Selepas sholat isya, Yuana mengajak Nabila, buah hatinya yang berusia dua tahun untuk tidur di kamar. Satu-satunya kamar di rumah kontrakan yang ia tempati bersama Amar, suaminya.
Dari kaca nako kamar yang menghadap ke carport di depan rumah, terdengar sayup-sayup suara lelaki menyenandungkan sebuah lagu diiringi petikan gitar. Rupanya ada seseorang sedang mengamen di tetangga depan rumah.
"~~Kamu yang aku butuhkan
Untuk jadi teman hidupku
~~
Bidadari tak bersayap datang padaku
Dikirim Tuhan dalam wujud wajah kamu
Dikirim Tuhan dalam wujud diri kamu
~~
Sungguh tenang kurasa saat bersamamu
Sederhana namun indah kau mencintaiku
Sederhana namun indah kau mencintaiku
~~
Sampai habis umurku
Sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku?
Kaulah satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku?
~~
Diam-diam aku memandangi wajahnya
Tuhan, kusayang sekali wanita ini
Tuhan, kusayang sekali wanita ini
~~
Sampai habis nyawaku
Sampai habis usia
Maukah dirimu jadi teman hidupku?
Kaulah satu di hati
Kau yang teristimewa
Maukah dirimu hidup denganku?~~"
"Suaranya bagus... kenapa tidak rekaman aja," sepertinya bu Martha keluar rumah untuk memberi lembaran rupiah kepada pengamen tersebut.
"Menthit Buk... mboten gaduk," jawaban lelaki tersebut masih sempat terdengar sebelum akhirnya suasana menjadi hening setelah terdengar suara pintu ditutup.
Yuana menepuk-nepuk paha Nabila sambil melantunkan bacaan sholawat untuk mengantarkan putrinya itu memasuki alam mimpi. Namun rupanya suara pengamen tadi mengusik rasa kantuk Nabila, karena ia tiba-tiba teringat pada ayahnya yang sampai saat ini belum pulang dari bekerja.
"Bila ndak mau bobok Bunda... Bila nunggu Buya pulang," rengek Nabila yang kangen dengan ayahnya.
Nabila memang jarang bertemu karena Amar, ayahnya, selalu berangkat pagi dan pulang malam.
Ketika bangun pagi tadi, ia hanya sempat salim dan melambaikan tangan saja mengantar kepergian ayahnya bekerja. Kemarin pun begitu... hanya kemarin lusa saja yang sempat sarapan bareng bersama.
Sedangkan malamnya, selalu saja ayahnya itu belum pulang ketika ia sudah sangat mengantuk.
Sejak Amar memutuskan menjalankan taksi online, jam kerjanya tidak sama dengan ketika ia menghandle pabrik garment peninggalan mertuanya. Jika dulu paling lambat menjelang maghrib sudah di rumah, maka sekarang paling tidak jam sembilan atau sepuluh malam baru pulang. Hal itu ia lakukan demi mengumpulkan tabungan guna menebus kembali rumahnya yang disita oleh bank serta menghidupkan kembali pabrik yang hangus terbakar.
Ya... kebakaran pabrik itu lah penyebab utama terpuruknya perekonomian keluarganya. Selain karena kebakaran yang menghanguskan pabrik peninggalan mertuanya tersebut, keputusan Amar terlibat riba demi menambah modal usaha turut membuat keluarga kecilnya kehilangan segalanya. Termasuk rumah yang mereka tinggali sebelumnya.
Pabrik yang berhenti operasional, menghentikan kemampuan Amar untuk membayar cicilan hutang di bank. Belum lagi tagihan dari supplier bahan baku yang barangnya ikut terbakar di saat belum jatuh tempo pembayaran serta pengembalian down payment dari outlet-outlet rekanan yang barangnya belum sempat terkirim.
"Bunda telepon Buya dulu yaa, biar cepat pulang. Tapi janji... kalau Buya sudah pulang, Nabila harus cepat bobok," akhirnya Yuana menyerah, setelah berulangkali tidak berhasil membujuk Nabila tidur.
"Assalamu´alaikum Mas... bisa pulang awal kah? Nabila kangen... ndak mau tidur kalau belum ketemu Mas," ujar Yuana begitu telepon tersambung.
"Alaikumussalam... Iya Dik... ini juga lagi otw pulang, uda hampir perempatan ini," jawab Amar.
Tak berapa lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Lalu terdengar pintu mobil ditutup dan suara alarm diaktifkan.
deb... tit... tit...
"Holeee... holee... Buya pulang... Bunda... Buya pulaaang...." sorak Nabila senang menyambut kedatangan orang yang dirindukannya.
"Assalamu´alaikum Bila sayang," sapa Amar ketika membuka pintu dan menemukan Nabila bersorak-sorak. Sedikit melompat-lompat membuat curly pada ujung rambut Nabila bergoyang-goyang.
"Atum salam Buyaaa," jawab Nabila.
"Bentar yaa sayang... Buya mandi dulu, baru nanti Bila gendong Buya. Oke?" ujar Amar sembari meletakkan kunci mobil dan handphone pada rak dinding dan menggantung tas selempang di paku yang tertancap di sebelah rak.
"Ote Buya. Buya mandi dulu bial ndak ada tuman ya?"
"Pinternya anak Buya. Iya... Buya mandi biar ndak ada kuman, biar bersih, biar sehat, biar ndak sakit. Emang Bila tadi uda mandi?" jawab Amar yang berganti bertanya pada bidadari kecilnya itu.
"Uda dong Buya," jawab Nabila sambil menghampiri bundanya.
"Masak apa Dik? Laper... ," tanya Amar pada Yuana.
"Masak sup ceker Mas," jawab Yuana dengan sedikit menyengir.
"Mas mandi dulu... tolong dipanasi ya."
"Okey... siap ndan!" Yuana memberi sikap hormat layaknya pada seorang komandan upacara, tapi sambil mengedipkan sebelah matanya. Membuat Amar tergelak melihatnya.
Kelopak mata Nabila yang tadinya sedikit memerah di tepiannya karena sudah mengantuk, kini bulat sempurna demi merasakan antusias bermain bersama ayahnya.
Sebuah busy book menemani kebersamaan dua orang beda gender dan beda usia, yang jika mereka bermain bersama maka seolah tak ada orang lain di sekitarnya.
"Melah... Buya... butan tuning... itu melah," seru Nabila saat Amar dengan sengaja menempelkan pompom benang berwarna merah ke hook velcro berbentuk persegi berwarna kuning yang tertempel pada salah satu halaman busy book itu. Di situ terdapat lima buah persegi dengan lima warna yang berbeda sesuai dengan warna pompom yang menyertai.
"Waaah makin pinter princessnya buya ini... pasti diajarin sama bunda yang cantik itu kan?" puji Amar pada buah hatinya sambil mengerling ke arah Yuana yang sedang duduk tak jauh dari mereka berdua.
Yuana yang sedang mencoret-coret sebuah notes hanya tersenyum menanggapi kode dari suaminya itu. Demi memberi quality time untuk suami dan putrinya itu, ia mencoba mengisi waktu dengan membuat sketsa rancangan desain tas tangan.
Jika ia merasa puas dengan desain yang ia buat, maka ia akan mengirimkannya pada seorang pemilik sebuah butik tas di Singapura dengan royalti yang sepadan tentunya.
Setelah makan malam dan puas bermain dengan Nabila serta bercengkerama dengan Yuana di ruang depan, Amar mengajak anak dan istrinya tersebut ke kamar untuk menidurkan Nabila.
Seperti biasa, Nabila memilih tidur di dekat dinding, karena dihiasi stiker dinding favoritnya juga berderet aneka boneka tangan yang biasa digunakan Yuana untuk mendongeng. Jadi Yuana berada di tengah-tengah sedangkan Amar tidur di tepi, walaupun lebih sering tidur beralas hambal yang terbuat dari kain tebal yang digelar di atas karpet di ruang depan.
Setelah membaca doa sebelum tidur, Yuana membaca sholawat sambil menggaruk-garuk pungung Nabila sampai Nabila memejamkan mata. Jika Yuana menghentikan garukannya, maka Nabila yang belum tertidur sepenuhnya pasti akan bergumam, "galuuk..."
"Maafkan mas Dik..." bisik lirih Amar sambil memeluk pinggang Yuana dari belakang.
Yuana yang sedang melembutkan garukan pada punggung Nabila agar tidur nyenyak, menghela napas panjang, hingga dirasa Nabila telah terlelap.
"Harus berapa kali meminta maaf, Mas" sahut Yuana setengah berbisik sambil membalik posisi badannya.
Kali ini ia berbaring menghadap suaminya, tetap dalam pelukan Amar di pinggangnya. Tangan kanannya ia letakkan di dada Amar, sedang tangan kirinya mengelus pipi kanan Amar.
"Sudah kukatakan, aku ikhlas Mas. Berbaiksangkalah kepada Allah. Mungkin itu memang bukan rezeki kita. Kebakaran itu memudahkan kita melepasnya."
Melihat senyum dan tatapan mata Yuana, membuat Amar semakin merasa bersalah pada istri tercintanya.
"Tapi... pabrik itu... satu-satunya peninggalan orangtuamu Dik. Sungguh... aku... tak tahu diri, tidak bisa menjaganya dengan baik," lirih Amar menahan sesak di dadanya.
"Kita bisa selamat dari kebakaran itu, kita harus bersyukur Mas, itu yang penting. Sementara kita jalani dulu apa yang bisa kita jalani. Masih diberi kesempatan menemanimu dan merawat Nabila sudah nikmat yang luar biasa buatku, Mas," ucap Yuana pelan dengan tatapan dalam pada manik hitam mata suaminya.
"Aku menyayangimu Dik, lebih dari apapun di dunia ini. Kamulah satu-satunya nafasku. Mas janji, Mas akan berusaha keras mengembalikan milikmu Dik."
Demi apapun, Amar berjanji dalam hatinya, untuk selalu menjaga dan memberikan kebahagiaan pada istri dan anaknya. Ia akan berjuang untuk bisa mendapatkan rumahnya kembali dan menghidupkan pabrik yang selama ini dipercayakan kepadanya.
Tak selamanya angin topan bertiup, tak selamanya badai menerjang. Akan ada saatnya topan berganti angin sepoi-sepoi, akan ada saatnya badai berganti pelangi. Itu yang harus kita yakini agar bisa tetap berdiri tegak, apapun ujian yang kita hadapi.
Beruntung mereka bisa menemukan rumah sewa yang asri dengan biaya terjangkau. Rumah kecil dengan satu kamar berukuran sedang, dapur mungil yang menyatu dengan ruang tengah, satu kamar mandi di belakang persis ruang tamu, teras jemuran di belakang rumah, taman kecil di depan bersebelahan dengan carport yang berpagar kokoh.
Walaupun jauh lebih kecil dari rumah mereka yang disita bank, bahkan tak jauh lebih besar dari kamar mereka dulu, tetapi cukup nyaman untuk dihuni keluarga kecil seperti mereka.
Beruntung juga mereka masih memiliki satu unit city car yang bisa digunakan untuk menyambung hidup. Satu-satunya mobil yang tersisa, yang tidak ikut terjual untuk menutup kerugian, mobil yang merupakan hadiah pernikahan dari ayahnya Yuana.
Ya... Amar menjadikan mobilnya sebagai taksi online berbasis aplikasi. Ia bertekad mengumpulkan modal untuk memulai usaha yang baru, tanpa harus terlibat riba lagi.
"Bersabarlah sayangku, aku sungguh menyayangimu. Percayalah, jiwa ragaku hanya untukmu. Hatiku milikmu selamanya. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakanmu." Sambil mencium ubun-ubun Yuana, Amar menelusupkan tangannya ke punggung istrinya itu dan mengelus-elusnya dengan lembut.
"Terima kasih Mas, sudah mencintaiku sebegitu dalam. Semoga Allah memberkahi keluarga kita ya Mas." Kemudian Yuana mendongakkan kepalanya, mencium lembut dagu suaminya.
Dengan sedikit menunduk, Amar membalas ciuman itu dengan hangat.
"Kita pindah ke depan ya, biar Bila tidak terganggu."
Kemudian keduanya bangkit. Yuana mengambil selimut dan bantal panjang dan meletakkan di atas hambal kain tebal yang baru digelar Amar.
Berbaring berdua di atas hambal dan menutupi badan dengan satu selimut. Saling mendekatkan diri dalam pelukan hangat. Menyatukan rasa dan desahan dalam aktifitas jiwa dan raga yang mampu menumbuhkan bunga-bunga dalam hati keduanya.
Setelah saling menunjukkan besarnya rasa cinta dan kasih sayang dengan penyatuan raga yang hangat dan lepas, mereka memutuskan tetap tidur di atas hambal tersebut, saling memeluk dalam satu selimut.
Dikecupnya kening Yuana dengan dalam, lalu dipandangi wajah teduh nan ayu yang ternyata sudah tertidur. Amar menelentangkan diri sambil membiarkan istrinya tidur dalam pelukan.
Bayang-bayang kebakaran pabrik dan pengusiran kolektor eksternal sebuah bank, tempat Amar menggadaikan sertifikat rumahnya, pada keluarganya mengusik pikirannya. Mungkin menjelang fajar, baru ia bisa memejamkan mata.
\=\=\=
menthit \= terlalu tinggi
mboten gaduk \= tidak terjangkau
Pagi yang cerah, menyebarkan cahaya hangat bagi setiap makhluk yang sedang mengawali aktifitas hariannya. Terdengar suara kicau burung yang berasal dari pepohonan di sekeliling padang golf. Kupu-kupu yang ikut menyambut sinar mentari tampak beterbangan dengan sesekali hinggap pada bunga-bunga yang sedang mekar di taman bunga sekeliling pagar rumah.
Namun sinar mentari pagi itu tak mampu membuat suasana kamar itu ikut menghangat. Ruangan itu tetap gelap gulita sejak semalam. Gorden tebal berwarna cloudy concrete of grey tetap tertutup rapat tanpa memberi celah sedikitpun bagi masuknya cahaya mentari.
Bahkan dari dalam kamar yang gelap itu pun tak tampak jika sebenarnya ada seorang pemuda yang tengah tidur tengkurap di atas ranjang sleigh bed. Ranjang dengan headboard kulit berwarna brown mahogani dan dipan vintage berwarna dark mahogani. Bed cover yang sedikit tersingkap tidak begitu kusut meskipun tertindih oleh tubuh pemuda itu. Sepertinya tidak ada pergerakan berarti sejak ia tertidur hingga saat ini.
Ilham Adelio, 26 tahun, seolah enggan untuk membuka mata alih-alih untuk bangun pagi ini.
tok...tok...tok...
"Mas... Mas Ilham. Sarapan sudah siap Mas."
Terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamar Ilham. Seperti biasa... tak ada jawaban. Dengan sabar, Mbok Sari, perempuan paruh baya yang mengetuk pintu tadi menunggu beberapa saat di depan pintu.
Sudah beberapa hari, Ilham, majikan mudanya itu selalu melewatkan subuh bahkan sarapannya. Ia baru keluar kamar ketika hari sudah siang. Itu pun seperti tak ada bedanya, rumah itu seolah tak berpenghuni. Karena setelah sedikit mengisi perut, Ilham akan naik ke lantai tiga di mana ruang pribadinya berada.
Entah ruangan apa, tak ada yang mengetahuinya. Karena tak seorang pun diijinkan untuk memasukinya.
Dulu ketika Abah Haikal membeli rumah ini, tidak ada ruangan di lantai tiga, hanya ada helipad yang kemudian disulap menjadi sebuah ruangan yang luas oleh Ilham.
Hanya Mbok Sari yang sesekali naik ke lantai tiga, itupun hanya sampai depan pintu ruangan. Untuk mengingatkan makan malam sang majikan muda tentunya.
Rumah mewah tiga lantai tersebut hanya didiami Ilham seorang. Sedangkan Mbok Sari dan pekerja yang lain tinggal di paviliun belakang. Hanya Mbok Sari dan suaminya, Pak Hadi yang diberi akses untuk masuk ke dalam rumah.
Sebenarnya Ilham bukanlah sebatang kara. Ia memiliki seorang ibu, Fatma namanya, hanya saja saat ini berada di Singapura. Bu Fatma sedang menemani Annisa yang baru melahirkan putra keduanya. Annisa adalah adik perempuan Ilham, memiliki dua orang anak, Azyan yang berusia 3 tahun dan Noris yang baru dilahirkan 3 bulan yang lalu. Suaminya, Zein yang keturunan Cina-Jawa dan Arab-Batak itu memiliki beberapa outlet di Far East Plaza dan Bugis Street.
Selain ibu dan adiknya, Ilham juga memiliki seorang kakak. Rahmat, seorang pengusaha dan investor di ibukota. Ia memiliki istri seorang dosen di sebuah universitas negeri dan seorang putri usia remaja yang sedang menjalani boarding school di Tsuraya International Islamic High Shool.
Sedangkan Ilham setelah lulus kuliah mewarisi perusahaan almarhum ayahnya yang sebelumnya dikelola oleh Bu Fatma.
Ilham memang sejak awal sudah digadang-gadang untuk meneruskan usaha ayahnya, karena Rahmat lebih memilih mengikuti passionnya sendiri. Oleh karena itu, Ilham tidak memiliki banyak teman gaul.
Setiap hari kegiatannya sepulang sekolah adalah mengikuti ayahnya kemanapun beliau pergi baik urusan perusahaan, silaturahmi denan rekan-rekan bisnis ayahnya bahkan pergi mengaji di beberapa majlis taklim.
Kecuali saat ia memutuskan untuk kuliah di luar negeri, benar-benar harus mandiri. Meskipun pada akhirnya ia harus kembali ke tanah kelahiran demi meneruskan usaha ayahnya itu.
Kepulangan sekitar setahun yang lalu, yang harusnya menjadi awal kebahagiaan untuknya. Justru awal tragedi yang sangat menyakitkan baginya, yang menjatuhkannya dalam jurang keterpurukan yang paling dalam.
tok... tok... tok...
"Mas Ilham... sarapannya saya bawakan ke kamar kah?" seru Mbok Sari lagi. Sekedar meyakinkan dirinya, apakah majikan yang ia sayangi sejak kecil itu sudah bangun atau belum. Entah sudah berapa menit ia berdiri di depan pintu.
ceklek...
Tak lama pintu terbuka, kemudian tampaklah Ilham masih dengan piyama polos warna abu-abu, muka bantal yang sedikit tirus pucat dan rambut acak-acakan. Rambut halus tumbuh di sekitar dagu hingga depan telinga. Sungguh pemandangan yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Ilham yang biasanya selalu tampak rapi dan segar, tak pernah lupa untuk bercukur. Sungguh kontras sekali dengan penampakannya beberapa hari terakhir ini. Tampak tidak terawat dan tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Mbok Sari tersenyum menatap majikannya yang sedang menguap dan menggaruk tengkuknya itu.
"Aku mandi dulu, Mbok. Dan tolong rapikan kamarku ya."
"Baik Mas," sahut Mbok Sari seraya ikut masuk ke dalam kamar.
Setelah Ilham masuk kamar mandi, lekas-lekas perempuan seusia bu Fatma tersebut membuka gorden lebar-lebar.
Kamar yang sebelumnya tampak gelap gulita seketika menjadi terang benderang. Panas sinar matahari pagi perlahan menyeruak ke dalam kamar, suhu kamar yang semula dingin pun menjadi perlahan menghangat.
Dari kaca lebar yang dibuka gordennya tadi, tampak sebuah balkon berukuran sedang, yang terdapat sebuah kursi santai dan meja bulat di sebelah kiri dan pot bunga monstera di pojok kanan. Terdapat dua set dumbbell ukuran 3 kg dan 5 kg tergeletak di lantai di sudut kanan.
Dibukanya satu sisi pintu kaca yang membatasi kamar dengan balkon, agar udara segar bisa masuk ke dalam kamar.
Seandainya saja ia diijinkan merawat tanaman bunga di taman bunga yang berada tepat di depan balkon itu, pasti udara segar dan semerbak aroma bunga yang masuk ke dalam kamar. Namun mbok Sari hanya bisa mengelus dada dan membatin, tanpa berani mengusulkan atau sekedar bertanya.
Setelah itu, ia merapikan bedcover dan menata bantal guling serta selimut. Menyusuri sekeliling kamar guna melihat apakah ada hal yang perlu dibenahi. Namun sepertinya tak ada, sebutir debu pun ia tak tampak.
"Makasih Mbok," ucap Ilham sambil meletakkan pakaian kotornya di keranjang dekat pintu kamar mandi. Lalu beranjak ke walk in closed di sebelah kamar mandi.
"Sama-sama Mas. Saya sudah siapkan sarapannya di bawah Mas."
Lalu Mbok Sari mengambil keranjang cucian dan membawanya ke paviliun belakang.
Setelah memakai pakaian santai, celana bermuda warna krem dan kaus polos warna putih, Ilham berjalan ke balkon.
Mengangkat tangan dan menarik punggungnya keatas dan ke samping. Lalu meletakkan tangan di pinggang dan memutar-mutar pergelangan kakinya bergantian. Sempat melirik dumbbell di sudut kanannya, ingin mengambil tapi diurungkannya.
Pandangannya kemudian terpaku pada taman bunga disamping rumahnya, tepat di hadapan bawah balkon kamarnya. Dilihatnya taman bunga yang tidak terawat itu, banyak semak-semak dan rumput liar yang tumbuh dan tanaman dalam pot yang mulai mengering.
Landscape taman yang seharusnya tampak indah jadi terlihat memprihatinkan.
Lalu sebuah paviliun kecil yang berdebu dan warna catnya memudar. Tampak di beberapa titik ditumbuhi lumut dan menjadi sarang laba-laba.
Seandainya bisa dilihat dari luar, maka akan kontras sekali dengan rumah mewahnya yang sangat bersih dan terawat.
Paviliun kecil dan taman bunga tersebut berada di samping rumah, sangat privat, satu-satunya akses hanya pintu besi yang berada dalam gudang di sisi paling ujung paviliun belakang. Dan hanya Ilham yang memegang kunci pintu besi tersebut.
Terlihat rahang Ilham sedikit mengeras lalu sedikit mendongak ke atas dan kemudian membalikkan diri ke dalam kamar.
Meraih handphone di atas nakas, mengetik pesan pada asistennya, Arief, memintanya untuk menghandle pekerjaannya karena hari ini ia belum bisa berangkat kerja lagi hari ini. Dan ini sudah hari yang ke lima.
Setelah pesan menunjukkan centang berwarna biru, segera ia matikan handphonenya dan bergegas turun untuk sarapan.
Tanpa banyak bicara, ia duduk di kursi meja makan. Ada beberapa sajian di atas meja itu. Semua adalah menu sarapan favoritnya. Tiba-tiba ia merasa lapar yang teramat sangat. Mbok Sari memang terbaik.
"Makasih Mbok... omeletnya enak," ucap Ilham sambil menguyah omelet dengan lahap.
Lalu mencomot sandwich yang kemudian ia makan dalam dua kali suap saja. Diambilnya bubur ayam yang ternyata sudah tidak begitu hangat, tapi tetap ia makan dengan lahap juga.
"Kenapa, Mbok?" tanya Ilham ketika ia melihat Mbok Sari menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum.
"Laper, Mbok," lanjutnya sambil menyengir pada orang yang mengasuhnya sejak kecil tersebut.
"Gimana ndak laper Mas. Kemarin cuman sarapan roti oles trus seharian ndak makan. Jaga kesehatan Mas... Mbok sedih kalo nanti Mas Ilham jadi sakit lagi," pelan Mbok Sari mencoba memberi nasihat pada majikan yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.
Namun Ilham hanya menganggukkan kepalanya sekali saja kemudian ia habiskan segelas air mineral lalu beranjak pergi ke atas menuju ruang pribadinya di lantai tiga rumah itu.
Mbok Sari hanya bisa menghela napas lalu membersihkan peralatan makan yang baru digunakan oleh Ilham untuk sarapan tadi.
"Sar... gimana Mas Ilham?" tanya Pak Hadi begitu ia masuk ruang dapur.
"Masih seperti kemarin... tapi ini tadi makannya lumayan banyak. Sepertinya Mas Ilham tidak berangkat kerja lagi... memangnya di atas ngapain aja ya, aku khawatir Pak'e," jawab Mbok Sari dengan sedih.
Pak Hadi menghela nafas dengan berat, ada kekhawatiran pada raut wajahnya akan kondisi majikan yang ia anggap sebagai anaknya sendiri tersebut.
Bagaimanapun ia sudah berjanji akan menjaga keluarga ini, lebih tepatnya mengabdi. Ia dulu yang bukan siapa-siapa, bahkan dipandang sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya, tiba-tiba diangkat sebagai asisten Abah Haikal.
"Sudah kau siapkan kamar Bu Fatma? Mungkin satu jam lagi beliau sampai bandara."
"Sudah Pak... soto kesukaan Ibu juga sudah siap. Pak´e mau sarapan soto?" jawab Mbok Sari sembari menawarkan sarapan.
Kemudian suami istri yang mengabdi sejak masa lajang pada keluarga Haikal Maulana tersebut menikmati sarapan berdua. Dalam hati keduanya sama-sama memiliki harapan kedatangan Bu Fatma akan mengembalikan Ilham pada keadaan yang lebih baik.
Usai mandi jinabat dan sholat subuh, Yuana menuju dapur untuk memasak. Menyepol rambutnya tinggi-tinggi dengan jepit berbentuk kerang dan memakai apron selutut warna krem dengan tali coklat tua, Yuana siap berjuang membuat sarapan untuknya dan suaminya.
Dalam kulkas, tersedia sayur sawi, kacang panjang, manisa atau labu siam serta tahu susu dan tempe siap goreng. Diambilnya sayuran tersebut, dicuci dan dibilas lalu dipotong-potong dan direbus. Dibubuhi sedikit gula dan garam dalam rebusan.
Lalu dipanaskan wajan di tungku satunya. Digorengnya tahu terlebih dahulu dalam minyak yang panas dan agak banyak. Agar tahu susu bisa krispi di luar dan lembut di dalam.
Sembari menunggu sayur matang, diambilnya bumbu pecel instan khas Madiun. Dituang secukupnya dalam mangkuk kecil dan disiram air panas dari termos, lalu diaduk-aduk hingga larut.
Tepat waktu, begitu bumbu pecel siap saji, sayuran dan tahu pun sudah matang. Dimatikan api pada rebusan sayur dan diangkat tahu menggunakan peniris minyak, lalu memasukkan tempe pada wajan.
"Assalamu´alaikum... Dik," ucap Amar yang baru pulang dari masjid sambil menenteng kantung plastik berisi kerupuk pesanan istrinya tadi sebelum ia berangkat ke masjid. Seperti hari-hari sebelumnya, sesudah sholat subuh berjamaah, Amar tidak langsung pulang tapi mengisi taklim terlebih dahulu. Memberi pencerahan rohani kepada para jama´ah sholat subuh di masjid perumahan tersebut. Jadi ketika ufuk fajar telah hilang, dia baru tiba di rumah.
"Alaikumussalam... Mas," jawab Yuana sembari mencium tangan suaminya itu.
"Siap-siap dulu Mas, habis itu sarapan. Tempenya bentar lagi matang."
Amar mendekat ke punggung Yuana, lalu memeluk pinggangnya dan menciumi leher serta bahu kanan istri yang sangat dicintai tersebut. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh istrinya, hidung dan bibir menyusuri tengkuk dan belakang telinga. Menimbulkan gelenyar dan rasa geli pada Yuana.
"Maaas... sudah sana," mengedikkan bahu yang disentuh ujung hidung lelakinya.
"Rasanya pingin di rumah saja, menemani bidadari-bidadariku"
"Iiih... kebiasaan deh. Semalem masih kurang?"
Bukannya beranjak, Amar malah mempererat pelukannya. "Maunya seharian penuh semalem suntuk."
"Haiiish... " menggelengkan kepala tak habis pikir dengan kemauan suaminya. "Trus susu Nabila gimana? Uda mau habis lho Mas."
"Hhhhhuuuff... baiklaaah... mas siap-siap dulu." Merentangkan tangan dan menghentakkannya ke kanan ke kiri, berharap mengusir rasa malasnya. Sebenarnya bukan rasa malas, tapi lebih pada rasa berat untuk meninggalkan anak dan istrinya pergi pagi ini, walaupun hanya untuk pergi bekerja.
Amar melangkah ke kamar untuk berganti pakaian sedangkan Yuana menata makanan di meja makan yang berada di ruang tengah yang menyatu dengan dapur tersebut. Dapur yang modern minimalis, terlihat menyatu indah dalam interior ruang tengah tersebut. Yuana membersihkan dapur dan peralatan yang baru ia pakai memasak.
Sesaat kemudian setelah sarapan, Amar membantu mencuci piring yang baru digunakan. Lalu beranjak ke depan dan duduk di karpet ruang tamu, bersanding
dengan istrinya yang baru saja duduk dengan membawa pakaian yang mau diseterika. Diraihnya handphone di nakas kecil di sudut ruangan itu, lalu diaktifkan aplikasi taksi online miliknya.
dreeet...dreeet...
"Alhamdulillah Dik, mas langsung dapat orderan. Mas berangkat dulu ya... hati-hati di rumah," ucap Amar pada istrinya ketika aplikasi taksi onlinenya mendapat permintaan penumpang.
"Iya Mas, safe drive ya Mas. Jangan lupa nanti pulangnya, belikan susu buat Nabila. Jangan malem-malem juga pulangnya."
"Iya... Mas berangkat ya. Assalamualaikum pemilik hatikuuu" pamit Amar sesaat setelah mencium kening Yuana, lalu beranjak ke teras depan.
"Alaikumussalam penguasa hatikuuu" jawab Yuana tak kalah manja lalu meraih tangan suaminya dan mencium punggung tangan kekar itu.
Entah kenapa, Yuana seakan enggan melepas tangan Amran, menatap dengan penuh harap seakan mengatakan ´tolong jangan pergi´.
Kecupan singkat di ujung hidung, membuatnya terpaksa melepas tangan itu. Dipandanginya punggung sang suami yang berjalan ke carport sampai masuk ke dalam mobil.
Berlari kecil sambil membenarkan posisi jilbab instannya, Yuana membantu membuka lebar-lebar pintu pagar agar mobil yang dikendarai Amar bisa keluar. Kemudian Yuana berdiri di tepi pintu pagar menanti mobil Amar perlahan melaju mundur keluar halaman. Ketika posisi Amar dan Yuana sejajar, Amar membuka lebar-lebar kaca jendela.
Saat Yuana mengangkat tangan kanan untuk dilambaikan, secepat kilat Amar meraihnya. Dicium punggung tangan Yuana lalu menariknya hingga tubuh Yuana menempel pada pintu mobil.
"Apaan sih Mm... " belum selesai Yuana melontarkan keterkejutannya, Amar sudah merengkuh tengkuk Yuana dan membungkam bibir Yuana dengan ciuman dalam.
Seakan enggan untuk menghentikan aksinya, tangan kanan Amar mempererat genggamannya sedang tangan kiri menahan tengkuk istrinya sambil menggerak-gerakkan jemarinya hingga mengacak-acak kain yang menutupi tengkuk istrinya tersebut.
Meskipun terkejut dan menahan malu, Yuana pun membalas ciuman tersebut. Menyalurkan segala kegundahan yang dirasakan oleh keduanya pagi ini. Suara decapan dan deru nafas mendominasi pendengaran keduanya.
Begitu terasa melonggar, Yuana segera menarik dirinya. Dengan nafas sedikit tersengal, tangan kirinya menepuk pundak Amar. "Mas... iiiih malu tau. Ini kan di pinggir jalan," protes Yuana pada kelakuan suaminya barusan.
"Makasih yaa... bekal terindah yang akan kubawa sepanjang perjalanan Mas hari ini Dik."
Memandang pipi yang merona merah dan bibir ranum yang mengerucut menahan senyum, membuat Amar merasakan kehangatan dalam dadanya. Memajukan kedua bibirnya singkat seolah melemparkan ciuman jarak jauh dan menggerakkannya seolah mengucap salam lalu melajukan mobilnya perlahan menjauh.
Yuana pun membalas salam tersebut dengan tindakan serupa, hanya menggerakkan bibirnya tanpa suara. Sedikit melambaikan tangan di depan dada sambil menutup pintu pagar. Diliriknya rumah tetangga di depan, tampak Bu Marta sedang merapikan gorden di belakang kaca jendela sambil senyum-senyum sendiri.
Duh... malunyaaa... pasti beliau melihat tadi.
Berpura-pura tidak melihat Bu Marta, Yuana mengalihkan pandangannya pada mobil suaminya. Begitu mobil Amar menghilang di tikungan jalan, Yuana masuk ke dalam rumah. Ditutupnya pintu bersamaan dengan terdengarnya suara imut memanggilnya.
"Bundaa..."
Bergegas Yuana menuju ke dalam rumah mendatangi Nabila yang baru bangun dari tidurnya.
"Assalamu´alaikum sayang... sudah bangun?"
"Atum salam Nda. Bila mo pipiss."
"Anak pinteeer... ayo ke kamar mandi, sekalian mandi yaa... biar bersih, biar harum," ucap Yuana sambil menuntun putrinya ke kamar mandi.
Sambil menenteng termos air panas, Yuana menuntun Nabila pergi ke kamar mandi. Tidak seperti kamar mandi di rumah sebelumnya yang memiliki pemanas air otomatis, Yuana membiasakan diri memandikan anaknya dengan menambahkan sedikit air panas dalam gayung.
Sengaja tidak memakai ember untuk menampung air, mengandalkan air yang mengalir langsung dari kran agar terjaga kesucian air yang hendak digunakan.
Setelah mandi, Yuana memakaikan pakaian jumpsuit dengan lengan model sabrina pada Nabila. Mengikat rambutnya menjadi dua ikatan di kanan dan kiri, lalu mengusapkan sedikit bedak bayi pada wajah Nabila.
"Bial tantik tayak bunda ya," sahut Nabila dengan antusias.
"Hehe...iyaa... biar Bila makin cantik."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!