Happy Reading!
"Diana!"
Seorang gadis berambut kepang menoleh ketika namanya diserukan, dari jauh berdiri dua sosok gadis yang berseragam kompak dengannya tengah melambaikan tangan ke udara.
Mereka mengambil langkah lebar usai memijak kaki bukit, sementara Diana hanya memasang senyum lebar menatap kedua sahabatnya yang sedang berlari ke arahnya.
"Bagaimana pemandangan di atas sana?" tanya Diana setelah dua gadis itu memberhentikan langkahnya dengan nafas memburu.
"Kau harus melihatnya sendiri, karena ..." kalimat gadis berambut pendek itu menggantung, ia menarik nafas sejenak sebelum kembali melanjutkan, "... karena sangat indah sampai aku tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata!"
"Leora benar! Dan kau jangan terus duduk merenung seperti orang yang menyimpan segudang masalah, ayo kau harus melihatnya sendiri!" salah seorang sahabatnya meraih tangan Diana dan membawa gadis berambut kepang itu ke tempat yang dimaksud.
Diana pun mengikuti langkah gadis berambut panjang yang tengah menggenggam pergelangan tangannya. Tak butuh waktu lama, kini sepatu Diana menapak puncak bukit yang tidak terlalu tinggi namun cukup menyaksikan hamparan sawah yang diembuni kabut tipis di atasnya.
Diana tercengang, ia menghirup dan menghembuskan nafas sejenak menikmati udara sejuk yang begitu menenangkan pikiran.
"Ini ..."
"... LUAR BIASA!" Teriak Diana seakan melepas segala beban hidupnya.
"Sudah kuduga, kemah tahun ini sangat menyenangkan! Aku ingin jika ini dilakukan yang kedua kalinya di tahun depan," harap salah seorang sahabat Diana yang bernama Clair.
Semilir angin menerpa wajah Diana dengan lembut, menerbangkan beberapa helai rambut coklatnya yang sedari tadi tertata rapi dalam bentuk kepangan. Pemandangan nampak begitu indah dengan langit berwarna keoranye-an yang dipancar setengah lingkar mentari yang bersembunyi di balik pegunungan.
"Hey,"
" ... "
"Hey kalian yang di atas!"
Sontak pandangan mereka tertuju pada asal suara, di bawah nampak seorang gadis tengah melambaikan tongkatnya mengisyaratkan mereka untuk turun.
"Ketua regu! Ayo kita ke sana!" Ajak Leora.
Segera mereka menghampiri ketua regu yang diam di tempat menatap kehadiran ke tiga anggotanya.
"Ayo, bantu yang lain membangun tenda, jika tak cepat maka kita akan tertinggal kegiatan selanjutnya," titah sang ketua yang kini memutar langkahnya menuju tempat ia mendirikan tenda. Tanpa sepatah kata pun, tiga sahabat itu menyusul langkah sang ketua dan memulai pembangunan tenda.
**********
Wajah Diana nampak keoranye-an tersorot pancaran cahaya api unggun yang menjadi satu-satunya penerang sekaligus penghangat di luar tenda, Diana mengulurkan tangannya yang terasa beku untuk memperoleh kehangatan, sesekali terdengar letupan api yang tengah melahap perlahan dahan-dahan kayu di bawahnya.
"Pukul berapa sekarang?" Clair mengutarakan pertanyaan, sepertinya tangan Clair yang menggenggam selimut tipis yang membalut tubuhnya terkunci oleh dingin yang menusuk.
"22.28," jawab Diana singkat setelah menyalakan ponselnya.
Clair menggigil, "udah ah, aku mau tidur, aku harap di dalam tenda terasa lebih hangat ketimbang disini." Clair melenggang pergi, meninggalkan Leora dan Diana yang masih diam di tempat.
Melihat kepergian Clair, Leora menyusul langkahnya, "Aku juga, aku harap malam yang dingin ini segera berakhir."
Usai mengambil beberapa langkah, Leora menghentikan kakinya, kemudian menoleh pada Diana yang masih setia di tempatnya, "kau tidak tidur?" tanyanya kemudian.
Pandangan Diana yang awalnya tertuju pada kobaran api kini teralih pada Leora, "tidak, aku masih belum mengantuk," tukasnya yang dibalas anggukan kecil oleh Leora.
"Kau harus tidur dibawah pukul 12 malam Diana, atau kau akan mendapat hukuman dari para guru," peringat Leora.
"Hm," balas Diana singkat dengan senyum simpul yang tersungging di bibirnya. Leora pun berucap salam sebelum ia kembali melangkah, memasuki salah satu tenda untuk berbaring di sana.
Senyap membalut suasana, hanya terdengar letupan api yang sibuk membakar habis kayu di dalamnya. Cukup lama Diana sendiri hingga akhirnya ia mulai merasa bosan dan kesepian. Diana bangkit berdiri kemudian tangannya merogoh, mengeluarkan sebuah senter kecil yang sedari tadi menetap dalam kantong piyamanya.
Dinyalakannya senter itu sebelum ia pergi menuju toilet yang lumayan jauh dari keberadaan tendanya.
Beberapa menit tersita untuk sampai ke toilet yang begitu sepi seperti tak berpenghuni. Kini, Diana memijak lantai keramik yang kotor, menyusuri ruang toilet tanpa pintu yang diisi jejeran kamar mandi di dalamnya.
Zrashh ....
Air mengucur deras kala Diana membuka kran wastafel yang digantung cermin di atasnya. Gadis itu membungkukkan badannya untuk mempermudah membasuh wajahnya dengan ukuran kran yang cukup kecil dan rendah.
Bruk!
Sontak, Diana menoleh ke sumber suara yang tak lain berada di luar toilet.
"Hallo?"
Hening.
Penasaran, gadis itu bergegas mematikan kran air yang menimbulkan kesunyian malam. Dengan sedikit takut, Diana mengarahkan cahaya senternya ke luar toilet, "hallo? Apa ada orang di luar??" Gadis itu melangkah senyap dan berhenti di ambang menyorot sekelilingnya dengan senter.
Tidak ada orang.
Lalu, suara apa tadi? Barang jatuh?
Ketakutan mulai menggerogoti Diana. Gadis itu takut di sini, namun ia juga takut kembali ke tenda menerobos gelap yang menanti di sana.
"AKH!" Diana menjerit seiring dengan senter yang ia pegang jatuh dan menggelinding ke semak-semak. Barusan ia merasa tubuhnya dipeluk oleh seseorang dari belakang. Namun tak didapatinya sosok apapun selain pemandangan toilet yang sama. Peluh dingin mulai membasahi sekitar wajahnya yang memasang mimik takut.
"Diana ...."
Diana membuka matanya lebar, kemudian beranjak duduk dengan dada naik turun, sementara matanya menatap kedua sahabatnya yang masih terlelap dengan nafas teratur.
Diana menghela nafas lega ketika menyadari bahwa itu hanyalah mimpi, tangannya bergerak menyeka keringat yang mengembun di dahinya lalu beralih mengambil sebuah botol sisa air mineral dari dalam tas dan menegaknya habis.
Sejenak, ia melirik ponselnya yang menunjukkan pukul 03.32 a.m
Tiba-tiba siluet laki-laki berhasil menarik pandangannya, Diana membelalak, pikirannya mencoba menebak laki-laki itu, namun nihil. Bila itu pembina, mana mungkin pakaian yang dikenakannya nampak seperti jas panjang dan tudung lebar dibelakangnya?
Srak, srak ....
Langkah kaki sosok itu terdengar sayup di telinga Diana. Ia begitu penasaran setelah meyakini bahwa sosok itu bukanlah salah satu anggota perkemahannya. Meski berbahaya, Diana tak urung membuka resliting tendanya dengan pelan usai sosok itu tak lagi nampak.
Kepala Diana menyembul keluar dan disambut udara dingin yang menusuk, sementara senter gadis itu menyorot sekeliling yang terhalang kabut tipis.
Tidak ada tanda-tanda selain api unggun yang padam, padam seperti seseorang yang sengaja menyiramnya dengan air. Hal itu terbukti dengan adanya bercak basah pada potongan kayu dan tanah yang lembab di sekelilingnya.
Diana bergegas membalut tubuhnya dengan jaket sebelum akhirnya melangkah pergi, mengikuti arah sosok itu menghilang.
Kini ia menyusuri hutan, sesekali tangannya berpegang pada batang pohon yang ia lintasi, ditambah langit yang masih diselimuti gelap membuatnya harus menajamkan penglihatannya dalam menapak timbunan tanah yang tak rata.
Srak!
"AKH!"
Bruk.
Diana jatuh? Tidak, jelas saat ini punggungnya bersandar pada sesuatu di belakangnya yang entah apa, sementara tangannya berpegang erat pada lengan yang dibalut kemeja panjang berwarna hitam.
"Telah sekian lama akhirnya aku menemukanmu, Diana."
...WHO IS HE?...
...To be continue ......
Visual Diana lain kali yah, sekalian kubarengin ama cowoknya aja :p
Happy Reading!
Seorang laki-laki tengah berdiri menghadap pemandangan, dirinya bergumam dengan mata terpejam seakan sedang berucap doa.
Beberapa waktu kemudian, ia berjongkok lalu mendaratkan bokongnya ke tanah yang ditumbuhi rumput pendek. Kakinya menyila, sementara matanya menatap kosong hamparan pegunungan di depannya.
"Rico, sampai kapan kau akan begini, huh?" seorang laki-laki datang dan duduk di sisi Rico, menatap wajah datarnya yang sama sekali tak menyambut kedatangannya.
"Sampai saat ini, Diana belum merespon tentang perasaanku padanya, aku sudah menunggu lama akan itu, tapi kapan ia akan memberiku jawaban??" ungkapnya, kemudian mengusap rambutnya frustasi.
Melihat kelakuan temannya yang sudah tak sabar, sebuah tangan mendarat ke pundak Rico dan menepuknya dengan pelan, "kau harus tanyakan padanya, kau tak boleh terus berdiam seperti ini, atau kau akan benar-benar menjadi gila," ucapnya dengan nada setengah mengejek.
Rico membawa pandangannya ketika tangan itu tak lagi bertengger di pundaknya, "begitu?"
"Tentu saja! Kau tidak boleh membiarkan dia menggantungkan perasaanmu, kau harus meminta jawaban yang pasti padanya."
Rico mengangguk pelan, sementara otaknya mengolah perkataan temannya barusan, "tapi ..." dialog Rico menggantung membuat mata lawan bicaranya kembali tertuju padanya, "... Aku belum siap jika dia mengatakan 'tidak' padaku."
Temannya bungkam, hanya helaan nafas yang terdengar di telinga Rico.
"Yah, kau harus siap, mau tak mau kau harus terima resikonya, dimana mana semua orang pasti mengalami sakit hati dalam dunia cintanya, dan itu wajar ..."
"Aish!" teman Rico mengibaskan tangannya di depan wajah membuyarkan pikirannya yang hendak melanjutkan nasehat, "... kenapa aku menasehatimu seakan kau orang yang baru pertama kali mengalami cinta?? Ah, lupakan! Intinya, kau harus siap menerima jawaban apapun dari Diana, jika 'iya' maka kau akan melanjutkan asmaramu, jika 'tidak' kau harus berhenti dan belajar melupakannya."
Rico hanya diam meresap semua pembicaraan teman dekatnya, "baik, kalau begitu aku akan tanyakan padanya," Rico mengangkat sebelah tangannya, "terima kasih atas semua sarannya, Key."
Kedua sudut bibir Key terangkat, namun tak urung ia menyambut 'tos' dari Rico.
"Aku yakin asmaramu tidak akan pernah gagal."
"Kenapa begitu?" Rico menautkan alisnya.
Key tertawa ganjil, ia menatap Rico sekilas, "bagaimana tidak? Kau itu laki-laki idaman di sekolah kita, rasanya mustahil jika Diana menolakmu."
Perkataan Key barusan mengundang tawa dari Rico yang mereda dengan senyum menetap, "kau bisa saja, aku tidak merasa begitu," ucap Rico seraya menahan senyum malu.
Key mengembangkan senyumnya, ia menatap Rico yang tengah menunduk sambil tersenyum malu, "itu! Itu juga sifatmu yang disukai di kalangan wanita, kau rendah hati!" kalimat Key berakhir dengan tawa.
"Apa-apa'an kau? Hentikan itu." raut kesal Rico nampak dibuat-buat.
Beberapa waktu kemudian, terdengar samar suara keributan. Ke dua siswa itu saling pandang sebelum akhirnya pergi untuk melihat apa yang terjadi.
...\=\=\=\=\=❤\=\=\=\=\=...
"Bagaimana ini?! Kemana dia pergi? Kenapa dia tidak mengabari kita lebih dulu??"
Lingkungan nampak begitu ramai, banyak diantara mereka yang memasang raut khawatir terutama Clair dan Leora, mereka begitu panik dan terus mencoba menghubungi ponsel Diana yang tak kunjung mendapat balasan.
Rico dan Key menerobos keramaian, ke duanya menatap para murid dengan bingung, hingga akhirnya pandangan Rico jatuh pada Leora dan Clair. Ia pun bergegas menghampiri ke dua gadis itu.
"Ada apa ini? Kenapa ramai sekali? Dan kenapa kalian hanya berdua? Dimana Diana?" tanya Rico setelah dekat.
"D-Diana ..." kalimat Leora menggantung, ia mengulum bibir bawahnya tak berani melanjutkan.
"Diana hilang!" sahutan Clair membuat Rico mematung tak bersuara. Sementara raut Key berubah terkejut, "h-hilang?? Bagaimana bisa??"
"Aku tidak tahu! Saat aku dan Leora bangun, Diana sudah tak lagi di tenda, kami pikir dia sedang jalan-jalan atau ke toilet, tapi ia tak kunjung kembali dan ia sama sekali tak menjawab telpon!" Clair bercerita dengan panik, " ... dan kami sudah mencarinya kemana-mana, tapi kami sama sekali tak menemukannya, begitu juga dengan yang lain."
Rico membelalak, tanpa sepatah kata pun ia melenggang pergi dengan langkah cepat yang disusul oleh Key di belakangnya.
"Hey! Kau mau kemana?" Key menjangkau lengan Rico.
"Mencari Diana, bodoh!" Rico menyibakkan lengannya, melepas genggaman Key dengan kasar. Laki-laki itu kembali memacu langkahnya dan mulai menyerukan nama Diana dengan pandangan meliar berharap sosok Diana terlihat di matanya.
...\=\=\=\=\=❤\=\=\=\=\=...
Diana merenggangkan otot-ototnya dengan mata yang masih mengatup. Gadis itu mengerjap, berusaha beradaptasi dengan cahaya sekitar.
"Apa ini? Nakas? Seingatku, aku tak punya nakas di kamar."
Sesaat kemudian, Diana terbelalak, gadis itu bangkit duduk menatap sekeliling yang nampak asing, sementara otaknya terus memaksa untuk berpikir dan mengingat yang sebelumnya terjadi.
Flashback ON
Diana mendongak ke samping, menatap pria asing di belakangnya. Tanpa permisi, pria itu membalik tubuh Diana, mendekapnya dengan erat dan menempelkan bibirnya pada bibir Diana yang sedikit terbuka.
Perlawanan mulai diperoleh pria itu, Diana mendorong kuat dada bidang pria di depannya. Namun kenyataan tak sesuai harapannya, dekapan pria itu malah semakin erat membuat Diana tidak bisa bernafas.
Berselang detik kemudian, mata Diana terpejam, perlahan tenaganya sirna seiring dengan tubuhnya yang melemas hingga akhirnya tumbang dan ditahan oleh lengan kekar pria itu.
Flashback OFF
Tangan Diana terangkat, ujung jemarinya menyentuh samar bibirnya yang sudah dinodai oleh pria asing.
Kesal dan takut bercampur aduk, ia kesal atas perlakuan yang diberikan atas dirinya dan takut pada yang terjadi di hadapannya, dimana ia menempati suatu kamar asing yang sekiranya milik pria itu.
Teringat akan sesuatu, Diana meraba setiap kantong pakaiannya, mencari benda kotak hitam yang biasanya menetap di dalam sana. Namun tak didapatinya ponsel itu, segera Diana beranjak turun menuju ke setiap meja, laci ataupun lemari yang ada di ruangan itu dan hasilnya tetap nihil.
"Dimana ponselku?!" gumamnya panik, kemudian alisnya berkerut bingung, "masa iya ponselku ada pada pria itu?" Diana berucap tak percaya.
Beberapa saat kemudian, terdengar samar suara televisi yang tengah menyala. Dengan senyap, Diana menghampiri pintu ruangannya seraya menempelkan daun telinganya pada pintu tersebut, mencoba menangkap suara yang ada di balik sana.
Hm, jelas sekali itu suara televisi. Diana kembali ke posisinya, otaknya mencoba berpikir bagaimana ia bisa keluar dari ruangan ini dan mendapatkan kembali ponsel miliknya yang entah dimana.
Tiba-tiba Diana menemukan sesuatu, dimana ia menemukan lubang kunci pintu yang menembus ke luar.
Diana berlutut, sebelah matanya tertutup berusaha semampu mungkin untuk melihat keadaan di luar sana. Yah, tidak ada apapun selain dinding berwarna coklat, sepertinya kamar ini berada di koridor yang memungkinkan dirinya untuk keluar dengan aman.
Perlahan tapi pasti, Diana membuka pintu dengan senyap, dan sesuai dugaannya, kamar ini terletak di koridor. Diana mengintip dari balik dinding, matanya menangkap sosok pria berjubah hitam tengah duduk di sofa menatap sajian acara televisi.
Pria yang tak lain adalah pelaku yang menculik Diana sama sekali tak menyadari adanya gadis yang tengah memperhatikannya dari jauh. Pikiran Diana bertanya-tanya, 'siapa pria itu?', 'apa alasannya menculik Diana ke rumahnya?', dan masih banyak lagi.
Pandangan Diana jatuh pada benda yang sedari tadi ia cari tergeletak di atas meja makan yang berada di belakang sofa ruang tamu.
Dengan segera, Diana kembali melangkah, mengendap-endap layaknya pencuri yang mengincar sasarannya.
Peluh mulai membasahi wajah Diana, gadis itu sengaja menggigit bibir bawahnya berusaha tak bersuara sedikitpun. Ketakutan yang begitu menghantam dirinya membuatnya gemetar meski hanya menjangkau ponsel.
Saat ponsel itu berada dalam genggamannya, ia mendengus lega, "paling tidak ponsel ini ada di tanganku" batinnya.
Tiba-tiba ponsel Diana berdering, seketika tubuhnya menegang, dan bibir yang sebelumnya ia gigit kini terbuka seiring dengan matanya yang membulat. Jangankan menoleh, bernafas saja gadis itu takut jika sampai terdengar pria asing di belakangnya.
"Kau sudah sadar, rupanya."
...WHO IS HE?...
...To be continue ......
Visual Rico guys :p
Happy Reading!
Diana menjerit nyaring, gadis itu berlari menuju pintu yang terbelah dua dan terletak tak jauh dari keberadaannya. Karena ia yakin, pintu itu pasti jalan utama keluar dari rumah ini.
Namun, ia sudah mencoba membukanya beberapa kali bahkan dengan sekuat tenaga sekalipun, pintu itu tidak tergerak atau memberi celah sedikitpun untuknya.
Tangan Diana bergetar hebat, matanya meredup takut, ia merasa jiwanya sudah diujung tanduk, suasana yang hening terasa begitu mencekam meski cahaya mentari cukup terang di ruangan itu.
"Mau kemana pagi-pagi begini?"
Spontan Diana berbalik, punggungnya sedikit mendobrak pintu ketika suara berat itu kembali mengalun.
Pria bertubuh tinggi dengan pakaian serba hitam yang melekat di tubuhnya, tengah berdiri dengan jarak beberapa meter darinya. Ia memasang ekspresi yang sulit ditebak, sementara kedua tangannya ia simpan dalam saku jubahnya.
"S-siapa kau?!" Diana menunjuk pria itu dengan tangan gemetar, "mau apa kau membawaku kemari huh?!!" bentak Diana memberanikan diri.
Pupil Diana bergetar, lalu teralih pada sebuah payung yang ditaruh tak jauh dari tempat ia berdiri. Dengan segera, tangannya menyambar payung itu dan mengarahkannya ke hadapan pria yang sama sekali tak merubah posisinya.
"Mau apa kau? Keluarkan aku dari sini selagi payung ini tak melayang ke arahmu," ancam Diana dalam gumaman namun mengalun jelas di telinga pria itu.
Senyap kembali menengah sebelum kaki pria itu melangkah maju dari posisi sebelumnya dan terhenti oleh teriakkan Diana.
"Aku peringatkan kau sekali lagi untuk diam di sana dan jangan coba-coba mendekatiku," lagi-lagi Diana melayangkan ancaman, sebelah tangan Diana meraba ganggang pintu mencoba mengotak-atik berharap menemukan kunci yang melekat di sana.
Pria itu menghela nafas pelan, raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan rasa takut pada ancaman gadis itu, "letakkan payung itu, Diana," titahnya dengan nada tenang.
Diana menggeleng cepat dengan dadanya naik turun, sementara matanya terus melekat pada pria di depannya, mengawasi bila ada gerak-gerik yang mencurigakan.
Mata Diana beradu cukup lama dengan tatapan dingin nan tajam milik pria itu. Kini keberanian Diana telah sirna, matanya sudah tak mampu menatap mata pria asing itu yang lama kelamaan membuat dirinya semakin tercekat. Diana menggedor-nggedor kencang pintu itu seraya berteriak minta tolong meski dengan suara yang gemetar.
Melihat tindakan Diana, pria itu memajukan langkahnya mempersempit jarak diantara mereka.
Diana meluruh duduk, tangisnya pecah di ruangan itu, ia sudah menyerah akan ini. Tenaganya benar-benar habis dimakan ketakutan yang luar biasa.
Pria itu menekuk lutut, menatap Diana yang sudah tak berkutik dengan suara tangisnya. Perlahan tangannya terangkat, menyelipkan helaian rambut yang menutupi wajah Diana ke belakang telinga, membuat darah gadis itu berdesir hebat.
"Aku tak mengerti kenapa kau begitu takut padaku, apa yang membuatmu begini? Apa karena kita sudah terlalu lama untuk bertemu?" pria itu menatap sendu, "maafkan aku, harus menurunkanmu ke bumi dan membiarkanmu sendirian di sini."
Diana sama sekali tak mengerti apa yang didengarnya barusan, ia terlalu takut untuk mempertemukan matanya dengan manik mata pria itu, "pulangkan aku, aku tidak mau disini ... tolong jangan bunuh aku ..." Diana berucap lirih yang sama sekali tak mendapat balasan dari pria itu.
Alis tebal milik pria dengan nama Ronald Sean Blaxland mengernyit samar. Ia menghela nafas sejenak sebelum akhirnya kembali membuka suara, "aku akan memulangkanmu jika memang itu yang membuatmu tenang," ucapnya kemudian.
Diana melirik sekilas pria di sisinya, entah kenapa timbul perasaan aneh ketika dirinya berdekatan dengan Sean.
"Tapi setidaknya ..." Sean menggenggam lembut tangan Diana, meluruskan jemari lentik itu sebelum ia menyematkan sebuah cincin silver ke jari manis Diana.
Tangis Diana mereda, matanya menatap lekat cincin itu yang sangat pas di jarinya, ia sama sekali tak berontak ataupun menolak pemberian cincin itu. Diana akui, benda ini memang indah dengan ukiran yang unik, namun itu sama sekali tak menghapus emosi atas perilaku pria itu yang sudah menculik dan menodai bibirnya.
" ... setidaknya cincin itu selalu terpasang di jarimu walaupun kita tak bertatap mata." Sean menyungging senyum kecil di wajahnya.
"Sekarang kau bisa pulangkan aku?" Diana mendongak ke samping dengan pelan, tangannya mencengkeram erat ujung pakaiannya yang sejak tadi belum diganti.
Ekspresi Sean berubah datar, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Diana dengan alunan lambat membuat kepala gadis itu menempel erat pada pintu yang tadinya sempat ia gedor.
Tangan pria itu mengusap rambut Diana yang sudah berantahkan, "jangan sampai kau berhubungan dengan pria lain selain diriku, Diana, jagalah hati suamimu ini. Aku akan selalu mengawasimu dimanapun kau berada."
Mata Diana membesar usai Sean melontarkan kalimat terakhirnya. Tiba-tiba Diana disilaukan oleh cahaya putih yang begitu terang hingga memaksa matanya untuk terpejam dengan erat.
Berselang detik kemudian, Diana membuka matanya ketika cahaya itu sudah tak lagi menyorot penglihatannya. Tiba-tiba saja dirinya sudah berada di kamar yang tak lain adalah miliknya sendiri, ia duduk di tengah ranjang dengan tubuh membatu.
"Dia bukan manusia ...?"
Tring.
Ponsel Diana berdering kala mendapat notifikasi pesan dari nomor yang tidak dikenal. Penasaran, jempol gadis itu menyentuh pesan nomor tersebut.
JAGA KESEHATANMU DIANA. AKU AKAN SELALU MENGIRIM MAKANAN UNTUKMU
^^^DARI MANA KAU TAHU NOMORKU??^^^
LUPAKAN SOAL ITU, AKU TAK INGIN JIKA SAMPAI KAU MELEPAS CINCIN ATAUPUN ENGGAN MEMAKAN MAKANAN DARIKU.
JIKA KAU LAKUKAN ITU, KAU AKAN KUHUKUM!
"Memangnya kau siapa huh?! Berani-beraninya mengatur kehidupanku!" maki Diana lalu membanting ponselnya ke ranjang disusul hentakkan tubuhnya ke kasur dan berakhir menutup sekujur tubuh dengan selimut putih.
"Apa yang sebenarnya terjadi padaku?" lirihnya dalam kegelapan.
Senyap sempat menengah sebelum akhirnya pecah oleh alunan dering ponsel. Diana menyibakkan selimutnya, tanpa sepatah kata pun ia mengangkat panggilannya yang tertera nama LEORA lalu menempelkan layar ponselnya pada daun telinga kiri.
"Diana! Kau baik-baik saja?! Dimana kau?! Katakan padaku!"
Diana sedikit menjauhkan ponselnya ketika seruan Leora terasa mendobrak gendang telinganya, "Leora, aku ..."
"Katakan yang benar! Kau dimana, huh?! Cepat kirim lokasinya, aku akan menjemputmu dan menghajar habis-habisan si penculik itu!"
Diana mencoba untuk bicara namun suaranya terus tertahan oleh suara Leora yang dilanda panik nan khawatir.
"Leora ... Aku di rumah--"
"Di rumah?! Jangan bercanda! Setelah dirimu menghilang, sekolah kita memutuskan untuk membubarkan kemah dan memulangkan kita semua! Dan kau, kau pulang diam-diam??"
"A-aku--"
"Kami semua khawatir, Diana! Dan kenapa kau tidak mengangkat telpon kami sama sekali?? Kau sengaja membuat kami khawatir, huh?!"
"Leora, maafkan aku! Ini bukan saatnya untuk membicarakan itu, sekarang aku baik-baik saja. Aku ingin kita bertemu, ada hal yang ingin kubicarakan, ini sangat penting!" sahut Diana langsung, seketika jantungnya berdegup kencang ketika kepalanya terlintas kejadian aneh yang baru dialaminya. Di sisi lain, ia sangat bersyukur pria itu tidak melakukan hal lebih selain berciuman.
"B,baik, kita bertemu di Coffee Shop, dan aku akan mengajak Clair."
Diana mengangguk sebelum akhirnya memutus panggilan dan beranjak pergi hanya dengan jaket yang sebelumnya ia gantung di belakang pintu kamar.
...WHO IS HE?...
...To be continue ......
Visual Clair guys :3
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!