Davian melepas baju pengantinnya dan menggantungnya di gantungan baju dengan rapi.
Kembali dirinya menatap gadis bernama Aina Putri Arman yang baru saja tiga jam lalu menjadi istrinya di depan semua keluarga dan tamu undangan.
Gadis itu terlihat sedang menunduk dan menangis lantaran bersedih karena gagal menikah dengan pria yang semestinya.
Seakan kesusahannya belum reda, ia harus memaksakan diri satu kamar dengan Davian, pria yang menyelamatkan harga diri keluarga Arman karena ulah calon suami Aina yang tidak datang dalam acara pernikahannya sendiri.
Hari pernikahan yang harusnya membuatnya bahagia, akan tetapi bagi Aina adalah seperti musibah yang baru yang akan menjadi beban bagi dirinya.
Hilang sudah bayangan-banyangan yang ia buat sebelum pernikahan, dimana ia akan berbahagia dengan sang kekasih yang sudah menjadi suami sahnya, menghilang dari pengaruh mamanya sendiri. Tak ada bayangan indah baginya sekarang.
Ia menangis tergugu di atas tempat tidur dengan gaun pengantin yang masih lengkap menempel pada tubuh rampingnya.
Davian dengan tegap melangkah mendekatinya." Sampai kapan kau akan menangis seperti ini? Lebih baik kau mandi agar kau lebih segar dan bisa berpikir jernih!" ucapnya lembut.
Aina mengangkat wajahnya menatap Davian," Kau pikir ini mudah? Kau bisa lihat kan calon suamiku tidak hadir dalam acara pernikahannya sendiri, dan kau siapa? Aku tidak mengenalmu!" ucapnya sarkastis.
Sekilas Davian berpikir gadis ini tidak mengerti arti balas budi. Jika bukan Davian lalu siapa pria yang akan menikahinya dalam keadaan yang genting seperti tadi.
Dengan susah payah Davian menata hati untuk menerimanya sebagai istrinya, namun dia mendapatkan perlakuan yang menjengkelkan.
Davian mengertakkan giginya kemudian mengungkung Aina yang saat ini berdiri hingga akhirnya tubuhnya menyentuh dinding belakangnya.
"Kenapa kau tidak menolakku saat di pelaminan tadi, huh?" bentak Vian membuat Aina sedikit mengkerut dan menelan ludahnya dengan susah payah.
"Sekarang jangan muluk-muluk, terima saja dan lakukan pekerjaanmu sebagai istri dan aku sebagai suami. Aku bukan orang jahat dan bukan pecundang seperti calon suamimu itu. Kau beruntung ditinggalkan saat acara pernikahan, bagaimana kalau kau ditinggalkan saat malam pertama kalian?" suara Vian semakin melunak. Marah memang bukanlah sifatnya, dan dia lebih bersifat sabar dan penyayang seperti abi dan uminya.
Kini ia melepaskan kungkungannya dan menjauhi wanita itu.
"Kau atau aku yang terlebih dulu masuk ke dalam kamar mandi?" Davian melirik ke arah Aina yang masih berdiri dengan wajah pucat.
"Jika kau tidak menjawab, aku akan ke kamar mandi terlebih dahulu." Tanpa menunggu jawaban dari Aina, Davian segera menyambar handuk dan memasuki kamar mandi untuk membersihkan dirinya setelah berkeringat sejak sore tadi.
Aina hanya bisa menangis dan meratapi dirinya sendiri. Ia mengepalkan tangannya dan memukul-mukul kasur untuk melampiaskan kemarahannya, berharap apa yang ia lakukan bisa mengurangi beban yang ia pikul.
Davian adalah pengusaha muda mengikuti jejak Abi nya, yaitu Kin Sanjaya. Dengan tersohor nya perusahaan Kin Sanjaya, sehingga membuat Davian bisa dengan cepat memiliki perusahaan sendiri tanpa bantuan Abi nya.
Kini Davian, anak satu-satunya Kin dan Dara yang sudah berusia 28 tahun dengan tinggi 180 centimeter dan sangat tampan. Sayangnya ia selalu putus cinta lantaran kekasih-kekasihnya yang sebelumnya meninggalkan dia dan berselingkuh dengan pria lain.
Davian sendiri heran, kenapa di saat mereka mendekat dan berhasil merayu Davian, setelahnya mereka pergi dan hanya mengacaukan pikiran dan hati Davian saja.
Tiga orang wanita. Iya, tiga orang wanita berhasil merebut hati Davian dan akhirnya mencampakkan pria malang itu. Itu terjadi sejak Davian kuliah hingga dia bekerja di perusahaan Abi nya, tepatnya terakhir berpacaran 3 tahun lalu, saat usia Davian memasuki 25 tahun.
Saat itu kembali terjadi, dia memutuskan untuk tidak menjalin hubungan dengan wanita manapun dan hanya berteman saja dengannya.
Ia menjalani hidupnya dengan bekerja keras, menambah wawasannya dalam ilmu agama serta lebih memilih mementingkan keluarganya dari pada para gadis yang kini menggodanya di luar sana.
Davian sudah selesai dengan ritual mandinya, kini ia tampak segar dengan rambut basah dengan air yang masih sesekali menetes hingga jatuh pada alis tebal miliknya.
Tubuh kekarnya terbalut kaos putih melekat sempurna pada setiap lekukan dada serta lengan Davian, celana jeans pendek hingga lutut menemani kaos putihnya membuat tuannya terlihat begitu santai.
Ia memandang istri barunya itu dengan tatapan datar, namun berpikir bagaimana agar wanita itu tak menangis lagi. Sungguh pemandangan seperti ini membuat hatinya tak tega. Ia pun mendekati Aina walau nantinya ia yakin pasti akan mendapatkan penolakan dari wanita itu.
"Mandilah! Buat dirimu fresh dan jangan terpaku pada kesedihanmu terus!"
Apa yang di pikirkan Davian ada yang benar ada juga yang salah.
Benarnya, gadis itu menepis tangan Davian kemudian berdiri tanpa menatap pria itu.
Salahnya, ternyata gadis itu menuruti Davian dan berjalan menuju ke kamar mandi setelah mengambil sepasang pakaian miliknya dari dalam lemari.
Davian tersenyum. Bebannya berkurang satu.
**
Di rumah keluarga Kin Sanjaya.
"Kin, bagaimana kehidupan Davian setelah menikah dadakan seperti ini?" Dara masih belum percaya dengan apa yang terjadi sore tadi.
Ketika mereka bertiga bersiap untuk menghadiri acara pernikahan anak rekan bisnis Kin, semua baik-baik saja dan tak ada firasat aneh apapun.
Ketika memasuki ballroom sebuah hotel dimana pernikahan itu diadakan, semua nampak normal dan biasa saja.
Namun ketika prosesi pernikahan yang pengantin wanitanya sudah duduk pada platform dengan kursi yang terhias pita organdi putih, semua berubah.
Calon suaminya tak datang.
Sang ibu mempelai wanita tergopoh-gopoh mendekati keluarga Sanjaya dan meminta anaknya untuk menggantikan menjadi calon menantu tanpa pembicaraan sebelumnya.
"Astaga, aku tidak percaya semua ini terjadi pada Vian, Kin?" ibu satu anak itu terasa semakin stres saat membayangkan drama pernikahan tiga jam yang lalu.
"Kakak," panggil Kenzo yang baru saja memasuki rumah Kin. Ia tidak sendiri, ada Vannya di belakangnya.
Pasutri itu menoleh ke arah Kenzo dan Vannya yang mendekati mereka.
"Aku sudah mendengar apa yang terjadi. Semua rekan bisnis kita membicarakannya dan sosial media heboh dengan pemberitaan Davian Kin Sanjaya yang menjadi menantu dadakan. Ada apa ini sebenarnya?"
Kin mengehela napasnya dan menceritakan drama tadi dengan penuh kesabaran.
"Saat itu aku bingung harus bagaimana, di sisi lain Nyonya Metta adalah rekan kerjaku dan kau tahu sendiri, suaminya sekarang sedang lumpuh sebagian karena stroke. Aku mana bisa melihatnya bertambah menderita lantaran anaknya gagal menikah didepan para tamu undangan dan penghulu yang sudah hadir. Dan ... sepertinya Davian juga berpikiran sama, karena itu dia menerima pernikahan dadakan ini," ucapnya lesu.
Vannya mengelus kedua bahu Dara berniat untuk menenangkan wanita satu anak itu.
"Sabar kak Dara, nanti kita akan bicara pada Davian bagaimana perasaannya menjalani pernikahan ini. Jika memang dia bahagia, kita mau apa. Restumu dan kak Kin adalah yang utama sekarang," nasihat Vannya dengan lembutnya.
"Aku pun sudah merestuinya, tapi hanya caranya saja yang masih membuat kami ...." Dara tidak bisa meneruskan ucapannya. Ia hanya bisa berdecak dan menggeleng.
"Iya, kami tahu. Mudah-mudahan saja menantumu itu gadis baik-baik yang bisa membahagiakan Davian, tidak seperti beberapa gadis yang mendekati Davian tanpa cinta itu,"
Kisah percintaan Davian memang bukanlah konsumsi publik, namun keluarganya tahu bagaimana perjalanan cinta Davian yang sering gagal. Bukan Davian yang cerita, melainkan para sepupunya yang merupakan kalangan para wanita heboh. Seperti Aluna anak Kenzo dan Vannya, juga Naomi anak pertama Rei dan Nina.
Aluna, Naomi dan Davian memang sering bersama walau umur mereka berbeda, hanya jarak satu dua tahun saja. Naomi juga memiliki seorang adik yang bernama Akiyama atau biasa dipanggil Yama, umurnya baru menginjak 24 tahun.
Mama Metta sudah mempersiapkan sarapan untuk anak dan menantu barunya.
Emmm, bukan mama Metta yang melakukan semuanya, lebih tepatnya pelayannya. Tapi kini beliau sudah hadir di meja makan menunggu anak dan menantu barunya itu keluar kamar.
Dengan riasan tebal yang bertengger di wajahnya serta tatanan rambut yang bergelombang dan tertata rapi dengan beberapa jepit yang berguna untuk menahan rambutnya apabila ada angin ataupun badai yang tak akan bisa merusak tatanan khas itu.
Ia duduk tegak dan meminta pelayannya mengetuk pintu kamar pengantin baru agar orang di dalamnya keluar dan menemaninya sarapan.
"Tuan Davian sudah menjawab ketukan pintu saya Nyonya." Ucap pelayannya dengan wajah menatap lantai berubin putih itu.
"Baiklah, pergi dan kerjakan kembali tugasmu!"
Pelayan wanita itu mengangguk dan keluar dari dalam dapur.
**
"Mamamu sudah memintamu untuk sarapan." Ucap Davian.
"Iya, aku akan segera ke sana."
Aina yang saat ini mengenakan dress selutut dengan rambut yang diikat bagai ekor kuda, berjalan terlebih dahulu meninggalkan Davian untuk menemui mamanya di meja makan.
Apalagi yang di lakukan Davian selain menghela napas dan menggelengkan kepalanya.
Ia meraih ponsel dan menghubungi Abinya.
"Iya, Dav. Bagaimana keadaanmu sekarang Umi sangat mencemaskan dirimu!"
"Davian baik Abi. Emm Dav cuma mau bilang, nanti jam 8 aku akan ke kantor. Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan,"
"Kau ke kantor? Apa tidak ada acara bulan madu atau ...."
"Abi, pernikahan ini tidaklah seperti pernikahan normal lainnya. Kami harus menyesuaikan dengan keadaan ini,"
"Iya, kau benar. Baiklah lakukan apa yang ingin kau lakukan. Pesan Abi hanya ... jangan keras pada istrimu, bagaimanapun kau harus menjadi suami yang baik dunia dan akhirat nanti!"
Davian menaikkan sudut bibirnya membentuk senyum tak simetris.
'Suami yang baik? Aku akan selalu melakukannya. Lalu bagaimana dengan wanita itu? Sepertinya aku akan mendidik anak harimau?'
"Iya Abi, salam untuk Umi. Davian baik-baik saja di sini seperti biasanya."
**
Davian turun dari lantai dua menuju ke dapur yang di sana sudah ada mama Metta dan Aina yang menunggunya.
"Selamat pagi Dav, bagaimana kabarmu hari ini? Menyenangkan?" ucap mama Metta seakan tidak ada yang terjadi kemarin sore. Dav hanya menanggapinya dengan senyuman.
Ia melesakkan tubuhnya pada kursi yang baru saja dia tarik.
"Aina, ambilkan makanan untuk suamimu!" perintah Metta.
Aina mendengus, namun tangannya bergerak mengambil piring dan mengisinya dengan makanan.
"Mama sudah menyiapkan rumah baru untuk kalian berdua. Jadi setelah kalian siap, kalian bisa pindah ke sana!" ujar Metta di sela makannya.
Aina terkesiap, dia menatap mama Metta dengan sendu." Bagaimana dengan papa, apa aku bisa membawa papa bersamaku, Ma?"
"Tidak," ucap mama Metta cepat dengan sorot mata tajam ke arah Aina. Kemudian ia menutupnya dengan sebuah senyuman palsu," Mama akan merawat papa dengan baik, jadi kau tenang saja. Lakukan pekerjaanmu untuk suamimu yang tampan ini!" senyuman Metta seakan dibuat-buat, Dav menyadarinya namun tidak mengatakan apapun. Ia lebih memilih diam mengamati.
Sarapan bersama di lakukan tanpa adanya pembicaraan lagi.
Davian mencuri pandang pada Aina yang sepertinya tidak menikmati sarapannya, sedangkan mama Metta seakan tidak peduli dengan keadaan yang ada saat ini.
'Ada apa dengan keluarga ini. Sepertinya ada yang mereka sembunyikan?' batin Davian penuh selidik.
Kunyahan terakhir, Davian meletakkan peralatan makannya kemudian menyambar gelas bening berkaki panjang berisi air putih dan meneguk isinya. Kembali ia menatap Metta setelah meletakkan gelas kembali di atas meja.
Di ruang tamu.
"Sebelum aku berangkat kerja, apa aku bisa menjenguk Tuan Arman, mama? Tidak enak jika aku menikahi anaknya tapi belum bertemu sama sekali dengan Tuan Arman," Davian selalu mengulas senyum di setiap ucapannya pada siapapun.
"Maaf Dav, saat ini beliau sedang istirahat, kau bisa mengunjunginya lain kali. Lagian mama juga harus buru-buru ke kantor, ada meeting dengan klien dan tidak bisa mama tunda, Nak!"
'Senyum penuh makna dari ibunya Aina ini.' Batin Davian saat ia melihat guratan senyum dan mata Metta yang tidak sinkron.
"Tidak masalah, lain kali saja kalau begitu!" Davian mengalihkan pandangannya pada Aina yang berdiri di ambang pintu utama rumah keluarga Arman.
"Aku kerja dulu!" ucap Dav yang di sambut anggukan oleh Aina.
Mobil Dav melenggang pergi meninggalkan pelataran rumah mewah keluarga Arman menuju ke kantornya yang terletak cukup jauh.
"Agil, siapkan pakaianku dan masukkan ke dalam koper. Nanti malam aku akan pulang menemui Abi dan Umi untuk berpamitan pada mereka!" perintah Davian melalui sambungan telepon.
"Kau akan kemana Bos?" tanya Agil yang merupakan asisten pribadi Davian yang begitu setia.
"Bulan madu. Apa kau pikir aku akan melakukannya?" terdengar suara Agil terkekeh di seberang sana.
"Bisa jadi. Tapi baiklah, aku akan menyiapkannya sebelum aku berangkat ke kantor menemui dirimu!"
Sambungan telepon terputus.
Agil merupakan teman setia Davian. Ia adalah anak rekan bisnis Abi nya dan sudah sejak lama dia mengabdi pada Davian, sehingga saat mereka berbincang, mereka sudah seperti teman lama, kau, kamu, aku sudah menjadi panggilan santai mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!