"Huhh akhirnya setelah menghadapi segala tantangan, hambatan, gangguan, dan ancaman, kita lulus juga," ucap seorang gadis yang sedang duduk di pinggir lapangan bersama keempat sahabatnya, dia adalah Nindi.
"Lebay lo," cibir Elsa.
"Vina sama Rista serius setelah ini langsung kerja?" tanya Desi.
"Iya Des, aku kasihan sama orang tuaku, apalagi kedua adik aku sekarang sudah lulus SD," jawab Vina.
"Terus kalau lo Ris?" Desi ikut menimpali.
"Aku juga gitu, kalian tau kan keadaan keluargaku gimana? Mereka nggak sanggup buat ngebiayain aku lagi," ucap Rista sedih.
"Berarti kita pisah dong? Dan hari ini kita terakhir berkumpul?" tanya Elsa.
"Yahh mau gimana lagi Nin, jalanin aja sesuai alurnya," ucap Vina.
"Udah nggak usah sedih, lagian kita masih berada di bumi yang sama, di bawah langit yang sama," ujar Desi.
"Iya, asalkan kalian jangan sampai lupa persahabatan kita ini, kalau kalian lupa, gw bogem kalian satu-satu," ucap Nindi dengan nada mengancam.
"Pasti dong," jawab mereka serempak.
"Terus kalian mau lanjut sekolah dimana?" tanya Rista.
"Kalau gw sih milih sekolah di SMK Merah Putih," ucap Nindi.
"Kok sama?" tanya Desi dan Elsa bersamaan.
"Kan emang dari awal kita milih sekolah itu bambank," jawab Nindi kesal.
"Eh iya ya, hehehe," Desi dan Elsa hanya cengengesan.
"Duh gw laper nih, mumpung gw lagi baik, gw traktir kalian air putih, gimana?" Nindi menawarkan.
"Terimakasih atas tawarannya, tapi mohon maaf saya tidak berminat," jawab Elsa.
"Yakin nggak mau? Nggak baik loh nolak rezeki, kalian boleh kok minum sepuasnya," ucap Nindi enteng.
"Hmmm mentang-mentang dapat juara satu pake sok-sokan traktir kita segala," cibir Rista.
"What? Nindi juara satu? Astaga demi abang gw yang kalau tidur matanya merem, seriusan?" heboh Desi tak percaya jika Nindi mendapat juara satu di kelasnya. Ya, mereka berlima itu beda kelas, Nindi dan Rista mendapat kelas C, sedangkan Elsa, Vina, dan Desi mendapat kelas A.
"Iya, juara satu dari belakang, hahahaha." Rista tertawa disusul oleh tawa Elsa, Vina, dan Desi. Sedangkan Nindi? Dia sudah sangat jengkel dengan sifat sahabatnya yang sudah menemaninya selama tiga tahun, namun dia tidak pernah mengambil hati omongan mereka, karena memang kelima gadis itu suka asal jeplak kalau berbicara.
"Udah ketawanya?" ucap Nindi datar.
"Utututuu adek Nindi jangan ngambek dong, tambah asem tuh mukanya." Desi kembali menguji kesabaran Nindi.
"Duh pusing gw, ayolah kita ke kantin, ini adalah hari terakhir kita bisa makan di kantin ini." Nindi merengek seperti anak kecil.
"Kuy lah, apa sih yang enggak buat kamu," ucap Elsa sambil mengedipkan matanya sebelah.
"Jyjyk gw El," ucap Nindi seraya bergidik ngeri.
"Hahahaha," tawa mereka menggema di sekitar lapangan itu, kemudian mereka berlalu menuju kantin.
Sesampainya di kantin mereka langsung memesan makanan, mereka berlima bukan anak dari orang kaya, para orang tua mereka hanyalah seorang petani. Selama tiga tahun ini, mereka selalu menjalani hari-hari dengan ceria, selalu bersama dalam keadaan suka maupun duka, perselisihan tentunya sering terjadi dalam persahabatan mereka, namun itu tidak menjadi alasan untuk mereka berpisah dan membenci satu sama lain.
"Brrrkkk, Ups..." Nindi tak sengaja bersendawa saat sedang menyantap makanannya, dia langsung membekap mulutnya sedangkan sahabatnya tampak biasa saja karena mereka sudah hapal akan kebiasaan Nindi.
"Mulut lo itu kayaknya perlu diajari tata krama deh Nin, udah mau SMK juga, nggak malu apa pada semut merah yang berbaris di dinding," ucap Elsa sambil bernyanyi di akhir kalimatnya.
"Diem El, suara lo bikin cacing gw mendadak hilang nafsu makannya," ujar Desi.
"Ieww Desi cacingan ya?" celetuk Rista.
"Ehh ini lagi makan kok pada ngebahas cacing sih? Emang nggak ada akhlak kalian ini," ucap Vina menggerutu.
Mereka pun kembali melanjutkan menyantap makanannya yang sempat tertunda, saat ingin berkeliling sekolah, tiba-tiba saja terdengar pengumuman yang membuat mereka mengurungkan niatnya.
"Pengumuman untuk seluruh siswa kelas 9, jika sudah tidak ada kepentingan lagi, diperkenankan untuk meninggalkan sekolah, terimakasih."
"Wah ceritanya kita diusir nih?" ucap Nindi emosi.
"Positif thinking aja, mungkin mereka udah nggak tahan liat murid yang comel kayak kita ini," ucap Elsa dengan PD.
"Iya, takut diabetes kali, secara kita kan manis," ujar Desi ikutan nimbrung, sedangkan Rista dan Vina hanya tersenyum geli mendengar celotehan sahabatnya yang mungkin tidak akan mereka dengar lagi di hari esok.
"Udah yuk kita pulang aja, kita jangan tebal muka, udah diusir tapi masih juga tinggal di sini," ucap Vina.
"Yahh padahal gw masih pengen menghabiskan waktu sama kalian." Desi merasa kecewa.
"Udah jangan berlarut-larut dalam kesedihan, kalian tau kan pepatah yang mengatakan kalau setiap pertemuan pasti ada perpisahan," ucap Rista berusaha tegar, dia sebenarnya juga tidak rela harus berpisah dengan sahabatnya itu, namun karena keadaan yang memaksa mereka untuk berpisah, mereka bisa apa?
•
•
•
JANGAN LUPA LIKE & KOMEN🤗
TAMBAHKAN KE FAVORIT JUGA KALAU KALIAN SUKA DENGAN CERITANYA😘😘
Nindi sampai di rumahnya dengan mata sembab dan hidung yang merah, dia masuk ke dalam rumah dan tampaklah manusia tampan namun menyebalkan menurut Nindi, laki-laki itu memperhatikan wajahnya dengan tatapan heran.
"Lebay banget sih lo dek, cuma karena perpisahan aja, muka lo itu udah kayak nggak cuci muka setahun, terus ngalahin asemnya cuka dan pahitnya garam," ucap Dafa sambil terkekeh, dia adalah kakak Nindi, sosok yang selalu membuat Nindi kesal namun dia sangat menyayangi kakak tampannya itu, usianya pun hanya selisih dua tahun, tak jarang jika orang-orang akan mengira mereka sepasang kekasih ketika berjalan berdua.
"Asin Bang," Nindi meralat kalimat Dafa seraya memutar bola matanya malas.
"Hah serah lo aja, ceritanya habis nangis bawang nih?" goda Dafa hingga membuat Nindi salah tingkah.
"Apaan sih Bang, tadi mata gw kelilipan," kilahnya cepat.
"Hahaha kelilipan apaan tuh? Nindi...Nindi..., gw itu bukan Tifani yang bisa lo tipu dengan mudah," ucap Dafa sambil tertawa. Tifani adalah adik dari Dafa dan Nindi yang masih berusia lima tahun, jadi sebenarnya Nindi adalah putri ke-2 dari tiga bersaudara.
Nindi mendengus kesal karena merasa harga dirinya diinjak-injak oleh abangnya, bagaimana tidak? Seorang Nindi yang terkenal tomboy, pemberani, tangguh, dan keras kepala itu bisa menangis karena sebuah perpisahan, apalagi jelas-jelas mereka berpisah dan masih bisa bertemu kembali.
"Oh iya, lo beneran nggak mau sekolah di tempat Abang?" tanya Dafa dengan raut wajah serius.
"Iya Bang, gw mau nyari suasana baru,"
Obrolan mereka semakin asik, Nindi pun masih mengenakan seragam sekolahnya, jika kalian bertanya kemana orang tua mereka? Orang tua mereka pasti berada di kebun, mereka memilih untuk menghabiskan waktu untuk berkebun, berangkat di pagi hari dan pulang sore hari. Dan untuk pekerjaan rumah, orang tuanya memberikan tanggung jawab kepada Dafa dan Nindi untuk mengurusnya.
"Halo Bang Dafa yang ganteng dan Kak Nindi yang cantik tapi masih cantikkan Fani!" seru seorang gadis kecil yang sangat menggemaskan, dia adalah Tifani yang baru pulang setelah bermain dengan temannya sejak pulang sekolah tadi, jadi Fani itu sudah sekolah di taman kanak-kanak yang ada di desa tersebut.
"Adek siapa sih, ngeselin banget," kesal Nindi.
"Adek kalian dong, emang siapa lagi? Ya kali adek kang seblak depan kompleks," jawab Fani enteng.
"Baru pulang Dek?" tanya Dafa sekedar basa-basi.
"Nggak Bang, udah semenjak katak berubah menjadi pangeran, ya iyalah Bang, nggak liat nih Fani baru nyampek rumah," ucapnya ngawur, memang Fani jika diajak adu mulut pasti dia selalu menang, orang tunya pun sampai heran, bagaimana bisa seorang gadis yang masih berusia lima tahun tapi kata-katanya sudah seperti ABG.
"Good," puji Nindi sambil mengacak rambut panjang Fani.
"Fani..." ucapnya bangga sambil menepuk dadanya. Sedangkan Dafa menatap mereka dengan tatapan jengah, memang setiap hari dia harus melihat manusia dengan tingkat kewarasan yang diragukan, apalagi mereka adalah adiknya sendiri, dia tak habis pikir, darimana mereka mendapat gen sengklek itu.
"Oiya Kak, nanti temenin Fani belajar ya," pinta Fani.
"Siapp," ucap Nindi, suatu kehormatan baginya jika ada yang mau berguru padanya.
"Eits, Fani belajar sama Abang aja ya, kalau Kak Nindi yang nemenin, bisa-bisa kamu ikutan gila kayak dia," ujar Dafa, dia tau jika Nindi yang mengajar Fani, bukannya tambah pintar tapi malah tambah nggak waras, karena terkadang Nindi memberikan jawaban yang asal-asalan tetapi anehnya Fani dengan mudahnya dia mengerti, beda halnya jika Dafa yang mengajar, sampai jungkir balik sambil salto pun nggak bakalan ngerti.
"Hmmm bareng-bareng aja gimana?" tawar Fani.
"Wahh ide bagus," ucap Nindi.
"Hmmmm." Dafa hanya berdehem, dia sudah memikirkan nasibnya jika harus belajar bareng dengan manusia super nggak jelas yang pernah dia temui sepanjang jaman.
•
•
•
JANGAN LUPA LIKE & KOMEN🤗
TAMBAHKAN KE FAVORIT JUGA KALAU KALIAN SUKA DENGAN CERITANYA😘😘
Ketiga manusia dengan frekuensi otak yang berbeda itu tengah duduk di ruang keluarga, sesuai penawaran Fani, kini Dafa dan Nindi sedang mendampingi bocah kecil cabe keriting itu belajar, katanya.
"Bang, 1+1 itu berapa?" tanya Fani ke Dafa, sedangkan Nindi sedang asik memainkan game di ponselnya tanpa memperhatikan dua insan yang sejak tadi berdebat.
"Haduhh dek, kamu pertanyaan kayak gitu aja nanya ke abang, gimana kalau angkanya udah sampai ratusan, ribuan, jutaan hah?" ucapnya frustasi karena sejak tadi Fani melontarkan pertanyaan yang terkadang tidak berfaedah sama sekali.
"Yah kan aku nanya, Bang."
"Hmmm jadi gini, misalkan Fani punya kue satu potong, terus bang Dafa ngasi satu potong lagi, jadi Fani punya kue berapa?"
"Bang Dafa nggak pernah tuh ngasi Fani kue."
"Wow savage, hahahaha," celetuk Nindi tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
"Kan itu cuma perumpamaan Fani," ucap Dafa gregetan.
"Tapi kan sama aja Bang," ujarnya tak mau kalah.
"Huhhh iya iya, abang ganti soalnya, misalkan Fani dikasi apel satu butir sama ibu dan satu butir lagi dikasi sama bapak, terus Fani punya berapa apel jadinya?"
"Jadinya Fani nggak punya apel."
"Lah kenapa bisa gitu?" Dafa menatap heran.
"Karena apel itu udah Fani makan," ucapnya polos, namun berhasil membuat Dafa nangis guling-guling sambil mengacak-ngacak rambutnya.
"Abang kenapa?"
"Mmm nggak papa, mending kamu tanya kak Nindi aja yah, kepala Abang mendadak pusing."
"Oke deh, santuy ae Bang," ucapnya hingga membuat Dafa melongo, namun dia tau siapa dalang dari semua ini, tentu saja ini adalah ulah Nindi yang sering memakai bahasa gaul di rumah dan sifatnya yang bar-bar hingga menurun ke Fani.
"Kak Nindi, 1+1 berapa?" tanyanya pada Nindi, namun yang ditanya malah mengacuhkan dirinya.
"Iiihh Kak Nindi main HP mulu ntar aku laporin loh ke Bapak," ancamnya hingga sontak membuat Nindi menaruh ponselnya dan menatap tajam ke arah Fani.
"Dasar bocah, dikit-dikit ngadu," cibir Nindi.
"Biarin wleekk," ucap Fani sambil menjulurkan lidahnya.
"Udah, tadi nanya apaan?"
"1+1 berapa?"
"Hufff..," Nindi menghela nafas panjang.
"Jadi gini, Fani tau nggak 1000 + 1000 itu berapa?" tanya Nindi.
"2000."
"100 + 100?"
"200."
"Berarti kalau 1+1?"
"Lah mana saya tau, saya kan ikan."
"2 tulul 2," ucap Nindi emosi, sedangkan Dafa sudah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah keduanya.
"Oh," jawabnya singkat, padat, dan jelas.
"Oh doang?" tanya Nindi heran dengan jawaban adiknya.
"Ya terus? Fani harus jingkrak-jingkrak sambil jungkir balik sampai monas gitu?"
"Hadeuhhh dulu Emak ngidam apaan sih sampai tumbuh manusia kayak gini?" ucap Nindi sambil memijit keningnya.
"Situ nggak ngaca Mbak, loe juga 11 12 sama Fani," celetuk Dafa.
"Ssssttt kalian berhenti berdebat, ini kapan selesainya kalau kalian debat mulu," ucap Fani sambil mendelik kesal.
"Hmmm gimana kalau kamu buat soal sekaligus jawabannya?" ujar Nindi memberi ide.
"Wahh boleh juga tuh," jawab Fani antusias.
"Yakin kamu bisa Dek?" tanya Dafa ragu.
"Yakinlah, kecil itu mah," jawabnya penuh percaya diri.
"Ya udah terserah kamu aja."
"Dek, bukannya sekarang kita udah libur akhir semester? Kok kamu masih belajar?" tanya Nindi.
"Heh, kalau mau malas jangan ngajak-ngajak, udah bagus Fani mau belajar, nggak kayak lo yang sekolah cuma sekedar biar punya ijazah doang," sindir Dafa.
"Kok loe ngegas Bang?" Nindi tidak terima akan ucapan Dafa.
"Emang fakta kan?"
"Loe tu ya Bang."
"Kenapa?"
"Kalau ngomong suka bener."
"Dafaa," ucap Dafa menyombongkan dirinya.
"Hilihh." Nindi memutar bola matanya malas.
"Ekhemmm." Fani berdehem hingga membuat Dafa dan Nindi menoleh ke arahnya.
"Kenapa Dek? Keselek batako? Atau tenggorokannya gatal minta diseduh pake air mendidih?" tanya Nindi asal.
"Jahat kamu Mas!" ujar Fani mendramatisir.
"Le to the bay, LEBAY..!!"
"Hehh kalian berdua diem," ucap Dafa yang pusing karena ocehan mereka.
"Fani, kamu udah selesai buat soal sekaligus jawabannya?" tanya Dafa.
"Udah Bang, nihh," jawabnya sambil menyerahkan buku tulis bergambar barbie itu ke Dafa.
Dafa menerima itu dan langsung membacanya, seketika matanya membulat sempurna, Nindi yang ada di sebelahnya pun terheran-heran. Karena penasaran, dia mengambil buku itu dan membaca tulisannya, seketika wajahnya berubah masam, ingin sekali dia menertawakan kebodohan Fani, tetapi dia juga bingung, entah dia harus marah atau tertawa, sedangkan Fani? Dia malah tertawa cekikikan melihat kedua kakaknya yang menurutnya sangat lucu.
Tulisan yang ada di buku Fani.
1. Kenapa sapi tidak makan daging?
Jawab : Karena dia vegetarian.
2. 10+10\= ?
Jawab : Fani tidak tau, Anda punya otak jadi pikir saja sendiri.
3. Kenapa bisa terjadi banjir?
Jawab : Meneketehek, Fani bukan tuhan yang tau segalanya.
4. Kenapa Bang Dafa ganteng?
Jawab : Karena dia memiliki adik yang comel kayak Fani.
5. Kenapa Kak Nindi mbuluk?
Jawab : Karena nggak mampu beli skincare.
•
•
•
JANGAN LUPA LIKE & KOMEN🤗
TAMBAHKAN KE FAVORIT JUGA KALAU KALIAN SUKA DENGAN CERITANYA😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!