Tarik nafas, keluarkan...., terus, Bu.. tarik lagi, keluarkan lagi... bagus.
wueeeeeekkkkkk!!!!!
"Akhirnya, Alhamdulillah selamat ya, Bu anaknya laki-laki".
Bayi mungil ini telah hadir dalam hidupku, anak yang kunantikan selama sembilan bulan. Namun, terlintas semburat nestapa di rongga dada. Mas Gino Alpa menemaniku berjuang antara hidup dan mati. Ia pasti tidak bisa menemui ku karena takut dengan istri pertamanya. Aku harus ikhlas sebagai madu yang hadir di tengah kehidupan mereka. Aku sangat memahami perasaan mbak Rina. Sebab, aku telah menorehkan sembilu ke hatinya. Namun, aku tidak bisa menghindari takdir kalau aku harus menjalani hidup seperti ini.
"Maaf, Sus. Boleh minta tolong hubungi suami saya?" seraya menyodorkan handphone.
"Baik, Bu"
"Maaf, suami Ibu sepertinya menolak panggilan teleponnya" terang suster hati-hati.
Aku yakin pasti Mbak Rina yang sedang pegang handphone Mas Gino. Ia benar-benar ingin memisahkan aku dengan Mas Gino. Aku mulai khawatir kalau itu benar-benar akan terjadi. Bagaimana nasib anakku nanti? spontan saja bulir air mataku tak tertahankan keluar tanpa aba-aba. Ku elus lembut kening bayi tak berdosa yang harus menanggung kesalahan ku. Miris.. Tapi aku tidak bisa mengulang waktu.
"Maafkan Ibu, Nak, akibat kesalahan Ibu ayahmu tidak hadir untuk mengazankanmu dan menyambut mu hadir ke dunia ini".
Tak terasa mataku sudah sembab akibat terlalu banyak menangis.
...****************...
Kringg.. Tiba-tiba handphone Rania berdering.
di layar tertera nama Mas Gino.
"Halo!"
"Sayang, gimana keadaanmu? Gimana anak kita?" suara Mas Gino khawatir.
"Anak kita sudah lahir, Mas. Laki-laki. Tampan sepertimu?" suaraku parau menahan haru.
"Alhamdulillah, sekarang kamu dimana? biar Mas susul ke sana".
"Aku udah di rumah, Mas. Lagian udah dua hari dan dokter ngizinin aku pulang, Mas nggak perlu khawatir, aku baik-baik aja kok, Mas". Jelasku agar Mas Gino tidak terlalu panik.
"Oke, sayang. Besok pulang dari Rumah Sakit aku kesana ya, jaga anak kita baik-baik ya, sayang. Love you".
"Iya, mas. Love you too".
Sejak menikah dengan Mas Gino aku berubah menjadi makhluk yang pengertian, memahami, dan banyak mengalah. Aku tetap bersyukur bisa memiliki seorang suami seperti mas Gino yang sangat menyayangi ku. Ia bagaikan pahlawan dalam hidupku. Tapi, kebahagiaanku justru menjadi duri bagi orang lain yang membuat ku sulit untuk mencabutnya.
...****************...
"Sayang, aku minta maaf. Tiba-tiba Rina tahu kalau kamu sudah melahirkan. Ia mengirim orang untuk mengikutiku. Ia mengancam akan membahayakanmu jika aku menemuimu. Ia sudah benar-benar kelewat batas." jelas Mas Gino di seberang telepon.
"Mas yang sabar, ya. mungkin belum sekarang waktunya mas lihat anak kita. Aku yakin pasti ada cara lain agar Mas bertemu Rafa".
"Rafa? apakah nama anak kita Rafa?" Suara Mas Gino terdengar bergetar.
"Iya, mas. Maaf, aku yang kasih nama duluan. Tapi itu sebatas panggilan saja kalau mas ada nama yang lain bisa kita ganti".
"Nama yang indah, sayang. Mas suka. Oya, Rafa lagi ngapain, sayang? Mas Video Call ya".
Gino benar-benar terharu melihat Rafa yang mungil. Hingga ia lupa kalau ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-geriknya dari balik kaca jendela ruang prakteknya.
"Sepertinya tuan sedang menghubungi seseorang melalui video call, Nyonya!" lapor Johan anak buah Rina.
"Dimana keberadaan Gino sekarang?" suara diseberang.
"Tuan masih di kantornya, Nyonya".
"Oke, terus pantau kemana dia akan pergi, jangan sampai lengah". perintah Rina tegas.
"Baik, Nyonya!"
...****************...
"Ma, izinkan aku bertemu anakku. Sebentar saja, Ma. Aku janji cuma mau lihat Rafa sebentar setelah itu langsung pulang. kalau perlu mama boleh ikut papa ke sana, ma". Bujuk Gino penuh harap.
"Pa, mengetahui papa menikah saja aku rasanya sudah tidak sanggup. Sekarang papa sudah punya anak dengan perempuan ib**s itu? Papa ingin membunuh aku dan anak-anak pelan-pelan, Pa. Tolong mengerti perasaanku?" Rina sesenggukan menahan perih di hatinya.
"Aku mohon, Ma. Papa tahu ini salah. Ini sudah terlanjur. Aku nggak mungkin menelantarkan darah dagingku sendiri". Gino hampir putus asa.
"Kenapa baru sekarang papa sadar kalau ini semua salah? kenapa nggak dari dulu, Pa? Kenapa? Kenapa setelah punya anak?" teriak Rina histeris.
"Ma, tenangkan dirimu. nanti anak-anak mendengar".
"Biarkan saja, biar mereka tahu kalau ayahnya bukanlah ayah yang baik". teriak Rina tak kalah histeris.
"Oke, sekarang kamu mau papa gimana?" tanya Gino putus asa.
"Ceraikan perempuan itu! Aku tidak ingin dia ada di hidup kita sampai kapan pun". Tukas Rina berang.
"Ma..."
"Tidak ada kata tidak kalau masih ingin melihatku dan anak-anak." Sambil beranjak Rina keluar kamar dengan membanting pintu.
...****************...
Gino tercenung sendiri di kamar. Ia tidak menyangka akan seperti ini akibat dari perbuatannya. Ia benar-benar frustasi memilih antara Rina dan Rania. Istri pertama dan keduanya. Satu sisi ia tidak bisa meninggalkan Rina yang telah memberikannya dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Jelas saja Rina tidak akan mengizinkannya menemui anak-anak apabila mereka berpisah. Anak-anak adalah tumpuan harapan Gino. Sementara, Rania adalah perempuan yang Gino cintai setelah umur pernikahannya dengan Rina berjalan 10 tahun Gino sudah lupa bagaimana caranya jatuh cinta. Namun, rasa itu kembali tumbuh pada perempuan ayu dan tulus pada sosok Rania. Gino sudah berusaha untuk menepis rasa itu, namun sosok Rania lebih kuat untuk hadir di pikirannya daripada usaha untuk menghilangkan bayang perempuan ayu nan lembut Rania. Gino benar-benar tidak bisa mengambil keputusan. Hingga akhirnya ia terlelap dalam mimpi bertemu Rania dan anaknya Rafa.
...****************...
"Pagi, ma. Pagi Anak-anak!" sapa Gino setelah selesai mandi dan langsung menuju ke dapur.
"Pagi, Pa!" Jawab Gea anak bungsunya.
"Mulai pagi ini sampai seterusnya Gea sama Edo diantar sama mamang! Papa sama Mama berangkat sama-sama ke Rumah Sakit. karena Mama di mutasi ke Rumah sakit Umum tempat papa!" jelas Rina di sela sarapan pagi mereka.
"Yah, mama.. nggak asyik, deh nggak diantar sama papa lagi!" Gea kecewa sambil memonyongkan bibirnya.
Gino tahu kalau peristiwa ini bagian dari rencana Rina agar bisa memantaunya lebih mudah untuk tidak berhubungan dengan Rania.
"Handphone papa saya pegang. Jika papa butuh bisa minta ke ruangan mama!" perintah Rina dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Nggak gitu juga kali, Ma. Gimana kalau ada yang menghubungi papa dalam keadaan darurat? tolonglah, Ma! jangan terlalu protektif!"
"Kenapa semua ini mama lakukan? karena kelakuan papa! papa hanya memikirkan perempuan k***r itu!"
"Ma...."
"Mama tidak akan segan-segan menggugat cerai papa jika melakukan sedikit saja kesalahan. Ingat itu, Pa!" ancam Rina kesal.
...****************...
Sudah sebulan Mas Gino tidak menghubungi Rania. Jangankan nafkah kabarnya pun tidak pernah Rania terima. Apakah mas Gino sudah memutuskan untuk melupakan Rania? Ia tidak boleh berpikiran negatif dulu. Mungkin saja mas Gino sibuk atau mbak Rina mengekangnya agar tidak bertemu dengannya. Tapi, apakah selamanya ia akan hidup seperti ini? Rania mulai gelisah memikirkan nasib dirinya dan anaknya. Namun, ia tetap berusaha tegar demi Rafa. Apapun yang terjadi ia tidak boleh menyerah untuk membesarkan Rafa.
"Sekarang Rafa sudah 40 hari. Aku harus mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhanku dan juga Rafa". Bisik Rania dalam hati.
Sambil membolak-balik koran untuk mencari lowongan Rania menyusui Rafa. Akhirnya, ia menemukan lowongan yang ia cari seraya mencatat nomor telepon yang bisa dihubungi.
"Halo, Selamat pagi! Ada yang bisa kami bantu?" Suara diseberang telepon.
"Selamat pagi, Mbak! Apakah benar ini Butik Assyafa?" tanya Rania hati-hati.
"Benar sekali, mbak. Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya lihat di koran bahwa Butik Assyafa sedang membutuhkan karyawan baru. Apakah benar, Mbak?" tanya Rania antusias.
"Benar sekali, Mbak! untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi costumer kami secara langsung ke perusahaan. Nanti mbak akan dituntun untuk memenuhi persyaratan yang akan diperlukan". Jelasnya.
"Baik, Mbak. Terimakasih!" Rania menutup telepon.
...****************...
Alhamdulillah, akhirnya aku diterima di sebuah butik yang cukup terkenal di kalangan menengah ke atas. Penghasilan yang kuterima cukup untuk kebutuhan sehari-hari dan biaya yang dibutuhkan Rafa. Walaupun mas Gino sekarang tidak lagi memberikan nafkah lahir dan batin aku harus tetap semangat menjalani hidup demi Rafa. Selama aku bekerja Rafa dititipkan sama Bi Sum Asisten Rumah Tangga yang ditugaskan Mas Gino sejak aku menempati rumah pemberiannya. Mas Gino memang laki-laki yang baik, yang membuatku sulit untuk menolaknya.
...****************...
Flash back
Minggu pertama
"Apa keluhannya, Bu?" tanya dokter penuh perhatian terhadap setiap pasiennya.
"Enggak tahu nih, Dok. Rasanya dada saya sesak dan berdebar-debar". Jelasku melaporkan.
"Baik, Ibu boleh berbaring sebentar agar diperiksa?"
"Ibu hanya gangguan pencernaan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan". Jelas dokter muda itu dengan mata teduhnya.
Seperti yang sering Rania dengar dari beberapa pasien yang sudah berobat sama Dokter Gino adalah dokter yang ramah dan tulus melayani setiap pasiennya. benar adanya ketika Rania berhadapan langsung dengan Dokter Gino. Serasa sakitnya langsung sembuh dengan sikap ramahnya.
"Ini, Bu resepnya bisa diambil di apotek rumah sakit ini. Jangan terlalu banyak pikiran ya, Bu!" Nasihat dokter Gino mengakhiri konsultasi mereka.
"Baik, Dok. Terimakasih banyak".
Setelah menebus obat, ternyata ada sisa kertas yang menjelaskan bahwa Rania harus kembali Minggu selanjutnya untuk mengetahui perkembangan penyakitnya setelah mengonsumsi obat yang diberikan dokter Gino.
Dalam perjalanan menuju rumah entah kenapa bayangan Dokter Gino terlintas di benak Rania.
"Duh, aku ini kenapa, toh kok mikir dokter itu?" sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir bayangan dokter Gino
...****************...
Minggu kedua
"Bagaimana keadaannya, Bu? ada perkembangan?" Tanya dokter Gino
"Rasanya, seolah melayang-layang, Dok!" keluhku.
entah kenapa darahku terasa berdesir sampai ke ubun-ubun hingga jantungku berdegup kencang.
"Ada apa dengan ku?" Ingin rasanya keluar secepatnya dari ruangan.
"Coba Ibu baringkan sebentar". Perintah dokter Gino sambil meraih stetoskopnya. perlahan ia memeriksa dadaku yang saat ini sedang berdegup kencang.
"Aduh, gimana ini?" Jantungku tidak bisa diajak kompromi. Aku yakin Dokter Gino pasti merasakan keadaan jantungku sekarang ini.
"Tuhan, semoga ia tidak salah paham". Batinku dalam hati.
Setelah selesai memeriksaku Dokter Gino langsung menuju kursinya dan meraih pulpen untuk mencatat sesuatu di atas kertas. Aku pun kembali ke tempat duduk pasien sembari menunggu dokter Gino selesai mencatat.
"Kalau sudah tidak ada lagi Ibu boleh tunggu di luar" Saran suster sopan.
"Baik, sus". karena gugup aku hampir menabrak ranjang pasien yang berada tepat di belakang saya. Saya melihat sekilas dokter Gino tersenyum melihat kegugupanku.
"Ya Allah, malunya".
Beberapa jam menunggu resep lagi-lagi Minggu depan saya harus balik lagi ke rumah sakit ini. Tandanya aku masih harus bertemu Dokter Gino lagi.
"Gimana ini? yang ada ntar aku bukan berdebar lagi, justru yang ada aku pingsan di depan Dokter Gino." Batinku gelisah.
...****************...
Minggu ketiga
"Maaf, Bu! kali ini Ibu saya anjurkan untuk dirawat inap beberapa hari di rumah sakit ini". jelas Dokter Gino.
"A..a.. Apa, Dok? Apa penyakit saya makin parah?" Aku shock mendengar perintah dokter Gino.
"Tidak, Bu. Hanya ada beberapa hal yang harus saya periksa secara intensif". jelas Dokter Gino.
"Sus, tolong bawa ibu ini ke ruangan yang sudah saya siapkan tadi". perintah dokter Gino sama suster.
"Baik, Dok. Mari, Bu ikut saya ke ruangan rawat". Ajak suster. Mau tidak mau saya menurut saja.
Ruangan yang aku tempati agak berbeda dengan ruangan lainnya. Ruangan ini dilengkapi dengan AC plus televisi dan kamar mandi. Aku yakin ini pasti ruangan kelas 1. Biasanya ditempati oleh pasien yang berduit. ruangannya saja lebih besar dari kamarku di rumah. Tempat tidurnya yang empuk membuatku nyaman. Tak terasa mataku rasanya bagai dilem. Ngantuk hingga tak sadar aku sudah terlelap dalam mimpi.
"Rania...."
Samar-samar aku mendengar seseorang memanggilku begitu lembut. perlahan aku membuka mata. Di samping ranjang Dokter Gino tersenyum melihatku.
"Astaga, aku ketiduran, ma.. maaf, Dok". kilahku gugup disertai jantung berdebar tidak menyangka dokter Gino sudah ada di sisiku.
"Kamu kelihatan lucu saat tidur, Ran. Imut!" celoteh Dokter Gino.
"Tunggu. Aku bingung. Sejak kapan dia tahu namaku? pakai panggilan sok akrab lagi?" aku mengernyitkan dahi.
"Kenapa bingung begitu wajahnya? kamu heran ya aku tahu nama kamu?" tanya dokter Gino dengan bahasa santai. Aku makin bingung dengan sikapnya yang tidak formal seperti biasanya. Perlahan ia mendekat tepat di wajahku. Begitu dekat hingga rasanya nafasku berhenti sejenak. Mataku melototinya. Perlahan ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Aku minta maaf ya, Ran. Aku terpaksa melakukan ini agar bisa lebih dekat denganmu". Jelas dokter Gino lembut.
"Ma.. maksud Dokter?" tanyaku kebingungan.
"Aku tahu kamu merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Pertama melihatmu aku juga merasakan jantung berdetak kencang. Aku nggak tahu apakah ini cinta atau tidak. Aku sudah berusaha menepisnya. Namun, rasa ini begitu kuat hingga aku tak kuasa untuk menyimpannya lebih lama lagi. Aku jatuh cinta padamu, Rania." terangnya menatapku lekat.
"Ran... aku menyukaimu". Dokter Gino mendekatkan wajahnya tepat di wajahku. Rasanya jantungku hampir berhenti berdetak. Perlahan ia mengecup keningku lembut. Aku tak kuasa menolaknya.
"Aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama kan, Ran?" tanya Gino menatap lekat wajahku. Rasanya aku seperti ditelanjangi bulat-bulat karena pertanyaannya. Aku tertunduk malu. Dokter Gino seakan sudah tahu jawabannya. Ia meraih tubuhku dan memeluknya erat. Seakan ia tak ingin melepasnya lagi.
"Ran, aku mau menunjukkan sesuatu untukmu". Jelas Dokter Gino
"Apa itu, Dok?" Tanyaku penasaran.
"Jangan panggil Dok lagi, Sayang. Panggil aku Mas. Mas Gino. Okey!" Perintahnya.
"Ya, ya udah, Mas". Jawabku tersenyum malu-malu.
"Ya, sudah kamu siap-siap, gih! Mas tunggu di mobil!" ucapnya sambil berlalu.
**************************
"Kita mau kemana, Mas?" tanyaku penasaran.
"Ntar lagi sampai, Sayang." jawabnya lembut
Hatiku tak karuan mendengar Mas Gino memanggilku dengan panggilan "sayang".
"Mas, boleh nanya nggak?" Tanyaku hati-hati.
"Hmmmm.... kira-kira sulit gak ya pertanyaannya?" Mas Gino balik bertanya.
"Hmmmm... nggak sampai meras otaklah, Mas" jawabku sekenanya.
"Mau nanya apa coba? Kalau mau nanya kenapa aku tampan itu sulit untuk dijawab. Masalahnya aku juga heran kok bisa setampan ini" Gurau Mas Gino dengan percaya diri.
"Ih, pede amat sih, Mas!" jawabku kegelian.
"Terus apa, dong?"
"Aku cuma masih nggak percaya, kok bisa sih Mas suka sama Rania?"
" Benar-benar pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Mas juga nggak tahu kenapa pertama lihat Rania, tiba-tiba Mas berdebar-debar jantungnya. Udah lama Mas nggak merasakan hal seperti ini". Jelasnya tersenyum.
"Apa Mas yakin dengan perasaan Mas sama Rania?" Tanyaku ragu.
"Yakin!" Jawabnya singkat
"Tiga kali bertemu denganmu sudah cukup meyakinkanku dengan perasaanku, Ran. Selama 3 Minggu itu aku tidak pernah berhenti memikirkanmu. Aku juga nggak tahu kenapa". Lanjutnya.
"Apalagi setelah aku tahu kamu juga merasakan hal yang sama, aku jadi semakin yakin". Tambahnya lagi.
"Mas yakin darimana?" tanyaku pura-pura cuek.
"Ternyata jantung yang aku punya sama dengan jantung yang aku periksa. sama-sama berdebar". ledeknya membuat wajahku kian merona.
"Okey, kita sudah sampai!" jelasnya seraya memarkirkan mobil.
Aku melihat sekeliling. Sebuah rumah minimalis bercat biru muda dipadu dengan warna pink tertata apik di depan mata. halamannya dipenuhi dengan berbagai aneka bunga menghiasi sekeliling pekarangan. Aku begitu takjub.
"Ini mah bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan rumahku yang kecil". Batinku dalam hati.
"Ran, kamu suka tidak rumahnya?" Tanya Mas Gino.
"Ma.. maksud Mas?" Tanyaku tidak mengerti.
"Rumah ini hadiah Mas untuk kamu". Jelasnya.
"Mas, nggak salah? secepat itu Mas?" Tanyaku sekan tidak percaya.
"Tidak begitu cepat. Rumah ini sudah lama aku beli. Namun, sengaja dibiarkan kosong karena belum ada yang huni. Nah, sekarang penghuni yang ditunggu-tunggu ternyata sudah datang. Selamat datang di rumah baru Nyonya Gino!" Sanjung Mas Gino membuatku tersipu.
"Maksudnya apa semua ini, Mas?" Aku benar-benar kebingungan.
"Ran, maukah kamu jadi istriku? Aku benar-benar serius ingin mempersuntingmu, aku ingin hubungan kita segera dihalalkan agar terhindar dari fitnah". Jelasnya
"Mas.." Aku tidak bisa berkata apa-apa. Senang, bingung campur aduk jadi satu.
Mas Gino segera meraih tanganku dan menyematkan sebuah cincin polos namun elegan di jari manisku. Aku benar-benar terharu.
"Sekarang, kamu bisa lihat rumah kita". Ajaknya.
Rumah itu tidak terlalu besar. Cukup untuk keluarga kecil yang baru membangun rumah tangga. Rasanya aku seperti bermimpi dilamar seorang pria yang mencintaiku seperti ini. Walaupun kecil, tapi rumah ini memiliki tiga kamar, satu kamar utama, kamar tamu, dan kamar asisten rumah tangga. Selebihnya, ruang tamu, ruang keluarga,dan dapur. Aku sangat menyukai desainnya.
"Gimana, kamu suka?" Tanya Mas Gino.
"Iya, Mas. Aku suka". Jawabku sumringah.
Tiba-tiba handphone Mas Gino berbunyi.
"Sayang, sebentar, ya. Kamu lihat-lihat dulu rumahnya. Aku angkat telepon sebentar". Katanya sambil menjauh dariku.
"Iya, Ma!" terdengar Mas Gino menjawab telepon. Aku pikir itu pasti Ibunya yang sedang menghubunginya.
Berselang beberapa menit Mas Gino sudah selesai dengan teleponnya.
"Sayang, kalau sudah selesai aku antar balik ke Rumah Sakit ya" Ajaknya.
"Iya, Mas".
"Sayang, hari ini aku ada urusan sebentar, kamu nggak apa-apa kan aku tinggal di Rumah Sakit sendiri?" Tanya Mas Gino sedikit merasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Mas! Ngomong-ngomong berapa hari aku nginap di rumah sakit nya, Mas?" Tanyaku penasaran.
"Sampai penyakitku sembuh". Jawabnya cuek.
"Emangnya Mas sakit apa?" Tanyaku bingung karena yang aku lihat dia sehat-sehat saja.
"Sakit rindu, ntar kalau rindunya kelar baru kamu boleh pulang". Jelasnya tanpa beban.
"Mas ada-ada aja, deh. Mas kan bisa ke rumah kalau rindu". Saranku bingung.
"Mas nggak bisa, sayang terlalu jauh. Kalau di rumah sakit kapan pun aku bisa melihat mu, maafkan aku ya. Kamu jadi korban penyakitku yang nggak tahu diuntungkan ini". Katanya dengan wajah sedih simpul.
"Iya juga, sih. Mas kan orang sibuk sedunia. mana ada waktu buat pacaran kayak anak remaja. Tapi aku senang kok Mas mengurungku karena rindu". Pujiku malu-malu.
"Justru kita bukan remaja lagi, karena sebentar lagi. perempuan cantik ini akan menjadi nyonya Gino." Kebutnya mantap.
aku hanya tersenyum bahagia mendengar celoteh pria yang baru saja melamarku. Jujur saja aku sangat bahagia.
"Mas..".
"Hmmmm...."
" Kalau boleh tahu, yang menghubungi Mas tadi Ibunya Mas ya?". Tanyaku hati-hati.
"Eh, i.. iya, Sayang. Kenapa? Udah nggak sabar ya mau ketemu Ibu aku?" Tanyanya Balik.
"Ih, apaan sih, Mas. Nanya doang, kok!" Aku berkelit.
"Sebenarnya, Mas udah nggak punya ayah atau pun ibu lagi, mereka sudah lama meninggalkanku selamanya, Ran. Sejak aku berusia 12 tahun. Aku diasuh oleh pamanku hingga SMA". Kisahnya.
"Maaf, Mas. Aku nggak tahu". jawabku merasa bersalah.
"Nggak apa-apa, Sayang. Kamu perlu tahu tentang hal ini". Belanya sambil menggenggam erat tanganku. Aku memberinya senyum menguatkan. Ternyata di balik kesuksesan seorang Dokter Gino terselip kisah mengharukan.
Akhirnya, kami sampai di Rumah Sakit. Mas Gino langsung menghidupkan mobilnya setelah aku turun.
"Sayang, maafin aku ya nggak bisa ngantar kamu ke kamar". katanya.
"It's okay, nggak apa-apa, Sayang. Hati-hati di jalan, ya". Aku melempar senyum termanis untuk pria yang ku cinta.
Ia pun segera melajukan mobilnya hingga hilang di sudut jalan. Aku kembali ke kamarku melepas penat seharian keluar dari Rumah Sakit. Bismillah, semoga keputusan ku ini adalah langkah yang tepat untuk menjalani hidup. Batinku.
Setelah menunaikan ibadah shalat Maghrib, aku langsung meraih Al-Qur'an yang selalu aku bawa kemana pun pergi. Selesai membacanya beberapa lembar kembali kumasukkan ke tas yang selalu aku bawa. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ada notifikasi yang masuk.
"Haaaahhhh....!" Aku tak sadar mulutku terbuka begitu lebar karena terkejut setelah membaca notifikasi yang baru masuk. Selang berapa detik panggilan dari Mas Gino tertera di layar Handphoneku.
"Assalamualaikum, Mas". Jawabku
"Waalaikumussalam, lagi apa sekarang?" Tanya Mas Gino lembut.
"Baru aja selesai shalat, Mas dan..." Aku ragu melanjutkan untuk bertanya notifikasi yang baru aku baca.
"Dan??" tanyanya penasaran
"Itu Mas, ada notifikasi baru masuk, Rania bingung itu darimana" jelasku hati-hati.
"Kenapa mesti bingung, harusnya senang, dong. Semoga jadi manfaat ya, sayang. Dipakai atuh, pamali nolak rezeki". terang Mas Gino lugas.
"Jadi Mas yang transfer?" Tanyaku penasaran.
"Iya, Sayang. Kan sebentar lagi jadi Nyonya Gino. Hal ini bakalan berlanjut sampai hari-hari berikutnya". jelasnya.
"Duh, Mas terlalu banyak untuk aku yang hanya sendiri." Tolakku merasa tidak enak hati.
"Nggak apa-apa, kalau nggak habis ya ditabung saja, okey. Aku tutup ya, Sayang. Daaa".
klik
Telepon terputus.
***********************
Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan buatku juga Mas Gino. Kami akan melangsungkan akad nikah di sebuah Mesjid yang terletak di kota kecil tempat kelahiranku. Kota yang menjadi saksi bisu atas pernikahanku. Kota Medan yang sebagian penduduknya asli suku Batak. Namun, tidak sedikit yang bersuku Jawa, salah satunya Mas Gino. Aku keturunan Batak dan Aceh. Namun, bentuk wajahku lebih mendominasi suku Aceh. Mata bulat, hidung mancung, Namun aku memiliki kulit Langsat. Digelar dengan acara sederhana kami melangsungkan pernikahan secara sederhana.
"Alhamdulillah, sah"
Seluruh hadirin memanjatkan doa bersama demi kebahagiaan rumah tangga kami. Setelah acara doa selesai Mas Gino minta izin ke belakang hendak cuci muka. Setelah kembali raut wajah Mas Gino berubah kusut seolah penuh dengan tekanan. Aku juga sama dengan Mas Gino tidak memiliki siapa pun lagi. Aku cuma memiliki seorang Abang. Namun, ia tinggal di Malaysia bersama dengan keluarganya. Aku mengajar anak-anak. Cukup untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
"Mas baik-baik saja?" Tanyaku khawatir.
"Sayang, aku ada pasien mendadak. Setelah ini aku antar kamu pulang trus aku langsung ke rumah sakit ya". Jelasnya merasa bersalah.
"Nggak apa-apa kok, Sayang. Kan tuntutan pekerjaan harus begitu. Nggak apa-apa". Jawabku menenangkannya.
*************************
Malam ini adalah malam pertamaku. Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam, tapi belum ada tanda-tanda Mas Gino akan pulang. Handphonenya juga nggak aktif. Aku berusaha menenangkan diri dengan membaca Alquran, mungkin saja Mas Gino belum selesai menangani pasiennya. Batinku.
Samar-samar aku mendengar suara adzan subuh, Astaghfirullah ternyata aku ketiduran. Aku beranjak dari sofa, karena semalaman menunggu Mas Gino pulang. Handphoneku Juga tidak ada pemberitahuan bahwa Mas Gino menghubungiku. "Kemana sebenarnya kamu, Mas?" aku mulai gelisah.
Aku segera membersihkan diri untuk menunaikan shalat subuh. Selesai shalat aku menyempatkan membaca Alquran beberapa lembar sebagai rutinitasku setiap selesai shalat. Setelah membaca Alquran hatiku mulai nyaman.
"Mungkin sebentar lagi Mas Gino akan pulang, sebaiknya aku menyiapkan sarapan ntar dia kelaparan aku udah nyiapin makanan buat suami tercinta." Batinku.
Aku mulai mempersiapkan bahan-bahan yang akan aku masak. Hari ini aku memasak sup iga dilengkapi dengan sambal balado dan tak lupa dengan lalapan, karena aku belum tahu selera Mas Gino seperti apa. Jadi aku masak yang sederhana dan yang aku bisa saja. Lama-lama kan tahu seleranya Mas Gino seperti apa. Huft! Jadi nggak sabaran Mas Gino nyobain masakanku.
Jam sudah menunjukkan pukul 11:00, Mas Gino juga belum pulang. Ada apa dengannya? kuraih handphone dan menghubunginya. Namun, nomor teleponnya tidak aktif. Aku mulai berpikiran negatif. Ya Allah berikan keselamatan pada suami hamba dimana pun dia berada. Aku memanjatkan doa dalam hati.
" Apakah aku harus menyusulnya ke Rumah Sakit? aku ke sana saja, deh untuk memastikannya". Pikirku.
Segera ku kenakan hijab, ku ambil tas dan langsung mengunci pintu. Aku pun memesan taksi online lalu segera meluncur ke Rumah Sakit tempat Mas Gino praktek.
***************************
"Kamu tega menyakitiku dan anak-anak. Kamu benar-benar tidak punya perasaan, Pa!". Rina sesenggukan.
"Maafkan aku, Ma!" hanya kata itu yang keluar dari mulut Gino.
"Aku ingin kamu ceraikan perempuan itu sekarang! Hanya ini satu-satunya yang kuinginkan jika kamu masih ingin bersamaku dan anak-anak." Ancam Rina.
"Ma.. tidak bisakah kamu menerima Rania dalam hidupku? Aku benar-benar nggak bisa mengabulkan permintaanmu, aku minta maaf!" Tegas Gino masih dengan perasaan bersalah.
"Kamu bilang apa, Mas? Menerima perempuan itu? Perempuan yang telah menghancurkan hidupku dan anak-anak? Tega kamu, Mas! nggak ada perempuan yang mau dimadu, Mas! Setelah kebaikan yang keluargaku berikan, ternyata inilah balasanmu, Mas!" amarah Rina semakin berapi-api.
"Maa..!" suara Gino mulai meninggi.
"Kenapa? Kamu tidak terima kalau aku mengungkit masa lalu? Ayah memfasilitasi mu, menguliahkanmu. Namun, apa?? apa balasanmu? Apa yang kurang dariku, Mas??" Teriak Rina berkaca-kaca.
Seluruh persendian Gino rasanya mau lepas hingga ia terduduk dengan tatapan kosong. Ia menjambak rambutnya. Ia merasa frustasi.
"Bagaimana mungkin Rina yang ia kenal lembut tega mengungkit kebaikan yang orang tuanya berikan? Ia beranggapan Rina perempuan lembut yang bisa diajak bermusyawarah. Namun semua di luar dugaannya. Rina menunjukkan sifat egoisnya, karena mengetahui pernikahan Gino sebelum ia beritahu terlebih dahulu. Seorang teman kantor Gino sengaja memotret pernikahannya dengan Rania dan melaporkannya pada Rina. Tapi, pernikahannya selama ini yang ia lalui hanya karena hutang Budi dari ayah Rina dan telah menjadikannya seorang dokter hebat. Sulit rasanya menumbuhkan cinta di hatinya untuk Rina. Sekuat apa pun usahanya, Gino tetap tidak bisa menumbuhkan cinta untuk Rina. Ia hanya benar-benar merasakan jatuh cinta setelah bertemu dengan Rania. Ia baru merasakan bagaimana mencintai seseorang lewat Rania.
"Tuhan, ampuni aku?" Gino tidak tahu lagi harus berbuat apa.
************************
"Permisi, mbak. Apakah Dokter Gino hari ini masuk?" Tanya Rania ke bagian administrasi.
"Oh, Dokter Gino hari ini absen, Bu. Ada urusan katanya. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Tanya petugas bagian administrasi.
"Nggak apa-apa, terimakasih ya, mbak!" jawab Rania kebingungan.
"Kemana Mas Gino ya?" batin Rania. Seluruh pegawai memang belum ada yang mengetahui tentang pernikahan Rania dan Gino. Jadi, tidak ada yang tahu kalau Rania adalah istri dari Dokter Gino. Tiba-tiba handphone Rania berbunyi. Di layar handphone masuk SMS dari nomor baru.
"Sayang, aku minta maaf, ya baru ngabarin. Mas masih ada kerjaan. belum bisa pulang. Nggak usah khawatir, ya. secepatnya Mas akan selesaikan urusan Mas. Mas sangat merindukanmu. Oh, ya hp Mas lowbat. Jadi pakai Hp teman. Jaga dirimu ya. Love you, Sayang".
Pengirim : 081375******
"Mas kemana, sih sebenarnya?" Rania masih kebingungan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!