Paris, Juni 2121.
Kinara Lee, aku mencintaimu ....
Baby ....
Kinara , jangan tinggalkan aku. Kumohon ....
Aku akan mencarimu di kehidupan berikutnya. Tunggu aku. Oke?
“Akh!”
Andrew tersentak bangun dari tempat tidurnya. Deru napasnya tidak beraturan, dalam dan tersendat. Mimpi dan suara-suara itu kembali lagi. Semuanya semakin sering terjadi dan semakin jelas sejak bulan lalu. Hampir setiap hari gadis itu datang dalam mimpinya. Gadis mungil dengan mata bulat seperti seekor kelinci yang polos dan lugu. Namun, kali ini ia seperti melihat pantulan dirinya sendiri yang sedang berduka untuk gadis itu. Ia murka, meraung dalam rasa sakit dan kehilangan, juga kemarahan ... pada semesta.
Pemuda itu duduk di tepi ranjang dan menyugar rambutnya dengan kasar. Rasa sakitnya terasa nyata. Seolah ia baru saja kehilangan belahan jiwanya. Rasa sakit yang meremukkan jantungnya.
“Ini semakin tidak masuk akal,” gerutu pemuda itu seraya menghela napas panjang.
Andrew mendongak, melihat jam dinding yang menempel di dekat lemari pakaian. Masih pukul 02.09, terlalu pagi untuk melakukan apa pun. Namun, ia juga tahu tidak akan bisa melanjutkan tidurnya kembali. Suara-suara dan wajah itu akan menghantuinya sepanjang malam jika ia mencoba untuk menutup matanya lagi.
“Kinara Lee, kamu membuatku gila,” gumam Andrew seraya berjalan menuju mini bar yang bersebelahan dengan pantry. Ia meraih sebotol whiskey dan gelas kristal, lalu berjalan kembali ke kamarnya.
Terpekur di sofa sebelah ranjang, wajah Andrew Roux terlihat kusut dan kebingungan. Wajah gadis dalam mimpinya sudah muncul sejak ... entah, ia tidak bisa mengingat kapan gadis itu mulai menguasai isi kepalanya. Gadis itu selalu hadir bersama beberapa sosok yang lain, bercampur dengan beberapa ingatan yang terasa jelas sekaligus samar.
Mulanya ia pikir itu adalah wajah ibunya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia sadar wajah mereka jauh berbeda. Dari foto mendiang ibunya menunjukkan wanita itu memikili rambut ikal kemerahan, sedangkan gadis dalam mimpinya memiliki warna rambut hitam dan lurus sebahu.
Kemudian, ketika usianya semakin bertambah, semua wajah dan kenangan yang lain memudar dari ingatannya. Hanya gadis bermata kelinci itu yang tersisa. Dan, entah mengapa jantungnya selalu berdebar tak beraturan setiap kali gadis itu menghampirinya dalam mimpi, seperti sekarang ini ....
Andrew menuangkan whiskey ke dalam gelas dan meneguknya dalam satu tarikan napas. Rasa panas dengan sensasi sedikit pahit membakar kerongkongannya. Ia meminum cairan itu satu kali lagi sebelum berjalan menuju lemari dan mengeluarkan sebuah koper besi dari dalam sana. Benda itu terbuka setelah Andrew menekan kombinasi beberapa angka.
“Oh, sudah sebanyak ini?” gumamnya pelan seraya mengeluarkan lembar demi lembar lukisan dari dalam koper.
Gadis itu sedang tertawa lebar dengan latar belakang cahaya matahari pagi.
Dia sedang memakai celemek dan membuat ... um, dumpling?
Gadis itu tersenyum bahagia dan menatap matahari terbenam dari bianglala.
Tanpa sadar bibir Andrew ikut melengkung ketika melihat salah satu lukisan seperti sedang menyeringai ke arahnya. Tersenyum dengan sangat tulus dan penuh cinta ....
Tunggu. Cinta ...?
Andrew mengangkat tangan dan menekan dada kirinya. Ia seperti baru saja menyelesaikan lari marathon. Jantungnya berdebar kencang, tapi memberi rasa nyaman, menenangkan, dan ... oh, ia merasa sangat dicintai. Bukankah sangat aneh dan membingungkan? Pemuda itu benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya.
“Bisakah jatuh cinta pada seseorang yang hanya kutemui dalam mimpi?” tanya Andrew pada dirinya sendiri. Dengan sangat hati-hati ia memasukkan kembali lukisan-lukisan itu ke dalam koper dan mengembalikannya ke lemari.
“Atau, apakah ayah benar? Aku pasti sudah gila.”
Sebenarnya, ia pernah mencoba membicarakan hal ini dengan ayahnya. Hasilnya, alih-alih mendapat pencerahan, pria itu justru mengajaknya menemui psikiater. Ketika hal itu tidak berhasil, ia harus melewati puluhan “ritual pengusiran roh jahat” yang sangat membosankan. Akhirnya ia hanya berpura-pura sudah “sembuh” agar tidak terus dipaksa untuk “menyucikan diri”.
Ayahnya tidak tahu kalau hal-hal aneh yang terjadi pada dirinya semakin parah belakangan ini. Oleh karena itulah ia melarikan diri ke sini, kota kecil sejauh sekitar empat jam perjalanan dari Paris. Tadinya ia berharap udara segar dan suasana yang tenang bisa membuatnya berpikir dengan jernih, tapi hal itu justru membuat penglihatannya semakin jelas. Bahkan terkadang ia tidak bisa membedakan apakah yang diingatnya itu hanya bagian dari mimpi atau benar-benar pernah dialaminya.
Pemuda itu mengambil sweater abu-abu dan memakainya sebelum turun dan berjalan menuju bangunan terpisah yang ia gunakan sebagai galeri. Sekarang sudah memasuki awal musim panas, tapi cuaca di kota Dinan masih sedikit dingin. Iklim beberapa tahun terakhir ini memang semakin ekstrim.
Embusan napas Andrew membentuk gumpalan kabut putih di udara. Ia memutar anak kunci dan mendorong pintu hingga terbuka. Ruangan seketika menjadi terang benderang ketika ia menekan tombol saklar di dekat pintu.
“Yeah, kurasa aku memang sudah gila,” ujarnya sebelum mengambil kanvas dan cat akrilik dari lemari penyimpanannya.
Tak lama kemudian, jemari pemuda itu mulai menari di atas kanvas kosong, menorehkan garis dan warna seperti gambaran yang baru saja dilihatnya dalam mimpi.
Hutan pinus di puncak bukit. Hening dan tenang. Cahaya matahari pagi menelusup dari sela-sela dedaunan, menerpa sebuah nisan marmer yang indah. Seorang pria terpaku dengan sebuket bunga di tangan, menatap lekat pada nama yang tertera di nisan: Kinara Lee.
Jantung Andrew tiba-tiba berdenyut nyeri ketika rasa kehilangan itu kembali merobek hatinya. Pelupuk matanya memanas dan terasa semakin berat, mengaburkan pandangannya. Seolah sesuatu yang sangat berharga baru saja tercerabut dari jiwanya.
Aku akan mencarimu di kehidupan berikutnya. Tunggu aku. Oke?
Kalimat yang diucapkan oleh pria yang sangat mirip dengannya dalam mimpi itu kembali terngiang. Berulang-ulang. Bergema dalam gendang telinga dan membuat kepalanya berdenyut hebat. Hingga akhirnya ketika sebuah kesadaran menerpa akalnya, ia meletakkan semua peralatan begitu saja dan melesat kembali ke kamarnya.
“Ini semua tidak mungkin terjadi, bukan?” gumamnya sambil menyalakan laptop yang tergeletak di atas meja.
Pemuda itu membuka internet dan mulai mengetik di kolom pencarian: Apakah reinkarnasi itu nyata?
“Tidak mungkin benar-benar ada, ‘kan ...,” ujarnya lagi, terlihat ragu-ragu saat menekan tombol enter.
Andrew menatap hasil pencarian di layar laptop dan mulai meng-klik satu per satu tautan yang muncul. Pemuda itu membaca hampir semua artikel terkait dengan sangat teliti, menelusuri pernyataan beberapa orang yang menyatakan masih mengingat kehidupan mereka sebelumnya. Kebanyakan merupakan kesaksian dari para orang tua dan anggota keluarga lain mengenai celoteh anak-anak tentang siapa mereka di masa lalu.
Mendadak semuanya terasa masuk akal sekaligus mustahil. Bagaimana bisa?
Pemuda itu menangkupkan tangan ke kepala dan menariki rambutnya. Benar-benar membingungkan. Jika pria dalam mimpinya tadi adalah dirinya sendiri di masa lalu, apakah ia masih mengingat gadis itu karena janji yang diucapkan olehnya sendiri dalam kehidupan sebelumnya?
“Kinara Lee, kamu membuatku benar-benar gila. Haruskah aku mencarimu ... Baby?”
Andrew menarik napas dalam-dalam dan kembali menuangkan segelas whiskey. Ia berjalan menuju balkon dan bersandar pada besi pembatas. Semburat jingga keemasan muncul di ufuk timur. Tiba-tiba seperti melihat dirinya dan gadis itu di dekat sebuah danau, dengan sebuah cincin yang berkilau tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ketika Andrew berkedip, bayangan itu menguap bersama embusan napasnya di udara.
Ia mendongak dan menelan semua cairan alkohol dalam gelas sampai tandas.
“Dalam dunia yang begini luas, apakah aku bisa menemukanmu?” gumamnya seraya menatap jauh mengikuti aliran sungai Rance.
***
Andrew masih bergelantungan dengan kepala di bawah sambil melakukan sit up ketika tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Keningnya mengernyit. Seingatnya, tidak ada satu orang pun keluarga atau kenalannya yang mengetahui keberadaannya di kota Dinan, kecuali Clark, sahabatnya yang paling mengerti kegilaannya. Apakah pemuda sinting itu datang berkunjung?
“Tunggu sebentar!” teriak Andrew seraya berputar dan bertumpu pada titian, kemudian melompat dan mendarat di atas lantai.
Ia meraih handuk kecil untuk mengeringkan keringat di leher dan wajahnya sebelum berjalan menuju ruang depan. Lagi-lagi keningnya berkerut dalam ketika menyadari siapa yang berdiri di depan pintunya. Jelas orang itu bukan Clark, tapi si Tua Alfred, begitu Andrew memanggil pria yang sekarang sedang berdiri di terasnya. Pria tua itu adalah tangan kanan Marco Roux, ayahnya.
Alfred telah bekerja untuk Marco selama hampir seumur hidupnya. Da ikut mengurus Andrew sejak pemuda itu masih bayi. Pria tua dengan rambut keperakan yang tipis itu sepertinya menyadari Andrew sedang menatapnya melalui lubang kunci. Dia melambaikan tangan seraya menyeringai lebar.
Andrew memutar anak kunci dan menarik gagang pintu hingga sedikit terbuka.
“Alfred? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Andrew tanpa melebarkan celah di pintu.
Alfred membuka topinya dan menerobos masuk, mengabaikan tatapan tajam dari Andrew yang sedang menahan lengan di daun pintu untuk menghalanginya.
“Hemat tenagamu,” ujar Alfred seraya berjalan menuju ruang tamu.
Pria tua itu mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, memeriksa dengan tatapan menilai pada setiap perabot dan ornamen yang berada dalam bangunan bergaya Tudor itu. Kemudian, ketika pandangannya tertuju pada sebuah lukisan gadis bergaun putih dengan latar belakang langit senja yang menempel di dekat perapian, ia menoleh pada Andrew dengan mata memicing.
“Masih mendatangimu dalam mimpi?” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu. Seingatnya, terakhir kali pemuda di hadapannya itu membuat pengakuan bahwa dia sudah tidak mengalami penglihatan-penglihatan aneh itu lagi.
Andrew mendengkus dan pergi ke pantry untuk mengambil air minum. “Bukan urusanmu,” gerutunya.
Kehadiran Alfred biasanya merupakan sebuah sinyal akan terjadinya sesuatu yang tidak ia sukai. Ayahnya pasti mengutus pria tua itu untuk melakukan sesuatu. Memaksanya kembali ke Paris, misalnya. Kota itu terlalu ramai dan bising. Andrew tidak suka kekacauan semacam itu. Apalagi dengan tekanan untuk melanjutkan usaha keluarga yang sudah dilakukan turun temurun. Benar-benar membosankan.
“Bagaimana kamu bisa menemukanku?” tanya Andrew dengan raut wajah kesal. Ia benar-benar merasa tidak bisa hidup dengan tenang.
Alfred terkekeh pelan sebelum menjawab, “Kamu sungguh berpikir bisa melarikan diri atau bersembunyi dari ayahmu, Anak Muda? Dia hanya sengaja membiarkanmu bersenang-senang sebentar.”
“Rubah tua itu benar-benar tidak mau melepaskanku, ya?” gerutu Andrew kemudian mendongak dan meminum air dalam gelasnya.
“Siapa yang kau sebut rubah tua?! Anak kurang ajar!”
“Puffft!”
Air dalam mulut Andrew menyembur ketika mendengar suara bariton yang sangat dikenalnya itu. Ia menyeka air yang menetes di dagu dan dadanya. Dengan gugup ia meletakkan gelas ke atas meja, lalu menoleh ke pintu.
“Ayah?!” serunya dengan mata melotot. Ia sama sekali tidak menyangka pria itu datang sendiri untuk mencarinya. Kalau sampai seperti ini, berarti ada sesuatu yang sangat serius akan terjadi.
“Kenapa tidak bilang kalau ayahku juga datang? Kamu sengaja ingin menjebakku, ya?” tuduh Andrew sambil menatap Alfred dengan mata menyipit. Kalau tahu akan sekacau ini, ia lebih memilih untuk melarikan diri lewat jendela ketika mendengar suara ketukan di pintu tadi.
“Memangnya kenapa kalau aku juga datang? Kamu ingin kabur lewat jendela? Atau cerobong asap?” tanya Marco Roux dengan sarkastik, membuat Andrew mendadak bungkam.
Sama seperti Alfred tadi, Marco pun mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan tatapan menilai. Namun, ketika irisnya yang kelabu menemukan potret seorang gadis di dekat perapian, ia bersikap seolah-olah tidak melihatnya dan memilih untuk mengalihkan pandangan.
“Aku memberikanmu kehidupan yang layak, tempat tinggal yang nyaman dan semua akses yang memudahkan hidupmu. Tapi lihat ... kamu malah lebih suka bersembunyi di tempat terpencil ini seperti tikus got!” gerutunya tanpa berusaha menutupi rasa tidak sukanya.
Andrew mendengkus dan memutar bola matanya dengan kesal. Perdebatan tanpa ujung bersama ayahnya akan segera dimulai.
“Anda sama sekali tidak memberi kemudahan dalam kehidupanku, Mr. Roux. Anda hanya ingin terus mengurung dan mengekangku, memaksaku melakukan apa yang Anda inginkan ... sesuatu yang jelas-jelas aku tidak suka,” tukas Andrew sambil bersedekap. Ia membalas tatapan ayahnya yang tajam tanpa berkedip sedikit pun.
“Kamu semakin kurang ajar! Berani membantahku!” kecam Marco setelah berhasil mengendalikan dirinya.
“Ayah ....” Andrew mendesah pelan dan menyugar rambutnya. “Aku sama sekali tidak ingin membantahmu, tapi cobalah mengerti ... aku sama sekali tidak tertarik untuk meneruskan perusahaan milik keluarga. Aku menyukai seni dan—“
“Marquess of Alrico baru saja menemuiku kemarin,” sela Marco tanpa memedulikan raut wajah putranya yang menggelap, “Kamu ingat Cecille? Putri bungsu sang Marquess ... dia sudah setuju untuk bertunangan denganmu. Kamu tahu, dengan pernikahan kalian nantinya, Phoenix.Co akan mampu melebarkan sayapnya ke seluruh Eropa. Hasil kerja kerasku dan kakekmu akan diakui oleh dunia. Apakah alasan itu tidak cukup untuk membuatmu menjadi anak yang patuh dan membuatku bangga?”
“Usiaku baru 21 tahun, Ayah. Aku tidak tertarik untuk menikah di usia muda,” jawab Andrew pelan, mati-matian berusahan menahan gejolak amarah yang menggelegak dalam dadanya.
Entah mengapa, semua ini terasa seperti deja vu. Adegan yang terjadi sekarang seolah pernah ia alami sebelumnya. Mungkinkah di kehidupan sebelumnya? Kesalahan yang berakibat fatal ....
Insting Andrew memberontak dengan liar. Sepertinya waktu itu ia melakukan kesalahan dengan menerima perjodohan sialan itu, tapi sekarang ... ia akan melawan dan menolak semua ini dengan sekuat tenaga.
Marco menatap putranya dengan tatapan mengintimidasi. Ia bersandar di sofa sambil berpangku kaki, memikirkan kalimat ancaman yang mungkin akan membuat putranya luluh.
Namun, pada akhirnya ia hanya bisa menghela napas pelan dan berkata, “Aku menikahi ibumu pada saat berusia dua puluh tahun. Kamu lahir dua tahun kemudian. Saat itu, bisnis keluarga yang diwariskan oleh kakekmu berkembang lima kali lipat. Tapi sekarang ... kamu bahkan tidak tertarik sedikit pun pada apa yang sudah aku bangun dengan susah payah.”
Andrew mengacak rambutnya dengan kasar ketika melihat raut wajah ayahnya yang berubah sendu dan seolah kehilangan harapan. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan keras. Ia tidak pernah bisa melihat ayahnya sedih atau kecewa. Salah satu alasan mengapa ia selalu melarikan diri dari pria itu adalah karena ia tidak sanggup melihat ekspresi kesedihan ayahnya ketika mendengar penolakan darinya berkali-kali.
“Beri aku waktu sepuluh tahun, oke?” tawar Andrew, “Izinkan aku melakukan apa yang aku inginkan. Nanti, jika setelah sepuluh tahun aku masih belum bisa membuktikan bahwa aku mampu sukses dengan kemampuanku sendiri, maka aku akan pulang dan menuruti semua keinginan Ayah. Deal?”
Mendung di wajah Marco perlahan sirna, berganti dengan seringai penuh kepuasan dan kemenangan. Ia menoleh pada Alfred dan bertanya, “Kamu merekam itu semua, Buddy? Ha ... ha ... ha ... sudah kukatakan, aku akan memenangkannya!”
Andrew menatap ayahnya dan Alfred bergantian. Lalu, ketika ia melihat Alfred merogoh dompetnya dan mengeluarkan lembaran Euro dengan sedikit tidak rela, pemuda itu sadar ia baru saja masuk ke dalam perangkap ayahnya sendiri!
“Kalian menjadikan aku sebagai taruhan?” desisnya dengan penuh rasa tidak percaya.
Alfred mengangkat bahunya dan berkata, “Sorry, Boy ....”
Meski begitu, ekspresinya benar-benar terlihat datar dan acuh tak acuh. Sementara Marco Roux masih terbahak karena berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Satu kali saja aku mengetahui bahwa kalian berdua melacak keberadaanku atau memantau apa yang aku lakukan, maka perjanjian ini batal!” seru Andrew dengan kesal sebelum berjalan menuju kamar dan membanting pintu sekuat tenaga.
Lagi-lagi ia dikelabui oleh ayahnya! Benar-benar sial!
***
Terima kasih banyak utk kalian semua yg sudah mampir🥰😍😘
Yokohama, Agustus 2131.
Di salah satu gedung pencakar langit di pusat kota, keramaian terlihat mulai dari lantai satu hingga lantai paling atas. Ratusan pria bersetelan serba hitam dengan raut wajah yang serius dan sorot mata tajam memeriksa setiap tamu yang datang. Meski hanya melibatkan dua keluarga besar yang akan mengikuti upacara pertunangan kedua putra dan putri mereka, bangunan itu terlihat dipenuhi oleh pria dan wanita dengan tampilan elegan dan berkelas. Mereka memakai pakaian terbaik dan aksesoris termahal yang mereka miliki. Suara tawa dan obrolan dalam bahasa Jepang bergema di sepanjang lorong dan selasar, sesekali beberapa orang menimpali dalam bahasa asing yang cukup fasih.
Beberapa ukiran naga dan bunga sakura terlihat di tembok dan daun pintu. Selain itu, hampir seluruh ruangan dipenuhi rangkaian bunga dan hiasan-hiasan modern. Kedua belah pihak keluarga memang setuju untuk menggunakan konsep international engagement dalam acara ini. Hanya beberapa orang yang sudah berumur yang masih mengenakan kimono.
Di lantai 15, tampak Tuan Kobayashi Sora–salah satu pria yang paling berpengaruh di Jepang–sedang menjamu para tamu. Pria bertubuh kurus semampai dan menggunakan kacamata bergagang besi itu tidak hentinya menyunggingkan seringai lebar. Begitu pun dengan Akiko, istrinya yang mirip boneka porselen. Rambut Tuan Kobayashi yang lurus dan panjang diikat ekor kuda, sementara istrinya lebih memilih model rambut yang disanggul dengan simple dan elegan. Gaun malam yang mereka kenakan terlihat serasi, sepasang tuxedo dan open shoulder dress berwarna dark blue.
Sepasang suami istri itu duduk berdampingan dengan Tuan Sakamoto Zen yang terlihat sedikit lebih pendek dan berisi dibanding calon besannya. Pria itu duduk sendiri karena istrinya sudah meninggal sejak Keiko, putrinya, berusia satu tahun. Rambut ikal Tuan Sakamoto dicukur rapi. Tuan Sakamoto sendiri mengenakan sebuah jas maroon dengan kemeja yang memiliki warna senada dengan setelan Tuan Kobayashi. Dibanding raut wajah Tuan Kobayashi yang tetap terlihat kejam dan dingin, ekspresi Tuan Sakamoto lebih lembut dan tenang.
Sesekali mereka berdiri dan menyambut para tamu yang datang dengan sopan. Kobayashi Hiro yang berdiri di samping ayahnya, dengan tidak sabar menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pemuda yang memiliki postur tubuh seperti ayahnya itu mulai terlihat gusar. Ia sudah menunggu hampir setengah jam. Seharusnya acara pertunangannya sudah dimulai sejak tadi, tapi mereka masih menunggu Keiko yang tak kunjung muncul.
“Di mana dia?” tanya Hiro pada Ryuchi, asistennya yang mengikutinya ke mana pun dengan setia.
“Nona Keiko masih bersiap-siap, Tuan,” jawab Ryuchi, “Saya akan meminta orang untuk memeriksanya.”
Pria berkacamata itu tiba-tiba merasa gugup. Tuan Muda Kobayashi cukup sulit untuk dipuaskan. Ia takut pemuda itu tidak sabar dan akan membuat keributan. Oleh karena itu, ia segera memanggil pelayan dan memintanya untuk memberitahu pada Nona Keiko kalau Hiro sudah menunggu.
Sementara itu di lantai 20, Sakamoto Keiko sedang menatap kosong pada cermin di hadapannya. Semua ocehan teman dan keluarga yang mendampinginya di ruangan itu tidak terdengar olehnya. Perjodohan ini sama sekali bukan kehendaknya. Masih ada banyak hal yang ingin ia lakukan.
Gadis bermata bulat itu sangat ingin menjadi dokter, tapi Hiro langsung melamarnya setelah ia wisuda. Ayahnya tentu saja setuju karena memang sangat menginginkan keluarga Sakamoto dan Kobayashi menjalin kerja sama. Dua klan besar di Jepang bersatu, bayangkan seperti apa kekuatan itu nantinya. Sudah tentu tidak akan ada satu orang pun yang ingin berususan dengan mereka. Hal itulah yang sangat diinginkan oleh ayahnya. Sebagai anak perempuan, Keiko sama sekali tidak bisa menolak.
Memang pernikahan dan Hiro baru akan dilangsungkan tahun depan, tapi ... tetap saja ... Hiro tidak memberinya izin untuk bekerja, lalu untuk apa ijazah dan semua kemampuannya? Pemuda itu sudah mengatakan bahwa ia harus diam di rumah setelah mereka menikah, menjadi istri yang baik dan melahirkan banyak anak. Ia bahkan tidak memiliki hak untuk menolak. Meskipun ia sudah mengenal Hiro selama hampir seumur hidupnya, tetap saja membuatnya merasa sangat frustasi dan tertekan.
“Nona, Tuan Muda Hiro sudah menunggu Anda.”
Keiko terkesiap dan tersadar dari lamunannya ketika suara salah seorang pelayan terdengar dari arah pintu. Ia menolah dan mengangguk sekilas, lalu merapikan dress dengan model sabrina yang berwarna soft blue di tubuhnya. Tidak ada gunanya lagi menghindar. Mau atau tidak mau, suka atau tidak, pertunangan ini akan tetap dilakukan, meski ia merasa Hiro bukanlah jodohnya. Selama ini, ia seakan sedang menunggu seseorang untuk datang dan membawanya pergi jauh.
“Katakan padanya, aku segera turun,” jawab Keiko seraya bangun dari tempat duduknya.
Ia berjalan perlahan menuju pintu diiringi empat orang saudara sepupunya. Sebagai anak tunggal, Keiko sangat kesepian. Gadis itu tidak mengenal sosok ibunya dengan baik. Ia hanya melihat dari foto pengantin kedua orang tuanya di ruang keluarga dan beberapa album lama yang masih tersimpan. Menurut ayahnya, ibunya berdarah Spanyol. Itulah sebabnya wajahnya tidak terlihat seperti orang Jepang asli. Matanya serupa mata kelinci yang bulat dan memancarkan aura polos dan lugu.
Ketika tiba di aula utama, semua mata langsung tertuju pada Keiko dan mengagumi kecantikannya, termasuk Hiro yang tertegun ketika melihat calon tunangannya berjalan ke arahnya.
“Kenapa lama sekali?” gumam Hiro di dekat telinga Keiko.
“Maaf, aku sakit perut tadi,” jawab Keiko seraya tersenyum tipis.
“Ayo,” ajak Hiro sambil mengulurkan tangan ke arah Keiko.
Gadis itu mengangguk samar dan menaut jemari Hiro dengan sedikit tidak rela. Meski begitu, ia tetap berjalan di sisi pemuda itu menuju altar. Seandainya bisa memilih nasibnya sendiri, ia tidak ingin berada di sini. Sialnya, perjodohan ini telah ditetapkan bahkan sejak ia belum ada dalam kandungan ibunya.
Saat mereka berdua naik ke panggung dan memberi hormat kepada para tamu, semua orang berdecak kagum dan mengakui bahwa mereka terlihat sangat serasi. Namun, itu semua tidak sanggup menghapus mendung di hati Keiko. Seluruh jiwa dan raganya seolah tidak berada di tempat itu. Ia hanya mengikuti semua tata upacara dengan pikiran kosong. Ia tidak menginginkan pertunangan ini, apalagi pernikahan tahun depan. Seandainya ada cara untuk melarikan diri ... um, tapi ....
Apa yang akan mereka lakukan pada ayah kalau aku kabur?
Keiko menatap ke arah ayahnya dengan sorot redup. Ia menyetujui pertunangan hari ini karena secara tidak langsung Tuan Kobayashi telah menemuinya dan berbicara empat mata untuk membahas hal itu. Pria itu berbicara tentang hal-hal buruk yang mungkin secara “tidak sengaja” akan menimpa ayahnya jika ia menolak putranya.
Ya. Kebanyakan orang mengira Yakuza telah hilang digerus waktu dan kemajuan zaman. Nyatanya, organisasi terlarang itu hanya berkamuflase. Mereka berevolusi, mengikuti perkembangan teknologi dan kehidupan masyarakat modern. Ayahnya dan Tuan Kobayashi adalah salah satu dari sekian banyak klan yang masih tersisa. Diam-diam merayap di kegelapan malam, memperkuat jaringan mereka ke seluruh dunia.
Seandainya aku bisa memilih ....
Keiko terus memasang senyum palsu di wajahnya hingga semua prosesi yang membosankan itu selesai. Dalam benaknya, ia hanya ingin segera pulang dan tidur. Jiwa dan raganya terasa sangat lelah. Lelah dan putus asa.
***
Haii...
Buat kalian yang masih bingung:
Andrew\=Alex
Keiko\= Kinara
Kenapa ganti nama?
Ya karena mereka berdua sudah nggak ada, terlahir kembali dalam dua sosok itu.
Alex akan berjuang dan menepati janjinya untuk mencari dan membahagiakan Kinara dalam bentuk
Andrew yang akan berjuang agar Keiko jatuh cinta dan tergila-gila padanya. Yihaaa....
So, stay tune yaa😘😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!