"Ma... kenapa mama harus memaksaku menikahinya? Aku hanya ingin mengurus butikku dari pada mengurus seorang suami! Lagi pula aku punya Marsha."
Fema tidak terima saat ibunya kembali memintanya untuk menikah lagi.
"Apa kamu tidak kasihan Marsha? Setiap ulang tahunnya, hadiah yang dia inginkan hanyalah seorang papa. Dimana hati kamu Fema?"
"Maaa.. aku sudah tidak ingin membuka hatiku pada pria yang lain. Mengertilah."
"Kau turuti saja dulu. Mama sudah terlanjur berjanji dengan ayahnya Juan. Tolong jangan membuat mama malu. Besok kita akan bertemu dengan mereka. Titik."
.
************************
"Pa.. hentikan ide gila papa itu. Aku tidak ingin menikah lagi. Titik."
"Kau sangat sibuk Juan. Tidak ada waktumu menemani anak-anakmu. Apa kau mau mereka tumbuh menjadi orang yang tak berperasaan sepertimu? Jika mereka punya ibu, mereka tidak kesepian."
"Yang terpenting aku selalu memberikan apa yang mereka butuhkan pa. Banyak hal yang mereka miliki. Mereka tidak pernah kesepian."
"Papa tidak peduli. Kau harus menerima pernikahan ini." Tegas.
"Kakek, aku tidak mau punya ibu tiri." (Jerry)
"Aku juga tidak mau punya ibu tiri." (Ferdo)
Ketus kedua remaja laki-laki itu, yang mendatangi papa dan kakeknya yang tengah berdebat.
"Hei.. kalian berdua sangat tidak sopan. Jangan mengganggu saat orang tua sedang bicara hah?" Kakek tak kalah ketus.
"Juan, bersiaplah. Besok adalah hari pertemuan keluarga kita. Titik."
.
**********************************
"Nenek, benarkah aku akan punya papa?" Marsha bersemangat setelah selesai mempersiapkan diri untuk berkenalan dengan calon papanya.
"Benar sayang.. selain papa, Marsha juga akan punya 2 orang kakak laki-laki." Si nenek tak kalah bersemangat.
"Marsha.. kamu itu sudah 8 tahun. Jangan bersikap seperti anak TK lagi. Bersikaplah biasa saja saat bertemu mereka. Jangan senyum-senyum berlebihan." Fema memperingati anaknya itu.
Ketiganya pun mememasuki mobil Honda Jazz berwarna putih kesayangan Fema.
.
.
*********************************
Empat orang pria dari tiga generasi. Yakni kakek Mahendra, Papa Juan, Jerry dan Ferdo, memasuki restoran mewah yang ada di salah satu sudut kota Jakarta. Para pengunjung lainnya terlihat kagum akan pemandangan langkah ini. Para pria tampan yang berjalan dengan santai tanpa melihat sekelilingnya. Terlihat penuh dengan wibawa.
Keempatnya memasuki Ruang VIP yang telah diatur oleh Mahendra dan sahabatnya, Iriana.
.
10 Menit kemudian.
Muncullah tiga orang wanita yang ditunggu!
Tanpa disadari dirinya dan siapapun, Juan menelan kasar, ketika melihat Fema untuk pertama kalinya. Tentu saja Juan langsung bisa menebak, mana wanita yang akan dijodohkan dengannya.
"Hai.. Iriana.. silahkan duduk." Mahendra menyapa sahabat lamanya itu.
Iriana mengambil tempat duduk yang berhadapan dengan Mahendra, lalu mempersilahkan putri dan cucunya untuk duduk.
Fema sengaja menempatkan tubuhnya ditempat duduk yang berhadapan dengan putra sulung Juan. Marsha? Gadis umur 8 itu berhadapan dengan Juan.
"Apa ini? Dia sengaja tidak ingin duduk dihadapanku?" Batin Juan.
Fema melirik ABG yang ada dihadapannya ini. Menyapanya dengan lewat mata.
"Wah.. aku merasa tatapan anak ini sangat dingin! Batin Fema.
Benar saja. Jerry sudah melayangkan tatapan tak suka pada Fema. "Aku tidak menginginkan ibu tiri." batinnya kesal.
Pertemuan dua keluarga itu pun dimulai dengan perkenalan. Tentu saja orang pertama yang saling berkenalan ialah Juan dan Fema. Keduanya hanya menampakkan ekspresi datar. Seperti tidak ada ketertarikan satu sama lain di pandangan pertama.
Tibalah waktunya berkenalan dengan anak-anak!
"Hai... nama saya Marsha paman!" Marsha tersenyum menjabat tangan Juan.
"anak yang ramah" batin Juan.
"Hai Marsha.. senang bertemu denganmu." Jawab Juan dan memberi senyum singkat.
Sekarang giliran berkenalan dengan dua remaja itu. Kalau saja kakeknya tidak memaksa, kedua anak itu tidak akan sudi berjabat tangan dengan Fema dan Marsha.
"Saya Jerry."
"Saya Ferdo."
Keduanya menjabat tangan Fema bergantian. Fema pun menyebut namanya.
"Hai kak, saya Marsha!" Gadis kecil itu berusaha memberikan kesan menarik kepada dua calon kakaknya ini. Marsha tersenyum lebar.
Terlihat dua remaja itu membuang nafas kasar lalu menjabat tangan Marsha..
"Anak kecil sok imut!" Batin Jerry.
.
.
Setelah menyelesaikan acara makan, Mahendra meminta ketiga anak itu untuk keluar dari ruangan.
"Ferdo! Jerry! bawalah Marsha menunggu diluar.
"Kenapa harus keluar keeek?" Protes Ferdo. Sementara Jerry, wajahnya seketika berubah kesal.
"untuk apa menunggu diluar segala?
"Ini urusan orang dewasa. Kalian tidak perlu dengar!" Tegas kakek.
"Juan hanya menjentik-jentikkan jarinya pada meja. Baginya, ia hanya perlu menunggu. Apa yang akan orang tua ini katakan selanjutnya.
Ketiga anak itu pun keluar. Diluar ternyata ada pak Eko, supir sang kakek dengan setianya menunggu.
"Heh! Anak kecil! Ku beritahukan padamu, kami tidak suka ibu tiri." Ketus Jerry, berhasil membuat air muka Marsha berubah merengut.
"Tapi kak, aku ingin punya papa!" Jawabnya dengan wajah memelas.
"Heh.. Asal tau saja. Papa kami tidak mungkin mau punya anak sepertimu. Kami berdua saja jarang diperhatikan olehnya." Tandas Ferdo.
"Dan lagi, jangan pernah panggil aku kakak seperti tadi!" Sambung Jerry.
.
.
Didalam ruangan.
"Apa yang ingin papa katakan.? Aku tidak punya banyak waktu berlama-lama disini!" Ucap Juan datar.
"Menikahlah lagi.. dengan putri sahabat papa yang ada didepanmu ini!"
"Pa... Aku sudah bilang, aku tidak ingin menikah lagi."
"Bagus" Batin Fema.
"Fema! Ayolah.. mama ingin kamu menikah dengannya!"
"Maaf ma, paman.. tapi kenapa kalian harus memaksa kami menikah?? Kami bahkan baru kenal hari ini--"
Juan melayangkan tatapan mengancam kearah Fema. Menurutnya, perkataan Fema akan membuat kedua orang tua itu berfikir memberi waktu untuk saling mengenal.
"Kenapa dia menatapku begitu? Apa aku salah? "kesal Fema.
"Lagi pula kami tidak saling menyukai pa!" Protes Juan, kesal.
"Mahendra, bagaimana kalau begini saja. Kita beri waktu mereka untuk saling mengenal! Kurasa itu ide bagus!" Celetuk Iriana.
"Kau ada benarnya Iriana!"
Fema tersenyum legah.
"Kenapa wanita ini malah tersenyum? Jadi dia setuju kita saling mengenal?" Juan berdecak dalam hati.
"Aku berikan waktu kalian untuk saling mengenal satu sama lain selama 4 bulan."
Juan dan Fema sama-sama mengerutkan alis, tak percaya. "Pa.. empat bulan terlalu lamaa" Juan mulai meninggikan nadanya.
"Papa belum selesai Juan. Dengarlah dulu." Ucap papa, tenang.
"Saling mengenal selama empat bulan, setelah kalian menikah!"
"Apaaaaaa?"
"Jika dalam 4 bulan kalian tetap tidak bisa saling menerima, kalian boleh bercerai! Tidak sulit kan?"
Jlebbbb.
Semua orang terdiam, sibuk dengn pikirannya masing-masing.
hening
hening
"Nak..." Iriana mulai mengeluarkan suara. "Kami berdua adalah sahabat lama. Kami ingin kalian menjadi pengikat persahabatan kami. Kami juga sudah terlanjur mengumumkan perjodohan ini kepada seluruh kerabat kami." Iriana terlihat frustasi.
.
"Baiklah, jika hanya.... empat bulan." Ucap Juan, datar.
.
.
.
Gaes... Selamat datang dicerita ini!
Gess, biasakan jempol kalian untuk setidaknya like setelah baca😔
Semoga kalian suka ya,,, dengan begitu kalian akan mendukung karya ini.😊.
Trima kasih gaes😇.
Bersambung....
Terus membuat penolakan, tidak akan berhasil bagi kedua lansia ini. Akhirnya, Juan pun mengalah "Baiklah, aku setuju jika hanya 4 bulan! Bagaimana denganmu?" Kini mata Juan tertuju pada Fema.
"Em..." Fema sedikit gelagapan karena tiba-tiba saja mendapatkan sorotan dari mata Juan. Karena, sedari tadi, mereka belum ada saling pandang-pandangan.
"Hei. Anak kecil! Ingat ya, bilang pada mamamu itu untuk jangan mau menikah dengan papa kami." lagi-lagi Ferdo memperingati Marsha.
"Tapi Marsha mau kak, punya papa! Marsha belum pernah punya papa. Gak apa-apa ya, kakak kan jadinya punya mama juga." lagi-lagi jawaban Marsha masih sama.
Jerry hanya melipat kedua tangan di dadanya, tanpa banyak bicara. Baginya, Ferdo saja sudah cukup berhadapan dengan anak kecil seperti Marsha.
"Jangan mimpi ya mau jadi bagian dari keluarga kami, kalau sampai kamu dan mamamu itu pindah ke rumah kami, aku dan kakakku akan menyiksamu habis-habisan." Geram Ferdo, sembari menunjuk-nunjuk wajah Marsha.
"Huuuuuaaaaaaaaaaaaaaa!" Marsha menangis.
"Hei.. jangan menangis!" Jerry mulai merasa takut melihat Marsha menangis khas seorang anak kecil. Bagaimanapun juga, pak Eko melihat semuanya. Jerry takut akan kemarahan kakek ataupun papanya.
Pintu ruangan VVIP yang dari tadi tertutup kini kembali dibuka, menandakan hal buruk mungkin saja terjadi pada Ferdo dan Jerry, karena Marsha masih menangis.
Melihat kemunculan mamanya, Marsha menghapus air matanya. Tetapi terlambat. Para orang tua bisa melihat tangisan diwajahnya. "Ada apa ini?" tanya Juan yang merasa curiga pada kedua putranya.
"Sha? Kenapa menangis?" Fema mendekati putrinya. Marsha hanya menggeleng.
Juan pun mendekat pada Marsha karena kedua putranya tidak menjawab apapun. "Marsah, apa yang terjadi? Apa kakak mengganggumu?"
"Cih, kakak! Siapa yang mau jadi kakaknya?" Batin Jerry.
"Paman! kakak bilang, mereka tidak menyukai Marsha dan Mama!"
Jleb.
"Oh... jadi kalian berdua yang membuat Marsha menangis?"
"Maafkan kami pa." Ucap Ferdo dan Jerry bersamaan.
"Minta maaflah ke Marsha." Jawab Juan.
Jerry dan Ferdo seketika kembali ke mode kesal. Tapi, tak ada pilihan. Mereka harus melakukannya, walaupun dengan hati yang tidak tulus.
"Maaf ya Marsha!" Ucap Ferdo dan Jerry bergantian. Membuat kakek dan nenek yang menyaksikannya tersenyum kecil.
Mendengarkan permintaan dari keduanya, Marsha seketika tersenyum senang. "Kak, jadi kakak maukan, berbagi papa denganku?" Permintaan polos Marsha membuat semua orang dewasa itu sedikit menganga. Namun, berbeda reaksi yang ditampilkan oleh kakak beradik itu. Keduanya sama-sama mengerutkan kedua alis, kesal mendengarkan permintaan Marsha.
Kakek mendekat kearah Marsah. "Benar sekali Marsha, minggu depan Papa Juan akan menjadi papa kamu. Dan tidak hanya punya Papa, Marsha akan punya dua Kakak laki-laki yang akan melindungi Marsha! Hmmm? Bukankah itu keren" Kakek menjelaskan.
"Yeeeey! Marsha senang!" Kini Marsha mendekat ke arah Juan. "Benarkah itu paman? Paman mau jadi papa Marsha?" Dengan wajah sumringah.
"Marsha, kamu mempermalukan mama!" Lirih Fema
Siapapun tidak akan sanggup mengecewakan Marsha yang polos ini. Apa lagi Juan! "Iya Marsha, Kakek benar!" Jawabnya singkat, dengan senyuman kecil tersungging dibibirnya.
Marsha kembali berjingkrak-jingkrak kecil, mengekspresikan kebahagiaaannya. "Terima kasih paman!" Ucapnya tulus.
"Sebegitu bahagianya putriku akan memiliki papa?" Fema menyadari air mata harunya menjalar keluar, dan ia segera menyekanya. Diam-diam Juan melihat hal itu.
\=\=\=\=\=\=\=
Tiga hari sebelum pernikahan.
Juan dan Fema sepakat untuk mengadakan pertemuan berdua saja sebelum pernikahan, guna membahas pernikahan seperti apa yang akan mereka jalani selama empat bulan kedepan.
Juan tiba lebih dulu ditempat pertemuan mereka, yaitu di With You Cafe. Berkali-kali Juan melihat kearah jam yang melingkar dipergelangan tangannya. "Ini sudah berapa menit aku menunggu? Kenapa dia lama sekali? Dasar tidak on time." Kesal Juan dalam hati.
Selama ini, tidak pernah dirinya dibuat menunggu seperti ini. Merasa kesal karena mengira Fema tidak datang, Juan pun berdiri dari tempat duduknya untuk pergi dari sana.
Belum sempat melangkah, muncullah wanita yang dia tunggu. Juan lagi-lagi terperanjat tatkala melihat seorang Fema. Wanita itu datang dengan penampilan yang menarik, elegan, membuat semua mata yang ada disana hanya tertuju padanya. "Selamat sore, Pak! Maaf membuat anda menunggu!" Fema tersenyum hangat.
"Ya. Dan lain kali jangan membuatku menunggu. Aku tidak suka." Juan dengan ekspresi datarnya.
"PD sekali orang ini? Siapa juga yang mau janjian lagi dengannya?" Fema sedikit kesal.
"Baiklah, kita langsung saja. Seperti yang kau tahu, aku seorang ayah dengan dua putra yang sudah berusia remaja. Sedangkan dirimu hanya memiliki satu putri yang masih kecil.
"Iya, benar!"
"Mungkin kau tau, bahwa kedua putraku tidak menyetujui pernikahan ini. Sedangkan putrimu sangat antusias ingin memiliki ayah!"
"Hmmm." Fema merasa sedikit terhina.
"Bisa saja suatu saat putraku akan membuatmu dan Maraha tidak tenang. Tapi jangan khawatir, aku bisa mengatasi kenakalan anak-anakku."
Fema seketika bergidik ngeri mendengar calon suaminya mengatakan tentang mengatasi kenakalan anak-anaknya. "Aku penasaran, orang sepertinya ini akan memberi pelajaran seperti apa kepada anak-anaknya?" Pikir Fema.
"Aku berharap, kau bisa menjalankan peranmu selama 4 bulan dengan sangat baik. Demikian juga diriku!"
"Apa ada yang ingin kau katakan?" Juan memberi waktu kepada Fema untuk mengatakan beberapa hal.
"Aaa--seperti yang anda tau, bahwa aku menyetujui pernikahan ini, karena Marsha. Jadi, setiap Marsha membutuhkan anda sebagai Papanya, ku harap anda bisa mengorbankan waktu anda untuknya. Hanya itu." Jelas Fema dengan sedikit tersenyum.
\=\=\=\=\=\=\=
Tibalah di hari pernikahan Juan-Fema, yang dihadiri oleh orang-orang yang penting dari berbagai perusahaan. Ini adalah pernikahan kedua untuk Fema maupun Juan. Namun, keduanya masih terlihat fresh, layaknya pasangan muda.
Tak lupa, ketiga anak mereka juga hadir disana dengan penampilan yang luar biasa, mengenakan pakaian dengan warna senada. Terlihat sangat kompak, layaknya kakak beradik sungguhan.
Marsha terlihat sangat bahagia. Anak itu bahkan tidak henti-hentinya tersenyum. Lain halnya dengan kedua kakak tiri Marsha yang sudah remaja itu. Meskipun mengahrgai para tamu dengan memberikan senyum manis, tak ada yang tahu bahwa keduanya menyimpan segunung kekesalan di hati mereka.
Pernikahan meriah dan disoroti oleh berbagai media itu, berlangsung dengan khidmat, tanpa hambatan apapun.
Resepsi pernikahan telah usai. Mau tak mau, Fema dan Marsha akan ikut pulang ke kediaman milik Juan.
Juan, Fema, Marsha, Jerry dan Ferdo kini duduk bersama di ruang keluarga, sesampainya dirumah.
Kakek nenek yang telah mengatur pernikahan ini sudah tidak nampak lagi. Keduanya sudah merasa legah telah mempersatukan kedua anaknya itu.
Suasana diruangan tempat kelima orang itu berada terasa sangat canggung. Juan meminta kedua anaknya untuk segera ke kamar untuk beristirahat, begitu juga dengan Marsha.
Tinggallah Fema dan Juan diruangan itu. "Kau tidurlah bersama putrimu. Kita tidak perlu tidur bersama. Satu lagi, pernikahan kita hanya empat bulan. Jangan pernah berharap lebih dari itu. Selamat malam."
degh..
Entah kenapa, Fema merasa ada benda keras menghantam bagian hatinya. "Kenapa aku merasa sedang ditolak mentah-mentah? Apa aku terlihat menyukainya? Yang benar saja!" Fema berdecih dalam hatinya.
.
BERSAMBUNG..
Trima kasih sudah mampir dan atas dukungan kalian. lop yu pull😊😊
Keesokan harinya.
Fema terbangun sangat awal untuk menyiapkan sarapan untuk keluarga barunya.
"Bu? Kenapa ibu ada didapur? Tidak perlu bu, biar saya saja." Ya.. yang baru saja menegur Fema ialah bu Sum, satu-satunya pembantu apartemen mewah milik Juan ini. Bi Sum yang mengurus rumah, memasak bahkan menjadi pengasuh Jerry dan Ferdo sejak kecil.
"Tidak apa-apa bi. Saya biasa memasak. Meskipun mungkin tidak seenak masakan bibi. Bi Sum kerjakan yang lain saja. Bukankah itu lebih bagus?"
"Tapi saya takut nanti dimarahi Bapak, masa pengantin baru disuru masak?" Bi Sum tersenyum malu.
"Pengantin baru apaan bi Sum?" Fema menertawai dirinya sendiri dalam hati.
"Tidak apa-apa bi Sum. Hitung-hitung, saya membantu pekerjaan bi Sum. Sudahlah. Tidak perlu sungkan." Fema tersenyum ramah.
Terbesit rasa kagum dihati bi Sum melihat nyonya barunya ini. Selain cantik, berwibawa, ternyata nyona baru ini mau mengerjakan pekerjaan rumah. Bi Sum berlalu untuk mengerjakan hal lainnya.
Ferdo bangun pagi seperti biasanya. Dengan langkah gontai nan malas, ia turun menuju dapur, masih dengan matanya yang setengah tertutup. Samar-samar dengan mata malasnya ia melihat bi Sum sedang memasak seperti biasa yang selalu Ferdo lihat. Namun, anak remaja itu tidak memperjelas penglihatannya, sehingga tiba-tiba ia memeluk wanita yang disangkanya bi Sum itu. Memeluknya dari belakang.
Degh...
Fema tentu saja terkejut. "Apa Juan sedang bermimpi?" Pikir Fema.
Fema hanya berdiri mematung. Bingung. "Tapi, kenapa tangan ini terlihat kecil?" Fema seketika mengingat anak tirinya itu.
"Bu Sum, kenapa bu Sum agak kurus? Diet ya?" Ferdo merasa ada sesuatu yang aneh. "Bi Sum wangi banget. Sejak kapan bi Sum pakai Parfum?"
Tidak ada jawaban dari wanita yang menyerupai bi Sum.
"Jadi dia mengira aku adalah bi Sum pengasuhnya?" Batin Fema, tersenyum.
Fema, dengan sikap keibuannya, dia menepuk pelan tangan yang sedang memeluknya seperti seorang balita yang ingin minta belaian dari seorang ibu.
"Ferdo, ini mama Fema." Ucap Fema, lembut. Berharap anak sambungnya ini tidak terkejut.
"Aaaaaaaaaaaa.." Ferdo terkejut, dan seketika melepaskan pelukannya dengan reflek memundurkan langkahnya.
Fema berbalik, dengan sutil yang masih dipegangnya.
"Si--siapa ini?" Ferdo mengucek kedua matanya agar penglihatannya kembali normal.
"Tanteee?"
"Iya Ferdo. Ini mama Fema. Selamat pagi!" Fema tersenyum manis.
"Sedang apa tante disini?" Ketusnya.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Suara Juan menggema.
"Pa-papa? Maaf pa, tadi Ferdo ga sengaja peluk tante. Abis Ferdo pikir bi Sum." Dengan wajah menunduk takut.
"Suuum.. bi Suum.." Juan memanggil bi Sum dengan nada meninggi.
"Iy--iya tuan!" Bi Sum merasa takut-takut.
"Tu, Ferdo. Seperti biasa." bi Sum seketika bernafas legah karna ternyata ini tentang Ferdo.
"Bi Sum!" Ferdo memeluk bi Sum seperti yang biasa ia lakukan.
"Nak Ferdo! maaf tadi bi Sum lagi sibuk." Bi Sum mengelus punggung Ferdo dengan hangat.
"Femaa, ikuti saya!" Seru Juan, singkat. Terdengar seperti seorang bos terhadap suruhannya.
Didepan kamar Juan.
"Maafkan tindakan Ferdo. Dia---memang selalu memeluk dan mendapat pelukan bi Sum setiap pagi. Itu sudah seperti candu bagi anak itu."
"Oh, tidak apa- apa pak. Saya sudah mengerti."
"Baguslah kalau kau mengerti... Oia, untuk apa kau berada di dapur sepagi ini?"
"Oh, a--aku membuat sarapan!"
"Benarkah wanita ini bisa memasak? Aku penasaran!" Batin Juan.
Drrrrrtt. Ponsel milik Fema berdering. Fema tersenyum melihat nama yang tertera pada layar ponselnya.
"Permisi." Pamitnya pada Juan.
"Halo An?" Jawabnya bersemangat, dan menyingkir dari hadapan Juan.
Juan melipat kedua tangannya didada. "Cih, siapa yang menelponnya sepagi ini? An? Siapa itu?" Juan merasa kesal melihatnya. Diapun kembali memasuki kamarnya. "Sebaiknya aku mandi."
Saat sedang menikmati pancuran dari shower itu, Juan lagi-lagi mengingat senyum semangat Fema ketika berbicara dengan seseorang ditelpon. "Aaah.. kenapa aku memikirkan dia? Ini seperti bukan diriku. Untuk apa aku memikirkannya? Dia hanya 4 bulan bersamaku. "Apa? Bersamaku? Tidak. Aku bahkan tidak akan tidur dengannya. Anggap saja dia dan putrinya itu adalah dua orang yang menumpang dirumahku. Ya.. begitu saja."
Hari berganti hari. Satu minggu telah berlalu. Pagi mulai menyapa lagi.
Bi Sum terlihat menyiapkan sarapan yang telah dibuat oleh Fema, meletakkannya diatas meja makan.
Satu persatu dari penghuni apartemen ini mulai mengelilingi meja makan. Hubungan yang baru dibina ini belum mengalami perubahan ataupun kemajuan. Masing-masing dengan kesibukannya setiap hari, tanpa banyak kata, seperti tidak saling kenal.
Marsha sudah sangat bosan. Dia sangat ingin akrab dengan kakak dan papa barunya. Namun, seperti tidak ada cela untuk mendekati mereka. Belum lagi Fema, yang selalu mengingatkan Marsha untuk jaga sikap. Anak perempuan itu hanya bisa menuruti.
Juan, Fema, Ferdo dan Marsha sudah duduk pada kursi meja makan. Sedangkan Jerry, anak itu tidak muncul-muncul juga untuk sarapan. Ya, keluarga ini memang selalu bersama saat sarapan pagi. Hanya saat sarapan pagi. Pun juga demikian, sarapan pagi ini hanya diwarnai dengan kebisuan.
"Mama.. kok kakak Jerry lama ya! Marsha lapar."
"Ferdo, panggil kakak kamu." Perintah papa Juan.
Baru saja Ferdo ingin beranjak, yang ditunggu sudah menapaki anak tangga untuk turun. "Pagi!" Sapa Jerry.
"Pagi kakak," Maraha.
"Pagi Jerr!" Mama Fema.
Jerry hanya melirik keduanya. Nampaknya dia baru saja bangun. Entah apa yang membuatnya kesiangan hari ini.
Sarapan berlangsung dengan suasana tenang seperti biasa.
Bi Sum datang membawa air mineral dan meletakkannya diatas meja. "Bi Sum, biar saya saja." Fema ingin melayani anak-anak dan suaminya itu.
"Bi Sum!"
"Iya nak Jerry?"
"Selama minggu ini masakan bi Sum makin enak. Trima kasih ya!" Jerry mengacungkan jempolnya pada bi Sum. Tanpa sadar, seisi ruang makan itu saling bertatapan. Bi Sum pun melirik nyonya barunya itu. Fema tersenyum menggelengkan kepala perlahan pada bi Sum.
"Iya nak Jerry!" Jawab bi Sum.
"Dia cukup rendah hati." Batin Juan, diam-diam menatap Fema.
Ya.. Jerry satu-satunya orang yang tidak tahu bahwa makanan yang dia nikmati selama satu minggu terakhir ini adalah buatan tangan mama barunya.
Ferdo dan Juan membenarkan perkataan Jerry dalam hati. Memang benar, ternyata mama Fema jago masak.
\=\=\=\=
Disuatu malam.
Seperti biasa seorang Juan Barata pulang bekerja selalu telat, saat penghuni rumah lainnya telah tertidur.
Sudah lama dia tidak melihat keadaan dua putranya saat sedang tidur. Pintu kamar pertama didatanginya adalah milik Jerry. Benar saja, putra sulungnya ini sedang kedinginan. Juan membenarkan letak selimut di tubuh Jerry.
"Pa.. apa papa suka tante Fema?" Tanya Jerry, yang ternyata belum tertidur.
.
BERSAMBUNG🥰🥰🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!