NovelToon NovelToon

Setangkai Layu

Tatapan Lain

Suara gedoran pintu memekakkan telinga, mengusik pagi yang seharusnya berbinar damai mengumpulkan asa, menyambut hari baru.

"Bahkan mereka datang sepagi ini," gumam Kinar yang sudah terbiasa dengan keributan seperti itu. Melangkah keluar dengan acuh, mengenakan seragam lengkap SMA nya.

"Mana ayah kamu, suruh dia keluar?" gertak seorang dep kolektor, dengan garangnya.

"Bukan urusanku," jawab Kinar dengan berani menatap tajam pria tersebut.

"Beraninya kamu menatapku seperti itu," gerakannya lagi, sembari mencengkeram rahang Kinar dengan kasar. Yang kemudian Kinar balas dengan menginjak kaki pria itu tak kalah kuatnya. Hingga mengaduh kesakitan.

"Brengsek...," umpatnya kembali mengejar Kinar yang telah melenggang beberapa langkah. Berniat memberinya pelajaran. Kinar sempat memejamkan matanya saat kepalan tangan makin mendekat ke arahnya. Namun dengan sigap, seorang pria yang sedari tadi hanya berdiri acuh di belakangnya langsung menghalau pukulan tersebut.

"Kita ke sini untuk menagih hutang, bukan untuk anak ini," ucapnya berdalih.

Sementara Kinar hanya menatap penuh kebencian pada pria tadi, meski sempat menolongnya.

"Berani seperti itu lagi, habis dia aku kerjain," kata pria jahat itu menyeringai. Tatapannya berubah penuh makna.

"Aku hanya punya uang segini," Dini sang ibu segera keluar tak mau para penagih hutang semakin membuat keributan.

"Dasar nggak berguna," gumam pria itu menarik kasar uang yang Bu Dini sodorkan. Dan segera melangkah meninggalkan rumah tersebut.

Sepeninggal dua orang itu, Bu Dini membanting pintu, lalu menguncinya rapat-rapat. Dia sangat marah pada suami keduanya yang sepagi ini sudah mabuk, tak ada tanggungjawabnya sama sekali.

"Sampai kapan kamu mau seperti ini terus hah?" gertaknya yang sudah tidak tahan pada kelakuannya suaminya itu.

"Diam kamu, nggak usah banyak omong. Ganggu tidurku saja," jawabnya dengan enteng.

"Atau pergi saja dari rumah ini!" tandasnya makin menajam membuat Bu Dini tak mampu berkata apapun lagi. Dia sadar, selama ini dia dan Kinar anaknya hanyalah menumpang di rumah itu. Tak ada tempat lain untuknya lagi.

______________

Sementara Kinar tengah menghadap wali kelasnya, perihal biaya sekolah yang sudah nunggak beberapa bulan belakangan ini. Padahal Senin besok mulai ujian semester.

"Maaf Pak, apa bisa Bapak memberi kelonggaran waktu. Saya akan berusaha melunasinya," pintanya penuh harap.

"Baiklah, karena kamu adalah siswa yang cukup berprestasi. Saya beri kelonggaran waktu dua Minggu dari hari ini," dengan penuh iba sang Guru memberinya kebijakan.

"Terimakasih Pak," kelegaan terpancar dari wajahnya.

"Sama-sama, sekarang kamu boleh balik ke kelas."

Kinar keluar dari ruangan tersebut dengan langkah gontai. Pikirannya melayang, mencari cara untuk segera mendapatkan uang untuk melunasi semuanya. Sementara sang ibu hanyalah pekerja di sebuah rumah makan kecil. Yang bahkan gajih kecilnya hampir habis untuk mencicil hutang-hutang suaminya. Yang adalah ayah tirinya.

"Kenapa kamu Ki? Lesu amat," tanya Anin saat melihat Kinar dengan wajah muram kembali duduk di bangkunya.

"Aku butuh pekerjaan," jawabnya sembari menyenderkan punggungnya, melapas sejenak beban yang ada.

"Buat apa?

"Bayar sekolah."

Anin terdiam, dia memang paham akan kondisi sahabatnya itu. Hanya saja dia sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Dia sama sulitnya, hanya saja Anin lebih beruntung memiliki seorang kakak yang peduli padanya.

"Kamu mau kerja apa?"

"Apa saja yang penting bisa buat ngelunasi biaya sekolah. Aku masih ingin lanjut di sini," jawabnya dengan tatapan kosong.

"Ehh..Lu lagi butuh pekerjaan ya? Mau nggak kerja bareng gue?" tawar Risa yang tiba-tiba datang menyela pembicaraan mereka.

"Memangnya kerja apa?" tanya Anin yang curiga dengan tawaran Risa, cewe yang sudah dicap nakal di sekolah.

"Karaoke," jawabnya singkat.

"Nggak jual diri kan?" terlihat Kinar mulai tertarik.

"Nggak lah, kalau itu sih tinggal maunya lu aja."

"Upah seminggu apa bisa buat ngelunasi semuanya?"

"Nggak nyampe seminggu, bakalan lunas tuh biaya kamu yang nunggak," jawab Risa enteng.

"Baik, aku mau," Kinar memutuskan tanpa pikir panjang.

"Ki.. pikirin sekali lagi deh. Kamu tau kan itu pekerjaan seperti apa. Aku nggak mau hal buruk kejadian sama kamu," Anin nampak begitu khawatir.

"Hanya beberapa hari. Aku pasti bisa jaga diri. Kamu nggak usah khawatir," kata Kinar meyakinkan Anin.

"Terserah kamu Ki, aku memang nggak bisa bantu apa-apa. Jaga diri kamu baik-baik," ujar Anin pasrah.

"Bantu doa saja," jawab Kinar tersenyum.

"Kapan aku bisa kerja?" tanya Kinar pada Risa.

"Nanti malam gue jemput aja. Dandan yang cantik.Jangan tampakan wajah gadis tujuh belasan," pesan Riri.

Tepat jam delapan malam, Riri menjemput Kinar dengan sepeda motornya. Menatap Kinar dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan senyum mengejek.

"Lu mau kemana? Nggak salah tuh yang kamu pake?" Penampilan Kinar yang mengenakan celana jeans panjang dengan blouse menutup lengan membuat Riri tercengang.

"Nggak ada seksi-seksinya sama sekali. buruan naik, biar nanti aku make over," ajaknya.

Kinar hanya mendengus kesal dengan ocehan Risa, segera naik di boncengan motornya. Hanya beberapa menit, mereka telah sampai di sebuah kontrakan kecil. Entah milik siapa.

"Kenalin ini Mei, temenku," Risa memperkenalkan seorang perempuan cantik yang kira-kira usianya diatasi mereka.

"Kinar..," sebutnya sembari mengulurkan tangan.

"Mei..kamu nggak dandan aja udah cakep gini. Tersisih gue...," kayanya dengan tersenyum.

"Mba Mei berlebihan."

"Pinjami dia baju, buruan," kata Risa.

"Kamu tuh ya, bisa ia dapet mangsa baru yang bening gitu," bisik Mei.

"Diem Lu, buruan aja kemas dia pake yang hot," suruhnya.

"Barang kali...pake dikemas segala," sahut Mei, melenggang masuk kedalam kontrakannya.

"Ehh kalian nggak mau masuk? Mau ganti baju di luar gitu yah?" Mei mengehentikan langkahnya menoleh pada dua orang yang masih berada di belakangnya.

"Ayo buruan masuk sana! Aku mau nelpon temenku sebentar," Risa mendorong Kinar untuk segera masuk.

Di dalam sana, nampak Mei sedang memilah-milah beberapa pakaian yang dirasa cocok di pake Kinar.

"Kamu pake yang ini aja," katanya, menyodorkan satu gaun yang nampak terbuka. Seperti kekurangan bahan, kalau kata Kinar.

"Kayanya terlalu terbuka deh Mba, aku nggak nyaman," protes Kinar.

"Ya udah yang ini saja," Mei kembali menyodorkan stelan baju yang lain.

"Kebanyakan milih lu Ki, butuh uang nggak sih," cerocos Risa yang baru saja masuk.

Mendengar kata uang, membuat Kinar bergegas masuk ke kamar mandi mengganti pakainya. Rok yang panjangnya di atas lutut, dengan atasan kemeja krop lengan terbuka. Stelan baju yang sebenarnya tidak terlihat vulgar, malah makin memancarkan aura kecantikan Kinar. Walau Kinar masih belum merasa nyaman juga.

"Nah gitu kan makin cantik," puji Mei.

"Aku masih risih Mba."

"Udah, nggak papa itu masih sopan kok," Mei berusaha meyakinkan.

"Sekarang kamu duduk, biar aku poles tipis wajah kamu," perintahnya lagi.

Kali ini Kinar langsung menurutinya tanpa banyak protes.

"Kamu harus hati-hati, pekerjaan ini nggak semudah yang kamu bayangkan," bisik Mei mengingatkan. Dia takut Risa mendengarnya.

"Iya Mba," kata Iya terucap ringan, meski hatinya makin tak menentu. Degup jantungnya makin menderu hebat.

Setelah siap dengan penampilannya. Kinar melangkah mengikuti Risa dengan gamang. Berjalan di sebuah ruangan yang membuatnya memejamkan mata. Melihat beberapa adegan yang belum pantas dipertontonkan diusianya saat ini.

Kenapa tempat ini seperti ini. Batinnya mulai menyesali keputusan kilatnya. Bulu kuduknya merinding, rasa takut menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Kamu kenapa?" tanya Risa.

Kinar hanya terdiam. Menutupi rasa takutnya.

"Lama-lama juga biasa kok," kata Risa yang tau papa yang Kinar rasakan.

"Kita masuk ke ruangan Bos dulu." Kinar tak menanggapi ucapan Risa saat tiba-tiba berpapasan dengan pria yang sempat menolongnya pagi hari tadi. Dep kolektor yang hampir setiap Minggu datang menggedor rumahnya.

Mata mereka saling bertemu, menatap lekat sesaat. Tanpa kata, tanpa sapa. Pria itu melenggang dengan langkah lebarnya, melewatinya begitu saja.

Bagai pahlawan

"Kamu memang pintar mencari mangsa, menarik," kata Bos tempet tersebut menyeringai. Pandangannya memiliki maksud tak baik.

Kinar hanya menunduk, menutupi rasa takutnya. Hingga kembali mengikuti langkah Risa.

"Sa, aku pulang saja," nyalinya berubah menciut.

"Gila lu ya, lu mau bikin gue mampus dihajar tuh monster," jawab Risa mendelik.

"Lu tenang aja, kalau lu nggak mau dia juga nggak bakalan maksa kok. Lagian kamu butuh duit kan," Risa mencoba menenangkan Kinar dengan tipuannya.

"Kita masuk ke ruangan itu," tunjuknya pada sebuah ruangan yang terlihat ada beberapa laki-laki di dalamnya.

Dengan ragu Kinar melangkah masuk, degup jantungnya makin menderu hebat tak terkendali antara takut juga gugup.

"Bos bilang jangan ada yang sentuh dia, itu bagiannya," bisik Risa pada seorang pria yang menatap mesum begitu Kinar masuk.

"Hemmm, bos mau enaknya aja," gumamnya kecewa.

"Segel nggak?" tanyanya lagi masih berbisik.

"Dijamin pokoknya."

"Ok deh, bekasnya bos juga nggak papa. Yang penting masih seret," tatapan laki-laki itu makin membuat Kinar tak nyaman. Ingin rasanya dia mendobrak pintu melarikan diri, setalah membayangkan apa yang kan terjadi padanya.

"Duduklah cantik, temani kami minum," suruhnya.

Risa mendorong tubuh Kinar agar mendekat pada pria hidung belang tersebut, "cuma tuangin minum buat itu Om, cepetan sana," desaknya.

Dengan gamang, Kinar pun menurut. Duduk di sebelah laki-laki yang tanganya langsung usil menggerayanginya. Kinar berusaha menghindari sentuhan-sentuhan nakal tersebut, hingga membuat laki-laki itu marah.

"Lu disini buat layani kami, jangan sok suci," gertaknya.

"Dia kan anak baru Om, masih kaku," ujar Risa agar pria tersebut tak semakin marah.

"Ok..ok...aku maklumi, tapi layani kami lebih baik lagi," ucapnya memelan.

Sementara Jay, pria yang berpapasan dengannya tadi memutuskan untuk kembali masuk. Ada kegusaran melanda hatinya, ketika membayangkan apa yang akan terjadi pada gadis tadi. Tak rela atau tak tega, entahlah dia pun belum tau alasannya bertindak senekat itu.

Mendobrak satu persatu pintu ruangan yang tertutup rapat mencari keberadaan gadis itu.

"Brengsek, dimana dia," kesalnya setelah beberapa pintu dia buka, tak nampak sosok itu. Hingga beberapa pintu kemudian, akhirnya dia menemukannya sedang digoda pria tua mesum bertubuh gempal, menjijikan.

"Siapa yang suruh lu masuk," gertaknya pada Jay yang masuk secara paksa, duduk santai satu sofa dengannya.

"Bos yang menyuruhku, mengawasi kalian agar nggak ganggu dia," jawabnya berbohong.

"Tuangi aku minuman," suruhnya dengan tatapan tertuju pada Kinar, yang tujuannya agar Kinar menjauh dari sisi pria mesum itu.

"Duduklah di sini," titahnya sembari menepak tempat kosong disebelahnya.

Tak ada yang berani menentang tindakan Jay, jika sudah ada embel-embel permintaan bos. Membuat Jay dengan tenang bisa menjaga Kinar tetap aman.

Duduk santai, dengan satu tanganya merangkul Kinar, tangan yang lain menenggak satu gelas minuman beralkohol. Dan Kinar makin canggung dengan kondisinya saat itu.

"Kita keluar sekarang?" Jay bangkit sembari mencengkeram tangan Kinar, menyeretnya keluar.

"Lu mau bawa kemana dia?"

"Bos menunggunya di ruangan lain," jawabnya tanpa menoleh terus menyeret tangan Kinar.

"Lepaskan aku," Kinar yang tak mengerti apa maksud Jay, mencoba menarik tangannya.

"Kali ini jangan membantah, ikuti saja," sergahnya.

"Kamu tidak tau menau seperti apa tempat ini," ucapanya tersebut berhasil membuat Kinar tak lagi meronta. Berjalan tanpa paksaan, mengikuti langkah Jay.

Sementara di ruangan tadi, sang Bos telah masuk ingin segera memuntaskan hasratnya pada perawan yang sudah sedari tadi membuatnya gelisah.

"Mana tuh cewe?" tanyanya,saat melihat sekeliling ruangan tak nampak Kinar di sana.

"Bukanya udah sama Bos, tadi dibawa lari sama si Jay. Dia bilang mau nganterin gadis itu ke Pak Bos," jawab Riri.

"Bocah itu berulah lagi, nggak kapok juga. Cepat cari dia, ke semua ruangan," titahnya dengan keras pada beberapa bodyguard nya.

Menyadari ada yang mengejarnya, Jay langsung menarik tangan Kinar membawanya lari. Tak lagi bisa menghindar, akhirnya dia menyeret masuk Kinar kesebuah kamar. Melempar tubuhnya ke atas kasur, lalu menindihnya.

Kinar memekik, "apa yang kamu lakukan, lepaskan aku," ucapnya sembari meronta, mencoba melepaskan diri dari kungkungan tubuh Jay yang kini berada di atasnya.

Jay malah makin liar membuka paksa kemeja Kinar, "menjeritlah..." katanya yang kemudian mencium kasar tengkuknya. Berusaha agar adegan tersebut seolah nyata, untuk mengelabui suruhan bosnya. Jay menelan salivanya susah payah, melihat belahan bukit yang nampak begitu indah. Berusaha sekuat mungkin menahan hasratnya, untuk tidak menjamah bahkan merusaknya.

Di ambang pintu terdengar suara ucapan seseorang, "brengsek, cewek yang bos incar udah diembat sama Jay. Bakal perang nanti." Setelah melihat adegan tersebut, dia langsung menutup kembali pintu kamar itu dan berlalu.

Melihat kondisi aman, Jay langsung bangkit. Melepaskan dekapannya pada Kinar, lalu menarik tubuhnya menjauh.

"Betulkan pakaianmu" ucapnya tanpa ekspresi.

Kinar pun langsung bangkit, beringsut membelakangi Jay untuk mengancingkan kembali pakaiannya yang terbuka akibat ulahnya.

Kinar menyeka kasar air matanya yang sempat menetes, "aku mau keluar sekarang," ucapnya diantara marah dan sedihnya.

"Ambilah ini, kamu kesini untuk ini kan?" Jay menyodorkan beberapa lembar berwarna merah.

Kinar tersenyum sinis, "terimakasih...," ucapnya dengan air mata kembali menetes, menangisi harga dirinya yang telah runtuh seruntuh-runtuhnya.

"Pergilah sekarang!" usirnya, selagi kondisi aman.

"Aku akan mengembalikannya, suatu saat nanti," tutur Kinar sebelum dia berderap keluar, berlari menjauh dari tempat laknat itu.

Dan Jay, siap menerima kemarahan dari bosnya. Yang telah lancang mengambil santapan malamnya. Berjalan tanpa takut menemui bosnya tersebut.

Dan...bugggghh...sambutan yang cukup membuat tubuhnya terhuyung, saking kerasnya pukulan tersebut.

"Brengsek...lancang kamu..." gertaknya tanpa perlu banyak kata.

Jay mengusap sudut bibirnya yang mengalir darah segar, "masih banyak gadis yang jauh lebih menarik dari dia. Bos mau yang mana?" katanya nampak santai.

"hemmm.., tapi kamu menikmatinya kan. Menikmati yang seharusnya menjadi milikku," Sang bos masih tak terima.

"Aku hanya nggak nyangka selera bos berubah sekarang," cibirnya.

"Sekali lagi kamu berani seperti itu, habis kamu," ancam sang bos penuh amarah.

Jay yang sudah sangat hafal dengan karakter bosnya yang tidak akan mungkin mau mengambil bekas anak buahnya, memilih jalan tersebut untuk menyelamatkan Kinar. Gadis yang sebenarnya belum dia kenali.

____________________

Kinar tengah berada di kamarnya, meringkuk di atas kasur usang dengan derai air mata yang membasah. Membayangkan kejadian tadi, dimana dia dijamah laki-laki tua hidung belang, sampai seorang pria gagah menyeretnya keluar. Kemudian mencumbunya kasar. Sungguh miris kisahnya, di usia tujuh belasan harus menghadapi kenyataan hidup sekejam itu.

Sementara Jay tengah berdiri di tepi jendela kamarnya mengedarkan pandanganya keluar jendela. Bayangan raut wajah Kinar terus berkelebat di kepalanya. Rasa kasian ataukah perasaan yang lain.

Rasa untuk melindungi

Berkat bantuan seorang temanya, Kinar mendapat pekerjaan paruh waktu di sebuah cafe kecil yang menyajikan beberapa menu masakan modern. Pesanan yang lebih banyak delivery order, membuatnya harus rawa-riwi menyusuri padatnya jalanan melayani pelanggan.

"huffftt... akhirnya kelar juga," hembusan nafas lega seolah mampu mengusir sedikit lelahnya.

"Makanlah, ini jatah kamu," Karin yang juga sesama pekerja seperti dia menyodorkan satu box nasi untuknya.

"Makasih..."

Karin kemudian menyeret kursi duduk di sebelah Kinar, "tugas kita belum kelar, sampai tutup," katanya.

"Nggak papa," kelelahanya terbayarkan oleh kegembiraan bisa mendapatkan pekerjaan.

Jarum jam mengarah pada angka 9, sudah cukup malam untuk seorang perempuan harus berada di luaran. Namun tempat tersebut masih cukup ramai, karena letaknya memang cukup strategis di area perkantoran yang kebanyakan lembur sampai malam.

Seseorang dengan tampilan yang tidak bisa dibilang rapi perlahan masuk dan menuju sebuah kursi. Duduk dengan tenang sembari meresap nikmat sebatang rokoknya.

Kinar mendekat, menyodorkan daftar menu yang ada, "maaf Mas, nggak boleh ngerokok disini," ucapnya mengingatkan dengan sopan tanpa menatap lawan bicaranya.

Jay langsung menjatuhkan puntung rokok tersebut, menginjak dengan kakinya agar padam. Di saat itu Kinar baru menatap wajah tersebut, wajah yang tak asing baginya. Sesaat mereka beradu pandang sebelum akhirnya Kinar menunduk, menunggu pilihan menu dari pengunjung tersebut.

"Ekspreso.." satu kata itu keluar dari mulut Jay tanpa embel-embel kata lain mengikutinya.

"Baik, mohon tunggu sebentar," wajah Kinar nampak canggung, mengingat kejadian beberapa hari kemarin.

"Siapa tuh Ki?" tanya Karin yang sedari tadi memperhatikan Jay dari awal dia masuk.

"Dia penagih utang yang sering kerumahku," jawaban yang sangat jujur.

"Cakep si, cuma agak sangar gitu ya?" bisik Karin.

"Ya kalau nggak sangar nggak jadi penagih utang kali," jawab Kinar dengan memantulkan seulas senyumnya.

Karin menggaruk kepala yang tak gatal, "iya juga sih," jawabnya menertawakan dirinya sendiri.

Satu cangkir seduhan kopi pekat dengan buih kecoklatan diatasnya, menguapkan aroma khas yang menjadi candu bagi penikmatnya. Tanpa menunggu lama, Jay segera meresap perlahan sebelum uap panas menghilang.

Dari kejauhan Kinar memperjatikanya, saat-saat Jay terlihat begitu nikmat meresap seduhan kopi hitam tersebut.

"Apa senikmat itu?" kalimat tanya itu keluar tanpa mengalihkan tatapannya.

"Apanya yang nikmat?" sahut Karin yang tengah sibuk sendiri.

"Secangkir kopi."

"Emang kamu nggak pernah minum kopi apa?"

Kinar hanya menggeleng, "aku nggak suka, karena seduhan itu mengingatkanku pada pekatnya kebencian yang sudah tertoreh," jawabnya tanpa sadar.

"Maksud kamu?"

Menyadari dirinya telah terlalu banyak bicara Kinar mengalihkan perhatian, "nggak kok, aku cuma lagi beper aja.

Flashback on

Kinar kecil yang baru berusia tujuh tahun merengek meminta uang pada ibunya. Untuk membeli mainan seperti teman lainya, namun sang ibu malah mberong beberapa renteng kopi untuk suami barunya. Beberapa hari berikutnya, saat dia meminta es krim, ibunya lagi-lagi lebih memilih membeli kopi untuk laki-laki tersebut. Hal semacam itu selalu saja terulang.

Bahkan terakhir saat dia masih di SMP, saat dia merengek minta uang saku untuk ongkos naik angkot, ibunya masih saja mementingkan kopi untuk suaminya. Dan saat itu dia meluapkan kemaranya, laki-laki tersebut malah menumpahkan secangkir seduhan hitam itu dari atas kepalanya. Panas, pastinya sangat panas sampai melepuh. Sejak saat itu dia sangat membenci semua hal yang berkaitan.

Bukan karena mainan atau es krim yang tak dia dapatkan tapi perhatian dan kasih sayang ibunya dia telah kehilangannya.

Flashback off

akhirnya tiba juga jam tutup cafe, Kinar memberikan semuanya dengan rapi. Tapi di meja sana masih nampak pria tadi duduk dengan tenang, padahal secangkir kopi miliknya sudah habis tanpa sisa.

"Maaf Mas..kami sudah mau tutup," kata Karin dengan sopan. Pria itu pun beranjak, melangkah keluar tanpa ekspresi.

Kinar mematikan lampu ruang dalam kemudian mengunci rapat pintu tersebut. Dan dia serahkan kunci itu pada Karin.

"Makasih ya, kamu udah kerja keras hari ini."

"Sama-sama Mba."

Kinar pun kemudian menganyunkan langkah dengan cepat, rasanya ingin segera sampai di rumahnya. Merebahkan tubuh lelah yang seharian ini terkuras.

Baru beberapa langkah dia berjalan sosok pria yang dia kenalnya tadi, berdiri mematung bersandar pintu besi sebuah toko yang yang tertutup rapat. Mata mereka bersitatap, beradu pandang dalam kebisuan.

Langkah Kinar terhenti persis di depannya, "terimakasih untuk kemarin," ucapnya dengan tatapan lembut.

"Buat apa, aku juga menikmatinya," jawaban tersebut membuat Kinar terhenyak. Ingatannya kembali pada saat hampir separuh tubuhnya terbuka.

Tanpa kata apapun lagi dia langsung mengayunkan langkahnya pergi meninggalkan pria yang kini tercap brengsek di otaknya.

Tanpa dia duga ternyata Jay berjalan ke arah yang sama beberapa langkah di belakangnya. Sesekali dia menoleh, sosok itu masih ada di sana. Makin mempercepat langkahnya, sosok itu pun tak tertinggal. Kinar tidak tahu jika rumah mereka hanya berjarak beberapa meter saja.

Sampai akhirnya diputuskan berhenti, lalu berbalik melangkah mendekatinya, "Kamu mengikutiku?" tanyanya menajam.

"Yang arahnya ke depan sana bukan hanya tempat tinggalmu," jawab Jay tanpa ekpresi, tak menghentikan langkahnya. Justru malah melewati Kinar begitu saja. Dan kini berganti Jay yang di depan, Kinar yang seolah membuntutinya.

Posisi mereka tetap sama hingga Kinar sampai di depan rumahnya. Sejenak ditatapnya Jay yang berjalan lurus tanpa menoleh, "orang aneh.." gumam Kinar yang kemudian melangkah masuk ke dalam. Dan saat itu juga Jay menoleh kembali ke belakang, memastikan gadis itu telah sampai dengan aman.

Tidurlah dengan nyenyak, kata hatinya dengan tatapan yang belum beralih dari kamar redup dirumah usang tersebut.

Bukan hanya hari ini Jay mampir ke cafe tempat Kinar kerja lalu berjalan pulang seperti membuntutinya. Tapi esok, esoknya lagi dan esoknya lagi masih tetap sama. Langkahnya masih saja mengiringi Kinar hingga masuk ke dalam rumahnya. Entah apa sebabnya, tapi sepertinya ada dorongan dari dalam hatinya untuk bisa melindungi gadis itu.

Jatuh cinta, rasanya frase itu masih terlalu dini untuk mengartikan tindakanya. Setelah kehilangan sosok yang sangat melekat dihatinya, yang harus mengakhiri hidupnya setelah dijual oleh ayah tirinya untuk melayani pria hidung belang yang sudah banyak meminjaminya uang. Nasib pilunya hampir sama dengan Kinar.

Babarapa hari bak seorang putri yang selalu dikawal, Kinar mulai merasa tak nyaman.

"Jika arah kita sama, bisakan kamu mencari jalan lain. Atau mencari waktu lain, aku nggak nyaman," ungkapnya saat dia baru keluar dari cafe tersebut hendak pulang.

"Aku juga ingin tepat waktu sampai ke tujuan," jawabnya berdalih.

"Baiklah, aku yang akan melewati jalan lain. Aku tak harus tepat waktu sampai di rumah," Cila langsung melenggang menuju jalan lain kerumahnya.

Jay tersenyum tipis, melihat tingkah bocah yang usianya cukup jauh dibawahnya itu. Lucu baginya.

Aku cuma ingin memastikan kamu sampai rumah dengan aman. Hatinya berbicara diiringi pantulan senyum yang entah apa artinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!