Setelah beberapa bulan berada didekat Reza membuat hidup Arin menjadi lebih bermakna. Bagi Arin kehadiran Reza merupakan angin segar, sebab Reza selalu membuatnya tersenyum. Bahkan Reza selalu memberikan perhatiannya kepada Arin yang selalu merasa kekurangan kasih sayang dari ayahnya.
Semenjak ibunya tiada, Arin hanya tinggal berdua bersama ayahnya. Arin bahkan tidak memiliki seorang adik maupun seorang kakak disampingnya. Meski ada keluarga yang berasal dari ibu dan ayahnya, tapi Arin tidak pernah merasa memiliki keluarga. Mungkin karena keluarga Arin yang berada cukup jauh diluar kota sehingga membuat mereka tidak begitu dekat.
Pagi itu seperti biasa Arin sedang bersiap untuk pergi ke sekolah. Arin sekarang duduk dibangku kelas 12 Sekolah Menengah Atas (SMA). Meski Arin hampir putus sekolah, tapi alhamdulillah akhirnya Arin bisa bersekolah juga meski hanya disekolah yang cukup sederhana.
Selama 3 tahun berada disekolah SMA akhirnya Arin lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Meski terkadang Arin hampir akan putus sekolah, tapi akhirnya ia bisa menyelesaikan sekolahnya.
Masih ingat dalam benak Arin jika ayahnya dulu sempat menyuruh Arin untuk tidak melanjutkan sekolahnya.
Flash back On
"Bagaimana jika kamu tidak usah melanjutkan sekolah Rin," ujar Pak Cokro Purnama sambil menyeruput segelas kopi hitam yang masih panas.
"Apa yah? Tapi aku sangat ingin sekolah yah, bahkan aku ingin melanjutkan sekolah hingga ke perguruan tinggi," tambah Arin lagi yang sedang menyantap sarapannya.
"Tapi kamu tahu sendiri jika ayahmu ini hanyalah seorang buruh yang pekerjaannya tidak tetap," timpal Pak Cokro lagi.
Mendengar perkataan ayahnya membuat Arin terdiam. Arin merasa jika yang dikatakan ayahnya ada benarnya juga. Sejak dulu ayahnya memang tidak memiliki pekerjaan yang tetap, sehingga untuk melanjutkan sekolah saja rasanya tidak mungkin.
"Ada apa Rin? Kok diam?" tanya sang ayah yang melihatnya tiba-tiba terdiam setelah tadi banyak bicara.
"Tidak apa-apa yah, Arin mengerti dengan kondisi ayah. Tapi Arin juga masih berharap jika nanti setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), Arin bisa melanjutkan sekolah," lirih Arin yang tiba-tiba saja merasa pesimis. Padahal sebelumnya Arin selalu merasa optimis untuk bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.
Meski ayahnya tidak sepenuhnya mendukung akan keinginan Arin untuk bersekolah, akan tetapi Arin selalu bersemangat dalam menjalani hari-harinya. Arin selalu berusaha untuk belajar agar ia mendapatkan nilai-nilai yang bagus.
Arin beruntung karena disekolahnya selalu mendapatkan bantuan. Jika tidak mungkin ia tidak akan bisa bersekolah. Untuk sehari-hari Arin tidak memerlukan banyak uang jajan, yang terpenting ada ongkos untuk naik kendaraan umum sudah cukup bagi Arin.
Beberapa bulan kemudian akhirnya hari kelulusan itu tiba. Setelah menjalankan Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian Nasional (UN), akhirnya hari kelulusan itu tiba. Disekolah diadakan sebuah perpisahan yang cukup sederhana. Perpisahan yang dihadiri oleh siswa saja dan para guru. Perpisahan yang benar-benar sederhana namun cukup berkesan bagi Arin.
Setelah semua rangkaian acara selesai, Arin dan teman-temannya berkumpul disalah satu rumah mereka yang bernama Hana. Sejak beberapa hari yang lalu ibunya Hana mengundang teman-teman terdekat Hana untuk makan-makan. Hanya ada beberapa orang saja yang turut serta, mereka adalah Hana, Winda, Santi dan juga Nisa. Karena memang hanya Arin dan teman-teman yang lain yang dekat dengan Hana.
Mereka pun segera bergegas menuju rumah Hana dengan menaiki kendaraan umum. Setengah jam kemudian akhirnya mereka tiba dirumah Hana.
"Assalamualaikum," ujar Hana saat memasuki rumahnya.
"Waalikumsalam warrohmatulohi wabarokatuh," jawab Bu Widia yang merupakan ibu Hana.
"Apa kabar semua?" sapa Bu Widia yang menyapa teman-teman Hana.
"Kabar baik tante," jawab mereka kompak yang menyalami ibu Widia satu persatu.
"Ajak teman-temanmu ke atas ya Han, terus ajak juga mereka makan yang sudah ibu sediakan didapur," ujar Bu Widia.
"Baik bu," jawab Hana yang langsung mengerahkan teman-temannya ke dapur dan membawa makanan mereka dilantai 2 kamar Hana. Setelah makanan meraka habis, mereka pun berbincang-bincang.
"Yeah, akhirnya kita lulus juga," ujar Hana yang merasa senang setelah kelulusan itu.
"Aku juga senang, akhirnya kita akan memulai hidup baru. Sekolah ke tempat yang baru, dengan suasana yang baru pula," timpal Arin.
"Tapi aku sedih, nanti kita bakalan jarang ketemu," celetuk Winda.
"Tapi kita kan bisa janjian buat ketemu," ucap Santi yang memberikan saran.
"Bener juga kamu san," timpal Hana lagi.
Tak terasa karena begitu banyak hal yang dibicarakan akhirnya sore pun mulai menjelang. Mereka akhirnya membubarkan diri masing-masing.
Beberapa hari kemudian Arin mencoba mendaftar ke sebuah SMA yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Namun saat akan mendaftar lagi-lagi Arin harus kecewa karena tidak memiliki cukup uang untuk pegangan. Sang ayah pun berbicara lagi jika sebaiknya Arin bekerja saja. Akan tetapi untu anak seusia Arin akan bekerja apa hanya dengan bermodalkan ijazah SMP.
Arin pun kembali merasa pesimis. Arin takut jika ia benar-benar tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Padahal Arin sangat ingin bersekolah bahkan hingga ke perguruan tinggi. Untuk kali kedua Arin mencoba mendaftar ke sekolah negeri, mungkin dengan bersekolah di SMA negeri akan meringankan biaya Arin. Namun lagi-lagi Arin harus menelan kekecewaan karena kuota disekolah itu sudah penuh.
Arin kembali bersedih, kali ini ia benar-benar putus asa karena ia benar-benar tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi diluar dugaan, tiba-tiba ada yang menghubungi Arin jika ia sudah dititipkan disekolah SMA swasta dengan biaya yang sudah di bebaskan. Dan Arin diminta untuk datang ke sekolah itu hari senin yang akan datang.
Alhamdulillah sungguh rezeki yang tidak disangka-sangka akhirnya Arin bisa bersekolah disalah satu SMA swasta yang cukup sederhana. Setelah datang ke sekokah dan menemui kepala sekolah akhirnya Arin diperbolehkan sekolah dan biayanya pun dibebaskan.
Sungguh semua itu diluar dugaan, sebab Arin benar-benar sudah putus asa jika ia bisa melanjutkan sekolah. Meski dengan kondisi keuangan yang kadang ada kadang tidak, hal itu tidak pernah membuat Arin patah semangat. Kekurangannya itu justru dijadikan Arin sebagai kelebihan untuk tetap bisa bersemangat dalam pembelajaran.
Tak terasa 3 tahun kemudian akhirnya Arin lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Setelah kelulusan ini, Arin juga masih berharap jika ia akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Setidaknya dengan modal ijazah SMA Arin bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Flash back Off
Beberapa minggu setelah lulus dari sekolah Arin pun segera membuat beberapa lamaran pekerjaan. Mulai dari toko baju, toko retail bahkan restoran-restoran ternama pun tidak lupa ia lewatkan. Arin berharap dengan bermodalkan ijazah SMA akan mendapatkan sebuah pekerjaan yang lebih baik.
Arin bersama teman-temanya mulai memasuki lamaran pekerjaannya. Beberapa bulan pun berlalu tapi masih tidak ada panggilan satu pun. Hingga suatu hari Arin mendapat panggilan disalah satu toko baju bayi dan anak. Untuk pertama kalinya Arin harus interview sebelum bekerja. Dalam interview itu Arin hanya ditanyai beberapa pertanyaan dan mengerjakan soal seperti matematika.
Bagi Arin mengisi soal matematika bukanlah hal yang sulit, dan benar saja setelah diperiksa Arin mendapatkan nilai yang tertinggi. Setelah wawancara dan mengerjakan soal, akhirnya Arin pun diterima bekerja ditoko. Dan besok Arin harus sudah mulai bekerja.
Keesokan harinya Arin sudah bersiap untuk pergi ke toko. Di hari pertamanya Arin menggunakan pakaian hitam putih. Arin datang ke toko itu dengan membawa sebuah surat pengantar yang harus diberikan kepada supervisor. Setelah melihat dan membaca surat pengantar itu akhirnya Arin dipersilahkan untuk mulai bekerja.
"Anda bisa mulai bekerja hari ini," ujar supervisor setelah membaca isi surat itu dan menyodorkan tangannya sebagai tanda selamat datang.
"Terima kasih bu," jawab Arin yang segera menyalami tangan supervisor itu.
Setelah berjabat tangan, Arin pun diarahkan ke toko dan diperkenalkan pada teman-teman yang lain. Semua orang tampak senang saat kedatangan karyawan baru. Tanpa berbasa basi Arin segera diarahkan setiap pekerjaannya. Tidak terlalu berat Arin hanya diminta untuk merapihkan barang yang terlihat berantakan.
Tak terasa sudah 8 jam Arin bekerja, itu artinya Arin sudah boleh bersiap untuk pulang. Hari pertama bekerja membuat Arin merasa lelah.
Ditempat lain Reza justru sedang bertengkar dengan istrinya. Istrinya yang selalu marah-marah dan bersikap tidak perduli.
"Apa dirumah ini tidak ada nasi atau makanan?" tanya Reza yang baru saja pulang bekerja. Setelah seharian bekerja membuat Reza merasa lapar, sehingga saat ia datang ia langsung bergegas ke arah dapur.
"Aku tidak sempat memasak karena aku juga baru pulang," jawab Sintia tanpa rasa bersalah.
"Memangnya seharian pergi kemana sampai tidak sempat memasak! Apa tidak bisa beli saja atau pesan saja lewat online!" pekik Reza yang semakin merasa geram dengan tingkah istrinya yang selalu bersikap seenaknya.
"Sudahlah aku tidak ingin berdebat denganmu!" pekik Sintia yang segera bergegas ke kamarnya.
Sementara Reza yang merasa sangat kesal karena baru pulang bekerja yang seharusnya disambut dengan baik justru malah bertambah lelah. Setiap pulang bekerja ada saja hal kecil yang menjadi pemicu pertengkaran mereka.
Diusia pernikahannya yang baru berusia 3 tahun, Reza dan Sintia masih belum dikaruniai seorang anak. Untuk itu Sintia selalu pergi bersama teman-temannya saat Reza tidak ada dirumah. Sebenarnya Reza sudah muak dengan segala tingkah Sintia, akan tetapi Reza selalu berharap jika pernikahannya bisa diperbaiki.
Sementara Reza yang sudah merasa lapar sejak tadi akhirnya mengurungkan niatnya untuk makan. Reza bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit setelah membersihkan diri akhirnya Reza pergi ke luar untuk mencari makan sebab perutnya sudah keroncongan sejak tadi.
Sintia yang mendengar suara motor Reza hanya melihat kepergian Reza dari balik jendela.
"Mau pergi kemana dia malam-malam begini? Ah sudahlah aku tidak perduli," ujar Sintia yang kembali menutup tirai jendelanya.
Sebenarnya ada mobil yang biasa digunakan Reza, hanya jika jaraknya dekat Reza lebih memilih memakai motor. Sepanjang perjalanan Reza merasa bingung harus mencari makanan apa. Hingga akhirnya Reza pun memilih untuk memakan nasi goreng saja.
"Pesan 1 pak, pedasnya sedang," ujar Reza yang mendekati juru masak itu. Meski Reza merupakan orang yang cukup berada tapi dia merasa senang mencari makanan dipinggir jalan. Rasanya ada kenikmatan tersendiri yang ia rasakan.
"Siap pak, mohon ditunggu," jawab juru masak itu yang terlihat sibuk memasak.
Ditempat itu begitu ramai oleh para pengunjung. Reza memainkan ponselnya sambil menunggu pesanannya datang. Ia pun membuka media sosial untuk menghindari kejenuhan saat menunggu pesanannya datang.Namun saat melihat ke arah lain Reza seperti melihat seseorang yang ia kenal.
"Bukannya itu Arin?" gumam batin Reza.
"Arin!" teriak Reza yang melambaikan tangannya ke arah Arin.
"Eh kak Reza disini juga?" tanya Arin yang menautkan kedua halisnya.
"Iya, kamu mau makan disini juga? Disini saja," tawar Reza yang mengajak Arin makan bersama.
"Iya kak, aku mau makan disini juga," jawab Arin yang langsung duduk disamping Reza.
Mereka pun akhirnya menunggu pesanan mereka datang. Tidak berapa lama akhirnya pesanan mereka datang juga. Antara Reza dan Arin memang sudah lama dekat. Arin sudah menganggap Reza sebagai kakaknya sendiri. Begitupun dengan Reza yang sudah menganggap Arin sebagai adiknya sendiri.
"Gimana rasanya mulai kerja," tanya Reza yang membuka pembicaraan.
"Lelah kak, ternyata kerja itu cape ya," jawab Arin polos.
"Ya iyalah yang namanya kerja pasti cape. Mana ada orang kerja ga cape," jawab Reza.
"He he," kekeh Arin yang merasa malu karena ucapannya sendiri.
Tidak terasa mereka berbicara begitu lama. Kini saatnya Arin pulang karena besok ia harus bekerja.
"Biar kakak antar pulang ya," tawar Reza.
"Tidak usah kak, aku bisa pulang sendiri," jawab Arin.
"Tapi ini sudah malam loh," ucap Reza yang memperingatkan Arin.
Akhirnya Arin pun diantar pulang oleh Reza, meski sedikit jauh tapi Reza tidak mempermasalahkan itu. Beberapa saat kemudian akhirnya Arin tiba dihalaman rumahnya.
"Terima kasih kak karena sudah mengantarku pulang," ujar Arin setelah turun dari motornya.
"Sama-sama rin, kalau begitu kakak pulang ya," pamit Reza yang segera pergi pulang.
"Siapa yang mengantarmu pulang rin?" tanya Pak Cokro yang melihat anaknya diantar oleh seorang pria.
"Dia teman Arin yah," jawab Arin yang baru masuk kedalam rumahnya.
"Hati-hati berteman dengan laki-laki jangan terlalu dekat," ujar Pak Cokro yang mengkhawatirkan anak gadisnya.
Tanpa banyak kata-kata Arin pun hanya menganggukan kepalanya dan segera masuk ke dalam kamarnya.
Meski Pak Cokro terlihat sangat dingin dan acuh, tapi jauh didalam lubuk hatinya Pak Cokro sangat menyanyangi anaknya. Hanya saja Pak Cokro tidak pernah mengucapkan atau menunjukan kasih sayangnya kepada Arin. Hal itulah yang membuat Arin merasa jika ayahnya tidak pernah perduli kepadanya.
Sementara itu ditempat lain lagi-lagi Reza selalu disambut dengan kemarahan Sintia.
"Kamu kemana aja kok dari tadi baru pulang!" tanya Sintia sinis.
"Aku keluar cari makan, emangnya kenapa?" tanya Reza balik.
"Cari makan kok lama amat!" seru Sintia yang selalu merasa curiga pada Reza.
"Kalau tidak percaya ya sudah, untuk apa juga aku menjelaskan!" geram Reza yang merasa kesal.
Merasa sangat kesal dengan Sintia yang selalu bertanya-tanya dan menuduh hal yang tidak-tidak, Reza pun akhirnya meninggalkan Sintia. Reza segera bergegas pergi ke kamar, sedangkan Sintia sedang menonton televisi dikamar.
Reza yang sudah berada didalam kamar masih tidak bisa memejamkan matanya. Reza merasa sedang menginginkan hal yang seharusnya ia dapatkan dari seorang istri kapanpun ia mau. Akan tetapi, dengan adanya pertengkaran-pertengkaran yang selalu terjadi diantara mereka membuat Reza malas mendekati Sintia.
Entah sudah berapa kali ia membalikan tubuhnya ke sisi kiri, lalu ke sisi kanan. Bahkan terlentang dan tengkurep pun tidak lupa ia coba, akan tetapi Reza masih belum bisa memejamkan matanya. Akhirnya ia pun melihat Sintia ke luar kamar .
"Sintia," ujar Reza yang langsung duduk disamping Sintia.
"Apa?" tanya Sintia sinis yang masih melihat tayangan ditelevisi.
"Aku, aku," ucap Reza lagi yang kini mendekati Sintia begitu dekat.
"Sudahlah aku mau ke kamar," pekik Sintia yang segera bergegas meninggalkan Reza diruang tamu. Sintia yang merasa malas, tidak menghiraukan keberadaan Reza. Sintia malah segera berlalu meninggalkan ruang tv dan segera bergegas menuju kamarnya.
"Kamu mau kemana Sintia?" tanya Reza kesal.
Tanpa menjawab pertanyaan Reza, Sintia pun hanya melirik dan segera bergegas pergi menuju kamarnya. Tanpa basa-basi Reza pun segera menyusul Sintia ke dalam kamarnya. Perlahan tapi pasti Reza pun segera membuka pintu kamarnya.
"Sintia," ujar Reza yang mendekati Sintia yang sedang berbaring diranjang dan segera berpura-pura tidur.
"Sintia, aku mohon. Sudah lama aku tidak mendapatkan itu," lirih Reza lagi yang memang sudah cukup lama ia berpuasa.
Sebagai laki-laki yang normal sudah seharusnya Reza mendapatkan haknya. Akan tetapi Sintia yang tidak mengerti dengan keadaan Reza, bersikap acuh pada Reza. Sintia bahkan hanya pura-pura tidur agar ia terbebas dari kewajibannya.
Sementara Reza yang merasa sakit hati karena penolakan Sintia merasa marah. Akan tetapi kemarahan Reza sungguh tidak akan membuat Sintia menurutinya. Reza yang merasa kesal segera bergegas pergi menuju ruang tv dengan membawa bantal dan selimutnya.
Padahal Reza sudah sangat menginginkan hal itu, namun ia hanya mendapatkan kekecewaan karena penolakan Sintia. Meski tidak ada kata-kata menolak, tapi Reza tahu benar tentang sikap istrinya yang tidak pernah memperdulikan Reza sebagai suaminya.
"Ya sudah jika kamu tidak mau, aku akan pergi!" pekik Reza yang segera bergegas ke luar kamar.
Sintia yang mendengar suara pintu kamar yang tertutup pun sontak membuka matanya. Sudah sangat lama Sintia selalu bersikap seperti itu. Tidak mau tahu bahkan tidak perduli dengan Reza. Sementara Reza hanya bisa menghela nafas atas setiap perilaku istrinya.
Bukan tanpa alasan Sintia bersikap itu. Dahulu orang tuanya selalu memanjakan Sintia dan selalu memenangkan Sintia. Sehingga kini ia tumbuh menjadi anak yang egois. Selain itu, Sintia juga merasa kesal sebab dulu ia ternyata dijodohkan oleh ayahnya.
Flash back On
Reza yang bekerja disalah satu perusahaan konstruksi saat itu memang sangat dipercaya oleh atasannya. Ia adalah Pak Eko Wijaya, pemilik Wijaya Grup. Perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi itu memang sudah dikenal dimana-mana. Selain memiliki nama yang sudah dikenal banyak orang, ternyata Wijaya Grup menggunakan bahan-bahan berkualitas untuk pembangunannya. Sehingga banyak orang yang selalu memakai jasa Wijaya Grup.
Saat itu Reza yang bekerja sebagai orang kepercayaan Pak Eko memiliki kinerja yang bagus saat berada dikantornya. Sejak awal Pak Eko memperhatikan Reza yang begitu pintar dan sopan terhadap orang yang lebih tua dari dirinya. Selain itu ia juga merupakan laki-laki yang sangat baik, sehingga Pak Eko pun berniat untuk menjodohkan putrinya yang bernama Sintia Azkya dengan Reza.
Hari itu beberapa saat setelah meeting selesai, tiba-tiba saja Pak Eko tidak sadarkan diri.
"Pak, pak anda kenapa?" tanya Reza yang begitu panik saat melihat atasannya tiba-tiba tergeletak. Semua orang pun tampak berkerumun melihat keadaan Pak Eko.
"Cepat telepon ambulan," ujar Reza yang segera mengangkat Pak Eko ke ruangannya, lalu ia baringkan diatas sofa yang ada diruangan itu.
Tidak berapa lama akhirnya ambulan itu datang, Pak Eko segera dilarikan ke rumah sakit. Dengan kecepatan tinggi mobil itu melaju. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Reza menghubungi Sintia untuk memberitahukan kondisi ayahnya.
Tidak berapa lama akhirnya, Pak Eko tiba dirumah sakit terdekat dan segera dibawa ke ruangan Unit Gawat Darurat (UGD). Untuk beberapa saat Pak Eko diperiksa. Beberapa saat kemudian akhirnya Sintia datang dengan penuh rasa khawatir.
"Bagaimana kondisi papah? Apa papah baik-baik saja?" tanya Sintia yang sedikit berlari menghampiri Reza.
"Beliau sedang dalam pemeriksaan dokter bu," jawab Reza.
"Kenapa semua ini bisa terjadi?" tanya Sintia lagi.
"Saya juga tidak tahu bu, tiba-tiba saja Pak Eko pingsan setelah meeting tadi," jawab Reza secara detail.
Beberapa saat kemudian, salah seorang perawat keluar dari ruang UGD.
"Permisi ada yang namanya Sintia dan Reza?" tanya perawat itu saat membuka pintu.
"Saya!" jawab Sintia tunjuk tangan.
"Saya!" timpal Reza.
"Anda dan Pak Reza diminta untuk masuk ke dalam ruangan," tukas perawat itu dan segera meninggalkan mereka.
"Ada apa Pak Eko memanggilku juga?" gumam batin Reza yang merasa tidak enak hati.
Tanpa membuang waktu Sintia dan Reza pun segera masuk ke dalam ruangan itu.
"Papah tidak apa-apa?" tanya Sintia yang langsung memeluk ayahnya.
"Ayah tidak apa-apa nak," jawab Pak Eko yang membalas pelukan anaknya. Meski terlihat begitu pucat, tapi Pak Eko berusaha kuat dan tetap tersenyum dihadapan anaknya.
"Ada satu hal yang papah minta, anggap saja ini permintaan terakhir papah," ujar Pak Eko lirih.
"Kenapa papah berbicara seperti itu, apa saja kemauan papah pasti akan aku usahakan," jawab Sintia yang merasa sedih dengan kata-kata ayahnya.
"Begini nak, papah ingin kamu menikah dengan Reza. Papah sangat yakin jika Reza adalah laki-laki yang bertanggungjawab.
Mendengar pernyataan papahnya membuat Sintia dan Reza saling pandang. Tapi tidak ada pembicaraan diantara mereka.
"Tapi kenapa harus dengan dia pah?" protes Sintia yang merasa tidak setuju dengan keputusan papahnya.
Sementara Reza tidak bisa berbuat apa-apa. Reza tidak bisa menolak permintaan atasannya sebab dia sudah begitu baik kepada Reza. Mungkin Reza akan menerima perjodohan ini sebab ia sangat menghormati Pak Eko yang sudah sangat baik kepadanya.
"Karena papah sudah tahu tentang sikap dan perilaku Reza nak, papah yakin jika Reza adalah laki-laki yang tepat untukmu. Papah akan merasa tenang jika kamu menikah dengan Reza nak. Uhuk.. uhuk.." setelah pembicaraan itu tiba-tiba Pak Eko batuk, keadaannya menjadi kritis kembali.
"Dokter! Dokter!" pekik Reza yang segera berlari keluar mencari dokter.
"Papah.." teriak Sintia yang merasa takut kehilangan papahnya. Sintia begitu menyanyangi papahnya karena semenjak ibunya meninggal, Sintia hanya tinggal berdua bersama papahnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!