Naina adalah seorang gadis miskin. Dia seorang gadis yang lugu dan juga polos. Dia memiliki wajah yang manis dengan mata indah dan tatapan yang teduh membuat semua orang yang melihatnya merasa damai.
Dia tinggal disebuah perkampungan yang jauh dari keramaian orang banyak. Ibunya seorang janda, beliau sudah berusia lebih dari kepala lima. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Kegiatan sehari harinya hanya mengurus kebun yang terletak di samping rumahnya. Kebun yang tidak begitu luas namun cukup untuk menutupi kebutuhan mereka.
Mereka berdua hidup dengan sangat sederhana dan apa adanya. Keadaannya yang serba kekurangan membuat Naina hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah menengah pertama itupun dengan susah payah sang Ibu berjuang menyekolahkan nya.
Naina tidak pernah sedikitpun mengeluh dengan keadaannya. Dia selalu membantu ibunya berkebun dan menjual hasil kebun mereka ke pasar. Kemudian hasil penjualan itu ia belikan beras serta lauk pauknya untuk dimasak.
"Bu hasil kebun hari ini lumayan banyak, ya! Kita bisa beli beras dan juga ikan, untuk kita masak hari ini." ucap Naina pada ibunya seraya memasukan sayuran hasil panen mereka kedalam keranjang.
"Alhamdulillah, Nak. Cepat bawa kepasar, gih..." sahut Ibunya sambil tersenyum seraya mendorong tubuh anaknya dengan lembut.
Naina pun tersenyum sambil berlalu membawa keranjang yang berisi hasil panen mereka. Naina berjalan menuju pasar yang lumayan jauh dari rumahnya.
Sesampainya di pasar, Naina langsung menuju toko yang sudah biasa menjadi langganannya.
"Pagi, Bu Retno... " sapa Naina pada wanita penjual sayur yang biasa membeli hasil panennya untuk di jual kembali.
"Pagi, Naina sayang! Wah... hasil panen mu hari ini banyak juga ya..." seru Bu Retno.
" Iya bu... Alhamdulillah. " sahut Naina sambil tersenyum.
Setelah bertransaksi, Naina pergi ke toko lain untuk membeli beras dan ikan yang akan ia masak setibanya dirumah nanti. Setelah selesai membeli kebutuhan masaknya, ia kembali berjalan menuju pulang.
Naina kembali jalan kaki menuju rumahnya dan sesampainya didepan rumahnya, Naina disambut oleh sang Ibu yang sedari sudah menunggunya.
"Bagaimana, Nak? Apa uangnya cukup untuk membeli beras dan ikan?..." tanya sang Ibu,
"Iya, Bu. Alhamdulillah cukup... hari ini Naina akan masak enak buat kita..." kata Naina seraya mencium punggung tangan Ibunya.
Naina bergegas ke dapur dan dengan lincahnya ia memasak bahan makanan yang ia beli tadi. Dan setelah beberapa saat, masakannya pun sudah siap disantap. Naina segera memanggil Ibunya untuk makan bersama. Merekapun makan dengan lahap nya, apalagi sang Ibu yang sudah sangat lapar karena sejak tadi pagi dia hanya mengurus kebun mereka.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, Mereka duduk bersantai diteras rumah sambil melihat sekeliling rumah. Angin sepoi sepoi meniup rambut Naina yg indah tergerai. Rumah mereka memang kecil dan sudah tua namun tetap nyaman buat mereka tinggali. Rumah itu adalah satu satunya peninggalan almarhum Ayahnya.
Tak ada televisi atau radio yang menjadi hiburan mereka. Tapi mereka tak pernah terdengar mengeluh ataupun bersedih. Mereka menghabiskan waktu mereka dengan bersenda gurau antara Ibu dan anak.
Di saat mereka sedang asyik mengobrol tiba-tiba Bu Lastri datang. Bu Lastri adalah tetangga mereka, beliau tinggal tidak jauh dari rumahnya. Bu Lastri inilah yang sering membantu mereka disaat sedang kesusahan.
"Assalamualaikum... Kalian nampak serius sekali, membicarakan apa sih?!" ledek nya seraya ikut duduk di samping Naina sambil mengelus rambut Naina yang indah.
Naina tersenyum " Wa alaikum salam, Bu Lastri. Apa kabar, Bu? Tumben siang-siang begini ibu kemari... Ibu gak kerja, ya?" tanya Naina.
Bu Lastri bekerja sebagai pelayan dirumah seorang Pria kaya dengan gajih di atas rata rata pelayan pada umumnya.
"Bekerja kok, Sayang! Tapi Ibu sudah minta izin sama kepala pelayan untuk kembali. Ada yang ingin Ibu bicarakan sama kamu, Naina. Begini, Bu Juli ingin mencari pelayan tambahan karena pelayan yang dulu berhenti. Jadi Ibu coba-coba tawarkan pekerjaan ini kepada mu, siapa tahu kamu berkenan bekerja bersama Ibu dirumah itu." tutur Bu Lastri.
Naina melihat kearah Ibunya. Raut wajah Naina saat itu seperti meminta izin kepada Ibunya untuk ikut bekerja bersama Bu Lastri. Ibunya mengerti keinginan putrinya itu, iapun tersenyum, "Semua terserah Naina saja..." ucap sang Ibu.
Naina mengangguk dengan cepat tanda ia setuju bekerja sebagai seorang pelayan dirumah itu. Dengan harapan, ia bisa memperoleh uang lebih untuk ia dan Ibunya. Sehingga Ibunya tidak perlu bersusah payah lagi mengurusi kebun mereka.
"Baiklah kalau begitu, nanti Ibu bilangin sama Bu Juli kalau kamu bersedia bekerja disana. Maaf ya, Sayang. Ibu gak bisa lama-lama karena pekerjaan Ibu masih banyak, Ibu permisi dulu, ya! Assalamualaikum..." ucap Bu Lastri.
"Waalaikum salam..." jawab mereka bersamaan.
***
Sore harinya Bu Lastri datang lagi, dia mengatakan kalau Naina sudah bisa bekerja mulai besok. Naina terlihat sangat senang. Senyumnya selalu terpancar dari wajah cantiknya.
"Besok, pagi-pagi sekali kerumah Ibu ya, Nak! Biar kita barengan kerumah besar itu." ucap Bu Lastri.
" Iyaa, Bu..." sahut Naina seraya mengangguk.
Bu Lastri pun pamit pulang kepada mereka.
***
Pagi-pagi sekali Naina sudah bangun. Setelah selesai sholat subuh dan memasak untuk mereka. Iapun segera mempersiapkan diri untuk mulai bekerja hari ini.
"Semangat!!! " ucapnya dalam hati.
Ia mengepang rambutnya menjadi dua dan memakai pakaian yang sudah sangat bagus menurutnya. Orang miskin seperti dia tidak mungkin bisa beli baju bagus dan mahal. Sekedar bisa buat makan pun dia sudah sangat bersyukur.
Baju yang ia pakai hanya baju kaos lengan panjang yang sudah lama ia beli saat lebaran beberapa tahun lalu. Dengan sebuah rok lebar dan panjang sebagai bawahan nya.
Jika dilihat penampilan Naina nampak culun namun wajah cantiknyanya tetap berbinar.
Setelah sarapan, Ia segera pamit kepada Ibunya. Ia berjalan menuju rumah Bu Lastri sambil sesekali berdendang riang. Sesampainya dirumah Bu Lastri, ternyata Bu Lastri sudah menunggunya.
"Assalamualaikum, Bu..." sapa Naina seraya mencium punggung tangan Bu Lastri.
"Wa alaikum salam, Naina. Oh ya, Naina... pekerjaan mu dirumah itu hanya yang ringan-ringan saja. Paling membersihkan rumah dan membantu tukang kebun menyiram serta membersihkan taman di samping rumah besar. Juga membantu tugas pelayan yang lebih senior ketika pekerjaan mereka menumpuk." ucap Bu Lastri.
" Iya, Bu... " sahut Naina sembari mengangguk.
" Oh ya, dan satu lagi! Kamu tau kan Bu Juli, Dia itu sangat galak jadi kalau ia menyuruh-nyuruh mu, ikuti saja dan jangan membantah..." sambung Bu Lastri dan di ikuti anggukan oleh Naina.
Bu Juli adalah seorang wanita yang galak dan karena itu ia dijadikan sebagai Kepala pelayan dirumah itu. Ia seorang wanita bujang lapuk yang belum menikah di usianya yang sudah menginjak kepala empat. Tak ada laki laki yang berani mencoba mendekatinya.
"Ehm, Bagaimana dengan Tuan muda," ucap Naina namun segera dipotong oleh Bu Lastri.
"Ssstttt... Sebaiknya tidak usah membahas tentang dirinya. Dia itu orangnya dingin dan sangat menakutkan. Jangan sampai melakukan kesalahan sedikit pun di depannya, bisa-bisa kita langsung di pecat. Cukup tundukan kepala saat melihatnya, karena Tuan Muda tidak suka di tatap." sambung Bu Lastri, kemudian Naina pun mengangguk.
Merekapun berjalan menuju pasar, yang biasa dikunjungi Naina untuk menjual hasil kebunnya. Disana ada angkot yang bisa mengantarkan mereka ke tempat tujuan.
...***...
Sesampainya dirumah besar, Naina ternganga melihat rumah itu. Rumah yang sangat besar dan juga mewah.
Ia sama sekali tak pernah melihat rumah yang sebesar ini. Karena memang Naina tidak pernah kemana-mana selain rumah, kebun dan pasar. Bahkan sekolahnya pun tak berada jauh dari perkampungannya.
"Sini ikuti Ibu... " kata bu Lastri sambil menggandeng tangan Naina dan membawanya ke belakang rumah menuju dapur utama.
Sesampainya di dapur utama Naina kembali tercengang meliat dapur yang begitu luas entah berapa kali lipat dari rumahnya.
Mereka menghampiri Bu Juli yang sedang mengatur tugas para pelayan.
" Bu... Bu Juli, ini Naina yang saya ceritakan kepada Bu Juli kemarin" kata bu Lastri seraya memperkenalkan Naina kepada Bu Juli.
Bu Juli memperhatikan Naina secara detail mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut. Naina hanya bisa tersenyum kepada Bu Juli yang terus menatapnya dengan tatapan sinis.
Bu Juli melihat ke arah Naina sambil memutari tubuh mungilnya. "Apa kau yakin mau bekerja disini? Disini peraturannya sangat ketat dan sedikit saja kau membuat kesalahan, aku tidak akan sedikitpun mengampuni kesalahan mu. Aku juga tak akan segan-segan menendang mu dari rumahmu ini!" tutur Bu Juli sambil memandang remeh kepada gadis kampung itu.
Naina pun mengangguk sambil menundukkan kepalanya.
"Kalau aku ngomong liat kearah ku!!!" bentak bu Juli membuat Naina gelagapan.
"Iy-iya, Bu..." sahut Naina ketakutan.
"Bagus! Dan kau Bu Lastri, jelaskan semua pekerjaan yang harus dilakukannya!" ucapnya seraya berlalu dengan gaya angkuhnya.
"Ya Tuhan, dia menakutkan sekali..." batin Naina.
Bu Lastri menghampiri Naina yang wajahnya terlihat pucat.
"Sudah, jangan di ambil hati. Nanti kamu bakal terbiasa, kok dengan sikap angkuhnya itu... " ucap Bu Juli seraya tersenyum sambil merengkuh bahu Naina.
Naina pun mengangguk dan membalas senyuman Bu Lastri.
Naina melakukan tugas nya dengan baik hari ini. Dia membersihkan rumah besar itu tidak sendiri masih ada beberapa pelayan yang juga sama seperti dirinya. Namun diantara banyaknya pelayan yang ada dirumah itu tak ada satupun yang mau berteman dengannya.
Beberapa kali Naina mencoba menyapa mereka, namun tak ada satupun yang merespon. Mereka terlihat enggan bahkan tersenyum pun tidak.
Waktu istirahat siangpun tiba, Ia dan bu Lastri beristirahat di rumah belakang sambil memakan jatah makan yang dibagikan oleh Bu Juli.
Rumah belakang adalah rumah yang khusus disediakan untuk para Pelayan, Sopir pribadi Tuan Muda dan juga tukang kebun.
Mereka yang rumah nya jauh dari rumah besar bisa menginap disana. Tetapi tidak buat Naina dan Bu Lastri, mereka lebih memilih untuk pulang kerumah mereka masing-masing.
Setelah selesai makan siang dan beristirahat, mereka pun kembali pada kesibukan mereka masing-masing.
Naina masih berjibaku dengan pekerjaannya walaupun dengan keringat yang bercucuran di keningnya, ia tetap semangat mengerjakannya.
Sesekali Bu Juli mengawasi pekerjaannya, Ia tidak ingin gadis itu melakukan kesalahan. Namun Bu Juli tidak menemukan satu kesalahan pun yang bisa menjadi alasan untuk memarahi gadis kampung itu.
Entah kenapa Bu Juli merasa sangat tidak suka dengan gadis kampung itu, wajahnya yang terlihat polos dan lugu itu membuat ia berpikir jangan-jangan semua itu hanya kedok saja.
Tak terasa matahari sudah mulai menyembunyikan sinarnya. Saatnya mereka pulang, dengan semangat Naina berjalan menghampiri Bu Lastri.
"Bu, mari kita pulang!" ajak Naina dengan senyum yang selalu menempel di bibir mungilnya.
Bu Lastri menggandeng tangan Naina dan berjalan bersamanya. Bu Lastri sudah menganggap Naina seperti anaknya sendiri. Karena Bu Lastri juga memiliki seorang anak gadis yang seumuran dengan Naina, yang sedang kuliah di sebuah Universitas di Kota XX.
Anak bu Lastri menyewa tempat tinggal di sebuah kos-kosan di kota itu, itulah sebabnya mengapa Bu Lastri harus bekerja keras mencukupi kebutuhan anaknya yang memerlukan biaya tidak sedikit. Sedangkan suaminya hanya seorang petugas kebersihan di sebuah sekolahan di kampungnya.
Akhirnya Naina sampai dirumahnya. Di depan rumah sudah ada ibunya yang sedang menunggu kedatangannya. Naina langsung berlari kecil kearah Ibunya dan mereka pun saling berpelukan. Maklumlah Ibunya tidak pernah berpisah dengan anak gadisnya itu sekalipun. Lagipula hari ini adalah hari pertama anak nya bekerja di rumah besar itu.
Mereka masuk kedalam rumah yang sudah terang bercahayakan lampu tembok. Keadaan mereka yang hanya mengandalkan kebun kecil itu untuk kebutuhan hidup, sangat tidak memungkinkan mereka untuk memasang listrik di rumah itu. Apalagi untuk membayar iuran tiap bulannya.
Naina masuk ke kamar mandi yang hanya berdindingkan anyaman bambu. Iapun segera mandi dan membersihkan dirinya.
Setelah selesai mandi, ia masuk kedalam kamarnya dan berpakaian kemudian segera sholat.
Malam itu mereka makan malam lauk pauk seadanya namun begitu mereka tetap menikmatinya dengan rasa syukur.
Mereka berpikir masih banyak yang hidup lebih susah dari mereka. Beruntung bagi mereka masih bisa makan dua atau tiga kali sehari sama seperti orang pada umumnya. Walaupun makanan yang mereka makan tak seenak orang lain.
Setelah selesai makan mereka berbagi cerita hari ini. Apalagi Naina yang dengan antusiasnya menceritakan pengalaman pertama ia bekerja dirumah itu. Ia menceritakan betapa besar dan megahnya rumah majikannya.
Banyaknya orang yang bekerja disana. Ada yang sebagai pelayan, Tukang kebun, Sopir pribadi dan para petugas keamanan di rumah itu. Ia juga tidak lupa menceritakan tentang Bu Juli yang angkuh dan sombong juga galak itu. Semua pelayan tak ada yang berani membantah perintahnya.
Bu Sumi hanya tersenyum melihat anaknya bercerita panjang lebar. Ia sebenarnya sedih karena tak bisa menyekolahkan Naina hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Seandainya Naina mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, mungkin gadis itu akan menjadi orang yang sukses, bukan malah menjadi seorang pelayan seperti sekarang ini.
Bu Sumi memandangi anaknya dengan tatapan sedih sekaligus senang. Senang karena anak gadisnya itu terlihat begitu menikmati pekerjaannya barunya.
Tak terasa malam semakin larut, Naina yang tadinya bercerita dengan berapi api kini terlihat lelah dan mulai mengantuk.
Kemudian Naina pamit sama Ibunya karena besok ia harus bangun pagi lagi untuk bekerja.
"Bu, mata Naina sudah mengatuk..." sambil mengucek matanya. "Naina masuk duluan ya... Besok Naina harus kembali bekerja lagi."
Naina meraih tangan Ibunya kemudian ia mencium tangan yang sudah mulai keriput itu.
"Iya nak... tidurlah. Nanti kau bisa terlambat bangun kalau tidurnya kemalaman." sahut Bu Sumi sambik mengelus lembut kepala anaknya.
"Dah, Bu! Assalamualaikum." ucap Naina kemudian berjalan menuju kamarnya.
"Wa alaikum salam... " sahut Bu Sumi sambil memandangi anak gadisnya yang berjalan menjauh dan hilang dari pandangannya.
Bu Sumi kemudian berjalan menuju kamarnya dan Ia pun merebahkan tubuh rentanya ke kasur yang sudah menipis dan lusuh itu. Tak lama kemudian iapun tertidur dengan nyenyak nya.
...***...
Arjuna Wijaya Kusuma seorang lelaki dewasa yang sudah berumur lebih dari kepala tiga. Dia belum menikah di usianya yang sudah sangat matang.
Banyak wanita yang tergila-gila padanya, selain tampan ia juga kaya raya. Ia merupakan seorang pewaris tunggal dari keluarga besar Wijaya Kusuma.
Arjuna adalah pemilik dari perusahaan Kusuma group, Perusahaan terbesar di negara itu dengan cabang dimana-mana, bahkan sampai keluar negeri.
Kedua orang tuanya, Tuan dan Nyonya Kusuma sudah lama meninggal karena kecelakan yang menimpa mereka. Saat itu Juna masih kuliah. Juna sangat frustasi saat itu, Ia merasa sangat hancur karena Ia benar-benar sendirian. Tak ada satupun keluarganya di dunia ini, hanya dia seorang diri.
Tetapi di saat keterpurukan nya, seseorang bernama Gabriel, yang usianya lebih tua darinya, mengabdikan seluruh hidupnya untuk Arjuna sang Tuan Muda.
Dia menjabat sebagai sekretaris sekaligus sahabat dan juga kakak untuk Arjuna.
Selama ini Gabriel lah yang membantunya bangkit dari keterpurukan. Dengan sedikit bantuan dari Gabriel, Juna mulai bisa mengurus semua perusahaan orang tuanya. Hingga semakin sukses seperti sekarang.
Pada suatu hari, Juna bertemu seorang wanita yang bernama Celline. Celline adalah seorang model yang baru memulai karirnya.
Celline tak sengaja menabrak tubuh kekar Juna saat ia membawa minuman dingin di tangannya dan menumpahkan nya di Tuxedo mahal Arjuna.
Arjuna sangat kesal itu, namun tiba-tiba ia melunak saat Celline menghiba dan meminta maaf kepadanya.
Juna seolah terhipnotis dengan kecantikan wanita yang ada dihadapan nya saat itu. Wajahnya yang cantik sempurna, tubuh langsing dan kaki yang jenjang dengan kulit putih mulus menambah kesempurnaan wanita itu. Apalagi ketika Juna melihat senyuman pertama Celline.
"Sangat Cantik!!!" Batin Juna
Tidak berselang lama setelah pertemuan itu, mereka mulai menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Juna sangat menyayangi Celline melebihi dirinya sendiri. Celline sangat manja, apapun yang diinginkan Celline selalu dipenuhi oleh Juna.
Celline selalu mengajak Juna untuk berbelanja. Membeli semua barang branded kesukaannya. Tas, sepatu, pakaian bahkan sampai aksesoris pun ia selalu minta yang branded.
Hingga pada suatu hari, Juna ingin memberikan surprise untuk kekasihnya. Ia membawakan sebuah kotak berwarna merah berbentuk hati yang didalamnya terdapat sebuah cincin bertahtakan berlian. Juna bermaksud ingin melamar Celline saat itu.
Dengan cepat Juna berjalan menyusuri partemen kekasihnya itu. Ketika ia membuka pintu kamar Celline, Juna menemukan Celline bersama lelaki lain sedang memadu kasih di tempat tidurnya.
Juna sangat marah, ia benar benar syok. Dia tidak menyangka kekasih pujaan hatinya tega melakukan hal itu dibelakangnya. Selama dua tahun berpacaran, ia sama sekali tidak pernah melihat ada kejanggalan dalam hubungan mereka.
Celline dan pria itu terkejut melihat kedatangan Juna secara tiba-tiba. Tetapi saat itu celline lebih memilih lelaki disampingnya, dari pada juna yang sudah menjadi kekasihnya selama dua tahun. Entah apa alasannya hanya dia yang tahu.
Celline memeluk pria yang masih bercucuran keringat itu, mereka masih sama sama bertubuh polos tanpa sehelai benang pun.
Juna tidak tahan melihatnya, ia lebih memilih kembali ke perusahaannya daripada harus berdebat dengan lelaki itu. Ia masuk ke ruang kerjanya dan melemparkan cincin yg tadi ia bawa untuk dipersembahkan kepada Celline.
Ia berteriak-teriak di ruangan itu. Gabriel hanya bisa menundukkan kepalanya ketika melihat Tuan nya kembali hancur seperti dulu. Seperti saat ia kehilangan kedua orangtuanya.
Setelah kejadian itu, Juna benar-benar berubah, ia menjadi dingin, pemarah dan juga kejam. Dia bahkan tidak segan-segan menghukum orang yang berbuat kesalahan kepadanya walau sekecil apapun kesalahan itu. Baik itu pria maupunpun wanita.
Hampir setiap malam ia habiskan waktunya di club bersama wanita-wanita cantik yang setia menemaninya. Namun ia tak pernah menjalin hubungan serius kepada wanita-wanita itu, semuanya hanya untuk bersenang-senang.
***
Tak terasa, seminggu sudah Naina bekerja dirumah besar itu. Namun tak pernah sekalipun ia melihat sosok Tuan muda. Sebenarnya ia penasaran bagaimana sosok Tuan muda yang dikatakan kejam itu.
Semua orang dirumah besar itu takut bertemu dengan Tuan Muda, bahkan mereka tak diperbolehkan bicara apapun tentangnya. Jika ketahuan maka bersiap-siap lah mendapatkan hukuman dan dikeluarkan dari rumah besar.
Seperti biasanya Naina bekerja dengan baik dan cekatan. Bu Juli setiap kali mengawasinya, ia ingin sekali mencari kesalahan gadis itu namun tak pernah ia temui. Ia selalu menyuruh ini dan itu dan semuanya dilakukan dengan baik oleh Naina.
Hari sudah mulai gelap, saatnya Naina dan Bu Lastri pulang. Naina dan Bu Lastri melangkahkan kaki mereka meninggalkan rumah besar.
Baru beberapa langkah dari depan gerbang, kaki bu Lastri terhenti. Bu Lastri memegang tangan Naina agar Naina juga ikut menghentikan langkahnya.
Naina kebingungan namun dari jauh ia melihat sebuah mobil mewah berwarna hitam sedang menuju rumah besar.
Melihat bu Lastri menundukan kepala, Naina pun paham ternyata itu adalah mobilnya Tuan Muda. Naina pun ikut menundukkan kepalanya.
Saat mobil Tuan Muda sudah berlalu dari hadapan mereka, mereka pun menghela nafas lega. "Hufttt!!!"
Sementara itu di dalam mobil,
"Bukankah orang itu salah satu pelayan disini? Dan siapa gadis yang bersamanya, apakah dia anaknya?" tanya Tuan Muda Juna dengan ekspresi datar.
"Ya, Tuan muda. Dia adalah salah satu pelayan dirumah anda dan gadis itu bukanlah anaknya. Dia adalah pelayan baru disini. Dia menggantikan posisi pelayan yang berhenti beberapa minggu yang lalu."
Juna hanya terdiam sambil terus menatap kearah depan dengan tatapan kosong.
Di perjalanan, Naina bertanya kepada Bu Lastri
"Bu Lastri, tadi itu mobilnya Tuan Muda, ya?"
"Iya, Naina. Makanya tadi Ibu berhenti melangkah. Takutnya Tuan Muda menganggap kita tidak menghormatinya." kata Bu Lastri menjelaskan.
"Untung Bu Lastri cepat tanggap, ya! Kalau tidak kita bisa dalam masalah." sahut Naina.
" Iya... " ucap Bu Lastri sambil tersenyum kemudian mengelus lembut puncak kepala Naina.
Mereka meneruskan perjalanan mereka dan menunggu angkot yang biasanya mengantarkan mereka kembali ke kampung. Saat angkotnya sudah tiba, Naina dan Bu Lastri segera memasukinya.
Perjalanan hari ini terasa sangat panjang bagi Naina. Mungkin karena kelelahan yang ia rasakan, pekerjaan hari ini tak putus-putus, selalu menyambung seperti jalan tol.
Bu Juli tiada henti menyuruhnya macam-macam, tak ada sedikitpun waktu luang yang di sia-siakan olehnya.
Setibanya di rumah, Naina tidak langsung mandi. Ia ingin beristirahat sejenak melepas lelah yang ia rasakan. Ibunya kasihan melihat Naina yang begitu kelelahan. Beliau membuatkan teh hangat dan memberikannya kepada Naina.
Naina pun langsung menyeruput teh hangat buatan Ibunya itu. Terasa begitu nikmat, teh yang di buat dengan penuh cinta oleh Ibunya.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!