Brak
Sid memukul mejanya dengan sangat keras, hingga membuat gadis dihadapannya ketakutan.
"Jika tidak bisa bekerja lebih baik kau resign dari kantor ini!"
"Ma.. Maaf pak, tapi apa kesalahanku?" Tanya gadis itu dengan suara bergetar.
"Coba kau baca sendiri!" Sambil melemparkan sebuah berkas ke wajah gadis itu.
"Ma.. Maaf pak, aku akan memperbaikinya."
"Cukup, kau dipecat! Pergi dari hadapanku, jangan pernah menginjakkan kakimu di kantor ini lagi!" Bentak Sid sambil menunjuk pintu ruangannya.
"Tidak, pak! Saya mohon jangan pecat saya, pak!" Ucap gadis itu sambil mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya.
"Keluar dari ruanganku! Rasanya sia-sia saja aku membayarmu, pekerjaanmu sangat tidak becus!" Hina Sid dengan wajah merendahkan.
"Pak, saya mohon jangan pecat saya!"
"KELUAR!" Teriak Sid dengan suara menggelegar ke telinga gadis itu.
Dengan tangis yang sesenggukkan, gadis itu keluar dari ruangan Sid. Setelah kepergian gadis itu, Sid duduk di kursi kerjanya sambil memasang raut wajah kesal.
Ya, Siddharth Adeva Rafandi atau lebih dikenal dengan nama Sid memang terkenal dengan sifatnya yang galak dan keras. Ia adalah CEO dari perusahaan besar yang bernama SAR Entertainment Group.
Karena sifatnya itu, setiap satu bulan sekali ia sering berganti-ganti sekretaris.
"Rio!" Teriak Sid dengan suara lantang memanggil asisten pribadinya itu.
Tak lama Rio datang dan segera menghadap sang bos nya itu.
"Ya pak, ada yang perlu saya bantu?"
"Kau carikan sekretaris baru untukku, kali ini kau harus mencari orang yang benar-benar becus dalam bekerja! Jangan seperti sekretaris sialan tadi!" Sinis Sid.
"Baik pak, saya akan segera mencarikan anda sekretaris baru!" Jawab Rio sesopan mungkin, padahal hatinya sudah jengkel dengan kelakuan dan sifat bosnya itu.
Huh, kau cari saja sendiri! Aku lelah mencarikan sekretaris untukmu, bagaimana bisa ada yang bertahan bersamamu selain aku jika sifatmu saja seperti iblis! Sedikit-sedikit memecat orang, padahal kesalahannya hanya kesalahan kecil!
"Kenapa kau masih diam berdiri disana? Cepat pergi! Atau aku akan memotong gajimu setengahnya bulan ini!" Ancam Sid sambil memandang Rio dengan tatapan kesal.
"Baik pak!" Rio pun keluar dari ruangan Sid sambil menggerutu.
"Dasar bos lucknut! Bisanya hanya menyakiti orang lain saja!"
"Aku mendengarmu, Rio!" Teriak Sid dari dalam ruangannya.
Sialan! Bahkan telingamu itu kenapa sangat tajam sekali pendengarannya?!
Rio menghela napas kasar, lalu segera menaiki lift. Sampai di bawah, ia terus menggerutu di dalam hatinya.
"Hei, Rio! Kenapa pagi-pagi kau sudah cemberut saja?" Sapa Edi yang baru keluar dari ruangannya.
"Huh, kau seperti tidak tahu saja!" Ketus Rio.
"Hahaha, pasti dia sudah kena semprotan singa itu lagi!" Ejek Riana dari meja resepsionis.
"Apa dia memintamu mencari sekretaris baru lagi?" Tanya Edi sambil menyengir kuda.
"Kau tahu dia bukan?" Edi mengangguk. "Sekarang kau bantu aku mencari sekretaris baru untuk bos lucknut itu!"
"Dengan senang hati, asisten Rio!" Ucap Edi sambil mengedip-ngedipkan matanya.
"Aku doakan matamu seperti itu selamanya!" Ucap Rio sebal.
"Eeee... Kau jahat sekali!" Rajuk Edi sambil cemberut.
"Cepat!" Bentak Rio dengan wajah galak.
"Apa?" Tanya Edi dengan nada santai.
"Kau carikan sekretaris baru itu sekarang!"
"Apa?" Kaget Edi.
"Kau carikan sekretaris baru itu sekarang!" Teriak Rio ke telinga Edi.
"Aku dengar!" Ketus Edi.
"Lalu kenapa kau bertanya lagi?"
"Aku terkejut, bukan bertanya lagi!" Cibir Edi.
"Ya sudah, cepat!"
"Tapi dimana kita bisa mencari sekretaris secepat itu?" Tanya Edi bingung.
"Ya mana aku tahu, itu urusanmu! Jika sudah ada kau hubungi aku dan bawa dia ke kantor ini!"
"Huh, bos dan asisten sama saja! Sama-sama suka memerintah seenak hati!" Edi mencibir Rio, sementara Rio terkekeh.
Lalu Edi pun berpikir, hingga tiba-tiba ia mengingat sesuatu.
"Haaa... Aku tahu sekarang!" Sambil menepuk punggung Rio yang sedang duduk sambil meminum air putih.
Rio menyemburkan air yang diminumnya tepat mengenai wajah Edi.
"Uhuk, uhuk! Kau ini bisa tidak jangan seenaknya memukul punggungku!" Edi terkekeh.
"Maaf, maaf! Aku tahu sekarang harus membawa siapa untuk dijadikan sekretaris baru bos singa itu!"
"Benarkah? Kali ini kau harus mencari sekretaris yang bisa membuat bos lucknut itu tidak memecatnya lagi!" Ucap Rio sambil menunjuk Edi.
"Tentu saja! Kau tunggu saja, aku akan membawanya sekarang!" Tanpa menunggu Rio berbicara lagi, Edi sudah berlari keluar dari kantor.
1 Jam Rio menunggu, ia sudah resah karena sedari tadi Sid sudah meneleponnya untuk segera membawakan sekretaris barunya.
"Rio! Kau ini bagaimana? Aku menyuruhmu mencari sekretaris baru, tapi kau lama sekali! Bisa bekerja tidak?!" Bentak Sid dari telepon.
"Iya pak, sebentar lagi aku akan datang bersama sekretaris baru anda!" Sid memutus teleponnya, dan membuat Rio menggerutu kesal di dalam hatinya.
Manusia lucknut ini maunya apa? Baru 1 jam tapi dia sudah bilang bahwa itu lama, apa dia pikir mencari sekretaris yang tepat akan semudah itu? Oh Tuhan, jika boleh menawar maka aku akan memilih untuk jadi gelandangan, eh tidak! Tidak! Maksudku aku lebih memilih jadi pedagang asongan daripada jadi asisten bos lucknut itu!
Tak lama, datanglah Edi bersama seorang perempuan.
"Akhirnya kau datang juga! Kau tahu, dia sudah 7 kali menelepon karena kau terlalu lama mencari sekretaris baru itu!" Rutuk Rio sambil memicingkan matanya pada Edi.
"Kau pikir mudah mencarinya! Aku harus berkeliling dulu untuk menemukan rumahnya!"
"Cepat, kita bawa dia ke ruangan bos lucknut itu!"
"Kiran, kenapa kau berdiri di belakangku? Ayo cepat!"
Yang di panggil segera menunjukkan dirinya, mata Rio terbelalak melihatnya. Lalu Rio menatap Edi dengan tatapan tajam.
"Kau yakin dia bisa bekerja dengan benar? Sebenarnya kau darimana?" Tanya Rio sembari menatap wanita yang di panggil Kiran itu dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.
"Tentu saja, dia sudah pernah bekerja sebelumnya. Kau bertanya aku darimana? Tentu saja ke rumahnya untuk membawanya!"
"Maksudku kau membawa manekin ondel-ondel darimana?" Ejek Rio.
"Apa? Kau mengataiku ondel-ondel?!" Kiran mulai bersuara, karena tidak terima di katai ondel-ondel.
"Penampilan seperti itu jika tidak disebut ondel-ondel lalu harus disebut apa? Hahaha!" Rio tertawa sementara Kiran dan Edi menatapnya kesal.
Tawa Rio berhenti seketika, karena ponselnya kembali berdering dan nama yang tertera di layar membuatnya seketika menatap ponselnya dengan malas.
"Hallo, pak!"
"Rio, mana orang itu? Kau bisa bekerja atau tidak?! Sudah hampir 1 jam lebih 30 menit kau masih belum juga membawakan aku sekretaris baru!"
"Ah, pak sekarang aku akan segera membawanya ke hadapan anda!" Rio memutus teleponnya.
"Ayo cepat! Semoga saja dia tidak pecah bola matanya saat melihatmu nanti!" Ajak Rio pada Kiran.
"Pergilah Kiran! Semoga berhasil!" Ucap Edi sambil mengacungkan jempolnya.
Kiran mengangguk, lalu segera berjalan mengikuti Rio yang sudah jalan lebih dulu dan memasuki lift.
Dalam lift hati Kiran berdebar-debar tak karuan, rasa gugup menyerangnya. Ia memerhatikan penampilannya di cermin yang berada di dalam lift.
Rambut panjang yang diikat kuncir kuda, rok sepanjang mata kaki, kemeja putih panjang, serta kacamata tebal. Itulah penampilannya.
Kenapa aku seburuk ini? Ah, tidak masalah! Pekerjaan tidak akan dilihat dari pakaian!
Kiran merapihkan kerah kemejanya, lalu berusaha mengilangkan rasa gugupnya.
Ting
Pintu lift terbuka, didepannya sudah ada sebuah pintu menuju ruangan yang bertuliskan CEO. Rasa gugup kembali menyerangnya, pria yang sedari tadi disisinya membuka pintu itu.
Ceklek
Seorang pria tampak sedang duduk di kursi kerjanya sambil menatap ke arah mereka, matanya membelalak melihat Kiran.
Setelah itu......
Bersambung...
Hi, semua! Ini karya kedua aku, selamat membaca ya. Semoga suka, mohon kritik dan sarannya!
"Rio, kau membawa makhluk ini darimana?" Ucap Sid datar pada saat melihat Kiran.
"Saya tidak tahu, pak." Sid menatap Rio tajam.
"Jadi jika kau tidak membawanya, siapa yang membawanya?" Rio mulai menunduk ketakutan, ia sadar sudah menciptakan musibahnya sendiri.
Ah tidak! Seharusnya tadi aku tidak mengandalkan Edi, sekarang gajiku pasti akan dipotong karena ondel-ondel bawaan Edi sialan ini!
"Maaf pak, Edi yang membawakan Kiran untuk di rekomendasikan menjadi sekretarismu." Jawab Rio berusaha tidak memperlihatkan ketakutannya.
"Apa? Jadi saat tadi aku meneleponmu kau berada dimana?" Nada suara Sid mulai meninggi saat mendengar apa yang di katakan Rio.
"Ta.. Tadi saya... Eh, hehe... Tadi, saya...-"
Brak
Sid menggebrak mejanya, membuat Kiran terperanjat dan ketakutan.
"Kau keterlaluan, dasar tidak berguna! Aku menyuruhmu bukan menyuruh Edi! Kenapa kau tidak pergi mencarinya sendiri!"
"Maaf pak!" Ucap Rio sambil menunduk.
"Sudahlah, tidak ada gunanya! Sekarang apa makhluk ini bisa bekerja atau tidak?!"
"Saya tidak tahu, pak."
"Tentu saja kau tidak tahu! Keluar kau sekarang!" Rio segera membungkukkan badannya memberi hormat lalu keluar dari ruangan itu diikuti Kiran.
"Hei makhluk kacamata! Kenapa kau mengikutinya?" Kiran berhenti dan berbalik.
"Pak bukankah anda tadi menyuruh kami pergi?" Sid tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Kiran.
"Ternyata Edi dan Rio tidak hanya membawa makhluk aneh, kelakuannya pun ikut aneh!" Sid kembali terkekeh.
"Aku menyuruh Rio yang pergi, bodoh! Sekarang katakan, kau bisa bekerja atau tidak?"
Kiran mengangguk.
"Bicara! Jangan hanya mengangguk, karena kau tidak bisu!" Sid berdiri, lalu mendekati Kiran.
"Maaf pak, saya bisa bekerja."
"Kau sebelumnya pernah bekerja sebagai apa? Atau belum pernah bekerja?" Tanya Sid sambil terus mendekati Kiran.
"Sebelumnya saya bekerja juga sebagai sekretaris di perusahaan xx." Jawab Kiran dengan suara gugup karena Sid sudah berada sangat dekat dengannya.
"Kau bisa bekerja dalam tekanan?"
"Bisa, pak." Jawab Kiran dengan suara yang cukup keras
"Hei makhluk kacamata! Kau tidak perlu berteriak, aku tidak tuli!"
"Maaf pak!" Kiran menggigit bibir bawahnya.
"Baik, mulailah bekerja besok! Tapi bukan berarti kau boleh pulang! Hari ini kau tanyakan pada Edi apa saja pekerjaanmu! Kau boleh keluar dari ruanganku!"
Itu artinya hari ini aku juga bekerja, bodoh! Kau pintar mengejek dan menghina orang tapi kau juga bodoh!
Kiran merutuki Sid di dalam hatinya, ia sangat kesal ketika Sid dan Rio mengatainya manekin ondel-ondel dan makhluk kacamata.
"Dasar orang aneh!" Gumam Kiran pelan.
Kiran berjalan menuju lift, saat memasuki lift ia tidak sengaja berpapasan dengan pria yang tidak asing baginya.
"Kiran! Sedang apa disini?"
"Alfi, aku sedang bekerja disini. Kau bekerja disini juga?" Pria yang di panggil Alfi itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Wah, akhirnya sekarang kita bertemu lagi. Kau bekerja sebagai apa disini?"
"Aku sekretaris CEO." Alfi meringis mendengar jabatan yang menjadi pekerjaan Kiran saat ini. "Ada apa? Kenapa kau meringis seperti itu?"
Alfi menoleh kesana kemari.
"Katakanlah! Kita hanya berdua di lift!" Ucap Kiran penasaran.
"Kiran, kau sudah tahu pak Sid itu seperti apa pada sekretarisnya?" Bisik Alfi ketelinga Kiran.
"Dia sangat menyebalkan, suka menghina orang seenaknya! Tapi aku tidak tahu jika masalah pada sekretaris yang menyangkut pekerjaan."
"Ternyata kau belum tahu alasan kenapa dia mencari sekretaris baru?" Kiran menggeleng.
"Kau akan tau sifatnya setelah mendengar ini, selama sebulan sekali pak Sid memecat sekretarisnya. Alasannya pun tidak masuk akal, sedikit kesalahan saja ia langsung memecatnya!" Kiran terbelalak hingga matanya memelotot sempurna.
"Apa? Memangnya kenapa?"
"Kau akan tahu nanti! Hehehe!"
"Tunggu Alfi! Tolong beritahu aku!"
Ting
Pintu lift terbuka, Alfi memasang senyum jahil pada Kiran.
"Maaf Kiran, aku tidak bisa memberitahumu sekarang. Pekerjaanku banyak, kapan-kapan saja ya aku menceritakannya?!"
"Huh, baiklah!" Kiran mendengus sebal.
"Selamat bekerja Kiran!" Ucap Alfi sambil berlalu meninggalkan Kiran yang masih menatapnya dengan kesal.
"Apa maksudnya, dasar tidak jelas!" Kiran merutuki Alfi.
Entah kenapa Karin merasa hatinya semakin berdebar mendengar perkataan Alfi.
"Bagaimana?" Tiba-tiba Edi sudah berada di sisi Kiran, membuatnya terkejut.
"Aku diterima!" Teriak Kiran, langsung menepuk punggung Edi tanpa aba-aba.
"Sudah kuduga. Congrats, Kiran!"
"Selamat datang di SAR Entertainment Group! Selamat bersabar!" Sahut Alfi tiba-tiba dari arah ruangan kerjanya.
"Terima Kasih, aku pasti... Eh, apa? Bersabar? Maksudmu?"
Alfi tersenyum lembut.
"Besok saat kau sudah bekerja, kau pasti akan mengerti maksudku apa."
"Apa? Aku tidak mengerti, jangan menakut-nakuti aku!" Kiran menatap Edi dan Alfi lekat-lekat.
"Tidak usah takut. Kau cukup mengasah hatimu saja agar lebih sabar, karena..." Edi melemparkan pandangan sedetik ke arah lift khusus CEO, lalu merendahkan suaranya dan berbisik.
"Bos kita ini sangat galak. Misterius. Dingin, menyaingi cold box penyimpanan ikan di pelabuhan."
"Pak Sid galak sekali, ya?"
"Itulah alasan kenapa sekretarisnya tidak ada yang betah. Setiap bulan pasti resign atau dipecat. Dia seperti monster berdarah dingin."
Edi dan Alfi saling melempar pandang.
"Kalian gila! Artinya aku masuk ke lubang singa!" Sungut Kiran.
"welcome to the hell." Edi tertawa terpingkal-pingkal, diikuti Alfi.
"Maksud kalian apa? Aku tidak mengerti!" Kiran kembali menatap Edi dan Alfi bergantian.
"Selamat datang, Kirana Putri Farella. Mulai besok, hidupmu akan berubah!" Lagi-lagi Edi menumpahkan tawanya.
"Tenang saja, jangan khawatir! Tidak akan seburuk gambaran Edi, Masalahnya hanya satu, pak Sid itu..."
"Tidak punya hati!" Edi memotong ucapan Alfi. Wajah Karin pias seketika.
"Sudah! Tidak boleh seperti itu!" Alfi berpaling pada Kiran. "Pak Sid galak, itu saja!" Alfi menenangkan Kiran.
"Intinya kau akan mengerti besok!" Edi tersenyum pada Kiran.
Tiba-tiba tanpa ada yang menduga, pintu lift di tempat mereka membuka forum terbuka. Dari dalam muncul sosok Sid. Tubuhnya yang terlihat jangkung membuat Kiran ketakutan.
"Ada apa ini?! Sejak kapaj kantor ini berubah jadi pasar kaget?! Edi, Alfi! Aku menggaji kalian untuk bekerja, bukan untuk rapat politik! Jika kalian masih ingin bekerja disini, ikuti peraturan yang berlaku!" Suara Sid tegas dan dingin.
"Iya pak, maaf." Edi dan Alfi menjawab serempak, dan langsung berjalan menuju tempat masing-masing meninggalkan Kiran sendirian di hadapan Sid.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sid berjalan meninggalkan kantor. Tanpa menoleh pada Kiran sedikitpun.
Ya Tuhan, bagaimana ini? Bagaimana bisa Edi membawaku ke kantor yang seperti neraka ini? Dasar Edi sialan!
Kiran menggigit bibir bawahnya, mencoba meyakinkan hatinya agar bisa kuat untu menghadapi pekerjaan dan bos yang di sebut galak itu.
"Kau kuat Kiran! Kau pasti bisa menghadapi bos dan pekerjaanmu itu! Lagipula dia juga manusia, pasti memiliki hati juga!" Gumam Kiran percaya diri, lalu berjalan meninggalkan kantor itu karena pekerjaan yang menantang itu akan dimulai besok.
Bersambung...
Keesokan harinya, mobil putih yang sederhana milik Kiran sudah terpakir rapih di area parkir SAR Entertainment Group. Pintu pengemudi terbuka, lalu turunlah Kiran dari mobilnya.
Kiran mengunci pintu mobilnya cepat-cepat, lalu berjalan setengah berlari menuju kantor. Napasnya tersengal-sengal.
"Pagi Kiran, kenapa buru-buru sekali? Ini masih sangat pagi, lagipula pak Sid terbiasa datang jam 9 pagi dan ini baru jam 7 pagi kurang 5 menit." Sapa Niki sang resepsionis kantor yang baru dikenalnya kemarin.
"Pagi Niki!" Kiran menggantung kartu absennya di papan. "Aku tau, aku hanya ingin mempelajari lagi pekerjaanku, karena masih banyak yang harus aku pelajari sebelum pak Sid datang." Kiran mendekati Niki.
"Baiklah, selamat berjuang!" Ucap Niki sambil memberi jempol pada Kiran.
Kiran pun berpamitan pada Niki untuk pergi ke ruangannya, setelah itu segera mempersiapkan apa yang harus ia persiapkan pada saat berhadapan dengan bosnya nanti.
Lembaran-lembaran kertas bertaburan memenuhi meja kerja Kiran, saat seorang office boy muncul di hadapannya dan meletakkan satu cangkir kopi. Kiran mengangkat wajahnya dari tumpukan kertas yang menyita perhatiannya sejak tadi.
"Maaf, aku tidak memesan kopi." Kening kiran berkernyit.
"Pak Ikhsan yang mengirim kopi ini untuk anda." Jawab Office boy itu sambil tersenyum ramah.
"Hah?"
"Disana ada suratnya, silahkan anda membacanya." Office boy itu menunjuk sebuah kertas yang diselipkan du bawah cangkir kopi, lalu segera undur diri dari ruangan Kiran.
Kiran mengambil kertas itu, lalu membukanya dan membacanya.
*Minumlah kopi itu, Kiran. Agar kau bersemangat dalam pekerjaanmu.
^^^...Ikhsan* ...^^^
Kiran mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mencari tahu siapa itu Ikhsan, lalu bayang-bayangnya jatuh pada pria yang sama penampilannya seperti dirinya.
Laki-laki gila itu! Ternyata dia juga bekerja disini, ah sial! Kenapa bekerja disini malah membuatku bertemu dengan orang-orang yang tidak aku inginkan?!
Kiran mendengus sebal, lalu merobek kertas itu membuang kopi dari Ikhsan ke kamar mandi yang berada di ruangannya.
Setelah itu ia kembali duduk di kursi kerjanya, hingga telinga Kiran menangkap Sid sudah datang dan sedang berbicara dengan Rio.
Kiran berdiri, bersiap menyambut Sid karena Sid akan masuk ke ruangan Kiran terlebih dahulu baru masuk ke ruangannya.
Setengah gugup Kiran menyapa Sid yang kini sudah tidak jauh darinya.
"Selamat pagi pak!" Ucap Kiran sambil membungkukkan badannya memberi hormat pada Sid.
Pagi itu, Sid terlihat modis dan keren dengan penampilannya. Ia mengenakan sepatu kulit berwarna hitam, celana berwarna hitam, kemeja berwarna merah maroon, dan jas berwarna hitam senada dengan warna celananya. Rambutnya yang rapi dan terlihat basah karena memakai gel rambut membuat penampilannya sangat menawan di mata Kiran.
"Pagi." Balas Sid singkat, sebelum menghilang ke ruangannya.
Laki-laki tampan itu bersikap dingin. Dengan satu ekspresi yang mengerikan bagi Kiran. Wajahnya terlihat dingin dan tanpa senyum seperti saat kemarin Kiran pertama kali bertemu dengannya.
Kiran mencoba membayangkan, kira-kira akan seperti apa wajah Sid ketika ia tersenyum dengan sangat tulus. Pasti akan lebih tampan dan ramah.
Eh tidak, buang jauh-jauh hal seperti itu bodoh! Kau harus tahu diri, bahkan kemarin dia menyebutmu makhluk kacamata! Kiran mencoba menepis pikirannya tentang Sid.
Tiba-tiba, pesawat telepon di hadapan Kiran berdering, mengagetkan gadis itu dan memaksanya beranjak meninggalkan dunia khayalan.
"Kiran, keruanganku sekarang!" Perintah Sid.
"Baik, pak." Setelah meletakkan pesawat telepon, Kiran bersiul pelan. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdetak kencang.
Kiran mengetuk pintu perlahan, membukanya dan berjalan dengan anggun. Sid tampak sibuk mengetik di atas keyboard laptopnya yang telah menyala.
"Kau sudah tahu apa yang harus kau kerjakan?" Sid bertanya dengan mata yang masih tertuju pada laptopnya.
Kiran mengangguk. "Sudah, pak!"
"Segera hubungi Eri dari perusahaan XX. Katakan bahwa kita bisa bertemu hari ini pukul dua siang."
"Baik, pak!" Kiran mengangguk takzim lagi.
Sid berhenti menekuni laptopnya, menelengkan kepala menghadap Kiran.
"Cuma 'baik pak'? Mana agendamu? Kau harus mencatat semua hal yang aku katakan supaya tidak lupa!" Tegur Sid dengan suara tegas.
Kiran tergagap, menyadari bahwa ia meninggalkan agendanya di meja kerjanya.
"Maaf, pak. Setelah ini saya akan selalu membawa agendanya dan mencatat apa saja yang anda katakan!"
"Kau perlu ingat, setiap bertemu denganku kau harus membawa agenda! Aku sangat malas jika harus mengulangi instruksi yang sama. Jangan terlalu percaya diri dengan hanya mengandalkan memori otakmu yang cekak itu!" Sid memandang Kiran tajam.
Kiran menggigit bibir bawahnya keras-keras. Rasa sakitnya sama sekali tidak terasa, jika dibandingkan dengan hatinya yang tergores karena dihina bosnya itu.
"Memori otakku tidak terlalu cekak!" Tanpa sadar Kiran bergumam pelan, namun masih bisa didengar oleh Sid dengan indera pendengarannya yang sangat tajam itu.
"Tidak cekak? Jadi kenapa kau dulu harus kuliah hingga enam tahun?" Tanya Sid sambil memandang Kiran dengan tatapan merendahkan.
"Hah? Bagaimana bisa bapak tahu?" Kiran membelalakkan matanya.
"Kau pikir aku tidak memeriksa datamu kemarin?"
"Itu karena saya dulu aktif di organisasi."
"Sudahlah, sekarang hubungi Eri! Awas saja jika kau lupa!" Sid kembali asyik dengan laptopnya.
Kiran masih terpaku. Diamatinya bayangan Sid di hadapannya. Hari pertama bekerja masih berjalan beberapa menit, tapi dia sudah mulai bisa menangkap maksud perkataan Alfi dan Edi. Bosnya ini memang bukan pria sembarangan. Ia lebih tepat disebut iblis.
"Kenapa kau masih berdiri disitu?!" Tiba-tiba Sid berdiri.
"Maaf pak, Dasi anda bagus!" Kiran menjawab sekenanya. "Permisi, pak!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kiran berbalik meninggalkan Sid.
Kiran turun menuju lantai satu, tempat Niki jaga kandang. Resepsionis itu langsung menebarkan senyum, begitu kepala Kiran muncul di hadapannya.
"Niki, tolong berikan aku nomor kontak Eri dari perusahaan XX!"
Karin membuka laci meja dan mengambil sehelai kartu nama.
"Ini, ambilah." Kiran meraih kartu nama itu, lalu mencatat nomor telepon dan alamat dari kartu itu di agendanya.
"Kiran, kenapa wajahmu kusut seperti itu?" Tanya Niki simpatik.
Kiran menghela napas panjang.
"Aku tahu!" Kata Niki lagi. "Kau pasti sudah terkena raungan dari singa itu, kan?" Niki menebak, sebelum Kiran sempat bersuara.
"Bagaimana bisa kau tahu?"
"Kiran, aku tidak butuh IQ tingkat jenius untuk bisa menebaknya! Jika bekerja di kantor ini, itu sudah jadi santapan pagi setiap hari!"
"Aku tidak pernah membayangkan, bagaimana bisa ada manusia seperti dia?" Kiran berdecak.
"Kenapa tidak bisa? Orangnya berada di dekatmu! Ngomong-ngomong, pak Sid ingin bertemu dengan Eri ya?"
"Iya, siang ini jam..." Kiran berpikir keras.
"Ya ampun, pak Sid tadi mengatakan ia akan bertemu jam berapa ya? Jam dua atau jam 1 siang? Atau jam berapa?"
Wajah Niki langsung menyiratkan kengerian. "Aduh, bagaimana kau bisa lupa Kiran?! Kenapa kau nekat sekali?"
"Niki! Aku bukan nekat, tapi aku lupa!" Melihat wajah Niki yang ketakutan, Kiran ikut pias. "Bagaimana ini?"
"Kau harus menanyakannya pada pak Sid! Jika jadwalnya sampai salah, maka hidupmu bisa berakhir!" Niki meringis.
"Jadi aku harus bertanya langsung pada pak Sid?" Niki mengangguk, sedangkan Kiran tidak mempunyai pilihan lain.
"Aku akan membantumu, lewat doa dari sini!" Kiran menatap Niki sebal.
Kiran menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu berjalan kembali menuju ruangan Sid.
"Bagaiaman bisa dia seceroboh itu? Pak Sid pasti akan marah besar padanya!" Gumam Niki pada dirinya sendiri.
Pintu kayu berwarna cokelat itu diketuk dari luar, dan membuka dengan lembut. Pelan-pelan, sebuah kepala muncul, diikuti dengan sepotong tubuh, yang berjalan sambil ketakutan mendekati meja.
"Maaf, pak." Suara Kiran sangat lirih.
"Hmm?"
"Maaf, saya ingin bertanya kembali. Bertemu dengan Eri dari perusahaan XX jam berapa ya, pak?" Kiran mencoret-coret agenda ditangannya dengan gelisah. Tak ayal, jemarinya bergetar. Terdengar suara helaan napas.
"Kiran!" Bentak Sid, Kiran terperanjat, tubunya bergetar hebat.
Sid berdiri mendekati Kiran, matanya memandang Kiran tajam, lalu Sid semakin mendekati Kiran.
Lalu....
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!