Namanya Raniya Hafsyah Elnara.
Dia seorang gadis yang bercita-cita menjadi ibu rumah tangga saja. Ya, hanya
sekedar ibu rumah tangga katanya. Istri yang menyayangi suaminya, dan seorang
ibu yang akan menjadi guru pertama untuk anak-anaknya kelak.
Dia juga punya keinginan spesial
dalam hidupnya, yaitu menjadi istri seorang polisi.
Hahaha… Cita-cita yang sangat
unik, bukan?
Nggak hanya unik saja sih. Tapi
juga aneh…
Semua perempuan akan merasakan
jadi ibu rumah tangga nantinya. Eits… Tapi bagi yang hanya mau menikah saja,
ya… Jangan ada kata TRAUMA menikah, bagi yang belum pernah merasakan pernikahan
itu sendiri. Hanya karena menyaksikan pernikahan orang lain hancur, dan kamu
yang belum menikah malah ikut-ikutan trauma pula.
Pernikahan itu ibarat kita berada
di tengah lautan. Tidak selalu aman, tidak selalu nyaman. Coba bayangkan, kamu
yang belum pernah merasakannya pasti akan takut untuk memulainya. Tapi ketika
kamu telah merasakannya, meski belum mencapai tengah sekalipun, kamu akan
merasa senang. Begitu indah pemandangan yang kamu temui. Kamu bahagia…
Setelah mencapai titik tengah, di
situlah ujian akan datang. Ada kalanya kapal yang kita tumpangi
terombang-ambing, karena cuaca tidak selalu mendukung perjalanan ‘mu. Intinya,
bagaimana kamu bisa bertahan dalam badai besar yang siap memecah belah dan
memporak-porandakan kapal yang kamu tumpangi. Jangan sampai kamu karam sebelum
mencapai pulau kenikmatan yang sebenarnya, yaitu surga-Nya Sang pencipta
makhluk-Nya yang berpasang-pasangan.
Kembali kepada Raniya. Bukan
hanya itu saja alasannya menjadi seorang ibu rumah tangga. Alasan lainnya
adalah, dia anak piatu yang hanya memiliki orang tua tunggal. Hanya Ayahnya
yang dia punya. Tidak ada yang lain. Ibunya meninggal ketika melahirkan dirinya
ke dunia. Hal itu membuat rasa sayangnya begitu besar dan terlalu berlebihan
terhadap ayahnya itu.
Dia
begitu kasihan terhadap ayahnya. Apa-apa, ayahnya selalu mengerjakannya
sendiri, mulai dari memenuhi kebutuhannya di rumah, di sekolah atau bahkan
dimana pun. Tak jarang pula ayahnya membawa dirinya ke luar kota untuk
melakukan perjalanan bisnis.
****
Suatu hari, Raniya masih kecil
kala itu. Mungkin umurnya lebih kurang enam tahunan. Dia menyaksikan sendiri
bagaimana beberapa orang perampok berusaha memeras dan menyakiti ayahnya
berkali-kali.
Kala itu malam pekat. Mereka
bepergian keluar kota melewati perjalanan yang sepi dari hunian para penduduk.
Beberapa orang perampok mencoba bermain-main dengan mereka, menghentikan secara
paksa mobil yang dikemudikan oleh ayahnya sendiri.
“Ayah… Siapa mereka?” Tanya
Raniya kecil terlihat ketakutan.
“Entahlah, Sayang. Tapi kamu
tidak usah khawatir ya, Nak. Ada Ayah yang selalu melindungi Raniya.” Ucap sang
ayah berusaha membujuk Raniya, meski hatinya sendiri juga cemas saat itu.
“Tapi, Yah… Raniya beneran takut…
Mereka galak, Yah…” Adu Raniya setengah berbisik kepada ayahnya ketika melihat
salah seorang dari perampok itu menggedor-gedor jendela kaca mobil di bagian
samping ayahnya.
“Tidak apa-apa, Nak… Raniya tidak
perlu takut. Ayah keluar dulu untuk menemui mereka. Mereka teman-teman Ayah,
kok. Raniya tunggu di sini sebentar, ya…” Bujuk Ayahnya lagi menenangkan hati
Raniya yang dilanda ketakutan dan kegelisahan saat itu.
Raniya kembali menahan lengan
ayahnya ketika sang ayah hendak membuka pintu mobilnya. Raniya
menggeleng-gelengkan kepalanya, ia mengisyaratkan agar ayahnya itu tidak turun
untuk menemui sang perampok.
Merasa begitu lama, sang perampok
semakin memperkuat tenaganya menggedor-gedor kaca jendela mobil di samping
ayahnya itu. Mereka sampai mengancam akan memecahkan kaca jendela mobil.
“Sayang… Dengarkan Ayah, Nak…
Kamu tidak usah takut. Semua akan baik-baik saja. Percayalah, Nak…” Bujuk
ayahnya lagi untuk menenangkan dirinya. “Kamu masih ingat siapa Ayah bagimu,
hmm?” Tanya Ayahnya sembari menggamit pipi Raniya dengan kedua telapak
tangannya.
“You are my hero…” Sahut Raniya
terdengar ragu untuk kali itu.
“Senyum dong, Sayang… Katamu,
Ayah ini adalah heromu. Sedangkan bagi Ayah, kamu adalah kekuatannya Ayah… Kamu
berdo’a, ya. Minta sama Allah, agar kita selamat dari bahaya apa pun”. Perintah
ayahnya begitu lembut.
Dengan berat hati, Raniya
akhirnya menurut. Dia mengangguk berat menatap ayahnya yang turun dan menemui
perampok-perampok di luar mobilnya.
Entah apa yang mereka percakapkan
di luar sana, tapi satu pukulan mendarat di perut ayah Raniya.
“Ayaaaah…” Pekik Raniya begitu
keras dan terdengar pilu menyayat hati. Air matanya mengucur deras ketika
melihat ayahnya dipukuli seperti itu. “Yaa Allah… Tolonglah Ayah Raniya. Raniya
hanya punya Ayah, ya Allah…” Isak Raniya sambil terus meminta kepada Yang
Kuasa.
Seakan terjawab permohonannya,
sebuah cahaya menghantam wajahnya dan menyilaukan matanya dari arah depan.
Reflex, matanya menyipit dan lengannya bersilangan di depan wajah imutnya untuk
menghalangi cahaya yang menyakiti bola matanya.
Perlahan, Raniya kembali
menurunkan lengannya. Dia melihat sesosok manusia berseragam coklat turun dari
mobil depan, yang menjadi sumber datangnya cahaya. Dia terus mengamati langkah
orang tersebut hingga matanya membulat dan mulutnya ternganga.
Seat… Seat… Seat…
Raniya tersenyum girang
menyaksikan apa yang terjadi di luar dari balik kaca mobil. Entah bagaimana
caranya, orang itu mampu mengalahkan perampok-perampok yang sudah menyakiti
ayahnya hanya dengan beberapa adegan saja. Selang beberapa waktu, mobil polisi
yang bersirene datang dan membawa perampok-perampok itu.
Raniya mengusap kasar pipinya
yang masih terasa geli karena gelitikan air matanya tadi. Dia langsung meloncat
turun dari mobilnya dan segera berlarian menemui manusia yang telah menolong
ayahnya. Manusia yang juga berseragam polisi.
“Om polisi…” Seru Raniya. Dia
menghamburkan dirinya memeluk paha polisi itu.
Polisi yang dipanggilnya terkejut
menghadapi tubrukan tubuh kecil Raniya yang berlari kencang dan terasa
tiba-tiba.
“Hai… Gadis cantik siapa ini?”
Tanya polisi itu seraya menggendong Raniya.
“Dia putri saya, Pak.” Ayah
Raniya yang menyahut dari posisi agak berjauhan dari tempat mereka.
“Oh… Dia ini putri, Bapak?” Tanya
polisi itu. Ayah Raniya mengangguk sembari menyunggingkan senyumannya.
“Makasih ya, Om Polisi… Om Polisi
adalah sebuah do’a yang dikabulkan Allah untuk Raniya.” Ucap Raniya dengan
bijaknya.
Kening polisi itu mengkerut.
“Kamu berdo’a tadi?” Tanyannya pura-pura bingung.
“Iya, Om Polisi… Raniya berdo’a
disuru Ayah…” Sahutnya dengan polos seraya mengangguk cepet.
“Hmmm… Pantesan saja Om Polisi
serasa ketarik untuk datang kesini…” Ucap Polisi itu terlihat cemberut.
“Jadi Om Polisi tidak ikhlas,
heh?” Sungut Raniya terlihat kecewa.
“Hehehe…” Polisi itu terkekeh.
“Om Polisi ikhlas kok, cantik… Malahan Om Polisi merasa bersyukur sekali bisa di
beri kesempatan uantuk nolongin kamu dan ayah kamu. Karenanya, Om jadi ketemu
gadis cantik dan sepintar kamu di sini.” Goda Polisi itu sambil mencubit kecil
hidung Raniya yang terlihat mancung ke dalam. Hehehe…
“Om Polisi baik, deh… Raniya
tidak akan lupa sama Om Polisi…” Ucap Raniya kembali tersenyum lebar.
“Sama-sama, Sayang…” Jawab Polisi
itu.
“Suatu hari nanti, kalau Raniya
sudah besar. Raniya akan menikah sama Om
Polisi aja deh… Biar ada yang lindungi Raniya…” Ungkapnya terdengar polos di
telinga polisi itu.
Ayah Raniya hanya tersenyum
sembari menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan anak gadisnya itu.
“Tapi Om Polisi sudah menikah,
Sayang… Malah sudah punya dua anak. Yang satunya laki-laki dan yang satunya
perempuan.” Protes Polisi itu pura-pura menampakkan wajah penyesalan.
“Yaaaahhh…” Raniya cemberut, dia
terlihat kecewa. “Tapi memangnya polisi hanya Om saja? Polisi kan banyak, Om. Semuanya
pasti baik seperti, Om.” Ketusnya.
“Hehehe… Iya, Sayang. Semua
polisi baik…” Sahut polisi itu terlihat bangga dengan pemikiran si gadis kecil
Raniya.
.
.
.
.
.
Halo teman2…
Berjumpa lagi dengan Radetsa.
Kali ini Radetsa coba judul lain dulu ya… Mudah2an tidak banyak halangan dan
hambatan untuk Radetsa nulis novel SEKEDAR IBU SAMBUNG ini, sehingga Radetsa
bisa cepat namatinnya.
Semangatin Radetsa terus ya
teman2, lewat vote rate like koment dan kalau berkenan share juga di akun
teman2…
Terima kasih… semoga ceritanya
tidak ngebosanin,,
Salam satu layar di MT&NT…
Hampir dua puluh tahunan berlalu sejak saat itu. Raniya
Hafsyah Elnara, gadis itu pun telah beranjak dewasa.
Tubuh Raniya begitu indah berbalut gaun putih yang mewah.
Hari itu dia melakukan fitting baju pengantin di sebuah butik terkenal.
Senyumnya tampak merekah seperti bunga mawar yang tengah kembang. Cantik.
Pujian itu masih cocok dan pantas untuk parasnya yang semakin ayu di usia
dewasanya.
“Raniya…” Dua bola mata lelaki muda menatapnya dengan
takjub. Tak berkedip sama sekali. Lelaki itu bergeming, ternganga melihat keindahan
Raniya sebagai ciptaan Tuhan di hadapannya saat itu.
“Nathan… Nathan…” Berkali-kali Raniya melambai-lambaikan
tangannyake hadapan wajah lelaki yang dipanggilinya Nathan. Entah untuk
panggilan ke berapa kali, barulah Nathan menyadarinya.
“Eh…? Ran… Ka-kamu… Kamu cantik sekali mengenakan gaun ini…”
Puji Nathan terdengar gugup. Dia seakan terhipnotis oleh kemolekan yang
dimiliki paras dan tubuh Raniya.
“Terima kasih, Nathan…” Ucap Raniya tersenyum malu.
Nathan Tiger, lelaki muda yang akan menikahi Raniaya untuk
beberapa hari lagi. Dia berprofesi sebagai dokter muda sepesialis kandungan di
rumah sakit besar kota itu.
Ada apa dengan Raniya? Kenapa dia malah akan menikah dengan
seorang dokter? Apa dia telah melupakan janjinya untuk menikah dengan seorang
polisi?
Raniya, gadis keras kepala tapi begitu tegas dalam
kehidupannya. Dia hanya menginginkan kebahagiaan untuk orang-orang, terutama
orang terdekatnya.
Selepas SMA, Raniya melanjutkan
sekolahnya ke Fakultas Kedokteran. Di sanalah dirinya bertemu dengan Nathan
untuk pertama kali. Pemuda yang begitu tergila-gila kepada dirinya.
*****
Flasback On.
Suatu hari, Raniya yang terkenal cantik di Fakultasnya
membuat Nathan begitu penasaran. Cerita mulut ke mulut membuatnya ingin untuk
bertemu dengan Raniya secara langsung, si gadis cantik tapi keras. Gadis yang
begitu sulit untuk didekati oleh lelaki mana pun. Hanya satu lelaki dalam
hidunya saat itu, yaitu Ayahnya.
“Hai… Kamu Raniya, kan?” Tanya Nathan berusaha menyamai
langkah kaki Raniya yang berjalan cepat di lorong-lorong kampus. Dia
mengulurkan tangannya pula, berharap mendapat balasan dari gadis itu.
“Ya, benar… Aku Raniya.” Jawab Raniya cuek. Jangankan hanya
untuk membalas uluran tangan Nathan saja, Raniya bahkan tidak menoleh dan tidak
pula mau menghentikan langkah kakinya.
Kali itu Nathan menyerah, tapi bukan berarti berpikir untuk
berhenti di sana saja. Nathan menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal
sambil tersenyum melihat punggung Raniya hingga menghilang dari pandangan
matanya.
“Nah… Ini nih… Begini baru aku suka… Tidak gampangan, dan
membuatku benar-benar penasaran terhadap dirinya.” Gumam Nathan merasa takjub
dan terkagum-kagum.
Seiring berjalan waktu, Nathan mampu menaklukan hati Raniya.
Dia selalu mengikuti langkah Raniya demi bisa berjalan di samping gadis itu,
syukur-syukur jadi pendampingnya sekalian. Nathan juga tidak pernah ketinggalan
dalam acara amal yang diadakan kampusnya ke desa-desa, karena dia tahu Raniya
juga selalu berpartisipasi dalam acara itu.
Hati Raniya memang luluh pada akhirnya, dia melihat
kegigihan dan ketulusan pada usaha Nathan dalam mendekati dirinya.
Suatu hari Raniya merasa jengkel. Dia mulai jengah oleh
kelakuan Nathan yang tidak pernah menyerah untuk mendekatinya. “Kamu maunya
apa? Kenapa tidak mengenal lelah, hah?” Tanya Raniya ketus.
“Aku hanya melakukan ikhtiarku. Menyelingi do’aku dengan
usaha keras. Merayunya saja pada saban malam tidak cukup untuk mendapatkan
hatimu, Ran. Dia juga menginginkan aku berusaha…” Sahut Nathan tegas. Kata-kata
Nathan membuat Raniya tersentak. Dia terdiam mendengar keberanian dan keyakinan
yang tersorot di wajah Nathan saat itu.
“Nathaaaan…” Seorang perempuan menyerunya dari kejauhan.
Orang itu berlari kearah mereka dengan wajah panik dan gelisah.
“Kenapa, Mel?” Tanya Nathan kepada perempuan itu.
“Nath…” Napas perempuan itu tersengal-sengal. Dia sedikit
merukuk, satu tangannya bergelayut di lengan Nathan. Tangan lainnya
menepuk-nepuk dadanya yang mungkin terasa sesak karena berlari.
“Tenang, Mel… Ada apa?” Tanya Nathan lagi ikut panik. Tidak
hanya Nathan, Raniya yang juga ada disana pun ikut panik karenanya.
“Ada ibu-ibu yang mau melahirkan, Nath… Dan belum ada bidan
atau dokter yang menanganinya. Kasihan dia, Nath… Ibu-ibu itu kelihatan
kesakitan sekali.” Ucapnya masih terdengar sesak.
“Yaa Allah… Dimana ibu-ibu itu sekarang, Mel?” Tanya Nathan
terlihat lebih panik.
“Di puskesmas desa…” Sahut perempuan yang dipanggili Mel
sedari tadi oleh Nathan. Tanpa mengingat Raniya, Nathan segera berlari menyusul
Mel kearah puskesmas.
Raniya menyusul kepergian Nathan. Dia duduk di kursi tunggu
depan ruangan bersalin, tempat yang dia yakini ada Nathan di dalamnya.
“Ternyata tidak hanya polisi saja, tetapi dokter juga bisa
sangat berjasa. Dengan melihat reaksi Nathan tadi, aku sadar bahwa cintanya
sungguh-sungguh terhadapku. Dia tidak egois dengan perasaannya. Dia tidak
berlebihan dan masih dapat berpikir jernih di saat genting seperti tadi.
Tidak peduli dia seorang dokter ataupun polisi, yang penting
dia mampu menjadi imam yang baik untukku kelak. Terutama, dia bertanggung jawab
dan melindungiku seperti Ayah.” Gumam Raniya. Dia begitu terharu mengingat usaha
Nathan dalam menangani persalinan pada ibu-ibu hamil di puskesmas itu.
Taufiq Haythom… Sudah seharusnya aku mengubur perasaanku
ini terhadapmu. Selain kamu entah dimana sekarang, kamu pasti juga sudah
berbahagia dengan perempuan berinisial ‘R’ itu, kan? Alias Renima~ Batin
Raniya. Dia melepas napas berat, menopang tubuhnya dengan kedua telapak
tangannya di kursi tunggu puskesmas.
Dia tertunduk lesu memikirkan sesuatu. Berkali-kali dia
menggigit bibir bawahnya dan memainkan kedua kakinya yang saling berpangku,
berselonjoran disana. Dan sesekali Raniya menghempasakn punggungnya, bersandar
di sandaran kursi yang dia duduki.
“Hai Ran… Kamu di sini?” Nathan keluar dari ruang bersalin
dan menemui Raniya tengah duduk di kursi tunggu depan ruangan itu.
Raniya bangkit dari duduknya. Dia terlihat gugup menatap
wajah Nathan.
“Kenapa, Ran? Kamu baik-baik saja, kan?” Tanya Nathan
terlihat khawatir.
“Oh… Eh? Bagaimana?” Tanya Raniya berusaha menetralkan
perasaan gugupnya.
“Alhamdulillah, Ran… Ini pertama bagi aku membantu proses
lahiran sendiri tanpa ada yang memandu. Ibu dan bayinya selamat. Mereka sehat,
Ran…” Sahut Nathan terlihat begitu bahagia.
Raniya tersenyum melihat kebahagiaan yang tersosrot di wajah
Nathan. Yang pastinya, dia ikut bahagia untuk itu.
“Nathan…” Panggil Raniya ragu.
“Ya? Ada apa, Ran?” Tanya Nathan sedikit heran. Tidak biasa
baginya melihat reaksi yang terlihat di wajah pujaan hatinya itu.
“A-aku… Aku…”
“Kenapa Ran…?” Tanya Nathan bingung. Ingin sekali tangan
Nathan menggapai jemari Raniya. Itu yang terlihat dari sudut matanya ketika
melihat kedua tangan Raniya yang saling meremas di depan dada Raniya sendiri.
Hanya saja dia takut gadis itu semakin menjauh darinya.
“A-aku… Aku bangga sama kamu…” Ungkap Raniya sambil
tersenyum. Tanpa bicara lagi, Raniya pergi begitu saja meninggalkan Nathan yang
ternganga setelah mendapat pujian dari dirinya.
.
.
.
.
.
Flasback off.
Siang di jalan Raya kota. Seorang polisi muda berpakain
dinas PDL khusus, tengah mengatur jalannya lalu lintas yang mulai memadati ruas
jalan. Dia tidak mengindahkan panas matahari yang menyengat dan hampir membakar
kulit tubuhnya, demi menjalankan tugasnya sebagai petugas Polisi lalu lintas
saat itu.
Sesekali, polisi muda itu mengangkat tangannya dan melirik
angka jarum jam yang melilit pergelangan tangannya. Ia memastikan waktu tidak
lekang hanya karena tugas-tugas Negara, sementara membiarkan tugas pribadinya terabaikan
di rumah. Dia sudah punya jadwal khusus untuk hari itu.
Waktu terus mengantarkan matahari hampir naik dan menyejajari
pucuk kepalanya. Polisi muda itu kembali melirik jam di pergelangan tangannya.
“Sudah hampir ini…” Gumamnya seraya berjalan kearah koleganya di tempat yang
agak jauh darinya, yang bertugas juga sama dengannya saat itu.
“Kenapa, Fiq?” Tanya temannya yang melihat dirinya mengarah
kesana.
“Saya pulang dulu, Pak. Antar Renima cek kandungannya ke
rumah sakit.” Ucap polisi muda itu berpamitan kepada koleganya.
“Oke… Titip salam buat Reni, ya…” Sahut koleganya dengan
senang hati. Terlihat mereka telah saling akrab satu sama lain hingga ke
kehidupan pribadi sekalian.
“Baik, Pak… Terima kasih…” Ucapnya seraya memutar balik
tubuhnya untuk pergi.
“Eh eh… Fiq… Taufiq… Taufiq Haythom… Tungguuu” Panggil
koleganya lagi hingga membuatnya menghentikan langkah kakinya yang sudah mulai
jauh.
Dia yang dipanggili Taufiq tidak menyahut, hanya sekedar
menoleh dan sedikit membalikkan tubuhnya.
“Titip makanan untuk makan siang nanti, ya…” Seru kolega
Taufiq sambil cengengesan tanpa rasa dosa.
“Ok…” Sahut Taufiq sambil menunjukkan jemarinya yang telah
membentuk tanda setuju.
*****
Taufiq Haythom masuk ke dalam mobil pribadinya yang terparkir
tidak jauh dari tempatnya bertugas saat itu. Dia melajukan mobilnya dengan
kecepatan sedang menuju ke kediamannya.
“Ibuuu… Daddy pulaaaang…” Seru anak-anak kecil menyambut
kedatangan dirinya. Anak yang satu laki-laki. Dia berumur lima tahunan, dan yang
satu lagi perempuan. Dia berumur tiga tahunan.
Belum Taufiq melangkah masuk ke rumah, dua anak kecil itu
sudah bergelayut di kakinya.
“Samudra… Sunny… Kasihan Daddy, Nak. Daddy pasti capek,
Sayang…” Seorang perempuan dengan perut buncit datang menghampirinya.
“Tidak apa-apa, Ren… Biarkan mereka bermain bersamaku.” Ujar
Taufiq menengahi ucapan perempuan hamil yang dipanggilinya, Ren. Ya, Renima.
“Kamu sudah siap-siap?” Tanyanya ke pada Renima.
“Sudah, Kak…” Sahut Renima sembari mengangguk kecil.
“Ya sudah. Ayo kita berangkat…” Ajak Taufiq seraya
mengangkat tubuh-tubuh mungil Samudra dan Sunny ke gendongannya.
“Kak Taufiq tidak minum dulu?” Tanya Renima. Ia mengkerutkan
alisnya mendengar Taufiq yang terlihat terburu-buru.
“Tidak usah, Sayang… Kakak sudah minum air putih. Di mobil
ada…” Elaknya.
“Cuma air putih?”
“Itu sudah cukup, Sayang. Nanti kakak kekenyangan pula.
Sementara kakak ada janji makan siang sama Pak Zaif.” Ucap Taufiq.
“Benar?”
Taufiq mengangguk.
“Ya, sudah… Ayo kita berangkat, Kak…” Ajak Renima kemudian.
Taufiq dan Renima berangkat menuju ke rumah sakit untuk
melakukan cek kandungan. Kedua anak kecil yang memanggilinya Daddy pun juga
ikut bersama mereka.
Sebelum mereka menemui dokter, Samudra dan Sunny mereka
titipkan di tempat penitipan anak.
“Kamu gugup?” Tanya Taufiq ketika tidak sengaja melihat
ketegangan di wajah Renima.
“Sedikit, Kak. Tapi tidak apa. Ada Kak Taufiq di sisi,
Reni.” Sahut Renima sembari tersenyum.
“Iya… Kakak akan selalu ada untukmu, Sayang…” Ucap Taufiq
seraya meraih tangan Renima. Dia mengapit kedua tangan itu dengan tangannya,
memberi ketenangan dan kenyamanan untuk perempuan hamil di depannya.
“Terima kasih, Kak Taufiq… Renima sayang sama kakak…” Ungkap
Renima dengan mata berkaca-kaca.
“Kak Taufiq juga sayang sama Renima…” Balas Tufiq sembari
mengelus lembut bahu Renima.
Mereka pun masuk ke dalam
ruangan Dokter spesialis kandungan di rumah sakit itu dengan tangan yang masih
berpegangan satu sama lain.
“Bayi dalam kandungan Bunda Renima baik-baik saja. Dia cukup
sehat. Menurut prediksi, insya Allah seminggu lagi lahirannya.” Ungkap dokter
muda yang merupakan Nathan Tiger, calon suami Raniya.
“Alhamdulillah…” Ucap Renima dan Taufiq bersamaan. Renima
mengelus lembut perutnya yang buncit seakan membelai bayinya secara nyata.
Tampak kasih sayang yang tergambar jelas di wajahnya itu. Matanya berkaca-kaca
mendengar penjelasan Nathan mengenai kondisi bayi dalam perutnya saat itu.
“Pak Polisi ini suaminya Bunda Renima?” Renima dan Taufiq
saling pandang. Sejenak, mereka saling lempar senyum. Mereka kembali
berpegangan tangan di depan Nathan.
“Ah… Saya jadi iri…” Ucap Nathan berlagak malu. Renima dan
Taufiq terkekeh karenanya. “Istri dan anak Anda sehat, Pak. Syukurnya, proses
lahiran istri Bapak dua hari setelah pernikahan saya. Jadi, saya bisa bantu.
Insya Allah…” Ucap Nathan.
“Jadi dokter akan menikah?” Tanya Renima ikut senang
mendengar pengakuan Nathan yang tanpa ditanya.
Nathan mengangguk. Rasa bahagianya menjelang
detik-detik pernikahannya dengan Raniya,
membuat dia begitu ingin pamer akan pernikahannya itu.
“Wah… Selamat ya, Dok… Saya ikut bahagia mendengar kabar
kebahagiaannya dokter.” Ucap Renima dengan tulus.
“Terima kasih, Bunda Renima…” Sahut Nathan. “Saya kira,
Bunda Renima akan baik-baik saja sampai proses lahiran nanti. Asal Bunda Renima
bisa menjaga kandungan Bunda dengan hati-hati…” Ujar Nathan.
“Baik, Dok… Insya Allah saya akan menjaganya dengan baik.”
Sahut Renima. “Oh Ya, Dok… Walau saya tidak bisa hadir di pernikahan Dokter
nantinya. Tapi saya ingin ikut berbahagia untuk itu. Saya berdo’a untuk
kebahagiaan dokter, nantinya. Salam untuk calon istri dokter…”
“Terima kasih untuk do’a, Bunda Renima… Nanti saya sampaikan
salam Bunda untuk calon istriku itu.” Jawab Nathan terlihat senang.
“Sama-sama, Dok. Kalau gitu saya permisi, Dok…” Ucap Renima
berpamitan. Dia bangkit dari duduknya dengan dibantu oleh Taufiq.
“Sampai bertemu lagi di waktu lahiran nanti, Bunda…” Ucap
Nathan sembari menyalami Taufiq dan Renima bergantian.
“Insya Allah, Dok…” Sahut Renima seraya melangkah ke luar
ruangan. Dia dipapah oleh Taufiq dalam langkahnya.
Setelah kepergian Taufiq dan Renima dari ruangannya, Nathan
kembali mendapati pasien yang sudah mengantri di luar.
“Loh… Apa Ini?” Pasiennya memunguti sebuah foto tercecer di
lantai. “Cantik sekali… Ini istri dokter, ya?” Tanyanya Sembari menyodorkan
foto yang dipungutnya itu kepada Nathan.
Alis mata Nathan mengkerut. Matanya sedikit menyipit ketika
memerhatikan foto yang diterimanya itu. “Ini kan Bunda Renima tadi?” Ucap
Nathan terdengar berbisik.
“Benar ya, Dok? Itu foto istrinya?” Tanya pasien itu lagi
terlihat kepo.
“Bukan, Bund… Dia juga pasien saya. Baru saja keluar…” Sahut
Nathan begitu lembut.
“Owh… Begitu, Dok.”
“Iya, Bund… Besok, ketika saya bertemu lagi dengannya, saya
akan memberikan foto ini kepadanya.” Ujar Nathan. Dia meletakkan foto Renima ke
atas ponselnya yang tergeletak di meja kerjanya itu.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!