Hello semuanya!
Seperti yang sudah saya katakan pada postingan di cerita BB. Selama pandemi ini saya dihujani oleh banyak imajinasi liar yang sayang jika menghilang begitu saja.
Mudah-mudahan, walaupun menulis beberapa cerita sekaligus dalam waktu bersamaan, saya masih bisa menuliskan setiap ceritanya dengan baik dan menggambarkan setiap karakternya dengan apik.
Selamat menikmati ^^/
Di luar sana hujan turun cukup deras.
Aku menyeruput segelas susu hangat berharap itu akan membuatku mengantuk. Tetapi, setelah menghabiskan satu gelas penuh, keinginanku itu tidak terjadi.
Malam ini adalah salah satu malam di mana aku tidak bisa tidur. Sejak hari itu, setiap satu hari dalam seminggu aku selalu mengalami insomnia. Tidak peduli apapun yang aku lakukan, tidak ada yang bisa membuatku tertidur.
Di hari-hari lainnya, walaupun aku bisa tidur untuk beberapa jam, mimpi buruk dan rasa takut yang menghantuiku membuat tidurku tidak pernah nyenyak.
Takut.
Ya, aku takut sekali. Di setiap saat dalam keseharian ku selama tujuh tahun ini, aku selalu ketakutan dan bertanya-tanya.
Bagaimana jika orang itu tiba-tiba menemukanku di sini ? Bagaimana jika orang itu mengetahui keberadaan Keenan dan membawanya pergi ? Bagaimana jika… pada akhirnya aku akan kehilangan semuanya ? … dan menjadi seorang diri ?
Kemungkinan-kemungkinan itu, membuatku ketakutan. Bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Kejadian di hari itu, dan perkataannya masih menyisakan rasa sakit yang tidak akan pernah bisa hilang.
Kenapa aku harus menanggung ini sendirian?
Terkadang aku bertanya-tanya kepada takdir yang sepertinya membenciku. Kenapa aku harus mengenal orang itu? dan kenapa aku harus mengalami semua ini?
Andai saja Aku mendengarkan nasehat Kak Rio semua ini tidak akan terjadi.
Dengan berbagai pertanyaan dan perasaan sedih yang berkecamuk, aku menyerah pada insomnia ku dan berjalan masuk ke dalam kamar. Keenan sedang tertidur dengan lelap seakan hidupnya berjalan dengan baik tanpa masalah. Aku mendekat dan berbaring di sampingnya.
Dengkuran kecil terdengar dari mulut mungilnya. Aku tersenyum melihat wajah yang tampak polos dan lebih menggemaskan saat tertidur itu.
Saat malam panjang seperti ini datang, aku selalu berakhir seperti ini. Memandang wajah menggemaskan anakku yang tertidur semalaman. Membelai rambutnya pelan dan memeluknya sampai pagi.
Keenan menggeliat kecil menggeser posisi tidurnya dan berakhir menghadap kearah ku. Ku sibak rambut keriting di wajahnya.
Pangeran kecilku Keenan, walaupun aku membesarkannya selama ini dalam situasi yang sulit, aku tidak menyangka anakku sudah sebesar ini.
Aku telah hidup dalam pelarian sejak Keenan masih berada dalam perutku. Hari itu seharusnya menjadi hari yang bahagia karena aku berniat mengabarkan kehamilanku kepadanya.
Tetapi, hari itu justru berubah menjadi hari paling mengerikan dalam hidupku.
Setelah insiden di hari itu, aku pergi dan menolak untuk bertemu dengannya.
Saat itu, kupikir dia akan mencari ku dan meminta maaf. Tapi, jangankan begitu, orang itu bahkan tidak menanyakan kabarku sama sekali.
Tapi, itu tidak apa-apa. Karena hal yang paling aku benci saat itu adalah melihat wajahnya.
Ketika aku mengatakan bahwa aku ingin bercerai dan menyuruh pengacaraku mengurus semuanya, tidak ada seorangpun yang mencegahku. Semuanya sama-sama kecewa dengan apa yang terjadi dan mengerti akan keputusanku.
Lalu saat aku mengatakan bahwa aku sedang mengandung, raut wajah khawatir, kecewa dan kasian yang ditunjukkan oleh keluargaku berubah menjadi amarah. Kakak laki-laki ku Rio adalah orang yang paling terlihat murka.
Kak Rio berlari keluar rumah sesaat setelah mendengar berita kehamilanku dan baru kembali keesokan harinya dengan kedua tangan penuh luka.
Kedua tangan itu berdarah karena ia memukul seseorang dengan keras tanpa henti.
Dan kami semua paham apa yang terjadi dan siapa yang sudah dihajarnya.
Hari berikutnya, aku memutuskan untuk pergi. Tentu saja awalnya keluargaku melarang. Terutama kak Rio. Tapi, keputusanku sudah bulat dan tidak ada seorangpun dari keluargaku yang bisa mencegahku. Aku adalah anggota keluarga yang paling keras kepala. Maka dimulailah kehidupanku sebagai pelarian.
Ada banyak hal yang membuatku memutuskan untuk pergi.
Negeri ini terlalu sempit untuk ku karena semua orang mengenal orang itu. Negeri ini terlalu sempit untuk ku sehingga udara pun seakan menghembuskan aroma tubuh orang itu, membisikkan namanya di setiap saat dan membuatku merindukannya.
Aku tidak akan membohongi diriku sendiri jika saat itu aku masih mencintainya. Cintaku terlalu besar sehingga luka yang disebabkan olehnya terasa sangat menyakitkan.
Saat itu, aku bahkan tidak percaya kepada diriku sendiri. Aku takut diriku ini akan mengkhianati dirinya sendiri dan kembali kepada orang itu.
Maka sebelum aku melakukan hal yang akan aku sesali seumur hidup, aku ingin lari dan melupakan dia.
Tujuh tahun berlalu, dan disinilah aku.
Aku masih sama.
Sama-sama bodoh, sama-sama kecewa, sama-sama merindukan dan mencintai orang yang sama. Sama-sama terluka.
Tujuh tahun, dan keadaanku tidak berubah.
Walaupun demikian, aku sama sekali tidak menyesali keputusanku. Keputusanku saat itu untuk pergi adalah yang terbaik. Setidaknya untuk saat ini, aku bisa sedikit menghirup udara segar dan berlindung dari lingkungan yang akan terus mengucapkan namanya.
Setidaknya, aku bisa menghabiskan waktuku dengan Keenan seorang diri dan berusaha untuk kuat.
Sambil menguatkan diriku lagi, ku cium kening anakku.
Ya. Setidaknya aku masih memilikimu nak. Ucapku pelan.
Sambil mengusap wajahnya aku tersenyum pahit. Keenan sudah tumbuh menjadi anak yang tampan dan pintar. Hal yang sudah seharusnya mengingat fakta bahwa Ayahnya adalah orang itu.
Tentu saja aku merasa senang karena Keenan tumbuh dengan baik. Tapi, semakin hari wajah mungil itu semakin mirip dengan Ayahnya.
Hah... Kenapa setelah berusaha dengan keras untuk melupakan dia semesta sepertinya malah menentang dan memaksaku untuk melihat sosoknya dalam diri anakku ini?
Satu-satunya perbedaan yang bisa kulihat dari orang itu dan anakku hanyalah umur. Keenan berwajah polos khas anak kecil dan berpipi chubby karena lemak bayinya. Sedangkan orang itu, garis wajahnya terlihat lebih dewasa. Fitur wajahnya sempurna dengan garis rahang yang...
Ahhh!!!
Apa yang kupikirkan??
Aku memukul kepalaku sendiri atas kesalahannya yang tiba-tiba memikirkan hal yang tidak-tidak.
Lalu aku membalikkan tubuhku dan memunggungi Keenan.
Hah..
Apakah aku se menyedihkan ini?
Hmm.. sepertinya aku lebih baik menulis saja. Itu akan membuatku lebih tenang.
Akhirnya, aku bangun dan mendekati meja tulis.
Menulis memang adalah hobi ku sejak kecil. Walaupun setelah agak dewasa aku sedikit melupakan passion ku ini, tapi setelah hidup menjadi pelarian akhirnya menulis menjadi satu-satunya hal yang kulakukan. Dengan menulis aku merasa lebih tenang dan segala kekacauan yang terjadi seakan hilang di atas kertas.
Setelah duduk di kursi, aku mengambil selembar kertas dan alat tulis.
Apa ya yang akan ku tulis malam ini?
Karena di luar sedang hujan. Apa aku menulis sajak atau puisi saja ya? Seperti biasa.
Tapi sepertinya aku tidak sedang ingin menulis puisi.
Lalu, aku teringat dengan sebuah cerita yang belum rampung aku selesaikan.
Cerita tentang kisah hidupku sendiri. Kisah itu aku tulis dalam sebuah diary tebal berwarna kuning.
Kubuka laci meja dan mengeluarkan diary itu.
Entah dari mana ide untuk menulis cerita ini terpikirkan olehku beberapa waktu lalu. Bukan karena aku ingin mengingat hal-hal buruk yang terjadi padaku. Bukan. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya aku ingin sekali melupakan kenangan bersama orang itu. Tetapi, sekeras apapun usaha yang aku lakukan aku tidak pernah bisa keluar dari bayangan masa lalu.
Katanya, dengan menulis kau bisa meluapkan segalanya. Termasuk keluh kesah mu, penderitaan mu, dan emosi mu.
Oleh karena itu, aku menulis cerita ini dengan harapan setelah aku menulisnya aku akan meluapkan semua perasaan dan menyegelnya di dalam buku ini.
Kubuka halaman pertama, tertulis cerita awal saat aku bertemu dengannya untuk pertama kali.
Lalu, seperti potongan film, ingatan di hari itu kembali berputar di kepalaku....
.
.
.
Bersambung...
Di hari itu, seperti hari-hari biasanya aku menuju sebuah toko kelontong sehabis pulang sekolah untuk bekerja.
Aku masih sangat muda. Saat itu usiaku baru menginjak 15 tahun dan sedang duduk di bangku SMA tahun pertama.
Sebenarnya aku berasal dari keluarga berada. Kedua orangtuaku sangat mampu untuk menghidupi seluruh kebutuhanku bahkan lebih. Mereka berdua adalah salah satu pengusaha besar di negeri ini.
Namun, ada yang unik dari cara mereka mendidik anak-anaknya.
Sejak kecil kami diajarkan untuk mandiri dan bekerja keras dalam hal apapun. Kami diajarkan untuk tidak mengeluh, mensyukuri apa yang kami miliki dan berusaha dengan sungguh-sungguh atas segala sesuatu yang kami lakukan.
Demi mendidik ku untuk menjadi wanita yang kuat dan mandiri, Orangtuaku dengan sengaja mengirim Aku keluar kota dan menyuruh ku untuk belajar menghidupi diri sendiri.
Saat itu Aku hanya di modali sepetak kamar kos yang biaya sewanya hanya dibayar setengahnya dan juga sebuah sepeda. Mereka juga tidak memberiku uang jajan. Semuanya harus Aku pikirkan sendiri bagaimana cara untuk membayarnya. Belum lagi untuk makan dan lain-lain.
Lalu Aku mencoba bekerja serabutan ini itu untuk menafkahi diriku sendiri.
Karena itulah Aku pergi hampir setiap hari sepulang sekolah ke toko kelontong ini.
Toko ini adalah pilihan terakhirku setelah mencoba bekerja ini itu. Pekerjaannya tidak terlalu sulit, pemiliknya ramah dan upah ku lumayan besar untuk ukuran anak SMA.
Selain membantu berjualan di toko kelontong ini, Aku juga mendapatkan uang dari berbagai lomba yang Aku ikuti. Untungnya Aku juga anak yang cukup berprestasi di sekolah. Sejak Aku masih SMP, Aku sering mengikuti lomba bidang akademik seperti debat bahasa Inggris dan Olimpiade Biologi. Lalu, Aku juga mempelajari karate sejak berusia delapan tahun. Oleh karena itu, di SMA Aku juga aktif di ekskul karate dan sering mengikuti kejuaraan Karate tingkat sekolah.
"Aku datang.." ucapku sambil berjalan masuk ke toko lewat pintu belakang. Pak Burhan, majikan ku sedang duduk di belakang kasir seperti biasanya. Ia menyambut ku dengan senyum lebar.
"Ana! Akhirnya kamu datang juga. Cepat bantu Sari. Dia kewalahan dari tadi" matanya mengarah kepada Sari yang sedang melayani beberapa pelanggan. Wajah Sari terlihat letih. Tidak sepertiku dia bekerja full time dari pagi sekali sampai malam. Setelah Aku ikut membantu disini, dia bisa pulang lebih dulu sebelum matahari terbenam.
"Baik pak." Aku langsung mendekati Sari dan membantunya.
Beberapa jam kemudian sesaat sebelum pekerjaanku selesai, tiba-tiba ponsel ku berbunyi.
Ada sebuah pesan dari Kakak laki-laki ku Rio.
'Kamu masih kerja? Aku akan menjemputmu. Malam ini ada acara keluarga. Ayah dan Ibu datang.'
Kak Rio juga sama sepertiku. Dia juga dikirim ke kota ini saat masuk SMA dan disuruh belajar menafkahi dirinya sendiri. Sekarang, dia sudah kelas tiga SMA dan tempat kos nya tidak jauh dari tempat ku. Sekolah kami juga sama. Jadi, sebenarnya Aku tidak benar-benar sendiri di kota ini. Masih ada seseorang yang sangat bisa Aku andalkan jika terjadi sesuatu.
'Sebentar lagi pulang. Oke, Aku akan tunggu'
Jawabku singkat.
Kenapa tiba-tiba ada acara keluarga? Selama ini Ayah dan Ibu cukup jarang menjenguk kami berdua. Alasannya tentu saja agar kami tidak terlalu bergantung pada mereka. Namun, kami berdua tahu entah dengan cara apa, mereka selalu memantau kehidupan kami dan mengetahui keadaan kami.
Beberapa saat kemudian Kak Rio sampai. Dengan pakaian rapih dan wangi.
Aku memandangnya takjub dan berjalan keluar mendekati nya sambil menuntun sepeda.
"Wah wah.. kenapa penampilan Kakak seperti itu?" Tanyaku
"Aku juga gak tahu. Ayah dan Ibu menyuruhku seperti ini. Katanya kita akan makan malam di sebuah hotel."
"Makan malam di hotel??? Asikk!"
Aku senang sekali. Tentu saja. Sehari-hari bisanya Aku hanya makan di warteg dekat kosan atau memasak menu seadanya di kosan jika sempat. Makan malam di hotel akan menjadi acara perbaikan gizi untukku.
"Hahaha kamu senang ya?" goda kak Rio.
"Tentu saja! Kita mau makan enak Aku pasti senang!"
"Kalau begitu ayo cepat" Kak Rio mengambil sepedaku dan menaikinya. Aku dengan sigap duduk di belakang dan kami pun berboncengan menuju tempat kos ku.
"Jam berapa acaranya kak?" Tanyaku ketika kami sampai di depan gerbang kosan.
"Jam delapan. Masih ada waktu. Cepat mandi dan ganti baju. Aku tunggu di depan."
Karena ini adalah kosan Putri, Kak Rio tidak bisa masuk. Jadi dia menunggu di lantai bawah di ruang tunggu.
"Okeee"
Lalu Aku berlari kedalam dan menaiki tangga ke kamarku di lantai 2.
20 menit kemudian Aku turun dengan penampilan yang lebih rapih.
Kak Rio sedang duduk mengobrol bersama laki-laki yang tidak asing lagi untuk ku.
"Pak Agus!" Aku langsung mendekati nya sambil tersenyum lebar. Dia adalah supir keluarga kami yang sudah bekerja selama bertahun-tahun. Bahkan sejak Aku bisa mengingat.
"Halo Non Khiana. Maaf tadi tidak bisa menjemput di toko. Saya baru saja pulang mengurus pesanan Nyonya."
"Gapapa kok Pak. Ada kak Rio kok. Tadi kita naik sepeda lagian tokonya juga gak jauh hehe" jawabku sambil menepuk pundak Pak Agus.
"Yuk ah berangkat.. takut telat" Kak Rio menatap jam di tangan kirinya dan menyuruhku masuk kedalam mobil yang sudah terparkir di depan gerbang. Lalu kami bertiga melaju menuju hotel, melewati jalan yang lumayan panjang dengan kemacetan malam khas kota besar.
Sepanjang perjalanan kami bertiga bercerita ini itu. Mengoceh dan tertawa. Kami memang dekat. Pak Agus sudah seperti keluarga sendiri. Kami melepas rindu karena memang sudah lama juga sejak terakhir kali kami bertemu.
Sesampainya di hotel, aku terkesima dengan bangunan itu. Ini adalah hotel termewah di kota ini dan salah satu terbaik di negeri ini.
Waahhh keren sekali. Akhirnya aku bisa makan enak. Hotel sebesar ini pasti makannya enak-enak pikirku.
Saat itu, Aku belum menyadari tujuan kedua orangtuaku mengajak makan malam bersama di hotel itu.
Saat itu, aku masih belum menyadari bahwa hari itu adalah awal dimana kisah ku dengannya dimulai.
Seorang pelayan hotel yang datang entah darimana menyambut kedatangan kami dan mengantarkan Aku dengan kak Rio ke sebuah ruangan makan private. Sedangkan pak Agus menghilang entah kemana tidak ikut masuk ke ruang makan.
Dan ketika aku memasuki ruangan itu, saat itulah aku melihatnya. Orang itu, laki-laki yang kelak akan menjadi suamiku sedang duduk bersama dengan kedua orangtuaku dan Ayahnya. Orang yang sebenarnya tidak asing juga bagiku. Karena Aku sering berpapasan dengannya di sekolah dan mendengar namanya dari teman-temanku.
Si pangeran sekolah. Bintang yang di puja dan dikagumi oleh seisi sekolah karena kejeniusannya, ketampanan, bakat serta segudang prestasi yang dimiliki.
Seniorku di sekolah, Kiral Raya Adipati.
.
.
.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!