NovelToon NovelToon

Istri Oon

Prolog

"Ica gak mau nikah!"

"Ica! Turun, Nak!" Bibi An berteriak, melupakan sesak napasnya akibat ulah Ica beberapa saat lalu yang berlari ke luar rumah. Lantas dengan gesitnya memanjat dahan pohon mangga. Menjelma menjadi koala, memeluk erat batang pohonnya. Akibat terlalu syok mendengar kabar yang Paman Han bawa. Masalah perjodohan.

"Gak mau! Ica mau sekolah. Ica mau kursus jahit. Ica mau jadi desainer. Ica mau jadi koki juga. Pokoknya Ica mau jadi orang sukses dulu!" teriaknya diselingi tangis makin kejer.

Bibi An memeras jemari, sementara Paman Han di sampingnya memeras otak. Mencari akal supaya tangis Ica berhenti. Beberapa tetangga mulai mengintip dari jendela dan pintu. Mereka tak mau drama di hari Minggu mengundang pertanyaan dan mengusik ketentraman penghuni lain.

"Setelah nikah, kamu juga bakalan sukses. Calon mertuamu akan mewujudkan keinginanmu. Semuanya!" Paman Han berucap, penuh bujuk rayu.

Seketika tangis Ica meredam. Memandang Bibi An dan Paman Han tak mengerti. "Masa?"

"Iya." Paman Han menyakinkan.

"Berapa rius?"

"Seratus rius!"

Ica memandang mangga mentah yang menggelantung di atasnya. Bukan karena ia menginginkan lutisan, melainkan sedang mengawang-awang. Seratus rius? Itu jauh lebih banyak dari serius. Otak limitnya mulai mempertimbangkan.

"Nikah enak, gak?" tanya Ica lagi, bernegoisasi.

"Pasti enak, dong!" Paman Han mengulum senyum. Ica menangkap kail yang Paman Han lemparkan.

"Lebih enak mana, nikah atau rebahan?"

Bibi An dan Paman Han saling pandang. Sebetulnya menikah itu perkara rumit, mempertemukan dua isi kepala yang berbeda. Apalagi lebih rumit jika dua kepala itu belum pernah bertemu sama sekali. Lebih rumit lagi, salah satu dari dua kepala itu adalah kepala Ica. Yang butuh waktu tiga kali lipat dari manusia lain pada umumnya untuk memahami banyak hal.

Namun demi keluarga, mereka berdua harus berbohong.

Bibi An mendongak, menatap Ica tak lebih tokek sekarang. "Enak nikah, sayang!"

Sungguh terlalu Bibi An menjerumuskan bocah delapan belas tahun itu. Meski usia segitu seharusnya sudah mampu untuk berpikir kritis, namun Ica bukan remaja biasa. Ia terlalu lemot mencerna banyak hal. Sebab itulah, bibi dan pamannya masih menganggapnya anak-anak, cenderung balita malah.

Bibi An meringis, memohon pada Tuhan dalam hati. Semoga apa yang ia dan suaminya lakukan bukan tindakan kriminalitas. Menjerumuskan anak seperti Ica ke dalam masalah pernikahan yang masih tabu di kepala bocah itu.

"Oke, Ica mau nikah!"

Bibi An dan Paman Han seketika menghela napas lega. Umpan telah memakan kail.

"Baiklah, sekarang Ica turun," pinta Bibi An.

Menurut, gadis imut itu memijakkan kakinya amat lihai pada dahan satu ke dahan satunya lagi. Tahu-tahu sudah mendarat keren di tanah.

Pasangan paruh baya itu menghela napas lagi. Terkadang terlintas kekhawatiran terhadap tingkah Ica yang terpengaruh pergaulan di desanya yang suka sekali bermain dengan anak SD yang kebanyakan laki-laki, ketimbang dengan sebayanya. Sehingga memengaruhi tumbuh kembang Ica yang cenderung tomboi dan kekanak-kanakan.

"Bibi sudah memasakkan ayam goreng spesial untuk Ica."

"Aye! Ica suka sekali ayam goreng." Ica merangkul pinggang Bibi An. Mereka sama-sama masuk ke dalam rumah.

"Ica, mau tidak paman perlihatkan foto calon suamimu?" tawar Paman Han ketika mereka sudah ada di meja makan, dengan Ica yang menggigit besar daging paha ayam.

Ica mengangguk amat antusias.

Paman Han mengeluarkan selembar foto dari dalam dompetnya dan menunjukkannya pada Ica.

"Tampan, bukan?"

Ica mengedip. Menegun sesaat. "Mirip Gara, Paman."

1. Elazar Rayana & Marisa Fillan

"Maaf, Tuan. Tuan harus memenuhi undangan makan malam Tuan Barga malam ini."

El berdecak. Meletakkan ipad dengan kasar ke meja. Memandang tajam asistennya, Kafka.

"Orang tuaku pasti sudah tidak waras, menjodohkanku dengan anak kecil."

Kafka tak berkomentar. Ia memandang bosnya tanpa ekspresi apa pun. Sudah kebal akan segala sifat bosnya yang arogan dan lain sebagainya. Bahkan hati dan kupingnya sudah tak kaget lagi ketika pria itu melontarkan bentakan dan intimidasi.

"Bisakah kau menundanya dengan alasan aku ada pertemuan penting lainnya?"

"Maaf, Tuan. Tuan Barga sudah memperingati saya untuk tidak menuruti alasan apa pun dari Tuan. Konsekuensinya adalah pemecatan diri saya."

Elazar kembali berdecak. Meski enggan mau tak mau El harus mematuhi setiap keinginan kedua orang tuanya. Jika tidak, mereka tak akan segan mengutuknya jadi batu ginjal. Sebereng-brengseknya El, sebanyak apa pun tingkah kedua orang tuanya yang suka sekali mencampuri urusannya dan dia membenci itu, El tetap menyayangi mereka.

"Okay. Aku akan datang!" katanya menyerah. Pria dua puluh tahun itu bangkit. Menuju jendela besar kantornya yang mewah. Merenggangkan ikatan dasi yang terasa mencekik leher. Lalu memasukkan tangan pada kantong celana bahan. Memandangi hiruk pikuk perkotaan yang tiap waktu tidak pernah menurun.

Pria berambut undercut itu mengembangkan paru-paru. Mengisinya dengan udara segar guna mengusir frustrasi jauh-jauh. Memikirkan perjodohan, membuat pikirannya makin ruwet. Jauh lebih memusingkan dari perebutan tender.

Mau ia bawa ke mana hubungannya dengan Kiara, jika ia menikah bukan dengan dirinya. Sudah empat tahun ia menjalani pacaran dengan Kiara. Tentu saja ia mencintai gadis itu. Janji-janji hidup bersama dalam ikatan suci pun sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Sayang sekali, empat tahun hubungan mereka, belum juga membuat kedua orang tuanya luluh dan memberi restu.

Dia akan mencari cara untuk menggagalkan rencana pernikahannya segera sebelum Kiara tahu. Lalu menyakinkan orang tuanya bahwa hanya Kiara Fianda, satu-satunya gadis yang pantas untuk mendampinginya sampai tua.

***

"Aku ingin menikah ... aku ingin menikah ... ingin ingin nikah dengan cowok gak jelas .... Semua semua semua dapat dikabulkan. Dapat dikabulkan dengan kantong ajaib. Hei! Maling-maling jambu!"

"Ica!"

Langkah riang Marisa seketika terhenti ketika panggilan akrabnya diteriaki. Tahu-tahu ia dihadang teman sekelasnya, Renata.

"Kamu mau nikah?!" Re melotot, nyaris bola matanya menggelinding di bawah kaki kalau tak disangga kelopak mata.

Ica mengangguk mantap.

"Sama siapa?" Re terlalu kepo.

Ica menggeleng naif.

"Kok gak tahu? Gimana, sih?"

"Kata Paman Han, cowoknya mapan."

Dahi Re berkerut semakin penasaran. "Kamu hamil, ya?"

"Enggak! Ica gak hamil!" Ica mengibaskan tangannya, gestur membantah.

"Tapi kok bisa nikah! Kan kita lulusnya masih dua bulan lagi?"

Ica mengetuk dagu. "Aduh! Ica lapar!" rengeknya tiba-tiba sambil memegangi dahi.

"Kok jadi, lapar?" Re semakin dibuat bingung.

"Iya, Ica lapar kalo kebanyakan mikir."

Re berdecak. "Elah, pertanyaan segampang itu gak akan menguras isi otakmu!"

"Re, jangan marah." Telunjuknya bergoyang gestur bak ibu yang menegur anaknya. "Marah menyebabkan hipertensi, bikin cepat mati."

"Kamu doain aku cepat mati? Huaaa ... jahatnya!" Re bercekak pinggang. Tak terima.

"Ica gak berdoa. Ica gak lagi menengadahkan tangan."

"Augh akh! Gelap!" Re lelah.

"Re, bego! Siang-siang begini dibilang gelap. Hua ... jangan-jangan Re buta!"

Re menepuk dahinya. Mempertanyakan kewarasannya sendiri, mengapa ia bisa awet berteman dengan Ica yang polosnya melebihi pantat bayi. Namun bagaimanapun juga Ica gadis baik, tidak munafik di belakang, tidak seperti beberapa gadis yang berteman hanya untuk mutualisme saja. Ia apa adanya.

Itulah mengapa Re betah berteman dengan Ica semenjak kelas satu SMA. Meski apa adanya dirinya terkadang menumbuhkan ambisi Re untuk menceburkan Ica ke dalam kubangan empang. Atau minimal mencekokinya dengan jamu galian singset. Saking geramnya Re menghadapi kepolosan Ica.

***

Ica bingung. Penjelasan pernikahan yang disampaikan Paman Han kemarin terlalu rumit untuk bisa dicernanya.

Penyatuan dua manusia berlainan jenis. Penyatuan dua keluarga berbeda. Penyempurnaan agama. Membuat keturunan, sebagai penerus keluarga. Lalu sederetan apalah-apalah yang lainnya.

Maka dari itu, ia datang ke klub futsal. Minta pencerahan kepada bank curhatnya sekaligus buku berjalannya Ica. Kalau Ica ingin tahu apa-apa, ia selalu lari ke dia.

Ica melongokkan kepala di sela pagar kawat besi. Sambil menghitung kepala yang sedang menyepak bola.

"Tukang tipu, pencuri bolpoin, tukang gombal, tukang palak, tukang ngemis ...," tunjuk Ica mengabsensi anggota ekskul futsal tanpa menyebutkan nama asli karena Ica lupa nama mereka. Yang ia ingat cuma dosa besar mereka saja.

Ica berseru riang. Melompat-lompat heboh, menemukan bank curhatnya jadi kiper.

"GARAGARAGAR!" Ica melambaikan tangan.

Yang dipanggil namanya menyahut. Ia keluar dari garis pertahanannya. Tidak peduli bola telah menembus jaringnya dengan mudah.

Timnya kompak mengumpat. "Kampret, lu Gar!!!"

Dan cuma dibalas Gara dengan kalimat, "Gue, sih owh aja." Santai cenderung datar.

"Ada apa, Ica cari Gara?" tanyanya setelah sampai di depan Ica tanpa penghalang. Lengkap dengan lengkungan bibir yang amat manis.

"Ica mau curhat Gara."

"Duduk dulu, gih."

Mereka masuk ke lapangan futsal. Duduk bersila di pinggir lapangan. Gara memberikan botol ponarisweat dan diterima Ica antusias.

Ica meminumnya. Beberapa teguk. Ia menyeka mulut, keluar desahan, "Ah!" Ketika minuman dingin itu meluncur di tenggorokannya. Lantas ditutup kata, "Segarnya!"

"Jadi Ica mau curhat apa?"

"Ica mau nikah."

Gara tersedak ludah. Terbatuk kronis sampai keluar air mata. Ica menepuk punggung Gara, lebih tepatnya memukulnya. "Hua! Gara kena paru-paru basah?!"

"Ica! Aku gak apa-apa. Cuma kaget dengan apa yang kamu bilang barusan. Apa benar?" katanya setelah batuknya berangsur mereda.

"Iya, Garagaragar."

"Ica jangan bercanda!" Gara menusuk Ica dengan bola matanya yang tajam. Yang ditatap sayangnya gak peka kalau lawan bicaranya sedang menahan amarah mati-matian.

"Ica serius. Kata Paman Han, Ica disuruh nikah."

"Sama siapa?" Gara mendesak.

"Ih, Re juga tanya begitu waktu Ica bilang mau nikah. Kalian ini nyebelin! " Ica ngambek.

"Sama siapa, Ica?!" Tanpa sadar Gara mengguncang pundak Ica dua-duanya. Ia terlalu kalut sampai lupa Ica kesakitan.

"Gak tahu. Paman Han gak cerita. Sakit Gara!"

Napas Gara tak beraturan. Tiba-tiba sesak. Kesadarannya datang begitu Ica selesai bicara dan merintih. Gara seketika melepasnya. Ia buru-buru bangkit. Berjalan menjauh, tanpa menghiraukan muka beloon Ica. Tidak kembali ke lapangan, justru setengah berlari pergi entah ke mana.

"Gara! Ica, kan mau tanya tentang pernikahan. Kok pergi!"

Boro-boro Gara menyahut, menoleh saja pun tidak.

Ica manyun parah. Kesal, dua temannya sama sekali tidak membantu.

"Ih, Gara kenapa, sih?! Gara tidak pernah marah begini sebelumnya pada Ica."

***

2. Bertemu Calon Suami

"Ica! Sudah belum, Nak?" Bibi An berbicara di luar pintu kamar Ica. Semakin telinganya menempel pada papan pintu, kerutan dahinya kian berlipat ganda, pasalnya tak ada suara apa pun.

Semenjak ia menyuruh Ica memakai gaun pemberiannya sejam lalu, Bibi An tak mendapatkan kehebohan dari keponakannya.

Jarum pendek nyaris mendekati angka delapan. Sebentar lagi keluarga besar Barga Aditya akan datang. An sudah mempersiapkan semuanya sedetail mungkin. Dari makan malam super lezat dan rumah yang kinclong meski amat sederhana untuk didatangi pengusaha super kaya Barga dan keluarganya.

Tinggal Ica yang belum menampakkan diri. Satu-satunya orang yang dinanti pihak keluarga itu, bukan makan malamnya.

An khawatir. Ia mengungkit pintu dan kamar Ica gelap. An menekan sakelar dan An nyaris sesak napas. Keponakannya malah tidur ria.

"Ica!" Megafon seolah muncul di depan mulut An. Ia memanjangkan langkah, mengguncang tubuh berkepompong selimut itu.

Ica berguling-guling dan mendarat di lantai keramik. Ia membuka mata. "Ica gak bisa na—napas!"

An membuka selimut itu. Membantu Ica berdiri. Terhuyung sedikit saat kakinya menopang karena orientasinya hilang separuh.

"Sebentar lagi kamu akan bertemu calon suamimu dan kamu malah tidur?!"

"Ica lagi istirahat, capek mikir. Eh, gak tahunya ketiduran."

"Apa yang kamu pikirkan?"

"Ica mikir kalau nikah apa masih bisa main sama Re sama Gara."

"Bisa. Sekarang kamu mandi dan pakai gaunnya." An mendorong tak sabar keponakannya menuju kamar mandi di luar.

"Tunggu, Bi. Ica apa masih bisa sparing karambol sama Ujang sama teman-teman juga?!"

"Jangan banyak tanya Ica!"

***

El mengamati rumah satu lantai itu sesaat turun dari mobil. Wajahnya mencetak kebingungan.

"Orang yang kalian jodohkan padaku dari kalangan kelas bawah?" El menarik sudut bibir amat sinis.

"Lalu apa masalahnya?" tanya Barga.

"Kalian amat tahu kita ini borjuis. Mereka tidak sederajat dengan kita."

Bukan sebuah tonjokkan yang diberikan Bargaㅡmeski tangannya gatal sekali ingin melayangkan satu pukulanㅡmelainkan tepukan keras saja di bahu El.

"Papa tidak pernah mengajarkanmu untuk mengkotak-kotakan orang, kasta atau pun kelas ekonomi. Gadis yang kami jodohkan adalah gadis baik dari keluarga baik pula. Kalaupun kau ingin protes, tidak ada gunanya. Sebab keputusan Papa final."

El mengembuskan napas kasar. Luapan emosinya kentara membingkai wajahnya. Lilian mengusap punggungnya, sebagai ibu tahu benar perasaan anak sulungnya.

"El, Mama minta untuk malam ini saja bersikaplah ramah. Ada baiknya untuk tidak berprasangka buruk dulu. Kamu pasti akan menyukai gadis ini."

"Oke." El akan menurut untuk malam ini saja.

Pintu depan terbuka, menampilkan sepasang suami istri sebaya dengan Barga dan Lilian. Mereka menyambut hangat lantas menyilakan mereka masuk. El tidak habis-habisnya mengernyitkan dahi kala ruang tamu itu terlalu sempit untuk seorang El yang terbiasa beradaptasi di tempat amat luas dan mewah tentu saja.

"Suatu kehormatan sekali, gubuk kami disinggahi keluarga paling terpandang di kota ini."

"Han, tidak perlu merendah begitu. Tidak ada yang namanya tinggi rendah jika menyangkut persahabatan. Segalanya setara. Sama."

Dua pria dewasa itu tertawa. Hanya El yang tidak tahu menahu, letak lucunya di mana.

"Ngomong-ngomong, Marisa di mana?" Lilian bertanya.

Ah! Namanya Marisa.

An ke dalam dan kembali beberapa detik dengan seorang gadis bergaun kuning kunyit. Sungguh mata El tersakiti melihat warna norak itu. Meski ia akui gadis ini cantik, terpoles riasan minimalis, tampak rapuh sekaligus polos. Akan menyenangkan jika gadis ini El jadikan mainan, meremukkannya untuk kesenangannya saja.

Gadis ini mencium takzim punggung tangan Barga, Lilian dan terakhir El. Dia mematung di depan El. Matanya yang bulat menyeleksi wajah El sangat berani. El tidak pernah ditatap seintens ini penuh selidik tanpa ada rasa takut. Kebanyakan perempuan akan segan dan tak jarang jual mahal. Namun gadis ini ... berbeda.

"Namaku Marisa Fillan. Panggilannya Ica. Kelas 12 IPS. Dua bulan lagi mau lulus. Hobi manjat pohon. Nonton adu cupang di rumah tetangga. Nonton kartun juga. Main. Masak juga. Golongan darah AB. Warna kesukaan pink, tapi Bibi An malah suruh pakai gaun warna kuning. Jelek banget, kan kayak yang ngambang di kali. Sering Ica lihat kalau lagi mancing di kali. Aku suka ayam goreng digoreng krispy sama tempe goreng. Kakak namanya siapa?"

El melongo. Setelah membahas hal jorok lalu beralih ke makanan, apa tidak menjijikan! Perkenalan yang sungguh panjang dan tak ada satu pun yang bermanfaat. Ia seperti berkenalan dengan bocah lima tahun. Ia menengok ke arah orang tuanya, hanya senyum yang ia dapat. Apa tidak salah ia dijodohkan dengan gadis otak udang ini?

"Elazar Rayana."

"Panggilannya apa? El, La, Zar, atau Ray, atau Ana?" Ia terkikik. "Namanya kayak kucing betina punya Re."

Re siapa lagi? El sungguh kehilangan kata-kata. Astaga! Kurang ajar sekali bocah ini menertawakan namanya.

"El saja." El berkata dingin.

"El, suka pegang tangan, ya? Kok tangan Ica dipegang terus?"

El menurunkan pandangan. Tangannya dan tangan Ica saling melekat. Ia menghempaskan tangan Ica kasar.

"Sebaiknya kita makan malam dulu."

Tuan rumah membawa mereka ke ruang makan yang tak kalah sempitnya di mata El.

Selera makan El lenyap hanya dengan melihat rahang gadis itu bergerak naik turun tanpa capai mengunyah dengan kecepatan dua kali lipat manusia normal. Amat lahap, seolah dunianya hanya untuk makanan.

Tidak ada obrolan yang berarti di meja makan. Suara denting sendok dan garpu lebih mendominasi. El heran, bagaimana bisa kedua orang tuanya mampu makan dengan baik, dengan pemandangan menjijikkan gadis itu.

Sesi makan selesai. Barga menyuruhnya untuk mengobrol dengan Ica berdua saja. Terpisah di teras rumah. Menatap jalanan membuat El tergelitik ingin kabur saja. Sayang, ia sudah berjanji untuk bersikap baik khusus malam ini.

"Aku tidak menyukaimu," ucap El tak berbasa-basi. Ia sudah muak dan ingin malam ini cepat berakhir dengan pengambilan keputusan cepat pula.

"Ica juga tidak suka El."

El menoleh. Tersentil penasaran. Tidak ada satu pun wanita yang tidak menyukainya. Semua wanita yang mendekatinya memujanya. Namun, lain hal dengan gadis ini. Bocah ini mungkin terlalu bodoh melewatkan pesona El. Bisa saja jual mahal. Lain di mulut lain di hati. El mengernyih sinis. Munafik.

"Kenapa?" Tanpa sadar El bertanya.

"Wajah El tidak enak dilihat, seram kayak tuyul di teve. Hih!" Lengkap dengan kedikan bahu dan ekspresi horor.

"Apa kau bilang?!" El memajukan wajah. Refleks, Ica memundurkan kepala. Mengerut takut.

"El, tambah seram kalau marah!" Ia mendorong bahu pria itu. Namun, El geming saja.

"Dengar, bocah. Selama ada di dekatku, jangan pernah berani melukai egoku dengan mulut cerewetmu itu, apalagi menentangku. Terima akibatnya jika kamu membangkang. Mengerti!"

Ica menepuk bahu El simpati. "Ica gak tahu kenapa orang-orang suka sekali marah-marah pas bicara sama Ica. Re sering marah-marah, dia sahabat Ica. Paman dan Bibi juga. Sekarang El yang baru bertemu Ica." Gadis itu menggeleng dramatis. "Apa orang-orang akhir-akhir ini hobi marah-marah karena punya masalah. Ck ... Ica prihatin. Hidup kok dibawa susah. Gak kayak Gara. Dia selalu tersenyum setiap kali Ica bicara. Tapi tadi ia marah-marah juga. Pasti punya masalah. Rumah sakit pasti penuh kalau mereka sering marah-marah."

Melihat dari kesan pertama saja sangat jelas bahwa gadis ini memang oon, wajar jika lawan bicaranya mudah marah-marah. Sebenarnya isi otak gadis ini apa? Kenapa dia terlalu polos. Sampai El takjub, masih ada ternyata gadis remaja, namun bertingkah sepolos bocah balita.

"Kau pernah pacaran?" tanya El tiba-tiba.

Ica menggeleng. "Kata Re, pacaran itu enak. Tapi, Re suka menangisi pacarnya. Ica jadi mikir pacaran itu cuma bikin menderita saja. Ica gak mau nangis. Ica gak mau pacaran."

"Lalu apa arti menikah menurutmu?"

"Nikah?" Ia mengetukkan dagu. Berpikir. "Paman Han bilang kalau nikah itu menyatukan dua keluarga, penyempurnaan agama dan membuat keturunan. Dari semua alasan itu. Ica cuma mau bayi. El tahu gak caranya? Kita nikah, yuk El sekarang juga. Ica udah gak sabar pengin bayinya cepet keluar."

El panas dingin. Orang tuanya memang sudah tidak waras. Jelas-jelas Kiara lebih segalanya, cantik, cerdas lulusan universitas ternama dan seorang model. Bagaimana bisa mereka lebih memilih gadis tidak jelas ini ketimbang Kiara? Astaga, El terlalu pusing memikirkannya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!