Seorang pria berbaju putih dengan atribut lengkap tengah duduk ditengah lapangan lepas landas. Air matanya mengalir deras tanpa terkendali. Sebuah penyesalan yang begitu dalam terlihat begitu jelas dari sorot matanya.
Tak ada gunanya menyesal waktu itu. Semua sudah telat. Memang, penyesalan berada diakhir. Kalau diawal namanya bukan penyesalan tapi pendaftaran.
Semua orang menatap pria tersebut. Ikut merasakan kesedihan yang luar biasa. Angin berhembus kencang. Topi berwarna hitam melambangkan betapa gagahnya dirinya saat ini. Tertiup angin entah kemana. Namun, pria itu tak menghiraukan. Penyesalannya lebih besar dari apapun.
Dua orang yang paling berharga dihidupnya telah pergi untuk selamanya. Tinggalah dia sendiri di dunia. Tanpa ada sandaran seperti dulu.
Semesta ikut merasakan kesedihan. Hingga meneteskan air yang begitu banyak di muka bumi. Menyiram tanah yang gersang agar bisa terus hidup. Tetapi, tak sedikipun pria tampan itu bergeming dari tempatnya. Walau baju sudah terlihat basah kuyup.
Hingga seorang wanita dengan pakaian berwarna biru ketat, menghampirinya dengan payung ditangan. Hanya wanita itu yang berani menghampiri. Sedang yang lain hanya melihat dari kejauhan.
Air mata terus saja mengalir. Tak bisa terhenti. Seorang yang dikenal tegar dan tegas. Namun sekarang berubah menjadi serapuh itu. Dibawah guyuran hujan ia masih terus saja duduk bersimpuh.
"Capt..."
Suara wanita itu terdengar begitu lembut. Hingga derasnya hujan mengalahkan suaranya. Senyum terukir manis dibibir wanita itu. Tangannya terulur menyentuh pundak pria yang sudah sangat ia kenal.
"Jangan menyiksa diri, capt. Ayo kita masuk. Disini hujan." ucapnya lagi. Lebih keras agar terdengar.
Pria yang dipanggil dengan capt itu menoleh. Memandang wajah cantik yang berada di bawah payung hitam yang besar.
"Katakan padaku. Bahwa pesawat itu baik-baik saja. Aku mohon."
Malik Narendra Adinata. Memohon pada seorang pramugari dengan wajah memelas. Captain Malik terlihat begitu rapuh didepan seorang pramugari. Tak menghiraukan banyaknya orang yang melihat ke arah mereka dari kejauhan.
"Maaf capt. Semua sudah terjadi. Dan jawabannya tidak baik-baik saja."
Malik menunduk. Sudah tau jawaban apa yang akan ia dengar. Setelah sekian lama ingin bertemu. Namun Tuhan punya rencana lain.
***
Seorang wanita tengah berjuang diatas ranjang persalinan. Keringatnya bercucuran. Berusaha mati-matian tanpa ada seseorang yang menguatkan disampingnya.
Perjuangannya berakhir dengan suara tangisan bayi. Suaranya begitu merdu bagi si wanita. Antara hidup dan mati demi sang buah hati.
"Selamat Bu Bilha. Bayinya laki-laki. Sehat dan gemuk." ucap dokter kandungan dengan tangan menggendong bayi yang masih berlumuran darah.
Dokter kandungan itu langsung meletakkan bayi laki-laki yang baru lahir diatas dada wanita yang bernama Bilha Priyanka Inara. Untuk memberikan kehangatan pada si bayi.
Bilha. Wanita cantik yang terkenal sederhana. Ia tersenyum dan mengecup sang anak dengan perasaan bahagia. Ada rasa sedih dihatinya. Seseorang yang sangat ia cintai tak ada disampingnya saat ini.
"Selamat datang didunia, sayang."
°
°
°
°
°
Segitu dulu ya buat prolog. Jangan lupa like, vote dan komen. Terima kasih. Semoga kalian terhibur.
Terlihat begitu rapi dan gagah dari pantulan kaca cermin. Mengenakan baju putih dasi berwarna hitam ditambah atribut lengkap. Captain. Pekerjaan yang terlihat begitu mudah namun pada kenyataannya sulit. Banyak nyawa yang harus dijaga ketika sudah mengudara. Bukanlah hal sulit jika sudah profesional. Namun, ketika sudah takdir untuk kembali seorang pilot yang profesional pun tak akan dapat mengelak.
Seorang wanita cantik menghampiri sang captain. Tersenyum manis. Menyemangati sang captain untuk mengais rezeki.
"Jaga diri kamu ya. Jangan dimasukkan ke hati ucapan mama." ucapnya dengan lembut.
"Iya. Hati-hati. Aku selalu menunggu kamu disini." balas wanita cantik itu dengan anggukan kepala.
Captain meraih koper hitam. Menariknya dan membawanya keluar kamar menuju teras rumah. Lalu mencium kening sang istri. Lambaian tangan didapat sang istri sesudah masuk ke dalam mobil.
"Aku mencintaimu mas."
***
Bilha teringat dengan mantan suaminya. Kehangatan rumah tangga mereka, kecupan sebelum pergi dan kata sayang dengan lembut. Membuat air mata Bilha mengalir. Wajah anaknya sangat mirip dengan mantan suaminya yaitu Malik.
Sekarang Bilha sudah dipindah ke ruang rawat inap. Bayi mungil itu berada di gendongannya. Tertidur pulas disana.
Perlahan pintu terbuka. Menampilkan seorang pria bertubuh tinggi dengan tangan membawa selembar kertas. Senyum simpul terukir ketika melihat Bilha dan anaknya yang sedang duduk diatas ranjang dengan baju pasien.
"Mas Barra." ucap Bilha setelah melihat siapa yang baru datang.
Pria tampan itu adalah kakak kandung Bilha. Barra Maulana. Barra melangkah menghampiri sang adik dan keponakannya yang baru lahir. Mengecup kening dua orang itu dengan penuh kasih sayang.
"Siapa namanya, Bil?" tanya Barra. Menatap bayi mungil yang sedang tertidur pulas.
"Lintang Cleo Wardana. Mas bisa panggil anak ku dengan nama Lintang." jawab Bilha.
Barra mengangguk paham. Matanya tak teralihkan sama sekali dari wajah mungil Lintang. Sangat mirip dengan ayah kandungnya. Batin Barra.
"Dia sangat mirip dengan mas Malik." ucap Bilha. Seakan tau apa yang sedang Barra pikirkan.
"Iya."
"Boleh aku gendong?" meminta izin terlebih dahulu supaya tidak mengejutkan Bilha.
"Boleh." Bilha dengan hati-hati membantu Barra menggendong Lintang.
Di hati Bilha ingin sekali melihat Malik lah yang sedang menggendong Lintang. Tapi apa daya. Perpisahan itu sudah terjadi. Bahkan Malik tak menganggap Lintang adalah anak kandungnya. Sungguh menyakitkan ketika diingat.
Impian bersama hingga tua pun sirna. Hanya ada kata perpisahan. Tak lagi bersama. Membangun masa depan yang indah hanya angan-angan saja.
"Lupakan dia, Bil." ucap Barra.
Barra tau apa yang sedang adiknya pikirkan. Kalau bukan Malik siapa lagi.
"Sulit. Bayangan mas Malik terus berputar dipikiranku mas. Aku selalu teringat dengan dia." balas Bilha dengan jujur.
Tujuh bulan perpisahan, Bilha sama sekali belum bisa melupakan sosok Malik dihidupnya. Walau terasa sakit ketika diingat, tetapi itulah kenyataannya. Akan selalu melekat dihati dan pikiran.
"Kamu harus berjanji sama mas Barra, Bil. Kamu harus lupain Malik dan fokus sama hidupmu yang baru. Mas ngga tega melihat kamu menderita kaya gini terus. Ada Lintang yang lebih butuh kamu."
Mata Barra dan Bilha saling bertatapan. Barra berkata dengan penuh penekanan. Berharap adiknya bisa memahami.
Mungkin dengan kehidupan yang baru akan dengan mudah mengubah segalanya. Tapi pada kenyataannya tidak. Sulit untuk melupakan memori dimasa lalu. Apalagi bersama dengan orang yang kita cintai.
°
°
°
°
°
Segitu dulu ya. Sedikit tapi sering. Soalnya bagi waktu juga buat novel yang lain. Semoga terhibur. Jangan lupa like dan vote. Terima kasih.
Tiga hari sudah Bilha dirawat di rumah sakit. Dokter melakukan pengecekan sebelum kepulangan Bilha dan Lintang ke rumah. Pukul sembilan Bilha menggendong Lintang dan masuk ke dalam mobil milik Barra seusai pengecekan.
Dua tas berwarna hitam dijinjing Barra dari bangsal tempat adiknya menginap. Memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Setelah itu Barra berjalan dan masuk ke dalam mobil menyusul Bilha dan Lintang.
"Hei anak ganteng. Kita pulang ya?" Barra sangat gemas dengan keponakannya itu. Sesekali Barra mencubit pipi gembul Lintang.
Memutar kunci mobil, Barra menginjak pedal gas. Keluar dari parkiran rumah sakit dan membelah jalan raya kota. Debu dan asap dari kendaraan terlihat jelas ditengah keraimana jalan.
Mobil terus berjalan melewati lampu merah dan beberapa belokan. Jalanan yang ramai tak dihiraukan oleh bayi mungil yang sekarang tidur didekapan Bilha. Merasa kehangatan dan kenyamanan disana.
"Mas Barra kita mau kemana? Bukannya mau pulang?" melihat mobil berjalan lurus membuat Bilha bertanya. Karena biasanya ia belok kanan. Masuk ke perumahan dimana rumahnya berada.
"Iya kita pulang." dengan santai Barra menjawab.
"Tapi kenapa lurus? Harusnya belok kanan kan? Apa mas Barra lupa?"
Barra terkekeh pelan. Gemas dengan raut wajah adiknya. Bilha belum tau kalau Barra membelikan rumah baru untuk dirinya dan juga Lintang.
"Cerewet banget si kamu. Habis lahiran jadi kaya gitu ya?" ledek Barra.
Bilha menepuk lengan Barra. Kesal dengan kakaknya yang mengalihkan pembicaraan. Daripada harus berdebat Bilha memilih untuk tidur.
Ada rasa sedih ketika memandang wajah adiknya. Masa lalu yang begitu menyakitkan bisa Barra rasakan ketika melihat guratan lelah disana. Tangannya terangkat. Membelai lembut wajah Bilha dengan senyum simpul ketika lampu berwarna merah. Berhenti.
"Bil, mas tau apa yang kamu rasakan selama ini. Asal kamu tau ini cara mas agar kamu bisa melupakan masa lalu yang begitu menyakitkan ketika diingat kembali. Semoga kamu mengerti." lirih Barra agar tidak didengar oleh Bilha.
Setengah jam perjalanan akhirnya sampai juga didepan rumah bercat abu-abu. Tampak lebih kecil dari rumah peninggalan kedua orangtua Barra dan Bilha. Ada kolam ikan berukuran sedang didepan rumah. Ada taman bunga dan juga rumput kecil menambah keasrian.
Bilha terbangun ketika mobil berhenti. Mengerjap untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Matanya mengedar ke sekeliling. Berbeda. Bukan di perumahan yang biasa ditinggali. Lalu dimana ia sekarang?
"Kamu udah bangun?" tanya Barra membuat Bilha menoleh.
"Ini rumah siapa kak?" bukannya menjawab Bilha justru balik bertanya.
Barra mendekat ke pintu sebelah setelah tadi ia turun dari mobil. Membuka pintu dan mengajak Bilha turun.
"Rumah baru buat kamu dan Lintang." ucap Barra ketika mereka masuk ke dalam gerbang. Berdiri didepan rumah dengan lantai dua.
Bilha tak berkedip. Masih belum percaya bahwa rumah yang ada didepannya saat ini adalah rumah untuk dirinya dan juga Lintang. Matanya menyisir depan rumah. Kolam ikan, taman bunga dan rerumputan yang selalu memanjakan mata. Sederhana namun penuh makna.
"Bagaimana? Kamu ngga suka ya? Rumah ini terlalu kecil?" Barra memberondong adiknya dengan pertanyaan. Membuat Bilha menggeleng.
"Ini rumah impian aku mas. Makasih ya. Oh ya, terus rumah punya ayah sama ibu gimana?"
Bilha mendongak. Menatap sang kakak yang jauh lebih tinggi darinya. Kilauan sinar matahari membuat wajah tampan itu bersinar. Layaknya matahari.
"Buat tinggal bibi sama paman. Kasian mereka rumah tinggalnya jauh. Kita pindah ke rumah ini. Lebih dekat sama kantor soalnya." jawab Barra.
Mendengar apa yang diucapkan kakaknya Bilha paham. Hati kakaknya itu tidak akan pernah berubah. Selalu membantu orang lain yang lebih membutuhkan.
"Setiap jumat sama minggu kita bakal berkunjung kesana. Cuman mengecek keadaan rumah. Sekalian ziarah ayah dan ibu." lanjut Barra.
Ide tersebut muncul begitu saja ketika Barra teringat dengan kedua orangtuanya. Lokasi pemakanan yang tak jauh dari perumahan memudahkan Barra dan Bilha berziarah ke makam ayah dan ibunya.
"Iya udah kalau begitu. Aku ngikut aja."
"Yuk masuk. Kasian Lintang kepanasan diluar." ajak Barra. Melangkah menuju teras rumah dan membuka pintu dengan kunci yang berada ditangannya.
°
°
°
°
°
Jangan lupa like dan vote ya. Bantu karya ini ya gaes. Makasih banget buat kalian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!