Juwita adalah gadis berusia 22 tahun. Dia tinggal di Jakarta. Juwita tinggal bersama Tante Siska adik dari mamanya, orang tuanya sudah lama meninggal. Juwita adalah anak orang kaya, namun hidupnya selalu diatur atur oleh tantenya hingga iya tak punya kebebasan. Juwita lebih memilih tinggal bersama sahabat sahabatnya yaitu Andin (23 tahun), Hani (22 tahun) dan Joana (22 tahun). Mereka bersahabat dari bangku SMP hingga sekarang kuliah pun bersama.
Sahabat sahabatnya itu sama sama non muslim. Mereka mempunyai karakter masing masing. Andin adalah perempuan yang sudah bersuami namun mereka masih bersahabat, Andin pun masih berstatus sebagai mahasiswi, sikapnya hangat dan keibuan. Hani yang genit dan sering berganti ganti pacar hanya untuk kesenangan dan mendapatkan uang. Sementara Joana adalah gadis tomboy yang bisa dikatakan galak.
Andin tinggal bersama suaminya. Sementara Hani dan Joana tinggal disebuah kosan putri. Juwita lebih memilih tinggal di kosan bersama Hani dan Joana ketibang tinggal di rumahnya yang penuh dengan kemewahan namun tak tak ada cinta. Tante Siska yang berambisi ingin menguasai hartanya Juwita nampak senang jika Juwita tinggal bersama sahabat sahabatnya itu.
Suatu hari Juwita terbangun dari tidurnya. Iya bermimpi ada sebuah cahaya yang menghampirinya disaat dirinya dalam kegelapan.
"Apa arti dari mimpiku itu ya?, sudah hampir 3 kali aku bermimpi seperti itu. Sebenarnya cahaya apa yang menghampiriku itu?" batin Juwita.
Juwita pun melirik kesebelahnya, dilihatnya Hani dan Joana masih tidur terlelap. Juwita pun tersenyum, baginya harta yang iya miliki adalah sahabat sahabatnya, yang selalu ada disaat suka dan dukanya. Mereka berempat pernah mengikrarkan sebuah sumpah bahwa mereka tidak akan mencintai lelaki yang sama, dan mereka juga pernah mengikrarkan sebuah sumpah dalam satu kalimat: SAHABAT SEJATI AKAN TERUS HIDUP BERSAMA, MAKA MATI PUN AKAN BERSAMA SAMA:
Juwita tidak pernah tau apa yang akan terjadi pada sahabat sahabatnya itu. Iya hanya berharap susatu saat akan ada cahaya yang akan menerangi hidupnya.
Pagi pagi sekali Juwita sudah berdandan rapih untuk pergi ke kampus. Sementara Joana sudah menggedor gedor pintu kamar mandi.
"Hani buka pintunya, buruan mandinya" gerutu Joana sambil menggedor gedor pintu.
Cekleeek.
Pintu pun terbuka. Hani pun keluar dengan hanya menggunakan handuk saja yang melilit dada hingga pahanya.
"Lama banget sih, mandi hampir 2 jam gak selesai selesai" gerutu Joana.
"Gak usah protes, beginilah kalau selebritis sedang mandi" jawab Hani percaya diri. Saat Hani melewati Joana, tiba tiba Joana melihat tanda merah dileher sahabatnya itu.
"Tanda apa yang ada dilehermu itu?" tanya Joana sinis.
"Sssttthh anak kecil gak usah ikut campur" ucap Hani sambil berlalu mencari baju dilempari. Joana langsung mengernyit.
"Menjijikan" ucap Joana sambil masuk ke kamar mandi. Hani malah tertawa tawa. Meski mereka sering berantem, namun tak pernah ada dendam diantara mereka. Hani memang sering pergi ke hotel bersama mangsa mangsanya yang berduit. Juwita sering memperingatkannya, namun tak pernah didengarnya.
Setelah Hani dan Juwita sudah bersiap, dilihatnya Joana belum keluar dari kamar mandi.
"Jo buruan udah siang nih nanti kita terlambat" teriak Juwita.
"Bentar"
Joana pun keluar kamar mandi sudah dengan baju khasnya, Joana sosok yang tomboy, hobynya pun main basket.
"Ayo berangkat" ucap Joana.
"Aduh Jo, bisa gak sih dandanamu itu peminin dikit, biar mata gak sempet lihatnya" ucap Hani.
"Berisik"
Mereka bertiga pun naik mobilnya Juwita. Juwita memang diberikan fasilitas mewah. Semua hartanya dikelola oleh Tante Siska.
Tiba tiba Andin datang.
"Pagi semua" sapa Andin.
"Pagi Andin, si AL gak ikut?" tanya Hani. Andin langsung mengernyit.
"Suamiku namanya Andre, bukan AL" ucap Andin mengingatkan.
"Si Hani korban sinetron tuh" ucap Joana.
Mereka pun ke kampus bersama sama.
_ _ _ _ _ _ _
Sementara di tempat lain. Disebuah pesantren di kota A. Seorang pemuda bernama Syakir (22 tahun) tengah duduk ditepi perkebunan. Iya baru menyelesaikan pendidikannya di Kairo bersama sahabatnya Fadil (24 tahun). Syakir ingin sekali melanjutkan pendidikannya kembali namun iya ingin belajar ke Jepang. Tentu saja itu membuat keluarganya tidak setuju. Kehidupan pesantren dan negri sakura itu sangatlah berbeda. Hingga Syakir diberi kesempatan untuk mengenal dunia luar yang tak begitu jauh.
Ustad Rasyid (46 tahun) ayahnya Syakir dan kakeknya Syakir yaitu kiyai Samsul, menyuruh Syakir untuk melanjutkan pendidikan di Jakarta. Biar Syakir tau bagaimana kehidupan diluar pesantren.
Saat Syakir duduk sendirian, tiba tiba ustad Rasyid datang dan duduk disebelahnya.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Ustad Rasyid pun tersenyum lalu membelai kepala putranya itu.
"Apa kau sedang bimbang?" tanya ustad Rasyid. Syakir malah menunduk.
"Sesuai kesepakatan kita, kau akan melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di sana kau bisa membandingkan kehidupan yang berbeda dengan yang ada disini. Banyak tantangan disana, petiklah sebuah pelajaran berharga disana" tutur ustad Rasyid. Syakir pun langsung menatap Abinya.
"Abi akan tetap melarang ku untuk ke Jepang?" tanya Syakir. Ustad Rasyid pun mengangguk.
"Maafkan Abi, sepertinya ini yang terbaik untukmu, kau tidak sendirian kuliah disana, Fadil pun akan ikut bersamamu. Dengarkan Abi, kau adalah calon pemimpin pesantren, Mbah Samsul sangat berharap suatu saat kau bisa memimpin pesantrennya" tutur ustad Rasyid kembali. Syakir pun terdiam lalu mengangguk.
"Ustad Usman dan ustad Soleh akan mengurus kepindahan mu ke Jakarta"
Syakir pun mengangguk.
"Kapan aku akan ke Jakarta?" tanya Syakir.
" Minggu depan" jawab ustad Rasyid.
Ustad Rasyid pun meninggalkan putranya itu.
Lalu datanglah Fadil menghampiri.
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
Fadil pun berdiri dihadapannya Syakir.
"Hadeeuuuh Syakir, aku cari cari ternyata kau ada disini" ucap Fadil.
"Kenapa?" tanya Syakir.
"Aku sudah cari cari rumah didekat kampus kita biar kita bisa irit bensin" ucap Fadil.
"Dil, kau terlalu percaya diri, memangnya kau sudah tau kalau kita disana diberi fasilitas rumah dan mobil" ucap Syakir. Fadil pun terdiam.
"Abi ku memang akhir akhir ini rada pelit sih, masa iya kita harus ngekos" ucap Fadil sedikit tak percaya. Syakir pun berdiri dan menggandeng Fadil pergi dari tepi perkebunan.
"Nanti kita pikirkan lagi. Sebentar lagi azan, kita ke masjid saja" ajak Syakir.
Mereka pun berjalan menuju masjid. Ditengah jalan mereka mendengar suara orang berlari.
blug blug blug BRUUUGH.
Syakir dan Fadil pun terdiam.
"Suara apa itu Syakir?" tanya Fadil. Syakir sudah mencari cari sumber suara, sementara Fadil sudah mengadah ke atas langit mencari sumber suara.
"Itu suara orang jatuh, bukan suara bintang jatuh" ucap Syakir.
Mereka pun mengedarkan pandangan mencari cari. Dilihatnya ada Syifa (22 tahun) yang terjatuh tersungkur dijalan, badan Syifa sudah mirip mirip dengan Dewi ibunya.
"Awww"
Syifa meringis kesakitan.
"Hadeuuuh ternyata yang jatuh itu anaknya Tante Dewi, kufikir bintang jatuh" gerutu Fadil. Syakir pun berbisik pada Fadil.
"Bukankah dia bintang jatuh dihatimu" bisik Syakir. Fadil langsung mengernyit.
Syakir dan Fadil pun mendekati.
"Kau kenapa Syifa?"
"Kalian tidak lihat, aku ini baru saja jatuh masih nanya" jawab Syifa. Fadil malah cekikikan. Hingga Syakir mencubit lengan sahabatnya itu.
"Bukannya ditolongin malah pada ketawa, kalian Zahara" ucap Syifa sambil bangun dan melanjutkan kembali perjalanannya. Syakir dan Fadil hanya tersenyum menatap kepergian Syifa yang merajuk. Kini mereka pun melanjutkan perjalanan kembali menuju masjid.
Satu Minggu pun berlalu, Juwita sedang asik membaca buku di perpustakaan kampus. Tiba tiba Andin dan Hani datang menghampiri.
"Duuh serius amat bacanya" ucap Andin. Juwita pun tersenyum.
"Kita kelapangan yu, si Jo lagi tanding basket tuh" ucap Hani. Juwita pun mengangguk. Kini mereka pun pergi ke lapangan menyaksikan Joana yang kini sedang bertanding basket.
"Ayo Jo semangat" teriak Hani di pinggir lapangan.
"Joana, Joana" teriak Juwita dan Andin.
Setelah pertandingan selesai, mereka pun pergi ke kantin.
"Biar aku yang pesan, siapa tau dapat geratis" ucap Hani sambil menggibas gibaskan rambutnya, rok mini pun menjadi andalan penampilannya yang super super sexy untuk memikat laki laki kaya.
"Kalau aku bisa menjahit, ingin rasanya aku menjahit rokmu dan kusambung pake gorden" gerutu Joana.
"Kalau aku bisa menjahit, aku pun ingin menjahit mulutmu yang suka nyerocos itu" gerutu Hani membalas.
"Berisik akh kalian" protes Andin.
Juwita hanya tersenyum saja, iya sudah biasa melihat dan mendengar perdebatan mereka. Hani pun pergi memesan makanan.
"Semalem dia pulang mabuk, pas kutanya dia bilang habis dari hotel sama gebetan barunya. Aku hanya kasihan sama hidupnya, ngenes lihatnya" tutur Joana.
" Kita kan sudah pernah bahas masalah ini, kita gak boleh ikut campur dengan hidupnya Hani. Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri" ucap Andin.
"Eh ngomong ngomong, nanti malamkan adalah malam Minggu, ada acara kemana nih kita, masa cuma di kosan aja kan gak seru" ucap Joana.
"Aku sih terserah kalian" jawab Juwita.
"Duuh aku izin dulu ya sama suami, takutnya gak boleh" ucap Andin.
"Makanya jangan mau nikah muda, ribed kan urusannya" sindir Joana.
"Jo"
Juwita memberi isyarat agar Joana tidak membahas masalah pernikahannya Andin. Andin menikah karna dijodohkan, sebenarnya dia tidak mencintai suaminya itu.
"Makanan datang"
Hani membawa beberapa makanan yang dipesan. Mereka un makan bersama di kantin itu.
"Eh ngomong ngomong kosan sebelah, hari ini ada penghuni baru, siapa tau bisa jadi mangsa baru he he" ucap Hani.
"Kosan laki laki?" tanya Juwita.
"Hmmm"
Joana malah tertawa.
"Ha ha ha, nyari mangsa yang tinggalnya di kosan, bukankah kemungkinan duitnya tipis" ucap Joana menyindir.
"Aku kan bukan hanya butuh duit, tapi juga butuh kehangatan" ucap Hani dengan nada menggoda.
" Menjijikan" gerutu Joana.
"Han, hati hati loh dengan pergaulanmu, tidak sedikit perempuan yang terkena penyakit kelamin. Mereka yang sering berganti ganti pasangan, besar kemungkinan terkena penyakit semacam itu" tutur Juwita mengingatkan. Hani malah tertawa.
"Ha ha ha, dengar ya Tata, hidupku itu tak seberuntung dengan hidupmu yang serba wah dengan harta peninggalan orang tuamu yang tidak akan habisnya itu. Aku ini hanya wanita biasa yang bisa mendapatkan uang dengan cara seperti ini" tutur Hani.
"Aku hanya sekedar mengingatkan Han" ucap Juwita. Hani pun langsung memeluk Juwita.
"Terima kasih sahabatku yang cantik kau selalu memperingatkanku akan hal itu, tapi maaf untuk kali ini, aku masih senang dengan kehidupanku yang sekarang" ucap Hani kembali.
"Semoga suatu saat Tuhan merubah hidupmu menjadi lebih baik sebelum terlambat" batin Juwita.
_ _ _ _ _ _ _ _
Sore itu. Syakir sudah berberes pakaiannya, memasukannya kedalam tas besar dibantu uminya, ustadzah Yasmin. Sebenarnya ustadzah Yasmin kurang setuju jika Syakir harus kuliah di Jakarta. Namun apalah daya ustad Rasyid yang meminta. Anum (16 tahun) adiknya Syakir sedang menangis di pojokan pintu.
"Ka Syakir jangan pergi, ka Syakir itu belum lama pulang dari Kairo, eh sekarang malah mau pergi lagi" tutur Anum. Syakir pun tersenyum lalu mendekati Anum dan memeluknya.
"Kau jangan sedih, Jakarta itu dekat, ka Syakir bisa pulang satu Minggu sekali atau dua Minggu sekali" ucap Syakir.
"Benarkah??"
"Hmmm"
Syakir mengangguk ngangguk.
"Kau mau ikut tidak ke rumahnya om Riziq (ustad berondong) sama bibi Aisyah?" tanya Syakir. Anum pun mengangguk. Mereka pun jalan berdua menuju rumahnya Riziq omnya Syakir. Ditengah jalan mereka bertemu dengan Zahira (32 tahun), dia adalah tantenya Syakir.
"Asalamualaikum"
"Waalaikum salam"
"Syakir, kau jadi hari ini ke Jakarta?" tanya Zahira. Syakir pun mengangguk.
"Waaah Tante Ira pasti akan merindukanmu, disana jangan judes judes ya, biar wajahmu tampan tapi sikapmu judes, perempuan akan pada kabur. Tapi nanti Tante akan kehilanganmu" ucap Zahira pura pura sedih. Syakir dan Anum pun langsung mengernyit.
"Tante lebay deh, padahal Tante senengkan kalau ka Syakir pergi, jadi Tante gak ada yang ngeledekin" ucap Anum. Zahira malah tertawa kecil.
"Ha ha ha, ternyata keponakan keponakan durhaka ku ini tau saja isi hatiku he he" ucap Zahira.
"Hadeuuuh Tante Ira Zahara deh" ucap Anum.
"Sstthhh, jangan pada berisik, Tante pergi dulu ya, mau nitip tapi rambut sama ka Dewi. Assalamualaikum" pamit Zahira.
"Waalaikumsalam"
Anum dan Syakir pun menatap kepergian tantenya itu.
"Tante Ira dari jaman dulu hingga sekarang gak pernah berubah, tetap saja menyebalkan. Tapi aku masih penasaran kenapa Tante Ira suka beli tali rambut banyak banget, apa Tante Ira itu suka main salon salonan sama om Yusuf?" tutur Anum.
"Sssttthh"
Mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju rumahnya Riziq. Sesampainya disana.
Tok tok tok.
"Asalamualaikum"
"Waalaikum salam"
Riziq pun membuka pintu. Syakir dan Anum pun mencium om mereka itu.
" Kau belum siap siap Syakir?" tanya Riziq.
"Aku kesini mau pamit sama om, sama bibi Aisyah juga" ucap Syakir.
"Ayo masuk" ajak Riziq.
Mereka pun mengobrol ngobrol di ruang tamu bersama Riziq dan Aisyah.
"Hati hati ya Syakir, di Jakarta itu banyak tantangannya" ucap Riziq. Syakir pun mengangguk.
"Apa ka Usman menyediakan rumah untukmu dan Fadil?" tanya Aisyah.
"Kami akan tinggal di kosan yang dekat dengan kampus, kami juga hanya diberi fasilitas motor saja" ucap Syakir. Aisyah langsung mengernyit.
"Idiiih ka Usman pelitnya kebangetan deh, kalau ngomong uangnya ada di mana mana bahkan dibawah tidur pun berhamburan, giliran anaknya kuliah gak dikasih fasilitas apa apa" gerutu Aisyah.
"Uni tidak boleh bicara begitu, pasti ustad Usman melakukan itu ada maksudnya, mungkin biar Syakir dan Fadil itu mandiri dan tidak tergantung pada fasilitas mewah yang bisa membuat mereka sombong" tutur Riziq.
Sementara dengan Fadil yang menggerutu sambil berjalan, iya sudah menghentak hentakan kakinya.
"Hadeuuuh si Abi pelitnya kebangetan deh, masa aku sama Syakir cuma disuruh tinggal di kosan sih, mana gak dikasih mobil. Pasti jadi bahan bulian mahasiswa lain, apalagi cuma dikasih motor bebek doang, haiiiih" batin Fadil menggerutu.
Tiba tiba BRUGHHH.
"Astaghfirullah alazim"
"Awww"
Fadil dan Syifa bertabrakan.
"Hadeuuuh anaknya Tante Dewi, hobi banget ya jatuh jatuhan. Jatuh cinta baru tau rasa loh" gerutu Fadil. Syifa langsung mengernyit.
"Aku kan gak sengaja ka Fadil, aku gak lihat ada ka Fadil lewat" ucap Syifa sambil menjilati permen lolipop ya.
"Aduuh Syifa, makanya jangan makan mulu, biar badanmu sedikit lebih langsing. Kau memang tidak sebesar ibumu, tapi kau ada bahan untuk berproses seperti Tante Dewi, jadi setiap kau berlari berasa bergetar" tutur Fadil. Syifa langsung mengerucutkan bibirnya dan langsung memberikan permen lolipop ya pada Fadil.
"Pegangin dulu, dengarkan aku ya Fadil bin Usman, mulai sekarang aku akan diet biar langsing, biar tidak mirip ibu. Tapi awas ya jika nanti kau pulang ke pesantren badanku sudah kecil seperti Hawa, kau tidak boleh mengejekku lagi. Satu lagi, awas ya kalau kau jatuh cinta padaku. Asalamualaikum" Syifa pun pergi dengan sedikit menggerutu.
"Waalaikum salam"
Fadil pun menatap kepergian Syifa.
"Kesambet apa itu si Syifa binti Muklis, sepertinya dia sedang mengancamku. Aneh minta dirukiah mungkin" tutur Fadil Sambil menjilat permen bekas Syifa.
"Astaghfirullah, kenapa aku menjilati permen si Syifa, hadeuuuh tiba tiba gagal fokus"
Syifa pun berlari menuju rumahnya. Kebetulan Dewi pun sedang menunggunya.
"IBUUUUUUUUUUUUU"
teriak Syifa. Dewi pun tersenyum.
"Syifa sayang, ibu cari cari dari tadi"
"Ibu aku mau diet" ucap Syifa sambil mengerucutkan bibirnya hingga Dewi mengernyit.
"Haiiiih jangan ngomongin diet, ayo kita makan. Ibu sudah siapin menu sepesial untukmu. Ada bakakak ayam, SOP kentang, telor dadar, telor ceplok, bakwan jagung, tumis jamur, sambal dan ada lalabannya juga, uuuh pasti sangat nikmat, ayo kita makan, ayahmu sudah menunggu" tutur Dewi.
"Ibu aku gak mau makan, aku mau diet biar badanku gak gendut kaya ibu"
Dewi kembali mengernyit.
" Untuk apa diet?" tanya Dewi heran.
"Itu Fadil anaknya ustad Usman meledeku, katanya aku ada bahan berproses seperti ibu yang gemuk. Katanya kalau lari lari berasa bergetar" gerutu Syifa. Dewi langsung mengernyit.
"Si Fadil itu matanya bermasalah, kau itu bukannya gendut, tapi kau itu semok. S Ese M omOK SEMOK" tutur Dewi.
"Pokonya aku mau diet, aku mau langsing kaya Hawa, Anum sama Silmi, aku tidak mau makan nasi, aku mau makan salat saja biar cepat kurus"
"Ya sudah nanti ibu ngiris ngiris daun pandan sama daun singkong untuk kau makan" ucap Dewi
Sore itu, ustad Rasyid serta ustadzah Yasmin sudah menunggu Syakir dimobil untuk mengantarkan Syakir ke Jakarta. Riziq pun ikut mengantar. Sementara mobilnya ustad Usman, sudah ada Fadil, ustad Soleh dan Nisa istrinya ustad Usman.
Silmi dan Anum sudah melambai lambaikan tangannya melepas kepergian kakak kakaknya.
"Hati hati ka Fadil" ucap Silmi.
"Mimi sayang jangan lupa sering hubungi kakak ya" pinta Fadil.
" Jangan panggil aku Mimi ka, tapi panggil aku Sisil"
"Hadeuuuh"
Anum pun sudah melambai lambaikan tangannya pada Syakir. Mereka bersedih seolah kakak kakaknya itu akan berpisah lama dengannya, padahal Syakir dan Fadil berencana pulang satu Minggu sekali.
Setelah kepergian dua mobil itu menghilang, Kedua perempuan itu langsung berjingkrak jingkrak.
"Horeee horeeee"
Anum dan Silmi pun merasa senang dengan kepergian kakaknya, karna mereka merasa tak punya saingan untuk bermanja manja pada orang tua mereka.
Saat mau keluar gerbang, dilihatnya Adam dan Hawa (17 tahun) sodara kembar, sekaligus sepupu dari Syakir dan Fadil melambai lambaikan tangannya.
"Hati hati ka Syakir ka Fadil"
Syakir pun tersenyum sambil melambaikan tangannya.
"Waah ka Adam, sekarang kau tidak punya saingan untuk bilang kalau kau tampan, ka Syakir sudah pergi" ucap Hawa.
"Pada kenyataannya ka Adam cuma manis doang Hawa" ucap Adam pasrah.
"Sabar ya ka, yang penting kau tidak dikerumuni semut"
Sesampainya Mereka di Jakarta. Gedung gedung bertingkat pun sudah terlewati.
"Masih jauh hotelnya?" tanya Nisa. Semua nampak mengernyit.
"Kenapa kau tiba tiba menanyakan hotel?" tanya ustad Usman.
"Memangnya mas Usman mau menyuruh anak kita tinggal dimana?" tanya balik Nisa.
"Di kosan"
Nisa sedikit menganga.
"Mas, ko anak anak di suruh tinggal di kosan sih, kenapa gak disewain rumah saja"
"Biar mereka itu mandiri, mereka kesini itu mau belajar bukan mau liburan" jawab ustad Usman. Nisa pun terdiam pasrah.
Sesampainya di kosan, mobil pun masuk pefkarangan. Plang di depan sudah tertulis kosan putra. Satu persatu mereka turun dari mobil. Kosannya hanya sederhana, tidak beda dengan asrama di pesantren. Masjid pun sangat dekat dengan kosan itu, tinggal berjalan 5 menit juga sampai, lalu menyebrang jalan.
Ustad Soleh pun sudah menemui pemilik kosan dan membayar untuk beberapa bulan kedepan.
"Sudah beres ayo kita masuk, kebetulan kamarnya tinggal satu, kalian bisa satu kamar berdua" ucap ustad Soleh.
"Untung aku biasa tinggal di asrama, jadi sudah biasa tidur beramai ramai dan gak akan dikira buah buahan ( jeruk makan jeruk)" ucap Fadil.
Mereka pun masuk ke kamar itu. Dilihatnya tempat tidurnya ada 2 meskipun sedikit kecil
"Waaah keren tempat tidurnya mungil dan lucu, bisa bisa tiap malam aku jatuh kebawah nih gara gara sering berguling guling gak sadar" ucap Fadil.
Ustadzah Yasmin dan Nisa pun membantu membereskan pakaian Fadil dan Syakir dan dimasukannya kedalam lemari.
Setelah mengobrol ngobrol, mereka pun pamit untuk kembali ke pesantren.
Ustadzah Yasmin sudah memeluk putranya, begitupun dengan Nisa yang kini memeluk Fadil.
"Umi pasti akan merindukanmu" ucap Nisa sambil menangis.
"Nis kau tidak usah lebay, Fadil pasti setiap libur pulang ke pesantren" gerutu ustad Usman.
"Syakir, Fadil om pulang dulu ya, belajar yang bener di sini. Jangan berbuat yang aneh aneh" pinta Riziq. Syakir dan Fadil pun mengangguk. Ustad Usman pun sudah memeluk putranya.
"Jadilah laki laki Sholeh yang membanggakan orang tuamu ini" ucap ustad Usman.
Ustad Rasyid pun sudah memeluk Syakir.
"Baik baik ya disini, klau ada apa apa hubungi kami" ucap ustad Rasyid. Syakir pun mengangguk.
"Ayo kita pulang. Oh iya Syakir, Fadil, hati hati ya, ini Jakarta berbeda dengan lingkungan pesantren. Kondisikan mata kalian, kulihat disebelah itu adalah kosan putri. Jadi hati hati. Dan kalau ada apa apa kalian bisa hubungi pak Akbar ayahnya Anisa. Kebetulan kantornya bertugas tidak jauh dari sini" ustad Soleh mengingatkan. Syakir dan Fadil pun mengangguk.
"Kita pamit, asalamualaikum"
"Waalaikum salam, hati hati"
Syakir dan Fadil pun menatap kepergian keluarga mereka.
Sore pun tiba. Setelah beristirahat karna kelelahan dalam perjalanan, mereka pun hendak keluar asrama, ingin berkeliling daerah itu, sekalian ingin mencari masjid untuk shalat ashar. Motor bebek pun akan dikirim besok untuk pergi ke kampus.
Syakir sudah menggunakan sarung, baju Koko berlengan pendek, kopeah serta sorbannya yang selalu ada di pundaknya.
"Fadil ayo buruan, sudah terdengar suara azan" ucap Syakir.
"Bentar"
Mereka berdua pun berjalan bersama menuju mesjid, 5 menit pun sudah sampai, namun mereka harus menyebrang jalan, karna masjid ada di sebrang. Jalanan pun nampak ramai berlalu lalang kendaraan. Mengerjakan shalat ashar disana. Setelah selesai mereka pun keluar masjid. Baru saja menyebrang jalan, dilihatnya sorban Syakir tidak ada di pundaknya.
"Astaghfirullah, sepertinya sorbanku terjatuh di masjid. Dil, kau pulang saja duluan, aku mau kembali ke masjid" ucap Syakir.
"Tapi aku takut tersesat pulang sendirian" ucap Fadil hingga Syakir mengernyit.
"Bercanda Syakir, wajahmu tidak usah berekspresi seperti itu, berkeliling Kairo saja aku tidak tersesat, mana mungkin aku tersesat antara kosan sama masjid yang jaraknya cuma memakan waktu 5 menit" tutur Fadil. Syakir pun menyebrang kembali untuk mencari sorbannya, dilihatnya sorban itu terjatuh di karpet masjid.
Syakir kembali menyebrang untuk kembali ke kosan. Iya berjalan santai sambil melihat lihat sekeliling lingkungan yang nampak asing baginya. Saat hampir sampai di depan gerbang kosan, tiba tiba.
BRUUUGH.
Syakir bertabrakan dengan seorang wanita yang tidak lain adalah Juwita. Mereka sama sama terjatuh dan terduduk dijalan.
"Astaghfirullah maaf" ucap Syakir.
Juwita pun mengaduh. Syakir pun membantunya bangun tanpa harus bersentuhan kulit, rambut Juwita pun sedikit berurai.
"Maaf, aku tidak sengaja menabrak mu" ucap Syakir. Juwita pun membenarkan rambutnya lalu menatap Syakir, entah kenapa ada sesuatu yang berbeda dengan wajahnya Syakir.
"Cahaya itu..."
Juwita terus menatap laki laki yang ada dihadapannya itu hingga Syakir sedikit tak suka.
"Ehem, tundukan pandanganmu. Kurang baik jika kau menatap laki laki dengan tatapan seperti itu" ucap Syakir. Juwita pun tersenyum lalu sedikit menundukan wajahnya.
"Maaf" ucap Juwita.
Syakir melihat ada goresan luka dilututnya Juwita akibat terjatuh tadi. Kebetulan Juwita menggunakan dress selutut.
"Lututmu terluka, lain kali pakailah pakaian yang menutupi auratmu" ucap Syakir. Juwita hanya mengangguk.
"Sekali lagi aku minta maaf telah menabrak mu. Asalamualaikum" Syakir pun pamit, namun Juwita hanya diam saja sambil menatap Syakir, hingga Syakir sedikit memicingkan matanya karna Juwita tidak menjawab salamnya.
"Asalamualaikum"
Syakir mengulang kembali salamnya. Juwita tersenyum dan kembali mengangguk. Syakir langsung mengernyitkan keningnya, merasa aneh karna lagi lagi Juwita tidak menjawab salamnya. Juwita pun mengerti akan tatapannya Syakir.
"Aku non muslim" ucap Juwita. Barulah disitu Syakir terdiam dan mengerti kenapa Juwita tidak menjawab salamnya, Juwita hanya menjawab dengan senyuman. Syakir pun melangkah mundur untuk pergi, iya tidak mau berlama lama berdua dengan seorang perempuan yang bukan mahramnya. Baru saja beberapa langkah, Juwita pun berteriak.
"Siapa namamu?"
Syakir pun menengokan wajahnya.
"SYAKIR"
Juwita pun tersenyum.
"Syakir"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!