SELAMAT MEMBACA🙏🙏🙏
Dini hari, pukul 01.00 WIB, tiba-tiba aku terbangun setelah merasakan tenggorokan kering luar biasa. Biasanya kalau terbangun malam, aku selalu mendapati Mas Harun di sampingku. Kadang, ia berada di ruang tengah, “melekan”, menggantikanku untuk menjaga bayi kami yang baru berusia tiga bulan.
“Nda juga rindu padamu, Dek. Pertemuan terakhir kita membuat Nda terbayang-bayang terus…” Mas Harun terus saja enjoy dengan obrolan di gawainya. Dia tak menyadari keberadaanku yang sedari tadi mendengarkan pembicaraannya.
Samar-samar terdengar suara Mas Harun, tapi tak kulihat sosoknya. Mata ini mencari di ruang tamu juga depan rumah, tapi tak ada. Suara semakin jelas ketika aku pergi ke dapur, tapi tetap saja tak kutemukan dirinya. Pintu belakang yang terbuka, menyadarkanku kalau ia berada di taman belakang rumah. Tadinya, aku akan mengagetkan sambil memeluknya dari belakang. Aku menghentikan langkah kaki, ketika mendengarnya bercanda mesra. Ia memanggilnya adek seperti ia memanggilku, bahkan Mas Harun memanggil namanya sendiri dengan ‘Nda’ sebagaimana aku biasa memanggilnya.
Aku ingin teriak, tapi tubuh ini terasa tak bertenaga lagi. Meski sakit menghujam hati. Aku kuatkan untuk menikmati suara sepasang kekasih yang lagi dimabuk cinta. Aku ingin melihat reaksi Mas Harun setelah ia melihatku di sini. Apa lagi yang ia akan katakan.
“Sudah ya Dek, besok Nda sambung lagi, Nda sayang sama Adek. Bobok yang nyenyak ya. Love you.” Mas Harun mengakhiri panggilan teleponnya.
"Dek…!?”Mas Harun kaget mendapatiku duduk lunglai tak berdaya, tepat tujuh langkah di belakangnya.
“Siapa lagi ini Nda?” selidikku sambil menarik-narik lengan bajunya.
Tak menjawab pertanyaanku, justru Mas Harun bertanya balik padaku, “Sejak kapan Adek disini?”
“Sejak kau katakan kalau kau menikmati pertemuan kalian. Kau…” Tangisku pecah seketika.Rasanya tak sanggup mengulang kalimat yang diucapkan Mas Harun pada wanita itu. “Tega sekali kau, Nda.Ternyata bukan hanya aku yang memanggil Nda padamu. Bahkan kau obral kata-kata cintamu itu dengan murahnya. Teganya, kau, Nda…?!” cerocosku tanpa henti sambil menangis dan memukul-mukul tubuhnya. Terdiam dan hanya kata maaf yang keluar dari bibirnya.
“Siapa dia, Nda?” desakku masih emosi. “Siapa Nda?”
Lama sekali Mas Harun menjawab pertanyaanku. Aku terus saja mendesaknya. Lamat terdengar lirihnya, “Dia orang yang sama Dek. Yang pernah datang dalam hubungan kita dulu.”
Bak disambar petir dan dicabik hati ini, untuk kesekian kalinya ia mengkhianatiku. Baru tiga bulan yang lalu aku melahirkan buah cinta kami, Aisyah, dan tanpa perasaan ia menduakanku. “Dinar…?” Anggukannya membuatku semakin histeris. “Bukankah dinar sudah bersuami Nda? Apalagi ini, Nda?” tanyaku bertubi-tubi tanpa memedulikan usahanya untuk menenangkanku.
“Apa aku punya salah, Nda? Apa aku tak lagi menarik bagimu, Nda?”
"Tidak Dek. Aku yang tak bisa mengendalikan perasaanku. Aku menyayangimu tapi aku juga tak bisa melihat Dinar sedih, Dek.” Aku hanya mendelik mendengar kilahnya.
Pantas saja, akhir-akhir ini ia selalu bersenandung lagu Dewa ‘Aku Cinta Kau dan Dia’. Tak henti memandangi layar gawai dan senyum-senyum sendiri.
Mas Harun terus saja tertunduk. Melayang-layang, teringat beberapa tahun silam. Sewaktu masih bertunangan, Dinar sudah pernah menjadi orang ketiga dalam hubungan kami. Rencana pernikahan nyaris batal. Jika bukan karena ibu mertua yang sudah menganggap aku seperti anaknya sendiri, rasanya tak ada alasan bagiku untuk meneruskannya. Setelah menikah, Dinar sempat datang ke rumah meminta maaf sekaligus memberikan kabar gembira kalau ia juga akan menikah. Nyatanya, kejadian yang dulu, kini terulang kembali. Wanita itu seperti terobsesi dengan lelakiku.
Setelah kupaksa, akhirnya Mas Harun cerita semuanya. Sebulan yang lalu, tiba-tiba Dinar datang ke tempat kerjanya. Dinar mengaku kalau suaminya ringan tangan. Sebagai lelaki, tentu saja ada iba pada kondisi Dinar. Hampir tiga hari sekali Dinar mendatangi Mas Harun di kantornya. Rasa yang dulu belum selesai akhirnya muncul kembali. Perasaan iba itu akhirnya berubah menjadi kasihan kemudian sayang, dan berakhir di ranjang.
Sempat ingin melabrak Dinar, tapi harga diriku lebih berharga. Tak ingin Dinar semakin besar hati, maka kuurungkan niatku. Mas Harun tak henti-hentinya memohon maaf. Ia menyayangiku tapi tak bisa menolak kehadiran Dinar yang butuh pertolongan. Waktu kukatakan, “Kau begitu peduli pada nasib istri orang lain Nda, hingga lupa telah menyakiti istrimu sendiri. Seandainya aku disakiti olehmu, relakah engkau, Nda, jika aku melampiaskannya pada lelaki lain?” Mas Harun menggeleng sambil berucap lirih, “Tentu aku tak rela Dek.”
Sementara aku masih sesenggukan, Mas Harun hanya terdiam sambil merangkul dan tak henti mengecup keningku. Aku mati rasa. Kecupan Mas Harun kini tak lagi membuatku bahagia tetapi semakin perih. Membayangkan bagaimana Mas Harun kala bersama Dinar membuat luka semakin menganga. Tangan yang merangkulku, ternyata juga merangkul perempuan lain. Tuhan, maafkan aku jika aku tak bisa berbagi apalagi wanita itu juga istri orang lain. Bejat sekali perbuatan Mas Harun. Kepalaku terasa berat. Tangis Aisyah memberiku alasan untuk melepas rangkulan Mas Harun. Kukeloni Aisyah sambil menangis hingga subuh menjelang.
*****
Menu sarapan sudah tersedia di meja makan. Mas Harun juga menyiapkan beberapa keperluan mandi Aisyah. Melihat Mas Harun yang perhatian seperti ini. Rasanya tak bisa dipercaya kalau ia bisa menghadirkan wanita lain di tengah-tengah keluarga kami. Ah, bodohnya aku. Aku seperti menjadi bahan lelucon dua orang, Mas Harun dan Dinar. Shit!
“Sarapan yuk, Dek. Ada sambel goreng ati kesukaanmu,” bujuk Mas Harun dengan senyum manis yang sekarang terasa hambar bagiku. “Oya, nanti Ibu mau datang ke sini, katanya kangen sama kamu dan Aisyah.”
Aku hanya terdiam. Sering kali memang seperti ini.Setiap aku dan Mas Harun ada masalah. Suamiku itu selalu memanggil ibunya untuk datang kemari. Ia tahu kelemahanku ada pada ibunya. Aku takakan pernah bisa menyakiti hati ibu. Ibu bahkan lebih sayang padaku daripada anaknya sendiri, Mas Harun.
Mas Harun sudah berada di kantor, ketika ibu datang. Banyak oleh-oleh yang dibawanya. Ibu cerita banyak hal, ia senang sekali ketika tadi subuh Mas Harun menghubungi dan menyuruhnya ke sini. Aku tahu, Ibu mengerti kalau aku dan Mas Harun sedang ada masalah, tapi Ibu pura-pura bahagia untuk menutupi kekhawatirannya. Duh, Mas Harun jahat. Aku yakin, Mas Harun akan membuat banyak taktik agar aku mau memaafkan kesalahannya, bahkan ibunya pun dijadikan senjata. Kurang ajar kau Mas!
“Seandainya suatu saat aku bukan menantu Ibu lagi. Apa Ibu akan tetap menyayangiku?” dengan hati-hati kubuka perbincangan.
“Ih, jangan ngomong begitu toh, Nduk, tidak baik. Kalau Harun punya salah dimaafkan ya, Nduk. Anakku itu biar tak jewer, kalau perlu biar aku pukuli.”
“Ah, janganlah Bu. Kasihan…” Aku pura-pura terkekeh.
“ Setiap rumah tangga itu pasti ada masalahnya, Nduk. Entah itu karena masalah ekonomi, suami yang nakal atau yang lainnya. Harus legowo dan punya stok maaf yang banyak, ya! Kamu harus kuat agar kebahagian datang…” wejangan Ibu yang membuat hatiku tentram dan lebih legowo.
Aku dan Ibu ngomong ‘ngarol-ngidul’. Ibu berniat membawa Aisyah malam ini. Ibu menyiapkan berbagai hal keperluan Aisyah di Sana. Katanya, biar aku bisa bulan madu lagi dengan Mas Harun, dan yang terpenting menyelesaikan masalah kami berdua.
Menjelang sore, Mas Harun pulang. Ibu juga akhirnya pamit untuk pulang. Sementara Mas Harun pergi mengantar Ibu. Aku di rumah menyiapkan kejutan untuknya.
Aku masak makanan kesukaan Mas Harun. Aku ganti korden ruang tengah dengan motif bunga-bunga yang indah. Kupetik setangkai mawar yang ada di halaman depan rumah, dan kutaruh di meja makan. Tak lupa kusiapkan lilin-lilin. Candle light dinner kali ini harus selalu diingat Mas Harun.
Kusambut Mas Harun yang datang dengan senyum termanis. Tak lupa kukenakan gaun malam andalan. Senyum Mas Harun tanpa semringah. Ia lega melihat aku yang sudah bisa legowo dan memaafkannya. Setelah makan malam, kami beranjak ke taman belakang menikmati pesta sambil mendengarkan lagu, ‘Endless Love”.
Ketika kami duduk bersanding. Mas Harun merangkul dan mengecup keningku. “Terima kasih ya Dek sudah mau memaafkan kesalahanku,” bisiknya.
“Tentu saja, Nda. Aku mencintaimu maka aku harus mau menerima segala salahmu.” Senyum pria ini semakin mengembang. “Tapi…Nda, aku memang mencintaimu tapi aku tak bisa lagi hidup dalam cintamu, maka sebaiknya kita bercerai saja.”
I love you, but I don’t Wanna be With You, Nda. Kulangkahkan kaki meninggalkan Mas Harun yang masih terpaku dan tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar.
Aku memang mencintai Mas Harun, tapi untuk berada dalam cinta Mas Harun sepertinya berat untukku. Ia seperti tak belajar atas kesalahan yang diperbuat. Lelaki itu harus belajar menghargai wanitanya, biarlah perpisahan ini menjadi efek jera baginya, bahwa mencintai butuh kesetiaan.
Ruang Hampa, 12 Februari 2020
TAMAT.
MAAF KALAU ADA KESAMAAN DALAM PENULISAN SEPERTI NAMA, ALAMAT, WAKTU DAN TEMPAT. CERITA INI HANYALAH FIKSI BELAKA. JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR, LIKE, KOMEN YANG BANYAK, JADIKAN FAVORIT, KASIH VOTE JUGA BOLEH. TERIAMA KASIH
SELAMAT MEMBACA🙏🙏🙏
Rasanya waktu 24 jam tidak cukup untuk membuat rumah terkondisikan. Dari pagi hingga malam pekerjaan tak pernah selesai.
“Ma, mana dasi Papa?” teriak Mas Raihan, suamiku.
Memiliki dua orang anak serasa tiga anak, Sedari pagi sudah kusiapkan segala kebutuhan ketiganya tapi tetap masih ada saja yang kurang.
“Ma, nanti siang jangan lupa ada rapat outbond lho?” Suara Naya tak mau kalah.
“Iya, Mama ingat,” teriakku pada putri sulungku sambil bergegas ke kamar mencari dasi yang diminta ayah dari anak-anakku.
“Papa itu seperti anak kecil, dasi di atas meja saja tidak terlihat.”
“Idih… Mama, pagi-pagi kok sudah marah.”
Kulihat kerlingan mata lelaki itu menggoda. Aku hanya tersenyum.
“Ma, mana telur mata sapiku?”
Lihat, belum juga selesai membantu memasang dasi ayahnya. Si bontot sudah tak sabar untuk dilayani ibunya.
“Mama masih membantu Papa, Raisa.”
Setiap pagi ini yang selalu terjadi. Diri ini sudah seperti rocker saja kalau berbicara. Teriak-teriak, Mak.
Hari ini memang pekerjaanku ekstra. Sepeda motor yang biasanya dipergunakan untuk antar jemput anak, lagi diservis dibengkel, terpaksa anak-anak harus berangkat dengan ayah mereka. Sementara itu di kantor Mas Raihan juga ada tamu penting, jadi lelaki itu harus berangkat lebih pagi dari biasanya.
Urusan rumah menuntut untuk dibereskan sebelum pergi. Sebenarya bisa saja kalau dilakukan nanti setelah pulang dari sekolah, tapi akhirnya pekerjaan tambah banyak.
Kuantar ketiganya ke teras rumah. Salim satu-satu.
“Oia, nanti Mama ke sekolah naik apa?”
“Tumben Papa perhatian banget sama Mama. Aku minta jemput teman yang se-arah, Pa. Nanti pulangnya Papa bisa jemput, tidak? kalau tamu pentingnya sudah go away, Pa.”
Biasa merayu sedikit suami, biar menghemat uang belanja.
“Insyaallah, Ma, tapi kalau nanti tak bisa. Mama bisa pesen mobil online saja biar enak bawa dua anak.”
“Siap, Pa, tapi tambahin uang belanja ya?” Lelaki itu hanya mengganguk karena tak akan bisa menolak permintaan istrinya apa lagi pakai mode bergelayut manja. Jurus jitu ibu berdaster.
Setelah ketiganya berangkat. Secepatnya bertempur dalam cucian dan sapu.
Sebelum Resti menjemput. Dandanan harus sudah oke. Biar pun rempong di rumah. Penampilan harus tetap kece. Itung-itung demi menjaga muru’ah suami, karena bukti dari keberhasilan suami terlihat dari seberapa bahagia istri.
[Kak Ristie, lima belas menit lagi aku nyampek, ya. Jangan lama-lama dandannya!]
Sebuah pesan masuk dari Resti. Ah, ia sungguh tahu, dari tadi aku memilih baju mana yang hendak kupakai. Rapat seperti ini biasanya dijadikan ajang bagi ibu-ibu untuk menunjukkan eksistensinya. Semua terlihat dari cara berpakaian, berdandan, berkomunikasi, tapi tetap otak juga harus digunakan biar ketahuan mana yang asli dan mana yang imitasi.
Kuwarnai bibir dengan lipstick merah muda.Hadiah ulang tahun dari suami. Tak lupa sebelum beranjak dari meja rias, kuucapkan mantra pamungkas. “Kucantik hari ini dan aku suka.”
Ya, sesekali harus memuji diri sendiri. Itu mood booster. Sebuah penerimaan terhadap diri. Inilah aku. Wanita perlu bahagia terlebih dahulu sebelum membahagiakan anak-anak dan suami.
[Aku sudah siap, Pren] send.
***
Si guru idola itu sudah menjelaskan berbagai jadwal kegiatan outbond anak-anak. Namanya Pak Faliq, ia seperti casanova bagi wali murid sebab ketampanan dan keramahannya. Sering kali bahkan menjadi objek pembicaraan yang meramaikan grup wali murid.
Di antara wali murid, aku salah satu yang bisa dibilang vocal masalah seperti ini. Segala hal bisa aku tanyakan di awal agar tidak ada gosip ini itu. Seperti biasa pula, wali murid sering nitip tanya.
“Iya Bu Ristie silahkan barang kali ada yang perlu ditanyakan,” ucap Pak Faliq setelah melihatku mengangkat tangan.
“Terima kasih, Pak. Tapi panggil Kak Ristie saja dong, Pak!”
Sontak tawa wali murid memenuhi ruangan. Sementara pak Faliq seperti biasa hanya tersenyum dan menyuruhku melanjutkan pertanyaan.
“Cie, Kak Ristie,” ucap Resti tak mau kalah.
Ruangan kembali ramai. Pak Faliq mengangkat tangan untuk menenangkan peserta rapat agar tidak gaduh setelah mendengar ucapanku.
Sementara, Naya-putri sulungku berbisik, “Mama apa’ansi?”.
“Tak apa-apa, Nak biar tidak tegang saja rapatnya,” ucapku sambil mengusap dagu anakku.
“Silakan Bu, eh, Kak Ristie.” Ucap Pak Faliq tak mau kalah ikut mencairkan suasana.
Geerr. Ruangan ramai dengan suara tawa.
“Begini Pak, terkait pembayaran bagaimana?” ujarku kemudian
“Begini, Bu….”
“Lho kok Ibu lagi, Kakak dong, Pak,” teriak ibu lain yang hadir.
“Baik, Bu, eh, Kak Ristie pembayaran bisa dilakukan dengan cara dicicil atau langsung cash di wali kelas masing-masing ya.”
Rapat berjalan dengan baik walau dengan canda tawa. Semua peserta rapat dari wali murid hingga guru terhibur gara-gara sebuah panggilan kakak. Sementara aku pede saja, memang pembawaanku seperti itu.
Kalau sekedar mencairkan dan menyelesaikan masalah dengan penuh kegembiraan cukup serahkan pada barisan emak-emak rempong, karena kerempongan itu terkadang menambah keakraban antara guru dan wali murid.
Acara diakhiri dengan ramah tamah, komite sekolah menyediakan kudapan ditemani teh dan kopi sebagai pelengkapnya. Sebagian wali murid langsung pulang, sebagian yang lain masih bertahan dengan rumpi-rumpi.
Sembari menunggu jemputan suami, kuizinkan kedua anakku Naya dan Raisa bermain dengan temannya.
“Gila Kak Ristie bisa bikin Pak Faliq jadi grogi gitu,” ucap Resti menggoda.
“Iya, dong, biar tidak bosen kalau lagi rapat.”
“Eh, tapi gak apa-apa loh Bu Ristie, eh Kak Ristie ya….” ujar ibu yang lain.
Aku dan semua tertawa.
Menit selanjutnya, terlihat semuanya diam. Sementara Resti hanya mengedipkan mata.
“Kak Ristie….” Terdengar suara lelaki tepat di belakang sambil menepuk bahu.
“Ayo pulang!” Waduh gawat ada suamiku. Kulambaikan tangan pada emak-emak untuk undur diri dan melangkah mengikuti lelaki di depanku menuju mobil terparkir.
“Sepertinya bulan depan Mama sudah tidak butuh skincare lagi deh, kan enak dipanggil Kak Ristie bikin awet muda.”
“Ai… Papa, mana ada begitu, kan tadi cuma guyon. Lagian Mama, kan, Cuma Kak Ristie-nya Papa.”
Mampus deh. Mana bisa dipanggil Kak Ristie lagi kalau skincare distop. Cantik itu butuh modal Mak.
“Masak, si, Ma?”
Sepertinya perlu jurus emak rempong ini untuk meluluhkan suami yang lagi ngambek.
“Oia, Mama punya film baru lho, nanti malam nonton yuk. Raisa biar nanti malam dibantu Naya belajarnya. Mama bisa me-time dengan Papa.”
Ku kedipkan mata sambil mengusap punggung tangan Mas Raihan. Bersamaan dengan itu, kulirik Naya yang mendengkus kesal karena harus membersamai Raisa belajar.
Jurus selanjutnya, ku usap rambut di sekitar telinga Mas Raihan.“Mau, ya, Pa.”
Akhirnya dia tersenyum juga. Wong emak rempong dilawan.
Tamat.
Ruang Rasa, 15 Juni 2020
TAMAT.
MAAF KALAU ADA KESAMAAN DALAM PENULISAN SEPERTI NAMA, ALAMAT, WAKTU DAN TEMPAT. CERITA INI HANYALAH FIKSI BELAKA. JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR, LIKE, KOMEN YANG BANYAK, JADIKAN FAVORIT, KASIH VOTE JUGA BOLEH. TERIAMA KASIH
SELAMAT MEMBACA🙏🙏🙏
"Wi, aku sudah terlanjur mencintainya. Aku gak bisa ngelepasin dia begitu aja" ucap temanku Nisa di dalam pesan singkat yang kubaca di layar handphone ku. Aku berusaha meyakinkan dia untuk segera memutusan hubungan dengan laki-laki yang sedang bepacaran dengannya. Berbagai nasehat dan kalimat penghibur kuungkapkan kepada Nisa, agar hidupnya tak lagi berat seperti sekarang.
"Nis, kita ketemu yuk" balasku. Sms terkirim. Aku memutuskan untuk menemuinya. Menemui seseorang yang selama ini sudah mengungkapkan banyak sekali ceritanya kepadaku. Cerita yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Namanya Nisa, nama lengkapnya Annisa Fitri. Usianya 21 tahun. Dia lebih muda setahun dariku. Pertama kali aku mengenalnya lewat jejaring sosial bernama facebook. Dia meng-add akun ku dan jadilah kami berteman. Dia pula yang pertama kali menyapaku. Menanyakan semua tentangku dan akhirnya dia bicara, kalau dia adalah pacar dari temanku. Ardi namanya, teman sekelasku yang sudah tiga tahun kukenal. Semasa kami kuliah, memang tidak pernah akrab. Bahkan aku cenderung tidak menyukainya. Kupikir dia adalah laki-laki malas yang selalu meminta bantuan orang lain dalam mengerjakan tugasnya. Apalagi kalau kami kebagian satu kelompok. Dia selalu ogah-ogahan dan menimpakan tanggung jawab kepada orang lain. Cenderung memerintah temannya sendiri. Yah begitulah setidaknya. Aku tak pernah sekalipun merasa kagum dengan sikap dia.
Namun pacarnya malah akrab denganku. Menanyakan segala sesuatu tentang Ardi. Kadang-kadang aku ingin mengatakan dia lelaki menyebalkan. Tapi karena dia pacarnya aku katakan yang baik-baik saja. Sampai akhirnya Nisa bercerita panjang lebar kepadaku.
"Wi, aku gak tahan lagi sama Ardi" ungkapnya suatu hari. Hari itu kami memutuskan untuk saling bertemu. Aku memilih untuk bertemu di tempat makan saja, agar lebih leluasa. Dan Nisa pun mengiyakan. Dia memilih restoran Ramen kesukaannya. Mie yang berasal dari jepang yang banyak lauknya. Mie nya lebih lembut dari mie instan yang sering kita makan, dan kuahnya tersedia bebagai jenis. Kami pun memesan dua mangkuk ramen, yang tak lama kemudian tersedia di meja kami. Aku melihat wajah Nisa di profil picture miliknya. Lebih cantik aslinya. Dia memiliki kulit putih, tinggi, bulu mata yang lentik, namun sedikit kurus. Wajahnya pucat. Walaupun tersenyum, aku merasa dia matanya tidak ikut tersenyum.
"Kali ini dia ngapain lagi sama kamu Wi?" aku penasaran dengan ulah lelaki brengsek itu. Lelaki yang menurut cerita Nisa selalu melakukan tindak kekerasan selama dia pacaran. Dan memukul, sudah menjadi tindakan sehari-hari yang dia lakukan.
"Kemarin aku baca-baca sms dari handphonenya Ardi, dan aku lihat dia sms mesra dengan cewek lain. Lalu Ardi tahu, dan dia.." sejenak dia terdiam. Kunyahanku terhenti, penasaran dengan cerita yang akan dia sampaikan.
"Dia pukul aku lagi, kepalaku ditendang" lanjutnya. Raut wajahnya kusut. Tatapan matanya kosong. Dia terlalu pintar untuk menyembunyikan kesedihannya. Atau lebih tepatnya terbiasa. Kesedihan yang menumpuk itu kini menjadikannya hampa. Tak mampu lagi mengekspresikan kesedihan itu seperti apa.
"Nis.." aku memegang punggung tangannya. "Kalau memang begitu, lebih baik kamu putus saja. Banyak lelaki yang lebih baik dari dia. Jujur saja, selama satu kelas dengan Ardi, aku gak pernah suka sama dia. Kamu cari yang lain aja yah" hiburku. Entah sudah keberapa kali aku mengungkapkan kalimat ini kepada Nisa.
"Aku gak bisa Wi. Gak bisa. Aku juga inginnya begitu." Ucapnya pelan.
Kami terdiam. larut dalam dunia kami masing-masing. Nisa dengan Ardinya, dan aku dengan kecemasanku pada hubungan mereka. Rasa benciku pada Ardi kian menjadi. Setelah Ardi memanfaatkan kekayaan orang tua Nisa, membeli smartphone dan memberi makan handphonenya. Ardi berselingkuh. Dia juga tega memukul wanita sebaik Nisa seenaknya. Tapi Nisa hanya bisa diam. Menerima semua pelecehan itu atas nama cinta dan tidak bisa berpisah. Aku benar-benar tak habis pikir.
"Mau main ke kosan aku gak? Kayaknya Ardi akan pulang telat hari ini." Kelihatannya Nisa berusaha merenyahkan suasana.
Deg. Tapi kalimat itu membuatku berpikir kembali. "Ardi akan pulang telat". Apa maksudnya?. Nisa belum pernah cerita tentang hal itu. Apakah mereka tinggal bersama? Hubungan mereka lebih jauh daripada yang aku pikirkan selama ini? Pacaran setahun tapi sudah sedekat ini? Ah seribu pertanyaan yang tak ingin kujawab itu berkelebatan dalam pikiranku. Tapi aku tak mau mengabaikan kebaikan Nisa. Aku putuskan untuk mampir ke kosannya.
Tempat berukuran lumayan besar dengan dapur dan kamar mandi di dalamnya membuat aku nyaman diam disana. Nisa kembali bercerita. Bahwa dia sudah enam bulan tinggal satu atap dengan Ardi. Hubungan suami istri pun sudah seringkali ia lakukan dengannya. Kalau Nisa menolak, tamparan dan pukulan akan senang hati mendarat di tubuhnya. Sungguh membuat hatiku benar-benar teriris. Perempuan baik seperti Nisa terjerat ke pelukan lelaki brengsek sekelas Ardi.
"Kita sudah seperti suami istri. Aku memasak untuknya. Mencuci bajunya. Dan tidur dengannya" papar Nisa.
"Sebenarnya aku malu Wi. Pakai kerudung tapi kelakuan seperti begini. Aku ingin putus dari Ardi. Tapi dia sudah mengambil semuanya. Aku sudah jadi perempuan gak berharga. Aku sudah gak punya apa-apa lagi. Aku gak tahu harus gimana. Aku salah Wi. Aku salah. Aku berdosa. Harusnya aku gak pernah pacaran. Harusnya aku gak pernah nerima dia jadi pacarku. Aku salah Wi.." Mata Nisa berkaca-kaca. Aku kaget sekaligus sedih dengan keadaan Nisa. Tak tahu harus berkata apa. Air matanya semakin deras. Tangannya menggenggam ujung kerudung yang ia pakai. Menyiratkan rasa penyesalan dan kesedihan yang begitu mendalam.
"Orang tua kamu tahu?" tanyaku berhati-hati.
Nisa menggeleng. Pertanda keluarganya tidak mengetahui kejadian yang selama ini dialami anaknya. Gadis jawa itu sudah lama tinggal di Bandung. Dia juga sempat masuk pesantren sehingga sudah terbiasa jauh dari orang tua. Jarang sekali pulang. Semenjak kuliah di akademi kebidanan pun dia hanya pulang setahun sekali.
Keimanan dari seorang yang taat agama sekalipun, akan runtuh saat dia tergoda oleh semuanya. Setan-setan yang terlihat maupun yang tidak, akan terus berusaha menggoda agar kita terjerumus ke dalam kesesatan yang nyata. Ini adalah hal yang aku pelajari dari Nisa. Dia tergelincir dan menanggalkan keimanan yang ia yakini. Tergoda oleh hawa nafsu yang berujung pada kerugian yang panjang. Satu hal yang kuyakini dalam hati. Aku berjanji kepada diriku sendiri, untuk senantiasa mempertebal iman dalam hati dan tidak mendekati perbuatan-perbuatan yang akan menjerumuskanku ke dalam dosa.
Aku memeluknya. Membiarkan kesedihannya tumpah agar dia merasa sedikit lega. "Bentar lagi kampus aku mau ngadain tes keperawanan sebelum ujian Wi. Aku harus gimana?"ucapnya pelan. Pertanyaan yang tak mampu kujawab itu kubalas dengan pelukan yang semakin erat. Kami sama-sama menangis. Tidak tahu harus berbuat apa. Semoga ada jawaban yang membahagiakan untuk masa depan yang akan ia lalui. Berharap Nisa dapat mengambil keputusan yang tepat agar ia dapat lepas dari ikatan lelaki itu. Berharap Nisa dapat bangkit dari keterpurukannya dan memiliki masa depan yang baik seperti wanita-wanita lainnya. Mudah-mudahan semua yang kuharapkan dapat segera terjadi.
TAMAT.
MAAF KALAU ADA KESAMAAN DALAM PENULISAN SEPERTI NAMA, ALAMAT, WAKTU DAN TEMPAT. CERITA INI HANYALAH FIKSI BELAKA. JANGAN LUPA FOLLOW AUTHOR, LIKE, KOMEN YANG BANYAK, JADIKAN FAVORIT, KASIH VOTE JUGA BOLEH. TERIAMA KASIH
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!