya dan menelungkupkan tubuhnya ke lantai.
"Ouwh, aku pusing sekali."
.
.
Hayden memakai mantel tebal panjangnya lalu menyambar sebuah pistol jenis FN Five Seven USGnya yang tergeletak di atas meja. Lalu menyelipkannya di pinggangnya.
Diliriknya jam di pergelangan tangannya. Pukul 1. 30. Dini hari. Hayden melangkah menuju pintu dan membukanya.
"Geez, what the f**k (apa - apaan ini)!" makinya demi melihat seseorang tertelungkup di depan pintu flat sebelah.
Gadis itu. Ya, gadis tetangganya yang berwajah campuran antara kulit putih dan Asiatic itu.
Hayden tak ingin ambil pusing dengan pemandangan di hadapannya itu, namun jiwa gentlemen nya meronta untuk segera membantu seorang perempuan yang sedang .. mabuk?
"Hei, Miss, you okay?" Hayden mengguncang tubuh Kirana yang tak bergeming. Gadis itu hanya melenguh.
"Miss, wake up (bangun)!" Hayden menepuk pipi Kirana pelan.
"I can't open the door (aku tidak bisa membuka pintu)," gumam Kirana dengan suara lirih.
"Sorry?"
"I can't open the door, you idiot (aku tidak bisa membuka pintu, dasar idiot)!" Kirana mengulang perkataannya. Kali ini ditambah dengan makian.
Hayden mendesis. Kemudian berdiri dan memeriksa kunci yang masih tertancap di lubang kuncinya. Dengan sekali gerak ke kiri, pintu pun dengan mudah terbuka. Hayden menggeleng.
"Apanya yang sulit?" gumamnya heran.
"Ouhh, I feel so dizzy (aku pusing)." Kirana kembali melenguh. Kini gadis itu duduk bersimpuh. Namun matanya masih terpejam.
"Kau bisa berjalan sendiri dan masuk ke dalam?" tanya Hayden seraya mensejajarkan posisi badannya dengan Kirana.
"Aku .. hiks .. tidak tahu .. hiks, kepalaku rasanya berputar - putar." Kirana membuat tanda lingkaran dengan jari telunjuk di atas kepalanya.
Hayden menghela nafas dalam - dalam. "Merepotkan sekali!" makinya. Diraihnya tangan Kirana untuk membantunya berdiri namun sepertinya gadis itu tidak punya tenaga untuk bangkit.
"Uuufh, I can't (aku tak bisa)," ujar Kirana dengan manja.
Hayden mengacak rambutnya kasar. Kini dia sangat menyesali keputusannya untuk membantu gadis ini.
Dan sekarang dengan sangat terpaksa Hayden harus menggendong Kirana dan membawanya masuk.
Hayden membaringkan Kirana di atas kasur. Lalu berjongkok memandangi wajah Kirana dengan mulutnya yang setengah terbuka. Sungguh gadis yang sangat kacau.
"O Gosh, kurasa aku akan muntah," ujar Kirana tiba - tiba. Dan tanpa bisa menghindar, Kirana mengeluarkan isi perutnya tepat di dada Hayden yang tengah berjongkok di hadapannya.
"Geez, are you crazy (kau gila ya)?" maki Hayden tak percaya seraya memandangi mantelnya yang kini terlihat kacau.
"Ouwh, maafkan aku, maafkan aku." Kirana berusaha membersihkan kotoran di mantel Hayden dengan tangannya. Namun Hayden dengan cepat menepisnya. Kemudian dengan bersungut - sungut dia melangkah pergi meninggalkan Kirana yang langsung menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya, berusaha menahan rasa malu dan bersalah yang teramat sangat.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!