Ingin kembali ke masa lalu
Masa kecil penuh keceriaan
Di sana ada Abah yang selalu melindungiku
Tak pernah membiarkan orang lain menyakitiku
Meski aku nakal dan kadang tak menuruti perkataanya
Dia tetap memberiku kasih sayangnya
Ingin mengulang masa kecilku
Di sana ada Abah tempat bermanjaku
Abah tempatku mencurahkan kasih dan rinduku
Abah tempatku menemukan senyuman tulus
Abah tempatnya cinta yang murni dan hati yang ikhlas
Ingin kembali ke masa kecilku
Di sana ada Abah yg dengan gigih mendidikku
Tanpa lelah meluruskan aku yang sering berbelok arah
Tanpa pamrih mengajarkanku banyak pengetahuan
Tanpa mengharap imbalan materi mengajarkanku membaca alqur'an
Hanya mengharap ridlo Allah
Mengajakku lebih dalam mengenal ajaran Islam
Ingin kembali ke masa kecil
Di sana ada Abah dengan belaian hangatnya
Tangannya yang keriput mengusap rambutku dgn lembut
Abah memberiku ketenangan setiap aku merasa diasingkan
Abah adalah Ayahku, sahabatku, teman baikku, guruku, tempat ku merebahkan lelahku
Tempat aku mencari keceriaan di dalamnya
Tempatku menemukan senyuman tulus di bibirnya
Tempatku mendapatkan pelukan hangat menyejukan
Robbii...
Titip rindu buat Abah
Sampaikan salamku pada Abah
Aku rindu sosok sepertinya
Allaahummaghfir lahu warhamhu wa 'aafihi wa'fu 'anhu
Nasihatnya
Bisakah kita hidup layaknya kedua tangan kita
Berbeda fungsi namun tetap kompak
Tak seirama namun tetap selaras
Tak ada iri hati dan dengki
Tak ada keangkuhan dan kesombongan
Saat yang satu harus maju ke depan maka yg lainnya mengalah mundur ke belakang namun tetap mendukung
Saat yang satu bekerja maka yang lainnya ikut membantu meringankan pekerjaannya
Saat yang satu sedang sakit maka yg lainnya rela menggantikan pekerjaannya
Bisakah kita seperti dua tangan
Berbeda arah namun tetap satu tujuan
Saling mengalah satu sama lain
Membuat kita berjalan berlenggak lenggok dengan indah
Mempesona dan tidak terlihat kaku
Bisakah kita seperti dua tangan
Berbeda namun tetap kompak
Petuahnya
Pilihlah
Lebih baik makan singkong betulan
Atau makan roti, tapi mimpi
Bekerja keraslah, karena semua angan tak kan datang dengan hanya menunggu
Duduk merenung, menatap bintang di langit
Sambil mengumpulkan jikalau
Jikalau, andaikata, umpama, misalnya
Angan dan Mimpimu tidak akan terwujud dengan hanya berkata jikalau
Jangan jadi tamu di rumah sendiri
Jangan jadi pemain di lapangan sendiri
Saat hidup memberimu tanya,
Maka berjuanglah mencari jawabnya.
Saat hidup mempertemukanmu dengan masalah,
Maka fokuslah mencari solusi untuk setiap masalah yang datang.
Terkadang, masalah kecil akan menjadi besar saat kita tidak pandai menemukan solusi untuk masalah tersebut.
Dan di tangan orang yang pandai juga berakal, masalah sebesar apa pun akan dapat ia selesaikan dengan mudah.
Keikhlasan, adalah kunci dari ketenangan hati. Semua yang menimpa pada diri, bukan datang tanpa arti. Semua tragedi datang membawa hikmah yang sangat berarti.
Ikhlas, satu kata yang begitu mudah orang mengatakannya. Namun, begitu sulit merealisasikannya dalam hidup.
Lidah boleh saja berucap, tapi hati, siapa yang tahu? Menjaga lisan itu perlu. Agar tidak menjadi beban dalam hidup.
Sengaja saya buat ini di awal episode. Kisah Razka dan Ayra akan dimulai dari sini. Razka yang sudah ikhlas dengan kepergian Aisyah, merawat Ayra dengan baik. Dibantu Mamah dan para wanita yang hilir mudik di rumah itu.
Ayra tumbuh menjadi gadis kecil yang lucu, cerdas, dan berhati tulus. Satu permintaannya pada Razka "JANGAN PERNAH GANTIKAN IBU DALAM HIDUP KITA".
Semoga berkenan untuk membaca.
Almahyra Putri Pratama, adalah seorang gadis kecil berusia lima tahun yang periang. Cerdas dan berhati baik. Meski diasuh oleh seorang ayah, tapi Ayra sebutan untuknya, gadis kecil itu tidak kekurangan kasih sayang seorang ibu.
Ia tumbuh dengan limpahan kasih sayang dari semua orang yang ada di rumahnya. Mendapatkan nasihat yang baik yang berbeda dari setiap orang. Semuanya ia serap dengan baik. Ia simpan di otaknya, agar selalu mengingat setiap nasihat yang diberikan.
Saat ini, ia sedang berbaring bersama Razka. Ayah sekaligus ibu untuknya. Razka pandai memainkan perannya, saat gadis kecilnya membutuhkan sosok ayah, ia akan berperan sebagai ayah yang bertanggungjawab. Dan jika Ayra membutuhkan sosok ibu, Razka pun akan dengan senang hati berperan menjadi sosok ibu.
Ia akan menemani Ayra bermain, di waktu senggang. Meski kadang wajahnya menjadi bahan percobaan make up yang dipoleskan Ayra. Atau rambutnya yang diuel-uel oleh tangan mungil itu. Baginya itu bukanlah masalah, asal ia dapat terus melihat senyum manis Ayra yang begitu persis Aisyah.
Tangan kirinya dijadikan bantal untuk Ayra tidur. Sedangkan tangan kanannya, ia gunakan untuk menepuk-nepuk bokong gadis kecil itu. Mereka baru saja melaksanakan shalat Isya berjama'ah, dan bersiap untuk tidur.
"Ayah, ceritakan padaku tentang ibu?" pintanya dengan gurat bahagia tercetak jelas di raut wajahnya. Razka tersenyum, ia tak pernah lelah menceritakan tentang Aisyah pada gadis kecilnya, meski hampir setiap malam ia melakukannya.
"Apa kau tidak merasa bosan, sayang? Hampir setiap malam mendengar cerita tentang ibumu," gurau Razka sembari mencubit halus hidung kecil Putrinya.
"Eem." Ayra menggeleng tegas, "Aku tidak pernah bosan mendengarnya. Justru karena mendengarkan cerita ibuku dari semua orang di rumah ini, aku bisa mengenal siapa dan bagaimana ibuku. Jadi Ayah, bersediakah Ayahku ini menceritakan tentangnya?" sambungnya dengan raut wajah memohon yang biasa ia gunakan sebagai senjata terakhir saat Razka menolak permintaannya.
Razka terkekeh, ia selalu kagum saat mengobrol dengan Putri kecilnya itu. Ia merasa percakapan yang dilakukan Ayra begitu sempurna terdengar. Tidak seperti balita berusia lima tahun.
"Baiklah, baiklah. Ayah akan menceritakannya pada Putri cantik Ayah," katanya dengan senyum indah terukir di bibirnya. Tangan mungil Ayra selalu menusuk lesung pipi Razka ketika ia tersenyum. Itu mengingatkan Razka pada Mia di awal pertemuan mereka.
Ayra meletakkan tangan mungilnya di atas pipi Razka. Rasa lembut dan hangat mengalir di pembuluh darah Razka saat Ayra melakukannya. Ia dapat merasakan sentuhan Aisyah lewat sentuhan Putri kecilnya itu. Dan itu menjadi syarat mutlak untuk Ayra ketika Razka menceritakan tentang Aisyah.
Ayra sesekali akan bertanya saat Razka menjeda ceritanya. Razka tersenyum, dan Ayra akan menekan lesung pipinya dengan ibu jari mungilnya.
"Ibumu seperti mentari, yang selalu memberikan rasa hangat pada hati dan diri Ayah, pada hati setiap orang. Bahkan pada orang yang baru pertama ia jumpai. Ibumu selalu menghadirkan kehangatan, seperti mentari yang menyuguhkan kehangatan pada dunia," pungkasnya memberi perumpamaan tentang Aisyah.
Razka selalu mengakhiri ceritanya dengan perumpamaan Aisyah dengan hal yang akan memberi Ayra motivasi untuk tumbuh dengan baik.
Kemarin ia mengatakan, "Ibumu seperti pelangi. Selalu menghadirkan warna untuk hidup Ayah, hidup orang lain dan bahkan mereka yang baru dikenalnya. Seperti pelangi, yang menghadirkan warna untuk dunia, meski ia tidak mengenali satu per satu dari mahkluk yang mencintai warnanya."
Ia pun pernah mengatakan, "Ibumu seperti air, mengalir dengan lembut, kuat dan gigih. Tidak mudah menyerah saat ujian hidup datang melanda. Ia yang dapat menghilangkan dahaga Ayah saat Ayah membutuhkan seteguk air. Ia pun selalu berusaha menghilangkan dahaga setiap orang yang dijumpainya. Layaknya air yang dengan ampuh dapat menghilangkan dahaga seorang musafir di tengah gurun."
Yang paling disukai Ayra adalah saat Razka mengatakan, "Ibumu ibarat bulan, yang memancarkan secercah cahaya dalam kegelapan hati Ayah. Dia pun laksana bintang yang selalu menjadi pengunjuk arah saat Ayah buntu dengan masalah yang datang, ibumu selalu hadir memberikan jalan keluar. Saat Ayah terpuruk karena kehilangan kakek dan nenek buyutmu, ibumu datang membawa cahaya dalam gelapnya keterpurukan Ayah. Ibarat bulan yang memberikan cahayanya pada pejalan kaki di malam hari. Dan bintang, sebagai petunjuk arah bagi mereka yang tersesat."
"Apakah aku bisa menjadi bulan dan bintang Ayah? Seperti ibu?" sahut suara mungil yang kala itu menimpali perumpamaan Razka.
"Tentu saja, kau adalah bulan dan bintang Ayah. Putri Ayah yang menjadikan laki-laki rapuh ini, kuat sekuat saat ini," sahut Razka dengan tersenyum. Dan Ayra kecil akan mencium dahi Razka dengan bibir mungil nan basah miliknya.
"Ayah, apakah ibu seperti bidadari yang selalu hadir dalam mimpiku?" tanyanya lagi. Dengan rasa ingin tahu yang menggebu. Ayra bermimpi sosok bidadari yang menyerupai ibunya selalu datang setiap malam menjelang tidurnya.
"Bidadari, ya ....?" Razka menggantung ucapannya. Ayra mengangguk dan menunggu antusias jawaban sang ayah. Ibu jarinya bergerak mengusap-usap pipi Razka dengan lembut. Razka sangat menyukainya saat Ayra melakukan itu.
"Bahkan, bidadari pun iri pada ibumu, sayang. Bagi Ayah, ibumu bukan hanya bidadari yang dikirim Allah untuk melengkapi hidup Ayah, tapi ia seperti malaikat yang selalu mengingatkan Ayah saat Ayah melakukan kesalahan," tukas Razka dengan yakin.
"Aku pun ingin menjadi seperti ibu," sahut Ayra dengan tangannya menutup mulut saat ia menguap.
Razka tersenyum, gadis kecilnya sudah mengantuk. Mulutnya menguap, matanya pun terlihat berat untuk mengerjap. Yang kian lama kian berat dan terpejam.
Razka menarik tangannya perlahan, ia mengusap lembut rambut Ayra dan mencium dahinya. "Selamat tidur bintang kecilku," katanya lirih. Ia tak ingin membangunkan bintang itu.
Razka perlahan beranjak dari samping Ayra, dengan gerakan yang sangat pelan dan hati-hati agar Ayra yang tertidur tidak dapat merasakan pergerakannya.
Hingga sebuah cekalan di tangannya menghentikan dia bergerak, Razka menoleh ke belakang tubuhnya. Ia melihat Ayra yang mengerjap lambat.
"Ayah, bisakah Ayah berjanji padaku?" tanyanya dengan berat. Suaranya lambat karena rasa kantuk yang semakin melanda.
Razka berbalik, ia mengusap pucuk kepala Ayra dengan lembut. "Tentu saja, sayang. Kau ingin Ayah berjanji untuk apa?" sahut Razka menyanggupi. Baginya ia hanya memiliki Ayra dalam hidupnya. Semua hidup dan kerja kerasnya hanya untuk Ayra. Semua waktu dan cinta yang ia miliki, seluruhnya hanya untuk bintang kecilnya.
"Jangan pernah menggantikan ibu dalam hidup kita. Ayra tidak ingin ibu yang lain," katanya yang kembali terpejam setelah mengatakannya.
Razka mengusap-usap rambut Ayra, matanya berkaca-kaca mendengar permintaan kecil gadis kecilnya itu. Ia kembali mencium dahi Ayra.
"Tentu sayang. Tentu saja, ibumu tak kan pernah bisa tergantikan. Sekalipun seribu Aisyah datang menyuguhkan cinta pada kita, posisi ibumu tidak akan pernah digantikan orang lain. Ibumu selalu bertakhta di tempatnya," sahut Razka.
Seulas senyum terukir bibir mungil gadisnya. Meski matanya terpejam, tapi telinganya mendengar. "Terimakasih, Ayah," timpalnya mengakhiri percakapan setiap malamnya.
"Ayah, apakah kita akan ke restauran hari ini?" tanya gadis kecil yang saat ini sedang didandani oleh ayahnya. Karena ini akhir pekan, maka yang akan mengurus Ayra adalah Razka sendiri.
"Tentu saja, kau ingin ke mana hari ini?" tukas Razka sembari terus menyisir rambut panjang Ayra dengan lembut. Razka bahkan sudah pandai menguncir rambut gadis kecilnya.
Lihat saja, tangannya yang besar itu dengan lihai menggulung rambut halus Ayra dan mengumpulkannya di tengah. Tangan kirinya dengan kokoh menggamit rambutnya, sedangkan tangan kanannya menyiapkan ikat rambut yang akan ia ikatkan pada rambut putrinya.
"Aku ingin memakan soto di kedai nenek," jawabnya. Jemarinya memainkan boneka kesayangannya.
Razka tersenyum, ia menatap pantulan putrinya di cermin besar. Cantik dan serupa dengan mendiang Aisyah.
"Selesai!" serunya ringan. Ia merapikan anak rambut Ayra yang tidak ikut terikat. Melangkah ke hadapan gadis kecilnya dan berjongkok di sana.
Razka memegang tangan Ayra yang sedang memainkan boneka. Mereka saling menatap satu sama lain.
"Mau main di mall?" tawar Razka. Ayra berpikir sejenak, entah apa yang sedang dipikirkannya Razka pun tak tahu.
"Apakah para lelaki itu akan ikut?" tanya Ayra dengan raut wajahnya yang hampir membuat Razka tertawa.
Razka mengangkat bahunya, "Ayah tidak tahu," jawabnya. Ayra menghela napas. "Baiklah, kita ke mall. Tapi, setelah makan soto nenek," katanya dengan antusias menyebutkan soto nenek.
"Ok!" sahut Razka. Ia membantu Ayra turun dari kursi. Celana panjang, kaus panjang, sepatu, rambut ekor kuda, tangan yang bergandengan, mereka berdua keluar dari kamar setelah Ayra meletakkan bonekanya di atas ranjang. Menuruni anak tangga menuju lantai satu. Setelah beberapa bulan kepergian Aisyah, Razka kembali menempati kamarnya bersama Ayra.
Mereka menuruni tangga dengan riang, mata Ayra seketika berbinar saat melihat sesosok laki-laki di bawah tangga yang berdiri bersama ibunya.
"Kak Bryant?" panggilnya seraya melepaskan tangannya dari Razka dan menghampiri Bryant yang sudah menunggunya.
"Hallo little girl! Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Bryant, ia meraih tangan mungil Ayra dan menggenggamnya.
"Aku baik, Kakak mau pergi ke mana?" Suaranya lucu yang membuat gemas wanita yang berdiri tak jauh dari mereka tersenyum.
"Hallo beauty, kami akan menemanimu bermain," katanya mengusap lembut rambut Ayra. Sasha ikut mencurahkan kasih sayangnya untuk Ayra. Ia membawa bayi perempuan yang digendongnya, buah hati keduanya bersama Rendy.
"Hai, Lucy! Apa kau pun akan menemani Kakak bermain?" tanyanya pada bayi yang baru saja berusia dua tahun. Tapi bayi itu mengerti. Ia mengangguk.
"Main, Kakak," katanya dengan suara dan cara bayi berbicara. Lucu dan menggemaskan. Razka yang sedari tadi hanya berdiri di tangga memperhatikan kelucuan putrinya, melangkah menghampiri mereka.
"Tuan Muda!" sapa Sasha sedikit menundukkan wajahnya saat Razka sampai di hadapan mereka. Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai balasan.
"Ayo sarapan dulu! Come on jagoan!" ajaknya pada Ayra dan Bryant. Beradu kepalan tangan dengan bocah laki-laki itu sudah menjadi kebiasaan rutin mereka.
Rendy dan Sasha memutuskan untuk keluar dari apartemen Rendy dan membeli rumah di sekitar rumah besar Razka. Setiap harinya Sasha akan ikut merawat Ayra bersama Emil dan Mega juga mamah dan bibi Nuri secara bergantian.
Rendy masih memegang kendali perusahaan, dengan Ferdi yang duduk sebagai CEO dan sudah mendapatkan kepercayaan dari para pemegang saham karena kerja kerasnya.
Sedangkan Razka, ia lebih memilih memegang kendali restauran cabang miliknya yang berada tak jauh dari stand penjualan ibu kota.
Mereka melangkah masuk ke dalam ruang makan, sudah ada mamah dan papah, bibi Nuri dan paman Max, tapi tidak ada Emil dan Fachru. Ke mana mereka?
Kepala Ayra menoleh ke kanan dan kiri mencari mereka. "Omah? Di mana mamah Emil dan papah Fachru? Juga adik Akmal?" tanyanya pada mamah Quin yang menggendongnya dan mendudukkannya di atas kursi makannya.
Razka masih menjadi kepala keluarga di rumah itu, ia duduk di tempatnya. Dilanjutkan kursi Aisyah yang kini menjadi tempat duduk gadis kecilnya.
"Mungkin masih di kamarnya, sayang. Kau tahu bukan? Adikmu yang itu susah sekali bangun pagi," ucap mamah diiringi kekehan dari keduanya.
Tak lama orang yang mereka bicarakan muncul. Fachru tidak ke rumah sakit hari ini, ia berencana akan berlibur dengan Emil dan buah hati mereka. Akmal, yang berusia empat tahun, satu tahun di bawah Ayra.
"Selamat pagi semuanya! Wah, ada Bryant. Apa kabarmu jagoan?" sapa Emil pada semua orang. Ia mengusap kepala Bryant saat menegur bocah itu.
"Baik, Aunty," jawabnya. Usia Bryant saat ini, delapan tahun. Ia telah duduk di bangku Sekolah Dasar kelas tiga. Tak lama setelah mereka duduk, Deri datang mencium pipi mamah dan papah dan duduk di kursinya.
Ia sudah benar-benar menjadi pemuda sekarang. Lima tahun telah berlalu setelah kematian Aisyah, tidak mudah bagi mereka memulihkan diri dari kondisi keterpurukan. Deri kini sudah berkuliah, rasanya ia yang paling merasa kehilangan Aisyah.
Mereka makan dengan hening, hanya Emil yang terlihat kerepotan karena putra mereka yang belum bisa makan sendiri. Sedangkan Ayra, ia begitu sempurna saat menyendok nasi dan menyuapkannya ke dalam mulut.
Aksi Emil dan Akmal selalu menjadi hiburan di meja makan. Ia yang menyuap makanan setelah menyuapi Akmal, bergantian dengan Fachru. Dokter itu kini sudah menjadi seorang ayah. Ia menepati janjinya pada Razka dan Aisyah untuk menyayangi Emil. Mereka bahkan sering berkunjung ke rumah tuan Nugraha.
"Ayo Akmal, buka mulutnya sayang. Aaaa," ucap Emil merayu Akmal yang menutup rapat mulutnya tak mau makan.
"Sayang," rengek Emil pada Fachru meminta bantuannya untuk merayu Akmal agar mau membuka mulutnya. Fachru yang melihatnya, meletakkan sendoknya dan memutar tubuh Akmal agar berhadapan dengannya.
"Akmal makan dulu ya, sayang nasinya. Kasian nenek Sum yang sudah capek memasak. Makan ya," rayunya. Tapi Akmal justru menggeleng.
Emil dan Fachru saling menatap satu sama lain. Razka hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum.
"Kakak akan pergi ke mall, jika Akmal tidak mau makan, Kakak tidak akan mengajak Akmal bermain," celetuk Ayra tanpa menoleh pada Akmal. Ia hanya terus fokus pada nasi di piringnya.
Bocah berusia empat tahun itu, berpaling pada Ayra. Sedikit binar di matanya menandakan bocah itu begitu antusias mendengar kata mall.
"Benarkah?" tanyanya. "Eem," balas Ayra dengan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Jika begitu, aa," ucapnya yang sontak saja mengundang gelak tawa dari semua orang yang ada di meja makan itu.
Ayra seperti senjata pamungkas untuk Akmal di saat dia tidak bisa dirayu oleh kedua orang tuanya. Bocah laki-laki itu begitu takut, jika Ayra tidak akan mengajaknya bermain.
Mendengar Ayra akan ke mall, ia dengan lahap menghabiskan makanannya disuapi Emil yang turut tersenyum bahagia saat menyuapi Akmal.
Fachru selalu bangga pada gadis kecil itu, ia mirip Aisyah. Melihat Ayra dan mendengar celotehannya, selalu mengingatkannya pada sosok Aisyah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!