NovelToon NovelToon

Yang Terluka

Luka Ini, Masih Terasa

Masih sakit rasanya dikhianati, seperti luka yang meninggalkan bekas. Ketika sebuah pengorbanan dibalas pengkhianatan, jatuh cinta dibalas dengan kecewa itulah menyebabkan rasa trauma.

"Gak usah ngelamun aja, kesambet loh." Suara si cenayang. Manusia yang entah datang dari mana dan dengan mudahnya sang Papa menerima dengan tangan terbuka.

"Berisik, lah. Bisa gak sih tiap hari gak bikin kesal," ucap Echa dengan wajah yang sudah tidak bersahabat.

"Gak bisa, karena tujuan aku datang ke sini untuk membuat kamu kesal." Radit pun terkekeh melihat wajah Echa yang semakin murka kepadanya.

Mungkin, Radit adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk Echa. Membantu Echa menyembuhkan luka di hatinya dan perlahan melupakan sebuah pengkhianatan yang membuat semua orang yang menyayangi Echa khawatir dengan keadaannya.

Hari-hari berlalu, Radit selalu menemani Echa dan juga sudah akrab dengan Mima dan Sasa. Mereka juga tahu, Radit adalah putra dari seorang dokter ternama tapi, mereka tidak tahu jika Radit adalah psikolog muda.

Radit tidak ingin Echa tau jika dia bersama Echa hanya ingin menyembuhkan psikis Echa. Karena sebenarnya dia memiliki rasa kepada Echa, gadis judes yang mampu membuatnya tersenyum ketika dia berada di samping Echa.

Radit adalah teman sekaligus guru untuk Echa. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama jika Radit maupun Echa sedang ada waktu luang. Gio dan Ayanda pun, tidak pernah melarang mereka. Karena kehadiran Radit mampu membuat Echa yang mereka sayangi kembali lagi.

"Ke cafe, yuk," ajak Radit.

"Gak bakal boleh sama Mama dan Papa. Liat, udah jam berapa ini," oceh Echa yang masih fokus menonton drama Korea di ponselnya.

"Masih sore, baru jam 8."

Echa men-pause film yang sedang dia putar. Dia menatap Radit dengan tatapan tajam. "Baca peraturan di depan sana." Mata Radit pun membesar, ada tulisan besar yang tertulis di sana.

ANAK GADIS TIDAK BOLEH KELUAR MALAM, KECUALI BERSAMA KELUARGA.

"Set dah, aturannya kejam amat," cela Radit.

"Mau ikutin, gak mau pulang Sonoh," imbuh Echa.

"Ck." Radit pun beranjak dari duduknya, dia pamit pulang kepada kedua orangtua Echa yang sedang asyik bermain bersama si kembar.

"Cepet amat," kata Ayanda.

"Anak Tantenya sibuk nonton cowok-cowok cantik," adunya pada Ayanda.

Gio pun tertawa mendengar ucapan Radit. Dia dan Radit sepemikiran, jika aktor Korea itu cantik bukannya ganteng.

"Hati-hati, jangan ngebut bawa motornya. Salam buat Papih kamu," ujar Gio.

"Siap, Om."

Setelah Radit pergi, Echa menghampiri Mamah dan Papanya serta kedua adiknya. Echa masih lah manja kepada sang Papa. Dia memeluk tubuh Papanya dari samping.

"Kamu mah kebiasaan, kalo Radit ke sini dicuekin," ucap Ayanda.

"Lagian ngapain ke sini hampir tiap hari. Gak ada kerjaan," ocehnya.

"Kak, hubungan kamu sama Radit kayak gimana?" tanya Gio.

"Tom n Jerry."

Gio dan Ayanda tertawa, putrinya memang unik. Mereka pun berbincang-bincang hangat. Dan Echa pun bermain bersama si Abang dan juga si Adek. Dua adik kembarnya sangat dekat dengan Echa, dan selalu tertawa bahagia jika diajak main oleh Echa.

Lain di luar lain di dalam, begitulah Echa. Jika sedang sendiri, rasa sakitnya mulai datang lagi.

"Ternyata, rasa sakit ini masih ada," gumamnya.

# Flashback on.

Sore itu, awan gelap segelap hatinya. Hatinya baru saja hancur berkeping-keping ketika mengetahui yang sebenarnya. Riza akan bertunangan dengan seorang gadis yang tak lain adalah siswi dari sekolahnya.

Alasan yang Riza katakan hanya membuat Echa kecewa sangat dalam. Harus bertanggung jawab itulah alasannya, dan dengan gampangnya Riza mengiyakan tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan Echa. Riza seperti tidak menganggap Echa dan sebelum kata putus terucap, Riza telah 'bermain' di belakang Echa.

Ketika Echa bertanya, Riza seakan menyudutkan Papa dan Ayahnya. Membuat Echa semakin terluka. Riza melimpahkan segala kesalahannya kepada Echa.

Kecewa ... sudah pasti, sakit ... tidak bisa dipungkiri. Echa hanya bersikap tegar agar tidak terlihat rapih di depan lelaki yang telah menyakitinya.

Sebelum Echa keluar dari area sekolah, tangannya dicekal oleh Riza. Riza berlutut di hadapan Echa dengan berlinang air mata. Hanya kata maaf yang terlontar dari mulut Riza.

"Mulutku masih bisa memaafkan mu, tapi hatiku masih sangat sakit dan terluka atas semua yang kamu lakukan terhadap ku," ucap Echa dengan suara yang bergetar.

"Aku sangat mencintaimu, El. Sangat mencintaimu," lirih Riza.

"Cinta datang dari hati bukan dari sebuah ucapan. Ucapan mu sekarang ini bisa saja hanya sebuah bualan." Echa menarik napas sangat dalam sebelum melanjutkan ucapannya.

"Aku akan pergi dari hidupmu, begitupun kamu. Kamu harus pergi dari hidupku. Terimakasih telah memberikan ku pengalaman yang menyakitkan. Merasakan berkorban tapi tetap saja dikhianati," kata Echa.

Echa mengibaskan tangannya agar tangan Riza yang sedang memegang tangannya terlepas. Dia pun berlari keluar dari area sekolah.

# Flashback off.

Echa memegang dadanya yang terasa sesak dan dia duduk di tepian tempat tidur dengan kepala yang tertunduk. Tanpa dia sadari, ada yang membuka pintu kamarnya.

Melihat Echa seperti ini, membuat dia belum berhasil menyembuhkan luka di hati Echa. Walaupun dia tahu, memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk menyembuhkannya.

"Aku tidak memaksa kamu untuk sembuh dengan cepat, tapi setidaknya lihatlah orang-orang yang menyayangimu. Mereka tidak ingin melihatmu terpuruk seperti ini."

Echa menoleh ke asal suara, air matanya sudah berjatuhan. Hanya tatapan tajam dari orang itu.

"Dia saja sudah bahagia dengan Rere, kenapa kamu masih menangisi dia. Bodoh kamu, Cha. Bodoh!" sentak Radit.

Tangis Echa pun pecah, Gio dan Ayanda yang berada di lantai bawah pun panik. Namun, langkah mereka terhenti ketika Radit memeluk Echa dengan penuh kasih sayang.

"Aku tidak ingin melihat air matamu lagi, Cha. Air matamu terlalu berharga untuk menangisi orang seperti dia."

Mendengar ucapan Radit membuat Ayanda teringat akan perkataan Giondra dulu. Ketika Ayanda disakiti oleh Rion dan Giondra lah yang selalu ada untuknya. Hingga kini, Giondra menjadi suaminya dan juga ayah dari anak-anaknya.

Ayanda dan Gio memilih untuk pergi membiarkan Radit yang menangani Echa. Hanya kepada Radit, Echa mau menumpahkan segala kesakitan dan kepedihannya.

"Hati aku masih sakit, Kak. Aku nyesel, kenapa harus jatuh cinta sama dia. Aku nyesel," lirihnya.

"Penyesalan pasti selalu datang belakangan. Sekarang, tenangkan hati kamu. Jangan biarkan tubuh kamu down. Lihatlah para orangtua kamu, mereka sangat menyayangi kamu. Dan mereka tidak ingin terjadi apa-apa dengan putrinya yang bodoh ini."

Echa melepaskan pelukan Radit. "Apa kamu bilang? Aku bodoh, iya?" teriak Echa.

"Lah, emang kamu bodoh. Kalo kamu pinter gak bakal nangisin cowok gobl*k itu," balas Radit.

Echa memukul Radit dengan bantal, bukannya kesakitan Radit malah tertawa terbahak-bahak.

"Kamu yang bodoh Radit, kamu!" teriak Echa yang terus memukul Radit membabi buta.

Gio dan Ayanda hanya saling tatap di lantai bawah. Mereka tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Begitulah cara Radit untuk menghentikan kesedihan putri kita," ucap Gio.

"Ya, mereka mengingatkan Mommy kepada perjuangan mu, Daddy," sahut Ayanda.

Gio hanya tersenyum dan memeluk tubuh istrinya. Berbeda dengan suasana di lantai atas yang sudah seperti kapal pecah akibat ulah Echa dan juga Radit.

Setelah meluapkan kekesalannya kepada Radit, Echa pun terlelap di sofa. Radit tersenyum melihat Echa seperti ini.

"Aku akan menghapus segala lukamu, dan menggantikannya dengan kebahagiaan."

***Kenapa Radit balik lagi? 🤔

***

Jangan lupa tekan ❤️ like, komen dan juga vote biar aku semangat dan bisa up tiap hari..

Si Cenayang

"Bagaimana, Dit?" tanya Gio ketika Radit yang baru saja turun dari kamar Echa.

"Traumanya sangat berbekas, Om. Jadi, harus sabar dan harus terus buat Echa bahagia. Melupakan apa yang pernah menyakitinya," jelas Radit.

"Untung kamu balik lagi," imbuh Ayanda.

"Radit lupa, tadi Echa pesen cokelat makanya balik lagi. Eh, malah begitu anaknya." Radit hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Om, Tante apa Radit boleh tanya sesuatu?" tanya Radit ragu.

"Tanyalah," ujar Gio.

"Maaf sebelumnya, apakah Echa baik-baik saja ketika Tante berpisah dengan ayahnya Echa?"

Pertanyaan Radit membuat Ayanda terdiam, dia masih ingat apa yang dikatakan Echa. "Echa baik-baik saja, Mah."

"Apa yang dikatakan dia baik-baik saja itu sebaliknya?" tanya Ayanda.

Radit tersenyum. "Bisa seperti itu, Tante. Perpisahan Tante membuat dia takut untuk menjalin suatu hubungan. Dia takut gagal sama halnya dengan kedua orangtuanya, dan ketika dia merasakan pengkhianatan malah menimbulkan trauma yang cukup dalam."

Gio mengusap lembut bahu istrinya, dia yakin Ayanda pasti akan menyalahkan dirinya.

"Sekarang, buatlah dia bahagia. Jangan pernah bertanya atau mengungkit tentang hubungannya dulu. Sebelum dia berterus terang kepada Om dan Tante. Ketika dia sudah siap bercerita kepada Tante, berarti sedikit traumanya sudah hilang."

"Makasih Radit, tetap temani putri, Om. Dan sembuhkan lah lukanya," ujar Gio.

"Sebisa mungkin Radit akan menyembuhkan luka Echa." Gio hanya tersenyum, ucapan Radit memiliki makna yang berbeda.

Keesokan paginya.

"Ah, si*l. Kenapa harus keinget dia lagi? Mata galua bengkak, kan," umpat Echa kesal kepada dirinya sendiri.

Senyum secerah pagi ini Echa tunjukkan kepada kedua orangtuanya. Ayanda dan Gio menatapnya lekat. Echa salah tingkah sendiri.

"Matamu kenapa, Kak?" tanya Ayanda.

"Semalam nangis, Mah. Nonton drama Korea," jawabnya sambil terkekeh.

Ayanda pun tidak menanyakan terlalu dalam. Dia tahu apa yang terjadi sebenarnya. Dengan Echa masih menutupi semuanya, berarti rasa sakit di hati Echa masih ada.

Sebelum Echa masuk ke area sekolah dia menarik napas panjang terlebih dahulu. Kabar tentang dirinya pasti masih akan terdengar dengan sangat nyaring. Ternyata benar, derap langkah kakinya menimbulkan bisik-bisik dari siswa-siswa yang lain.

Echa menghela napas kasar ketika sudah duduk di bangkunya. "Berasa jalan di api neraka."

"Masih pada berisik mereka?" Echa hanya menjawab dengan anggukan pertanyaan dari Sasa.

"Sabar ya, Chut."

Echa mengeluarkan cokelat di dalam tasnya. Echa tersenyum ketika melihat cokelat yang tidak biasa dia makan.

"Biar kamu nyoba rasa baru."

Ucapan itulah yang membuat Echa beralih dari ratu perak ke cokelat yang berplastik ungu. Dan ternyata rasanya lebih enak.

Dua merk cokelat itu mengibaratkan Riza dan juga Radit. Riza si ratu perak dan Radit adalah cokelat berplastik ungu.

Dulu, Echa menyukai Riza dan sekarang apakah Echa menyukai Radit?

Jam istirahat sudah tiba, Echa, Sasa dan Mima menuju kantin sekolah. Sudah pasti keadaan sangat ramai.

"Mau makan apa?" tanya Sasa.

"Gua lagi pengen siomay," jawab Echa.

"Samain deh, mumpung ada bangku kosong noh," ucap Mima sambil menunjuk salah satu meja yang belum berpenghuni.

Sasa memesankan siomay sedangkan Echa dan Mima duduk di tempat yang kosong. Ternyata Tere dan Riza yang baru saja datang, duduk satu meja dengan Echa.

Mima meyenggol-nyenggol tangan Echa namun, Echa masih fokus ke layar ponselnya.

"Chut." Echa melihat ke arah Mima yang memberi kode lewat lirikan matanya.

Mata Echa bertemu dengan mata Riza yang sedari tadi menatap Echa dari arah sampingnya. Sorot mata Echa masih menyiratkan kesedihan. Dan Echa langsung memutus tatapan mereka.

"Mau pindah?" Echa menggeleng.

Echa menyantap siomay itu dengan sangat tidak nikmat. Terlebih mata Riza yang tidak lepas menatapnya dengan lekat.

"Neng Echa," panggil Pak Muh satpam gerbang sekolah.

"Iya, Pak." Satu meja yang duduk bersama Echa menatap ke arah Pak Muh.

"Ada titipan." Pak Muh memberikan beberapa batang cokelat berbungkus ungu.

"Dari si cenayang katanya," ucap Pak Muh lagi.

Semua orang tertawa mendengar ucapan Pak Muh, hanya Riza yang berwajah datar dan dingin.

"Makasih, Pak."

Setelah Pak Muh pergi, ponsel Echa berdering. Bibirnya tersungging dengan sempurna.

"Makasih."

"Sebagai permintaan maaf aku, hari ini aku gak bisa antar kau dan juga jemput kamu."

"Gak apa-apa, nanti sopir yang jemput aku, kok."

"Aku tahu mood kau sedang buruk. Semoga cokelat itu bisa merubah mood kamu."

"Dasar cenayang."

"Ya udah aku tutup, ya. Bye."

"Bye."

Bibir Echa masih tersenyum meskipun ponselnya sudah masuk ke dalam sakunya. Riza menatapnya dengan penuh luka, begitu juga Tere. Tere sangat tahu siapa cenayang itu.

"Mantab deh, sweet banget," goda Sasa.

"Enak lagi dong makannya," ledek Mima.

"Iya dong, menggugah selera," jawab Echa dengan tertawa diikuti oleh Mima dan Sasa.

Sengaja Echa mengatakan itu, tidak dipungkiri hatinya masih sakit. Dan kehadiran Radit mampu menyembuhkan sedikit demi sedikit lukanya.

Echa beranjak dari duduknya, begitu pun Riza. Di lorong sepi, Riza menarik tangan Echa hingga langkah Echa terhenti.

"Kamu pacaran sama dia?" Pertanyaan yang sangat mengintimidasi.

"Urusan sama lu apa?" tanya balik Echa penuh dengan penekanan.

"Aku gak suka," tegas Riza.

"Siapa lu? Ngaca dong ngaca!" sentak Echa.

Tangan Riza mulai melepaskan Echa. Menatap manik Echa dengan rasa bersalah yang teramat dalam.

"Maafkan aku, El."

"Nasi sudah jadi bubur. Yang hancur tidak akan pernah kembali lagi seperti semula," jelas Echa dan berlalu meninggalkan Riza.

Hati yang sudah terluka mungkin akan lama sembuhnya. Echa mencoba untuk menyembuhkan lukanya namun, Riza selalu datang menghampirinya.

Echa duduk di kursinya, menyandarkan tubuhnya lalu memejamkan mata. Berharap hatinya akan kuat menghadapi ini semua.

Ting! Menandakan ada sebuah pesan masuk ke ponsel Echa.

"Kalo dia ganggu kamu, bilang ke aku. Biar aku santet online."

"Ide bagus 😀"

"Jangan sedih, ingat banyak orang yang sayang sama kamu termasuk aku."

Echa mengerutkan dahinya ketika membaca kalimat akhir pesan yang dikirim Radit.

"Tapi bohong😝"

Echa pun tertawa melihat emoticon di belakangnya.

Aku bersyukur, kamu selalu ada untuk aku. Menguatkan aku dalam kondisi sakitku.

Radit menatap layar ponselnya dan mengutuk dirinya sendiri karena sudah keceplosan akan perasaannya sendiri kepada Echa.

"Bodoh, bodoh bodoh," gumamnya.

"Sejak kapan lu jadi orang pinter?" ejek Rifal pada Radit.

Rifal adalah kakak kedua Radit, dan dia lebih memilih menjalankan perusahaan ayahnya. Berbeda dengan Radit yang memilih menjadi psikolog, pekerjaan yang hampir sama dengan ayahnya. Tugasnya membantu menyembuhkan seseorang.

"Ngapain lu ke sini?" tanya Rifal.

"Bantu gua dong, Kak. Bilang ke Papih jangan kirim gua ke London," rengek Radit.

"Bukannya itu cita-cita lu, ya," sahut Rifal.

"Dulu, sekarang udah beda haluan gua, Kak."

"Apa karena cewek pasien lu itu?"

Mata Radit melebar dengan sempurna. "Tahu dari mana lu?"

****

Jempol dan komen dong biar semangat akunya,

Happy reading ...

Ketulusan

"Tahu dari mana lu?" Rifal hanya berdecak kesal.

"Kapan pintarnya sih itu otak? Ponsel lu pemberian dari gua, kan. Jadi, gua hubungin GPS lu ke ponsel gua."

"Anjim ... kakak durjana lu ya," sarkas Radit.

"Lah, durjana dari mananya coba. Gua mah Kakak yang baik. Buktinya selalu mantau keberadaan lu," imbuh Rifal.

"Bukan mantau, tapi KEPO."

Deheman seseorang bersuara berat membuat Rifal dan Radit terdiam. Tanpa berbicara pria itu bergabung dengan Rifal dan juga Radit.

Radit yang ditatap tajam oleh sang Abang, hanya menundukkan kepalanya. "Ngapain si es balok datang, sih?" gerutunya dalam hati.

"Kenapa sekarang kalian diam?" tanya Rendra kakak pertama Radit.

"I-itu Bang, si Radit noh mau ngomong sama Abang," sahut Rifal. Mata Radit pun melebar dengan sangat sempurna.

Mata Rendra menatap ke arah Radit. Meminta penjelasan tentang perkataan Rifal, adiknya yang sangat usil.

"Ada apa?"

"Ng-nggak ada apa-apa, Bang. Si Kakak mah bohong," jawab Radit yang tidak berani menatap Rendra.

"Udah, ah. Aku permisi, dulu." Radit pun meninggalkan Rifal dan juga Rindra. Meskipun mereka satu kandung. Namun, sifat mereka jauh berbeda.

Rindra adalah pria es balok, Rifal pria slengean, dan Radit pria yang lurus-lurus aja. Dan paling mudah diajak berkomunikasi oleh sang Papih.

Radit melajukan motornya menuju sekolah Echa. Sebelumnya, dia sudah menghubungi Ayanda, Gio maupun Rion. Dan para orangtua Echa membolehkan Radit untuk menjemput putri mereka.

Radit masih anteng duduk di atas motornya sambil fokus ke layar ponselnya. Suara seseorang sangat mengganggunya. Dengan tatapan kesal, Radit melihat ke arah Tere.

"Anterin aku pulang, Kak," rengeknya. Radit hanya berdecak kesal.

"Pacarmu kan ada," sahutnya sedingin mungkin.

"Dia ada ekskul musik." Mendengar ucapan Tere, Radit bergegas turun dari motornya.

"Pak Muh, nitip ya," teriak Radit. Pak Muh hanya mengacungkan jempolnya.

Radit tidak terlalu susah mencari ruangan musik, dulu dia juga bersekolah di sini. Jadi, sudah hafal ruangannya.

Langkah Radit terhenti ketika seorang guru sedang menjelaskan kepada beberapa murid di depannya. Ada Echa, Riza dan dua siswa yang lainnya. Radit bersandar di daun pintu memperhatikan arahan guru itu dan menatap gadis bodoh yang dia sukai.

"Radit? Ngapain di sini?" tanya Pak Frans guru musik dan juga kesenian.

"Mau jemput siswi cantik itu, Pak," ucapnya sambil menaik-naikan kedua alisnya. Echa benar-benar jengah melihat sifat Radit.

"Beruntung ya, lepas dari Riza dapat Radit," goda Pak Frans. Radit pun hanya tersenyum, berbeda dengan Echa. Apalagi Riza, wajahnya terlihat sangat kusut.

"Lanjutkan latihan kalian." Pak Frans pergi meninggalkan Radit dan juga empat siswa di ruangan kesenian.

Radit menghampiri Echa yang sedang merengut kesal. "Jelek, ih." Radit mencubit pipi Echa.

Di mata Riza, perlakuan Radit kepada Echa seperti sepasang kekasih. Hatinya benar-benar sakit. Namun, kesakitannya ini adalah buah dari pengkhianatannya.

Doni menepuk pundak Riza yang sedang menatap Echa dan juga Radit. "Makanya jangan pernah lakukan hal yang bodoh. Lu akan ngerasa kehilangan ketika dia benar-benar pergi dari lu. Dan mendapat pendamping lebih sempurna dari lu."

Perkataan Doni tembus sampai ke ulu hati Riza. Sakit teramat sakit, jika ada kesempatan kedua Riza ingin berlutut dan meminta kesempatan itu kepada Echa.

"Aku tunggu di luar, ya. Aku gak mau ganggu kamu latihan," ujar Radit yang memilih mengalah karena Echa masih merajuk.

Radit hanya menghela napas ketika melihat mimik muka Riza. "Apa salah, gua hadir diantara mereka?" gumamnya yang terus memandang Echa dan juga Riza yang sedang berembuk.

Radit menyandarkan tubuhnya di dinding. Dia memikirkan ucapan papihnya yang akan mengirimnya ke London. Untuk melanjutkan kuliahnya di sana. Sedangkan, hatinya berat untuk meninggalkan Echa di sini. Dia takut, jika Echa kembali lagi kepada Riza. Tak bisa dipungkiri, hatinya sudah terisi penuh oleh Echa.

Pak Frans menepuk pundak Radit, membawa Radit ke dalam ruangan. "Dia suaranya bagus banget loh," ujar Pak Frans pada murid yang berada di sana.

"Tunjukkan kemahiran mu, Dit," titah Pak Frans.

Radit mengambil gitar yang ada di sana, duduk sambil memangku gitar lalu memetiknya. Terdengar alunan suara yang indah.

🎶

Ketika ku mendengar bahwa

Kini kau tak lagi dengannya

Dalam benakku timbul tanya

Masihkah ada dia?

Di hatimu bertahta

Atau ini saat bagiku

Untuk singgah di hatimu

Namun,

Siapkan kau tuk jatuh cinta lagi

Meski bibir ini tak berkata

Bukan berarti ku tak merasa

Ada yang berbeda diantara kita

Dan tak mungkin ku melewatkanmu

Hanya karna, dirimu tak mampu bicara

Bahwa aku inginkan kau ada di hidupku

Tatapan mata Radit tak berpaling dari Echa begitu pun Echa. Tatapan mata yang menyiratkan akan kekaguman satu sama lain. Para murid yang mendengar Radit bernyanyi pun bertepuk tangan.

Setelah latihan selesai, Radit mengajak Echa pulang. "Udah dong, jangan marah lagi."

Tidak ada jawaban dari Echa, dia tetap mengikuti langkah Radit. Karena Papa, Ayah dan juga mamahnya sudah menghubungi Echa sedari tadi jika Radit akan menjemputnya pulang.

Radit memasangkan helm di kepala Echa. Meskipun Echa masih diam Radit masih bersikap manis kepada Echa. Tapi, tidak akan mengubah rajukan si gadis ini.

Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang tercipta dan Echa pun duduk berjauhan dengan Radit. Radit pun meminggirkan motornya membuat Echa mengeluarkan suara. "Kenapa?"

Radit membuka helmnya, menatap manik Echa lekat. "Aku tuh bukan ojek, Cha. Kalo kamu kayak gini terus mending kamu turun deh, pulang sendiri."

Echa melepaskan helmnya dan memberikannya dengan kasar kepada Radit. Radit hanya tersenyum melihat kepergian Echa. Bukannya mengejar, Radit malah santai makan bakso dipinggir jalan. Tempat Radit meminggirkan motornya dekat dengan tukang bakso bertenda biru.

"Ih ... Kamu mah jahat, bukannya dikejar malah enak-enakan makan." Echa mengambil mangkok yang Radit pegang. Radit hanya tersenyum tipis, Echa tidak akan bisa pulang tanpa Radit. Karena sang mamah akan memberondong Echa dengan beribu-ribu pertanyaan.

"Udah ngambeknya?" goda Radit.

Echa tetap diam, Radit memakaikan helm ke kepala Echa dan mengambil mangkok yang dipegang Echa. Mengembalikannya ke pedagang bakso dengan membayar dengan pecahan lima puluhan ribuan.

Ketika si bapak penjual bakso memberikan kembaliannya Radit hanya bilang, "buat bapak aja."

Ada kebanggaan tersendiri melihat sikap Radit ini. Lelaki yang penyabar, ngeselin, dan juga baik hati. Tanpa Echa sadari, tangannya memeluk pinggang Radit dan wajahnya Echa sandarkan di punggung Radit. Radit pun tersenyum sangat bahagia. Begitu romantisnya naik motor berdua bersama Echa.

Tibanya di rumah, Echa langsung ke kamarnya untuk berganti pakaian. Radit menyapa Ayanda dan juga bermain dengan si kembar.

"Makasih, Dit," ucap Ayanda yang membawa segelas jus untuk Radit.

Radit hanya tersenyum ke arah Ayanda. Ayanda seperti ibunya lembut dan juga penuh kasih sayang.

"Tante, Radit ke kamar Echa dulu, ya. Mau pamit pulang."

Pintu kamar terbuka dan Echa sudah berganti pakaian. "Ditungguin di bawah juga," ujar Radit.

Echa membalikkan tubuhnya, menatap Radit dengan tatapan tak terbaca. Radit menghampiri Echa, jarak mereka hanya satu jengkal.

"Aku pulang, ya." Tidak ada jawaban dari Echa, Echa malah mendekat dan memeluk tubuh Radit.

Jantung Radit berdegup dengan cepat, apalagi Echa membenamkan wajahnya di dada bidang Radit.

Tangan Echa semakin erat memeluk tubuh Radit dan akhirnya tangan Radit pun membalas pelukan Echa.

Setelah pelukan Echa Mulai longgar, Radit menatap manik mata Echa. "Jika kamu sudah siap untuk jatuh cinta lagi, bilang ke aku, ya."

Tanpa Radit sadari, Radit mencium kening Echa sangat dalam. Hingga Echa pun memejamkan matanya, merasakan ketulusan yang Radit berikan untuknya.

****

Happy reading ....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!