Suara dengkuran halus seorang pria mulai terdengar memenuhi seisi kamar hotel yang bernuansa nude itu. Beberapa kali matanya mengerjap mencoba terbuka, namun rasanya berat sekali. Sayup-sayup Ia mendengar seseorang masuk ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian, matanya terus terpejam hingga terbuai masuk ke alam mimpi.
Sementara itu . . .
Qiandra berjalan sempoyongan di sepanjang koridor hotel. "S-sial, a-apakah Mme-reka men-ncampur al-kohol di minum-manku? Buk-kan kah Arli tau aku tidak bisa minum Alkohol? Tidak, mungkin aku hanya mengantuk." Qiandra mencercau khas orang mabuk sepanjang jalan, masih setengah sadar.
"Aaaaa, ini dia kamarku, 1129. Kenapa angka sembilannya terbalik? Ahahahaha, Aku tahu pasti Arlie mengerjaiku. Lihat saja, pintunya sudah terbuka, Apa dia di dalam?" Qiandra masuk ke kamar hotel yang bagian pintu terbuka sedikit, lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah.
"Sedikit berbeda dengan kamarku yang Aku tempati selama ini, Ahahaha, apa Kau berhalusinasi Qia?” Lagi-lagi Qiandra berbicara pada dirinya sendiri, menampar pelan pipinya kanan dan kiri.
"Whaaa, Daebak, apa Aku sedang di dalam mimpi?" Masih terus mencercau, melihat di depannya sudah tersaji tubuh atletis seorang pria yang hanya mengenakan celana panjangnya. "Ternyata ini Cuma mimpi. Baiklah, Aku tidak akan bangun dengan mudah!” teriaknya sudah seperti orang kurang waras.
Qiandra pun refleks melempar tas kecilnya dan membuka resleting gaun yang dikenakannya, lalu melemparnya ke sembarang arah. Setelah itu, Ia melempar tubuhnya di samping pria itu, menyentuh dada bidang dan perut kotak-kotak si pria, lalu menenggelamkan wajahnya ke dalam pelukan hangat sang pria dengan bibirnya terus menyunggingkan senyuman.
***
Keesokan harinya.
Qiandra merentangkan tangannya, mencoba meregangkan bagian tubuhnya yang terasa kaku. Sesekali Ia menguap tanpa membuka matanya. Masih belum membuka matanya, Ia pun menendang selimut yang berada di kakinya, lalu bangun hingga terduduk.
Dengan mata yang enggan terbuka, Qiandra melenggang masuk ke kamar mandi. Sedang asyik melamun sembari menunggunya hajatnya selesai, kesadarannya berangsur pulih. Tiba-tiba, netranya mengerjap beberapa kali. Ia terkesima, memperhatikan seisi kamar mandi, beralih ke cermin yang terdapat di sisi kanannya.
Seketika Ia menjerit kencang, menyaksikan penampilannya yang acak-acakan. Bagaimana tidak, ia hanya mengenakan atasan berupa longline bra dan short yang ia kenakan semalam sebagai dalaman. Tapi apa yang terjadi dengannya kini? Kemana gaun yang Ia kenakan tadi malam? batinnya.
"Qia,,,, what's wrong with You?" Qiandra berbicara padanya sendiri, kedua tangannya menjambak rambutnya yang acak acakan, sesekali menampar pelan pipinya yang sedikit chubby.
"Sadarlah Qia,,, apa yang sudah Kau lakukan, ini di mana? Dasar Qia bodoh!" Qiandra mengumpati dirinya sendiri, menemukan dirinya dalam keadaan mengenaskan dan ntah berada di mana. Air mata mulai menetes di pipi chubbynya, tiba-tiba ia mulai dilanda rasa takut.
"Ma, hiks hiks, Apa yang Aku lakukan tadi malam?" tanyanya frustrasi. Ia mencoba mengingat, namun ingatannya belum dapat Ia cerna dengan utuh.
"huaaaaa huaaaa.... " Tangisannya mulai tidak bisa dia kendalikan lagi.
Beberapa saat sebelumnya ...
Barra terbangun dari tidurnya, Ia menghela nafasnya pelan. Manik hitam miliknya mengernyit karena terpancar sinar mentari yang menyelinap masuk lewat celah gorden. Netranya berpendar menatap sekelilingnya. Seketika tubuh atletis itu terkesiap dan langsung terduduk, kaget bukan kepalang. Sesuatu mengganggu pandangannya.
"Bukankah itu adalah sebuah gaun?" batin Barra.
"Tapi gaun siapa?" pikirnya lagi.
Barra bangkit berjalan meraih gaun berwarna hitam yang dipenuhi gliter itu, kemudian sedikit membungkuk meraihnya. Saat badannya kembali tegak, pintu kamar hotelnya diketuk dan suara wanita yang tidak asing baginya terdengar. Sontak Barra berjalan ke arah pintu dan membukanya.
Ketika manik legamnya bertemu pandang dengan manik sendu yang sangat dikenalnya, seketika jantung Barra mulai memompa tak seirama. Baru saja Ia akan menyapa pemilik manik itu, suara tangisan seorang wanita terdengar dari dalam kamar mandi.
" Huaaaaa huaaaaa ," isak tangis seorang wanita dari dalam kamar mandi, yang otomatis membuat Barra kebingungan.
"Barraaaa! Apa yang Kamu lakukan Nak? Siapa? Siapa gadis yang menangis di dalam sana?" Mama Renata mulai mengintrogasi anaknya. Air mukanya nampak tidak baik, sepertinya Ia pun begitu shock melihat pemandangan pagi ini di kamar hotel tempat anak bungsunya menginap. Nafasnya pun terasa memburu seiring rasa sesak yang tiba-tiba muncul dari dadanya.
"Ma, Mama, wait Ma, ini enggak seperti yang Mama bayangin. Tenang please, oke calm down,. tarik nafas ..." Ujar barra berusaha menenangkan. Mama Renata mengikuti ucapan anak bungsunya itu, lalu mulai mengambil nafas sedikit demi sedikit.
Melihat mamanya mulai tenang, Bara mengambil alih percakapan kembali.
"Gini Ma, tadi malam Barra tertidur pulas, Barra baru saja bangun dan Barra juga tidak tahu gaun dan suara tangis itu milik siapa. Mama percaya Barra kan Ma? " Bara menjelaskan kepada mamanya dengan perlahan.
"Bagaimana Mama bisa percaya dengan mu, Barra. Coba lihat, apa yang kau pegang ini, hah!" Mengambil alih gaun berwarna hitam dari tangan anaknya. Barra menggeleng-gelengkan kepalanya, mengatakan bahwa Ia tidak tahu menahu dari mana gaun itu berasal.
Mama Renata mengambil handphone nya dan menghubungi seseorang. Panggilan terhubung, seseorang menjawab dari seberang sana.
"Halo!" Jawab seseorang di seberang sana.
"Manda, ke kamar adikmu sekarang, ada sedikit masalah di sini. Cepatlah datang!" perintah mama Renata.
"Ashiap Mamaku sayang, Manda OTW." Panggilan pun seketika dimatikan. Mama menatap tajam pada putra bungsunya. Hanya dengan tatapan mama saja bulu kuduk Barra sudah meremang.
"Ma, please jangan dibesar-besarkan dong, ayo Ma kita langsung tanya perempuan kurang ajar itu, enak saja dia main masuk kamar orang lain. Malah bikin ulah lagi." Barra mendengus kesal.
"Kamu bisa diam enggak si Barra, Mama yang akan membereskan masalah ini! Kamu tenang saja!" Nyonya besar sudah memberi titah, tak satupun berani membantah.
"Tapi Maaaaa, . . . ,"
Belum selesai Barra ingin membantah, mama Renata sudah meletakkan jari telunjuknya ke depan mulutnya sambil berucap "syuuuuuut!" Ia terdiam seketika, merasa percuma membantah. Merasa kesal, ia pun mengerucutkan bibirnya sambil menatap kesal ke arah pintu kamar mandi yang entah siapa penghuninya sekarang. Suara isakan itu pun perlahan menghilang.
Sementara itu, di dalam kamar mandi Qiandra yang sudah mulai tenang perlahan bangkit dari duduknya. Ia membiarkan air dari kran yang ada di westafel mengalir, kemudian membasuh wajahnya yang terlihat agak sembab itu. Netra sayunya mulai menyapu bayangan di sebalik cermin.
Qiandra bernafas lega, saat Ia tidak menemukan sesuatu yang aneh di sana. Lalu Ia menggerakkan anggota tubuhnya, mencoba menelisik apakah telah terjadi sesuatu malam tadi.
Aku rasa sepertinya tidak ada yang salah.
Qiandra berfikir mungkin tidak ada yang terjadi semalam, dan ada orang baik menolongnya. Senyum lega mengiringi langkah kakinya yang beranjak ke arah pintu. Dengan penuh percaya diri, Ia menyambar handuk kimono yang ada di gantungan, dan memakainya.
"Ceklek"
Qiandra membuka pintu kamar mandi perlahan. Masih berpegangan pada pintu untuk ditutup, seketika ia menoleh. Qiandra terbelalak. Netranya menangkap tiga pasang mata menatap tajam dan penuh selidik terhadapnya. Dua diantaranya merupakan wanita dan satunya lagi seorang pria. Mendapati pria itu menatapnya dengan tatapan tajam seraya menyimpangkan tangan di dadanya, Qiandra bergidik ngeri.
.
.
***To Be Continue***
HAPPY READING
Hai, Saya MyNameIs.
Salam kenal dari Author yah.
Maaf kalau banyak typo ya, ini novel pertama Author. Thanks so much ya untuk dukungan kalian❤️
Jangan lupa untuk tinggalkan like dan Komen ya😀
Kamar 1126, Syanthika Hotel
Qiandra kini duduk di sofa yang terdapat di dalam kamar hotel tersebut. Kepalanya menunduk, matanya mengarah pada kaki telanjangnya yang terasa dingin. Sesekali ia mencuri pandang pada wanita paruh baya yang duduk bersedekap dada dihadapannya. Qiandra menautkan kedua tangannya, kakinya terasa lemas. Sungguh, Ia merasa seperti sedang menunggu vonis hakim.
Sebelumnya wanita paruh baya itu berbicara empat mata dengan perempuan dewasa satunya. Entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa waktu yang lalu, Qiandra hanya berdua dengan pria yang terus menatapnya dingin.
"Dasar Kau, perempuan tak tau malu, Aku yakin Kau mempunyai tujuan tidak baik terhadapku. Apa Kau ini penguntit? Ppppfffttt, huuh, Aku tau Aku ini memang sangatlah tampan, tapi bagaimana bisa perempuan seperti Dirimu ini menjadi penguntit. Sejak kapan, katakan sejak kapan Kau mengikutiku?" Tanya Barra tanpa basa-basi.
Qiandra ternganga mendengar penuturan si tuan over percaya diri itu.
"What? Dia bilang Aku penguntit? Dasar Pria Over Percaya Diri ," Qiandra membatin.
"Hei, Tuan, jangan asal bicara. Kau pikir di dunia ini hanya Kau yang tampan. Aku bukan penguntit, camkan itu!" Sanggah Qiandra memberi pembelaan.
Baru saja Ia ingin melanjutkan pembicaraannya, namun kedatangan dua wanita itu membuat Ia mengurungkan niatnya. Ya, kini mereka berempat berada di dalam satu ruangan.
“Ekhemmmm."
Suara deheman mama Renata menyentakkan lamunan Qiandra, membuat adrenalinnya berpacu cepat. Ia sempat terlonjak lalu mengangkat kepalanya seketika, tanpa sadar matanya mulai nanar. Sekuat tenaga Ia menahan agar tidak ada air mata yang terjatuh.
“Itu, aaaa.”
Qiandra tergagap, tak bisa berucap. Mulut dan pikirannya tidak sejalan kali ini. Ia ingin cepat-cepat beranjak, mengingat jadwal kepulangannya ke Jakarta bersama teman sekaligus sahabat baiknya Arlie siang ini. Namun, lidahnya kelu suaranya pun tercekat. Dikumpulkannya sisa-sisa keberaniannya, lalu dengan mengepalkan kedua tangannya yang telah berpindah ke sisi tubuhnya, ia bersuara.
“Nyonya, Tuan, tolong maafkan Saya sudah lancang memasuki kamar ini. Sungguh Saya tidak tau kenapa saya bisa ada di sini. Saya rasa Saya sedikit pusing hingga salah melihat nomor kamar. Kamar Saya 1129 Nyonya, Tuan, saya bisa menunjukkan kartu aksesnya.”
Dengan setengah berteriak Qiandra mulai menjelaskan apa yang ada di kepalanya. Ia ingat samar-samar apa yang terjadi , hanya saja Ia heran karena sangat yakin hanya menegak jus jeruk semalam.
“Cih, dasar tidak tahu malu. Dia bohong Mom, pasti dia punya niat jahat sama Barra, “ komentar pedas Barra membuat Qiandra menatapnya sembari mengernyitkan kedua alisnya.
“Siapa namamu?” Selidik Mama Renata, tegas.
“Nama Saya Qia Nyonya, Qiandra Andalusia,” Jawab Qiandra masih dengan perasaan campur aduk.
“Usia mu?” sambung Mama Renata, Masih dengan wajah dan suara yang tegas.
“Du, Dua Puluh Tiga tahun Nyonya.” Qiandra lagi-lagi menunduk, tidak berani menatap wajah Mama Renata. Dalam hati Ia bergumam, “Kenapa Nyonya ini menanyakan usiaku? Apa hubungannya?” Buru-buru dia memfokuskan pendengarannya lagi.
“Di mana rumah mu? Apakah Kamu berasal dari kota ini?” Tanya mama kembali, lagi-lagi Qiandra merasa seperti seorang pesakitan diintrogasi oleh detektif .
“Jakarta nyonya, Ssa-ya kemari berlibur dan akan kembali dengan penerbangan siang ini. S-saya mohon, le-lepaskan Saya Nyonya, sungguh Saya tidak bermaksud apapun. Saya bisa ketinggalan pesawat.” Mohon Qiandra, sambil mengatupkan kedua tangannya menghiba maaf dari mama Renata.
Sungguh demi apapun, mama Renata begitu menyukai sosok Qiandra sejak pandangan pertama. Mata dan hidung Qiandra mengingatkannya pada sosok sahabat SMA nya dulu, Zasqia. Sejak lulus SMA, mereka berpisah sebab mama Renata melanjutkan pendidikan bisnis di Australia sedangkan sahabatnya harus kembali ke kota orang tuanya sebab ayahnya Zasqia terkena PHK.
Sejak saat itu hingga sekarang, dia tidak pernah menemui sahabatnya itu lagi. Dulu, mereka bahkan berjanji, jika punya anak dengan yang berbeda jenis kelamin, Mereka akan menjodohkannya agar anak-anak mereka memiliki mertua yang notabene bukan orang lain. Dulu sekali, setelah menyelesaikan pendidikannya, Mama Renata sempat mencari sahabatnya itu ke kota kelahirannya, namun nihil.
“Baiklah, urusan kita belum selesai. Sepulangnya kami dari sini, kita akan bertemu di Jakarta. Kami akan pulang besok. Berikan nomor handphone mu!” titah mama Renata sambil menyodorkan ponselnya pada Qiandra. Dengan sigap Qiandra mengambil dan langsung memasukkan nomor handphonenya. Mama Renata langsung memastikan nomor yang diberikan Qiandra aktif dengan menelfonnya. Seketika handphone Qiandra berbunyi pertanda panggilan mama Renata terhubung.
"Itu nomor hape Tante, Kau bisa menyimpannya. Kita akan bertemu lagi secepatnya. Jangan harap Kamu bisa melarikan diri!" Tegas mama Renata kembali. Qiandra hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Mama Renata tersenyum tipis hingga tak terlihat, dalam hatinya ia bergumam, “Entah mengapa aku merasa kau mirip sekali dengan Zasqia. Zas, Jika dia memang putrimu, izinkan Aku menjaganya dan menjadikannya menantuku." Mata mama Renata langsung berpaling, seiring dengan kristal bening yang menggenang di pelupuk matanya.
“Baiklah, Kau bisa pergi Anak Muda,” ucap mama Renata lagi. “Sampai berjumpa lagi ,sayang,” gumam mama dalam hati.
“Mom, ini tidak adil, kenapa Mama melepaskannya begitu saja,” Barra mendengus kesal sambil menggelengkan kepalanya.
“Terimakasih Nyonya, Saya pamit dulu. Saya bisa pastikan Saya tidak berbohong. Permisi Nyonya, sekali lagi terimakasih." Qiandra menyalami tangan Mama Renata dan Manda , kemudian berlalu tanpa menoleh ke arah Barra sedikitpun.
“Dasar wanita tidak tahu diri, kembali Kau, urusan Kita belum selesai, heeii!” Barra berteriak dan maju hendak menghadang Qiandra, namun mama Renata langsung menarik lengan anak bungsunya itu.
“Jika Kau berani mengusiknya Mama tidak akan segan memukulmu Barra.”Barra kaget mendengar ancaman mamanya.
“What? Mama bilang apa? Come on Mom, I am your Son, Aku adalah korbannya. Kenapa Mama malah membelanya,”Kesal Barra pada mamanya.
“Percayakan semua pada Mama Sayang, Mama tau yang terbaik untukmu, hemmmm. Kau adalah anak Mama, My Baby, My Big Baby." Mama mencoba merayu anak kesayangannya itu, bagaimanapun kerasnya Barra, Dia selalu mendengarkan Mamanya. Sambil memeluk Barra, mengusap-usap Bahunya, dan terakhir menciumi seluruh wajah Barra.
“Hahahaha, Mom, ternyata dia memang bayi besarmu Ma,” goda Manda pada adik laki-lakinya itu. “Barra, apa yang dipikirkan karyawan mu jika melihat kau semanja ini, hahahaha.” Manda terus menertawai adik bungsunya itu hingga membuat Barra kesal.
“Urus saja anak dan suami mu sana!” ketus Barra pada kakak semata wayangnya.
"Manda, kau ingat bukan apa yang Mama bilang tadi?" Mama Renata mengingatkan. Manda hanya mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian mereka pun bangkit dan meninggalkan Barra yang masih merasa kesal dengan kehadiran perempuan tak terduga itu di kamarnya.
Di sisi lain Qiandra telah sampai di kamarnya. Ia terkejut melihat barang-barang Arlie sudah tiada. Ia berlari menuju lemari, mencari-cari sesuatu hingga membongkar kopernya. Tak kunjung Ia temukan, Qiandra mulai menghubungi Arlie tapi panggilan itu tidak bisa tersambung.
“Aaarrrrrghhhh, bagaimana ini....”
***ToBeContinue***
Hai, Readers, terimakasih sudah membaca dan mendukung Karya Author ini yah. Mohon dukung terus ya dengan beri like dan komen kalian. Arigatou☺️
Qiandra bernafas lega ketika Mama Renata mempersilakan Ia untuk kembali ke kemar. Ia bersorak di dalam hati dan tak lupa mendoakan kebaikan bagi Mama Renata.
“Ahh, Nyonya Kau adalah malaikat ku. Hmmmm, kenapa Aku merasa sangat familiar dengannya ya?” Qiandra berfikir sambil berjalan, hingga tak terasa Ia sudah berada tepat di depan pintu kamarnya.
Melirik arlojinya, ternyata sudah pukul sembilan lewat 10 menit. Ia masih punya waktu beberapa jam lagi untuk mengemasi barang-barangnya sebelum check in. Qiandra pun langsung membuka pintu kamar dengan kartu akses nya. "Sepi, tidak ada orang, kemana Arlie?" Gumamnya dalam hati.
"Arlie, Kau dimana? " tidak ada sahutan sama sekali. "Apa mungkin Dia tertidur di kamar mandi? " Sambil berjalan ke arah kamar mandi, namun Ia tidak mendapati apapun.
Qiandra melihat sekilas kopernya. Ia terkejut melihat Koper Arlie sudah tiada. Ia berlari menuju lemari, mencari-cari sesuatu hingga membongkar kopernya. Tak kunjung diketemukan, Qiandra mulai menghubungi Arlie tapi panggilan itu tidak bisa tersambung.
“Aaarrrrrghhhh, Bagaimana ini? Arlie, Kau di mana?” Qiandra berteriak, menarik rambutnya ke belakang dengan jemarinya, tangan kanannya sibuk menghubungi Arlie namun tidak tersambung.
"Calm down Qia, tenang, Ayo berfikir!" Qiandra berjalan bolak balik, Ia menggigiti kukunya, sesekali menghela nafasnya kasar. Ia meraba perutnya yang berbunyi, lalu memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu karena setelah jam 10 tidak ada lagi sarapan. Ia pun bergegas membersihkan dirinya, mengganti baju dan segera pergi ke Lantai Tiga menuju Area tempat sarapan.
Meskipun beraneka ragam jenis makanan tersaji di sana, mulai makanan khas Indonesia sampai makanan internasional, tapi ia sama sekali tak berselera. segelas jus jeruk segar dan beberapa potong tempe mendoan, itu yang menjadi pengganjal perutnya pagi ini.
Selepas kepergian Qiandra, mama Renata dan Manda kembali ke kamar mereka yang berada tak jauh dari kamar Bara. Karena suami Manda dan papa tidak bisa mengikuti liburan mereka kali ini, jadi mereka memilih satu kamar VVIP untuk mereka, beserta baby Mikhayla, yang sudah berusia 3 tahun sekarang.
Kamar itu cukup besar, seperti mini apartemen, memiliki dua kamar tidur, dua kamar mandi lengkap dengan satu set sofa keluarga dan mini kitchen di luar. Satu kamar mereka gunakan untuk mereka tidur, dan kamar satunya ditempati oleh mbak Lilis dan mbak Ana yang merupakan baby sitter Mikhayla.
Mama Renata sedang bermain bersama Mikhayla, saat Manda kembali dari kamarnya dan ikut bergabung.
"Gimana Ma, apa Mama sudah menelfon Papa?" tanya Manda kepada mamanya.
"Iya, tadi Mama sudah menelpon Papa. Papa bilang akan menyuruh Rey mencari informasi tentang Qiandra," sahut Mama Renata.
"Udah, Mama tenang aja. Manda sih yakin, Papa punya kaki tangan sehebat Rey," tambah perempuan sekaligus ibu dari Mikhayla Adeeline Schneider.
"Ma, kalau bener Qiandra anak dari tante Zasqia, gimana Ma?" tanya Manda penasaran.
"Ya kabar baguslah. Itu artinya Mama bisa ketemu lagi dengan sahabat Mama. Dan Mama bakal jalankan rencana perjodohan Barra dan Qiandra dong," ujar mama dengan senyuman hangat di bibirnya.
"Emang mereka mau Mama jodohkan. Zaman sekarang loh Ma," sergah istri dari Adam Schneider itu, sembari menciumi pucuk kepala anaknya yang sedang bermain.
"Mereka harus mau, Mama akan buat mereka agar bersedia. Manda, Kamu harus dukung Mama ya," pinta mama yang berharap Qiandra memang anak Zasqia. Itu berarti, Ia akan bertemu dengan Zasqia dan mereka akan menjadi besan.
"Apasiih yang nggak buat Mama. Lagian Si Barra udah 29 tahun juga belum pernah punya pacar. Yang ada dia sahabatan doang sama Andin. TTM an kali, padahal kayaknya si Andin cinta banget sama Barra loh Ma," adu Manda lagi, seperti memanas-manasi Mama.
"Itulah yang Mama khawatirkan. Setiap Mama meminta dia membawa calon Istri ke rumah, dia selalu bilang belum saatnya dia berkeluarga. Apa menurutmu Adikmu itu penyuka sesama jenis?" Pertanyaan Mama mengundang tawa Manda seketika.
"Ahahahah,, Ma, ya gak lah Ma, gak mungkin ah. Mama tau gak, Barra itu pernah punya pacar ketika kuliah di Ausie. Angeline namanya, tapi Barra diselingkuhi Ma. Sejak saat itu dia gak mau pacaran lagi. Trauma kali."
"Mama nggak tahu loh. Kamu kok gak kasi tau Mama sih? Tapi baguslah, setidaknya anak Mama masih normal."
Manda tertawa mendengar ucapan Mamanya. Kini keduanya asyik bermain dengan anak dan cucu mereka. Sedangkan Barra kini sedang merilekskan badannya dengan berenang pada private pool yang ada di lantai 6 hotel tersebut.
Renata Suswantoro, Istri dari Handika Gunawan, pemilik Perusahaan Multi nasional GM Corporation. Dia juga seorang pemilik salah satu klinik kecantikan ternama. Tak heran jika di usianya yang menginjak 57 tahun ini, Mama Renata terlihat lebih muda dari usianya. Ibu dari Fimanda Gunawan dan Barra Pratama Gunawan itu terlahir dari keluarga Siswantoro, salah satu pemilik saham terbesar pada salah satu bank swasta.
*****
Arlie menggandeng tangan kekasihnya dengan mesra. Ia baru saja tiba dengan penerbangan pagi-pagi sekali. Laki-laki itu menjemputnya di Bandara. Sesekali Ia bergelayut manja di lengan kekar milik kekasihnya itu. Tak lama kemudian, mereka masuk ke dalam sebuah mobil mewah. Mobil pun melaju membelah padatnya jalanan ibukota hingga sampailah di sebuah apartemen.
Ketika pintu apartemen tertutup, Arlie langsung memeluk mesra kekasihnya dari belakang.
"Zi, Aku sudah melakukan apa yang kau inginkan. Kita akan menikah bukan?" tanya Arlie dengan wajah sedikit cemas
"Honey, Aku akan menepati janjiku. Kau tenanglah, Aku mencintaimu," ujar Zidane menenangkan. Ia pun memutar badannya sehingga persis berhadapan dengan Arlie. Kedua tangannya menangkup pipi Arli, membawa wajahnya mendongak ke atas. kemudian mengecup singkat bibir mungil itu. Dia dapat menangkap rona kekhawatiran di wajah kekasihnya.
"Aku hanya takut, anak kita terus tumbuh. Aku tidak ingin dia lahir tanpa seorang Ayah." Menyentuh dan mengusap lembut perutnya yang masih rata.
"Sssshhhh, itu tidak mungkin. Besok kita akan menikah, tapi untuk resepsi kita perlu menyiapkannya. Besok kita ke KUA, oke!" bujuk Zidane lagi.
Arlie hanya mengangguk tanpa menjawab. Dia merasa bersalah telah melakukan kejahatan terhadap temannya. Namun ia tidak bisa menolak, Zidane mengancam akan meninggalkannya jika Ia tidak melakukannya. Sementara, Arlie dan Zidan sudah berpacaran kelewat batas hingga ia kini mengandung anak Zidane. Penyesalan selalu datang terlambat. Arlie takut, Ia merantau ke Jakarta dan tidak punya siapa-siapa di sini.
#falshback on
"Zi, aku hamil..." aku Arlie pada Zidane, kekasihnya.
"Apa? Are you serious? Tidak, kita belum siap punya anak. Kau harus menggugurkannya." Zidane menjawab tanpa rasa malu.
"Zi, ini anak Kamu. Darah daging kamu. Kamu kok tega banget sih. Kamu bilang kamu akan tanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama Aku Zi, hiks hiks hiks..." Arlie terisak sambil memukul dada Zidane.
Zidane menangkap kedua tangan Arlie, lalu membawanya ke dalam pelukan. Seringai jahat menghiasi bibirnya. Waktunya senang-senang Arlie b*d*h, batin Zidane.
Zidane melepaskan pelukannya, kemudian membungkukkan sedikit badannya. kedua tangannya memegang bahu Arlie. "Aku akan menikahi mu," ucap Zidane. Seketika Arlie tersenyum dalam isakannya.
"Be-benarkah? Kita akan menikah Zi?" tanya Arlie tak percaya.
" Aku akan menikahi mu, asal dengan satu syarat!" Seketika Zidane membisikkan sesuatu di telinga Arlie hingga membuat mata wanita itu terbelalak.
"Tidak Zi, Aku tidak mau melakukan itu. Dia Sahabatku. Dia sangat baik padaku. Aku tidak akan melakukannya. Kenapa Zi?" tanya Arlie mengenai alasan rencananya itu.
" Kalau begitu, lupakan rencana pernikahan kita. Lebih baik Kau gugurkan kandunganmu atau Kau besarkan Dia tanpa seorang Ayah. Kau tau, gara-gara keluarganya Aku tidak memiliki Ayah," ucap Zidan kemudian.
Arlie menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana mungkin. Aku sempat mengenal Ibunya. Bunda sangat baik. Itu tidak mungkin!"
bantah Arlie merasa tak percaya.
"Ibunya merebut Ayahku dari Ibuku. Aku dan dia ,kami satu Ayah. Tapi aku hanya dibesarkan oleh Ibuku," jelas Zidane, sambil matanya menerawang jauh mengingat masa-masa di mana Ia hidup tanpa seorang Ayah.
"Jika kau tak punya keperluan lain Kau bisa pergi!" tuturnya lagi pada Arlie sambil beranjak dari ruang tamu ke kamarnya. Secepat kilat Arlie pun menarik lengan Zidane.
"Aku akan melakukannya Zi, demi Kau dan anak Kita. Aku akan melakukannya." Kata Arlie dengan yakin. Matanya menatap mata Zidane dan tak ada kebohongan di matanya. Seketika Zidane meraup dagu Arli dan menciumnya mesra. Tak lama, ciuman itu Ia lepas dan memeluk Arlie dengan erat sambil menyunggingkan seringai yang entah apa maksudnya.
"Terimakasih, Aku mencintaimu Sayang. Aku janji Kita akan menikah secepatnya." Ujar Zidane melepaskan senyum kemenangan
#Flashback off
***ToBeContinue***
Hai Semua. Salam kenal dari Author. Terimakasih sudah membaca karya ku. HAPPY READING
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!