Kirana Putri, adalah seorang mahasiswi di salah satu universitas ternama di kotanya yang baru saja lulus. Ia memiliki banyak rencana, salah satunya sukses dalam pekerjaannya, membahagiakan kedua orang tua, menyekolahkan adiknya setinggi mungkin, dan mengangkat derajat keluarga. Namun, itu semua hanya menjadi mimpi. Ia harus menikah dengan direktur di perusahaan besar demi hubungan persahabatan ayahnya.
"Lho? Ayah kok ga bilang dulu sama Ran? Kenapa langsung setuju? Ran baru lulus loh yah.. Masa depan Ran masih panjang, kok di suruh nikah.." Keluh Ran tak terima.
"Maaf Ran, tapi ayah tidak bisa menolak perkataan Bagas" Balas ayah nampak sedih.
"Kenapa ga bisa? Ayah, ayo dong.. Ran masih terlalu muda untuk nikah! Ran belum siap" Ran semakin yakin kalau ayahnya sedang bicara serius dan bukan becanda, ia menatap wajah serius ayahnya, melihat dahi yang mengkerut itu, ayah jadi semakin nampak tidak muda lagi.
"Ayah minta maaf Ran, tapi tidak bisa.. Anggap saja ini baktimu pada ayah. Besok mereka datang, bersiaplah, dandan yang cantik" Kata ayah kemudian berlalu pergi meninggalkan Ran di ruang tamu.
"Hah? Besok? Kok besok.. Hati ku belum siap ayahanda!" Ran meremas kerah bajunya dramatis.
"Hentikan Ran.. Ayah serius!" Dari kejauhan ayah membalas perkataan putrinya yang sedang drama.
"Bu... Gimana ini bu? Ran belum siap menikah" Kini Ran berpaling dan menggenggam tangan sang ibu cemas.
"Ibu minta maaf sayang.. Ibu tidak bisa melakukan apa-apa, ibu tidak bisa melawan ayah..." Jelas ibu yang kini mulai menangis.
"Astaghfirullah! Udah bu udah, jangan nangis.. Ran ga papa kok bu, ga papa beneran! Cup cup jangan nangis bu.. Nanti Ran ikut nangis juga loh bu... Cep cep sayang" Ran memeluk dan mengusap punggung Reni, ibunya.
"Ah kamu!" Reni memukul pelan punggung Ran.
"Yasudah, jangan nangis lagi ya bu. Ran yakin, ini yang terbaik buat Ran, Ran percaya sama pilihan ayah" Ran mengangguk yakin.
"... Yasudah, kamu juga istirahat nak, ke kamar sana, tidur" Reni melepas pelukan mereka dan mengusap kepala Ran lembut.
"Iya bidadari surga. Ran ke kamar ya, ibu juga tidur" Keduanya berbalik dan masuk ke dalam kamar masing-masing.
Sesampainya di kamar, Ran segera mengunci pintu kamar. Ia duduk di depan meja belajar, menatap pemandangan malam dari jendela yang gordennya belum tertutup. Ia menghela napas lelah.
"... Emang ya, kalau bukan jodoh ya ga akan di persatukan. Tiga tahun aku naksir kamu Reg, tapi... Yaudahlah ya haha.." Ran menutup buku diary miliknya. Perlahan, air mata turun membasahi pipinya. Ia menangkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya.
"Pasang lagu sedih ah! Biar galaunya kerasa" Ran melompat ke ranjang dan memutar lagu galau andalannya. Setelah mendrama sebentar, tanpa sadar ia tertidur.
Hari telah berganti, siang berubah menjadi malam. Ran berdiri di depan cermin sembari merapihkan tatanan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia merapikan dress berwarna soft pink yang sedang ia kenakan saat ini.
"Maa Syaa Allah.. Cantik juga xixixi, biasa dekil banget kek ga mandi sebulan. Kamu liat aku auto naksir Reg, yakin deh!" Celoteh Ran yang masih sibuk memperhatikan setiap inci dari penampilannya.
Ran berbalik saat pintu terbuka dan nampak seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruangan. Wanita itu menghampiri Ran dan mengelus lembut pipi Ran yang sudah di hiasi sedikit make up.
"Sudah siap sayang?" Tanya ibu.
".. Sudah bu"
"Kamu ga papa nak?" Tanya ibu masih merasa tak enak.
"Ran ga papa bu, jangan khawatir, pasti Ran bisa melewati ini semua. Doain Ran ya bu.." Pinta Ran seraya menggenggam tangan sang ibu erat.
"Pasti sayang.. Ayo turun? Mereka sudah di bawah" Kata ibu di balas anggukan oleh Ran.
Ran berdiri berdampingan dengan ibu dan perlahan menuruni anak tangga. Ia mengalihkan pandangannya pada ruang tamu dimana para orang tua sedang duduk di sana. Kemudian ia memfokuskan pandangannya pada seorang pria berjas hitam duduk dengan santai di sofa. Kulitnya putih, kakinya terlihat panjang, dan sepertinya dia tidak sepantaran dengan Ran.
"Dia kah calon suami ku?? Kok.. Kaya om-om?!" Batin Ran bertanya tanya.
Ran memberi salam pada tamu seraya sedikit membungkukkan badannya, kemudian duduk di samping ibunya.
"Ran sudah besar ya sekarang. Perasaan kemarin masih kecil haha" Kata Pak Bagas.
"Iya ya pah. Ran ingat ga? Dulu tante sering kasih permen buat Ran" Tambah istrinya pak Bagas.
"Um.. Maaf tante, Ran ga ingat" Jawab Ran kikuk. Mau bohong bilang ingat, tapi nanti malah lebih ditanyai.
"Haha iya sih, waktu itu kan kamu masih tk ya"
"Ayo langsung tentukan tanggal saja" Saran Pak Bagas semangat.
"Boleh boleh, ayo pilih tanggal cantik" Kata ayah menimpali.
"Buset.. Pada ngebet banget kayanya aku nikah.." Batin Ran tak habis pikir.
"Eh iya, mereka belum kenalan kan. Ran perkenalkan, ini Rei. Dia baru pulang dari luar negeri" Kata pak Bagas teringat.
".. Rei" Kata pria itu dengan nada yang amat datar dan dingin.
"Kirana.." Balas Ran sedikit takut. Benarkah ini laki-laki yang akan hidup dengannya.
"Oh ya, mulai sekarang panggil tante mamah ya, dan om papah" Kata istri pak Bagas.
"Baik mah" Balas Ran menurut.
Kirana yang saat ini baru berusia 22 tahun tidak sedikitpun berpikir akan menikah, apalagi kehidupan setelah menikah. Ia hanya diam memperhatikan para orang tua yang asyik dan sibuk sendiri membicarakan pernikahan.
Mereka mulai mempersiapkan semua pernak-pernik pernikahan, undangan, catering, termasuk gaun pernikahan.
Waktu terus berjalan, hingga hari di mana Kirana akan melepas masa lajangnya tiba. Bunga mawar berwarna merah muda dan putih menghiasi rumah. Keluarga mempelai pria sudah tiba, dan kini adalah saatnya Kirana keluar dan bersiap untuk proses akad nikah.
Kirana keluar dari ruangan dengan gaun pernikahan sederhana berwarna putih dan rambut yang digelung, membuatnya terlihat semakin cantik.
Kini ia duduk di samping Rei. Tiba-tiba ia merasa sedih, karena beberapa menit lagi ia akan menjadi istri orang. Dan tentu saja, setelah ini pasti ia akan keluar dari rumah dan mengikuti suaminya. Ia menundukkan kepalanya berusaha menahan air mata yang rasanya sudah ada di ujung mata.
"Angkat kepala, senyum" Titah Rei berbisik dengan nada galak.
"Buset! Udah om-om, galak lagi.. Paket komplit dah ini mah.." Batin Ran kesal. Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum.
Akad nikah selesai. Semua orang yang hadir menunjukkan wajah bahagia. Ran tersenyum saat melihat kedua orang tuanya tertawa bahagia di hari itu. Hari berganti menjadi malam, rasanya tubuh sebentar lagi akan tumbang, menyalami banyak tamu dengan keadaan berdiri benar-benar melelahkan. Mulai dari teman Ran, teman kantor suaminya dan rekan-rekan papah, benar-benar ramai.
Ran menghembuskan napas lega saat memasuki kamar, ia berharap bisa cepat-cepat istirahat dan hanyut dalam mimpi indahnya. Apalagi setelah melihat kasur yang ada di kamar itu, terlihat sangat empuk dan nyaman.
Langkahnya terhenti saat melihat Rei keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ranjang. Rei mengambil bantal dan selimut kemudian melemparnya pada Ran.
"Tidur di tempat lain" Titah Rei kemudian naik ke atas kasur.
".. Di tempat lain? Maksudnya gimana?" Tanya Ran tak mengerti seraya memungut bantal dan selimut yang jatuh ke lantai.
"Kamu pikir saya mau tidur sama kamu? Sana di sofa" Titah Rei ketus.
"What the.. Hey! Ini aku yang tidur di sofa? Aku? Seenggaknya Anda sebagai laki laki yang ngalah dong tidur di sofa! Gimana sih..." Batin Ran tak percaya.
"Iya om..." Ran membuka selimutnya, dan merebahkan tubuhnya di sofa.
"Apa tadi kamu bilang? 'Om'?" Rei menatap Ran ga nyantai, sungguh menakutkan.
".. Ya?" Sahut Ran bingung.
"Jangan panggil saya om!"
"Lha kan emang om-om?" Sahut Ran.
"Jangan asal kalau ngomong! Jangan panggil saya om! Tidur sana!" Titah Rei kesal.
Tak menyahuti, Ran menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya dan memejamkan mata tanpa peduli dengan om-om itu.
Hari berikutnya tiba, saatnya bersiap untuk resepsi di sebuah gedung yang besar dan mewah. Seperti sebelumnya, ratusan orang berkumpul dan merayakan hari bahagia ini.
Gaun berwarna merah muda yang Ran kenakan membuatnya terlihat lebih anggun, ditambah dengan rambut yang digerai ke samping memperlihatkan leher putihnya. Setelah resepsi selesai, mereka melakukan kegiatan foto pengantin.
"Ayo pak, bu, lebih dekat" Arahan si fotografer.
Rei meraih tangan Kirana dan memberikan senyum kecil, terlihat sangat natural.
"Pinter akting nih orang.." Batin Ran kagum.
"Bu, senyum" Titah pak fotografer.
"Senyum, mau cepat selesai kan?" Bisik Rei.
"Iya.."
Mereka mengganti pose mereka. Rei mendekatkan wajahnya pada wajah Kirana, dan menempelkan bibirnya pada ujung bibir Kirana. Kirana memejamkan mata dan melingkarkan tangannya di leher Rei.
"Yak, bagus" Dilanjutkan dengan beberapa foto, kemudian selesai.
Setelah acara yang panjang usai, Rei dan Ran kembali ke rumah papah dan mamah karena sementara mereka akan tinggal di sana sampai rumah mereka selesai di renovasi. Ketika sampai di rumah dan berhadapan dengan orang tua mereka, mereka terlihat sangat romantis layaknya pengantin sungguhan. Namun ketika mereka sampai di kamar mereka, keadaan kembali seperti semula.
"Cuciin" Titah Rei seraya melemparkan jasnya pada Kirana.
"Iya"
"Perasaan ada pembantu deh.. Kenapa saya hello?? Dasar om-om rese!" Batin Ran kesal.
"Siapkan air hangat, saya mau mandi" Titah Rei.
"Iya"
"Setelah itu buatkan saya susu hangat, vanilla"
"Hmm"
"Ga ikhlas?" Rei berbalik dan menatap Kirana tak suka.
"Ikhlas" Jawab Ran berusaha tidak ketus, tapi tetap saja terdengar sedikit.. Tidak ikhlas.
Dengan sabar Kirana menyiapkan semua yang suaminya minta.
"Ran, mana susunya?" Segera Ran menyodorkan segelas susu vanilla hangat pada Rei.
"Saya mau tidur, jangan berisik. Ambil bantal kamu dan tidur di sofa" Titah Rei, sama seperti kemarin.
"Gantian kek!" Batin Ran kesal.
"Hm.. Selamat tidur" Ucap Ran masih dengan nada kesal.
"Hmmm"
"Buset, kenapa 'hm' nya lebih panjang sih.." Batin Ran sebelum berbalik meninggalkan Rei.
Ran menatap bantal di sofa yang sedang ia duduki saat ini. Ia merindukan ranjang di kamar kesayangannya. Ia merebahkan tubuhnya dan beristirahat. Ia hanya berharap semoga kehidupan rumah tangganya dapat berjalan dengan baik kedepannya bersama om-om yang bahkan lebih cocok menjadi kakaknya dibanding menjadi suaminya.
Pagi hari datang. Kirana bangun dan menyiapkan semua kebutuhan suaminya. Makanan, pakaian, dan air hangat. Lalu ia menggoyangkan tubuh suaminya untuk membangunkannya.
"Om- Eh mas, bangun. Sudah pagi"
"Hng.."
"Ayo mas bangun, sudah ada air hangat, ayo mandi"
"Aduh! Kenapa sih?! Orang masih libur juga! Ini mumpung libur saya bisa tidur! Udah sana, saya masih mau tidur! Kamu aja sana yang mandi" Bentak Rei.
"..Iya.." Sambil menunggu suaminya bangun, Kirana keluar dari kamar dan membersihkan rumah.
"Kiranaaa" Panggil Rei dari dalam kamar.
"..."
"Ran!!"
"Iya mas, ada apa?" Ran berlari memasuki kamar.
"Ke mana sih? Lama banget"
"Abis masak tadi, kenapa?"
"Mau mandi.." Ucap Rei yang sudah terduduk di kasur.
".. Ya tinggal mandi.." Balas Ran berusaha sabar.
"Kamu siap-siap. Kita pindah"
"Pindah ke mana?"
"Ke rumah kita lah! Kamu mau tinggal di rumah orang tua terus?"
"Engga.."
"Yaudah, cepet sana siap-siap" Rei mengacak rambutnya kesal.
"Laksanakan.." Kirana bersiap, membereskan semua barangnya yang ada di kamar, termasuk pakaiannya.
"Sudah?" Tanya Rei yang sudah habis kesabarannya untuk menunggu.
"Sudah"
"Ayo berangkat. Oh iya!" Rei menggenggam tangan Kirana dengan kasar.
"B-bentar, sakit"
Rei menarik tangan Kirana dengan kasar, membawanya ke ruang tamu dan berpamitan pada orang tua Rei.
"Pah, mah.. Rei pamit"
"Rumahnya sudah bersih memang? Udah mau pindah aja" Tanya papah.
"Sudah pah, Rei sudah suruh orang"
"Ya sudah, hati-hati ya.."
"Iya. Berangkat ya pah, mah"
Mereka keluar dari rumah dengan membawa banyak tas dan koper. Setelah memanaskan mobil, mereka berangkat menuju rumah yang baru.
Seperti yang dikatakan oleh Rei, rumahnya sudah bersih dan tertata rapi. Namun, saat mereka sampai, rumah itu kotor, kumuh dan berantakan.
"M.. Anu, mas.. Katanya rumahnya sudah bersih?" Tanya Ran.
"Cuma kamar doang yang bersih. Kamu beresin ini ya, di pel"
"Mas bantuin kan?"
"Saya mau keluar, beresin sendiri" Balas Rei acuh.
"Rumah segede ini beresin sendiri?" Batin Ran merasa keberatan.
"Bisa?!" Tanya Rei sedikit meninggikan suaranya.
"Bisa.."
"Yaudah, saya jalan dulu" Rei kembali masuk ke dalam mobil.
"Ya Allah.. Sadarkan lah om itu.. Kasian udah tua.." Batin Ran, ia mengusap dadanya dan menggelengkan kepala tak habis pikir.
Kirana masuk ke dalam rumah, dan perlahan membersihkan rumah, merapikan perabotan yang ada di dalamnya.
"Hah, selesai juga akhirnya.. Tapi, ga ada makanan, ke pasar dulu deh.. Pasarnya di mana ya?"
Ia melihat ke sana dan ke sini, melihat keadaan sekitar rumah. Ia melihat ada segerombolan tukang ojek yang sedang menunggu penumpang.
"Naik ojek aja kali ya? Minta anter ke pasar"
Setelah mengambil uang, Kirana bergegas ke tempat ojek dan minta di antar ke pasar.
Setelah pulang dari pasar, ia segera menuju dapur dan memasak makanan untuk suaminya.
Hari berganti menjadi malam. Rumah sudah rapi dan bersih, makananpun sudah tertata dengan rapi di atas meja. Ran mengendus ketiaknya, memastikan tidak bau sedikitpun. Tak lama, terdengar suara pintu yang di ketuk dengan keras.
"Sebentar" Kirana berlari ke arah pintu dan segera membukakan pintu.
"Selamat datang.. Om?!" Ran terkejut saat melihat sosok Rei yang pulang dalam keadaan mabuk. Wajah lelaki itu memerah.
"Lama banget sih.. Hik.. Bukain pintu nya.." Omel Rei.
"Mas.. Mabuk?" Tanya Ran yang padahal sudah tahu jika Rei mabuk.
"Berisik! Bawa saya ke kamar!" Rei mengalungkan lengannya di leher Kirana.
"Sebentar mas kunci pintu dulu"
"Halah!"
"Sabar om!" Kirana mengantar Rei ke kamar dan mendudukkannya di kasur. Ia berlari ke dapur dan mengambil segelas air putih.
"Diminum dulu" Ran menyodorkan gelas berisi air putih dengan rasa jengkel yang teramat. Bisa-bisa nya laki-laki ini pulang dalam keadaan mabuk.
Rei meminumnya sekali teguk. Setelah minum, ia menatap wajah Kirana dengan tatapan yang aneh. "Hik.."
"Apa? Mau makan? Mau diambilin ga? Mau makan apa? Ada telur, ada sayur, daging, mau apa?"
"Bisa diem ga? Saya mau tidur. Keluar sana" Titah Rei yang mulai mengatur posisi untuk tidur.
Ran keluar dari kamar, memasukan semua makanan ke dalam lemari. Berharap besok masih bisa di panaskan.
Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih lima belas. Rei sudah kembali bekerja seperti biasa. Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Ran pergi ke belakang rumah untuk mencuci pakaian.
Ia memegang baju yang di pakai suaminya tadi malam. Ada bau parfum perempuan, namun bukan parfumnya. Ia terkejut ketika melihat ada bekas lipstik berwarna merah di kerah baju sang suami.
"Apa ini? Bekas siapa? Masa si om..." Ucap Ran menerka-nerka. Kirana berusaha tetap berpikir positif. Ia akan menanyakan tentang ini pada Rei saat ia pulang nanti.
Malam pukul sebelas, terdengar suara pintu yang di ketuk keras. Kirana yang sedari tadi menunggu Rei pulang segera berlari dan membukakan pintu.
"Mas sudah pulang?" Tanya Ran ramah, sekaligus basa-basi.
"Kamu buta?"
"Astaghfirullah! Lagi berusaha ramah ini woi! Kalem dikit kenapa sih.." Batin Ran kesal.
"Kamu ga liat saya sudah pulang?" Tanya Rei ketus.
"..Maaf mas.. Lapar?"
"Ga. Mau tidur" Rei melenggang masuk ke dalam.
"Mau susu?"
"Saya bilang, saya mau tidur" Ulang Rei.
"..Ah ya, mas.."
"Apa lagi?"
"Tadi malam, mas kenapa? Kok mabuk? Dari mana?"
"Apa sih? Ngapain nanya-nanya?" Tanya Rei tak suka.
"Aku mau tau. Terus, mas sama siapa? Kenapa di kerah baju mas ada bekas lipstik?"
"Apa sih?! Pokoknya bukan urusan kamu"
"Jelasin"
"Udah Ran! Saya cape, mau tidur! Lagian kamu siapa sih ikut campur urusan saya"
"ISTRI! Lupa?"
"Kita cuma di jodohin" Balas Rei tak peduli.
"Terus?"
"Malah terus. Denger ya, saya ga sedikitpun ada rasa suka sama kamu, ga usah kamu ngarep apa-apa dari saya"
"Seenggaknya hargain aku sedikit!"
"Apa sih yang kamu mau?!"
"Aku cuma minta dijelasin aja kok? Susah ya? Biar gimanapun saya dan Anda adalah pasangan suami istri yang sah! Aku mengorbankan masa muda aku loh buat nikah sama om! Hargai dikiiit aja. Jadi suami yang bener, sama seperti aku yang ngejalanin tugas aku sebagai istri dengan benar!" Celoteh Ran kesal.
"Kamu ga akan dapetin itu sama saya, ngerti? Udah saya cape" Rei membuka pintu kamar, hendak masuk ke dalam.
"Mas jawab! Tadi malam ada apa?"
"Apa sih Ran?! Ga usah bikin teriak malam-malam"
"Makanya jawab!" Ran menarik lengan kemeja Rei kesal.
"Yaudah! Tadi malam saya minum, sama pacar saya!"
"... Tuhan, bolehkah aku mengumpati manusia ini.." Batin Ran yang sempat membatu beberapa saat.
"..Pacar?" Gumam Ran, namun dapat terdengar oleh Rei.
"Iya! Udah?! Saya mau tidur"
Kirana tidak menanggapi apapun lagi, ia duduk di sofa dan menangis. Kenapa Rei begitu tega padanya. Bagaimana caranya terus melanjutkan pernikahan ini? Untuk sesaat dia terpikir untuk berpisah saja, namun dia teringat pada keluarga dan janjinya pada Allah.
"Oke! Ga papa! Fine! Aku ga sedih! Ga sama sekali! Mulai sekarang, Anda tidak lebih dari seorang kakak! Dasar om-om gila!!" Umpat Ran. Ia berdiri dan pergi ke dapur.
Jam empat pagi Kirana sudah bangun dan menyiapkan semua kebutuhan suaminya, buat sekarang kakaknya sih. Mulai dari memasak, menyiapkan pakaiannya, dan menyiapkan air untuk mandi.
Jam setengah lima pagi, Kirana menggoyangkan tubuh Rei, berusaha membangunkan lelaki itu. "Mas, ayo bangun.. Kita sholat subuh bareng"
Beberapa kali ia menggoyangkan tubuh Rei, namun Rei tak kunjung bangun. "Mas..."
"Haduuuhh! Kalau mau sholat ya sholat aja sendiri! Ngapain sih ngajak-ngajak!" Rei berbalik dan menutup wajahnya dengan selimut.
"Mas.. Sholat itu wajib, dosa kalau di tinggalkan"
"Malah ceramah, udah sana sholat! Ganggu orang tidur aja!"
"Tapi mas.."
"Sekali lagi ngomong, saya lempar pake bantal!"
"Iya ih!"
"Udah sana!" Usir Rei yang kini kembali tertidur.
Satu jam kemudian, Ran kembali membangunkan Rei. "Mas.."
"Hais! Apa sih Ran?!"
"Sudah setengah enam, ayo bangun.. Mandi, airnya udah ada tuh"
"Gara-gara kamu nih! Padahal saya tadi lagi mimpi bagus!" Gerutu Rei kesal.
"Mimpi apa tuh?"
"Kepo! Udah, sana!" Rei berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.
"Mas, ini bajunya" Setelah mandi, Rei mengambil baju itu dengan kasar dan memakainya.
"Dasi nya mana?!" Tanya Rei dengan nada tinggi.
"Ini. Bisa biasa aja ga sih?" Kirana berdiri mendekat pada Rei dan mencoba memasangkan dasi untuk Rei.
"Heh! Ngapain?" Bentak Rei seraya mendorong Kirana menjauh.
"Mau pasangin dasi kan.."
"Ga usah, bisa sendiri"
"Udah diem, biar aku pakein"
"Lah apa sih? Ga us-"
Jari telunjuk Kirana menempel di bibir Rei, membuat Rei berhenti berbicara. "Udah deh diem! Pasang dasi ginian mah aku jagonya!"
"Kamu kenapa sih? Ko tiba-tiba begini?"
"Begini apanya? Ini tasnya, di dalamnya ada bekal, aku masakin tadi"
"Kamu pikir saya anak TK? Pake bawa bekal segala"
"Anak TK aja masih lebih pinter. Udah di makan, kata mamah mas suka ayam kecap, aku masakin ayam kecap. Nanti malam telur balado"
"Kurang ajar.. Suka-suka kamu ajalah. Saya berangkat"
"Hati hati"
"Hm"
Rei membuka pintu mobil, menyalakan mesin kemudian berangkat. Perlahan mobil Rei menghilang dari pandangan Kirana.
Dua puluh lima menit kemudian Rei sampai di kantor. Rei keluar dari mobil dan masuk ke dalam ruangannya. Dia duduk di kursi kerjanya yang empuk dan menyandarkan kepalanya di kepala kursi.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu di sertai langkah kaki yang perlahan masuk. Seorang wanita dengan kemeja dan rok di atas lutut masuk ke dalam ruangan. Sosok yang cantik dengan rambut hitam tergerai lurus.
"Morning honey" Sapa wanita itu seraya mengecup pipi Rei.
"Morning"
"Ada yang perlu kamu tanda tanganin, nih" Wanita dengan nama Nadine itu memberikan sebuah map berisi sebuah persetujuan kerja sama dengan perusahaan lain.
"Kok kamu lesu gitu sih? Kenapa?" Wanita itu berjalan dan duduk di lengan kursi kerja Rei.
"Tambah males aku di rumah, kamu tau kan.."
"Terus dia tau tentang hubungan kita?"
"Tau, aku udah ngomong kok"
"Ih ngeri ya kamu, terus reaksinya gimana?" Tanya Nadine penasaran.
"Ga tau, aku langsung tinggal ke kamar waktu itu"
"Oh, gitu ya.. Honey, sore ini kamu ga ada jadwal kan?"
"Ga ada, kenapa?"
"Beliin aku tas dong, lagi diskon loh. Ada sepatu juga, ya.. Please?" Wanita itu mengalungkan lengannya di leher Rei.
"Iya aman, sore ini kita berangkat"
"Yeay makasih honey.. Oh ya honey, tadi temen aku SMS aku"
"Bilang apa?"
"Katanya ada yang jual berlian murah loh"
"Masa sih? Kamu mau?"
"Ih mau bangeett.. Kamu mau beliin?"
"Pasti lah, apasih yang engga buat kamu" Rei mencolek hidung perempuan itu.
"Ih nakal! Kalau istri kamu tau gimana?"
"Ga bakal kenapa-kenapa, kalau dia marah tinggal marahin balik" Ucap Rei santuy.
"Ihh makin cinta deh aku sama kamu"
"Iya iya"
Jam setengah delapan malam, Kirana sudah selesai dengan pekerjaannya, namun Rei masih belum pulang juga. Ran duduk di sofa dan menunggu Rei datang. Tak lama, pintu terbuka diikuti dengan kedatangan Rei.
"Mau mandi dulu? Atau makan dulu?"
"Saya udah makan, mau tidur"
"Yah, kok gitu sih? Aku masak banyak loh"
"Makanya jangan masak, udah tau saya ga makan di rumah"
"Kenapa ga makan di rumah? Kenapa di luar terus?"
"Malas. Udah ya saya ga mau debat, cape" Rei masuk ke dalam kamar dan meninggalkan Kirana sendirian di ruang tamu.
"Terus ini gimana? Besok masih bagus ga ya? Eh tapi, ibu sebelah anaknya banyak kan ya? Kasih sebelah aja deh, sayang"
Kirana mengambil tempat kemudian memasukkan semua makanan ke dalamnya, lalu segera mengantarkan makanan tersebut ke rumah sebelah berharap habis di makan oleh anak-anak di sebelah.
Keesokan harinya Kirana mengumpulkan semua baju kotor yang hendak di cuci, termasuk baju Rei. Sebelum mencuci baju Rei, Kirana memeriksanya terlebih dahulu takut-takut ada benda penting yang ikut tercuci. Saat memeriksa jas yang di gunakan Rei semalam, ia menemukan sebuah nota.
"Apa ini?" Ia terkejut saat membaca nota tersebut. Itu merupakan nota pembelian berlian. Untuk apa Rei membeli itu?
"Masa sih.. Si om mau kasih aku hadiah?" Kirana berpikir Rei membelikannya hadiah berupa berlian. Ia tersenyum kecil. "Masa si om mau beliin aku ini? Bisa baik juga ternyata" Ran mengulum senyumnya lalu kembali pada pekerjaan rumahnya.
Sudah beberapa hari berlalu, namun Rei tak pernah memberikan apapun pada Kirana. Karena penasaran, Kirana memberanikan diri untuk bertanya langsung pada Rei yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah.
"Mas.." Panggil Ran yang kini sudah duduk tak jauh dari Rei.
"Hm"
"Mas ada beli sesuatu ga?"
"Sesuatu apa?"
"Apa aja.. Perhiasan mungkin.." Ran mulai memberikan kode.
"Emang kenapa? Kamu mau?"
"Engga mas, bukan gitu.. Itu.. Beberapa hari yang lalu aku ada nemu nota pembelian berlian, mas beli berlian?"
Rei yang sedang meminum secangkir kopi menyemburkan kopi itu karena terkejut mendengar kata kata Kirana. "Kamu nemu dari mana?!"
"Dari jasnya mas, waktu mau nyuci kemaren aku periksa dulu takut ada benda penting ke cuci"
"..." Rei diam dan kembali menyeruput kopinya.
"Jadi bener mas beli? Buat apa mas?"
"Apa sih? Kok kepo"
"Aku kan berhak tau mas.. Buat klien mas?"
"Duh cerewet! Buat Nadine" Ucap Rei blak-blakan.
".. Nadine? Siapa itu mas?"
"Pacar saya, puas?"
"Mas beliin pacar mas berlian? Itu kan ga murah mas.. Mending di tabung uangnya"
"Buat apa nabung? Uang saya banyak, ga akan abis" Ucap Rei sombong.
"Mas, uang sebanyak apapun bisa habis kalau ga bener ngelolanya"
"Halah, kalau kamu yang saya beliin paling kamu seneng juga, semua perempuan tuh sama aja, udah ah, cape!" Rei berdiri dan pergi meninggalkan Kirana.
".. Kok sakit hati ya? Tapi, dia sama sekali ga mikirin perasaan aku gitu? Tega banget..." Ran menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
"Udahlah, kesel juga sama bocah tampang om-om satu itu, dasar bucin! Tidur di kamar lain aja lah!"
Beberapa saat kemudian, Ran tersadar akan sesuatu dan menghentikan langkahnya. "Lah iya ya, kan kamar banyak, ngapain aku tidur di sofa..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!