Gendis POV
...Anggi Maheswari...
...Binti : Kuncoro...
...Lahir : 19 Agustus 1979...
...Wafat : 14 April 1999...
Kupandangi nisan itu dengan bercucuran air mata, bagaimana mungkin aku tidak menangis, disana telah terbaring wanita yang melahirkanku
Setiap kali memandang nisan itu, dadaku terasa sesak. Rasa sakit dan perih itu menjalar keseluruh bagian hatiku. Rasa bersalah karena kehilangan yang jelas-jelas disebabkan olehku, membuatku membenci semua yang ada pada diriku, termasuk suaraku
"Bunda, Gendis kangen!" Ucap ku lirih, sambil mengusap lembut batu nisan Bundaku
"Bunda, hari ini aku lulus sekolah!" Lirihku dengan mata yang sudah berkaca-kaca
"Seandainya Bunda masih ada disini, pasti Bunda bangga dengan prestasi yang kuraih" Tak terasa bulir bening dari netraku mulai berjatuhan
"Apa Bunda ingat, hari ini gendis berulang tahun, tepat berusia 18 tahun!" Lirihku dengan bercucuran air mata
"Bunda tau? Hari ini adalah hari yang paling Gendis benci!" Lirihku semakin terisak
Bagaimana mungkin aku tidak membenci hari ulang tahunku, karena tepat dihari dimana aku dilahirkan, aku harus kehilangan orang yang paling kusayang. Bahkan saat aku belum sempat merasakan halus lembut belaiannya
Delapan belas tahun yang lalu, tepat dimana aku dilahirkan, suasana yang seharusnya mengharu biru karena bahagia berubah menjadi hari penuh air mata
"Seandainya, dulu Bunda tidak melahirkanku, mungkin Bunda masih bisa tersenyum sampai hari ini" Tubuhku bergetar, Air mataku sudah menganak sungai, Rasanya begitu sesak setiap kali aku ngucapkan ini
"Maafkan Gendis, Bunda" Tubuhku semakin bergetar karena tangis
"Maaf!" Selalu itu yang kuucapkan ketika rasa sesal menjalar keseluruh hatiku
Kemudian seseorang menggenggam lembut tanganku, genggaman yang sesaat mampu menenangkanku
"Berhentilah menyalahkan dirimu, atas kesalahan yang tidak pernah kamu lakukan, Nda!" Ucapnya lembut seraya mengusap punggung tanganku
"El!" Panggilku lalu menghambur kepelukannya, tubuhku bergetar karena tangis yang terisak. Ia membalas pelukanku dan mengusap punggungku lembut
"Jangan terus menerus menyalahkan dirimu, Nda!" Ucapnya, sambil terus mengusap punggungku lembut "Semua sudah kehendak Tuhan, kamu harus ikhlas dan sabar!" Dia terus saja menghiburku dengan nasihat-nasihatnya
Aku semakin terisak dipelukannya, rasanya begitu nyaman karena bisa menumpahkan rasa sesak didalam dadaku. Hanya dia yang selalu menghiburku, bersamanya mampu mengurangi rasa nyeri yang tertanam didalam hatiku
"Ayo pulang!" Ajaknya setelah aku melepaskan pelukanku
"Aku masih ingin disini, El!" Lirihku "Sebentar saja!" Pintaku memohon
"Hari sudah semakin sore, Nenek pasti sudah menunggumu!" Ucapnya lembut
Aku pun mengangguk dan berpamitan kepada Bundaku, ia lalu mengandeng tanganku beejalan keluar area pemakaman
Ia melajukan motor maticnya dengan kecepatan sedang menuju rumah ku, aku hanya tinggal berdua dengan nenekku. Karena lima tahun yang lalu kakekku menyusul bunda menghadap sang Pencipta
Di perjalanan pulang, pikiranku melayang pada masa dimana aku pertama kali bertemu dengan sahabatku
Flashback On
Author POV
"Dasar bisu.... Dasar bisu.... Dasar bisu" Terdengar teriakan beberapa anak mengejek seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua
"Heh bocah bisu! kenapa kamu sekolah disini?" Tanya seorang anak perempuan berkucir dua, lalu mendorong kasar anak yang diteriaki bisu tersebut
"Gimana mau jawab, orang dia bisu!" Celetuk anak lainnya, dan terdengar tawa anak-anak menggema diruangan kelas satu tersebut
Anak yang dibully pun hanya bisa menangis tanpa suara
"Hey jangan ganggu dia!" Teriak seorang anak laki-laki berpipi gembul dari arah pintu
Seketika mereka diam lalu mengalihkan pandangannya menatap anak laki-laki tersebut
"Siapa kamu, berani-beraninya belain si bisu dari goa hantu ini?" Tanya anak perempuan berkucir dua
Bukannya menjawab, anak laki-laki tersebut lalu menarik tangan anak yang dibully untuk berdiri
"Bukannya jawab, malah diem aja!" Ucap si gadis kecil berkucir dua dengan kesal
"Wah cocok banget mereka berdua, yang satu bisu yang satunya lagi budek!" Celetuk salah satu siswa diruangan tersebut dan disambut gelak tawa teman-temannya
Anak laki-laki tersebut lalu berjalan sambil menuntun anak perempuan berkepang dua yang menjadi korban bullying tersebut untuk meninggalkan kelas, tanpa menghiraukan teriakan-teriakan dari siswa dan siswi diruang kelas satu
Ia membawa gadis kecil tersebut ditaman sekolah, mereka lalu duduk dibangku yang telah disediakan
"Aku Samuel!" Ucap anak laki-laki tersebut sambil mengulurkan tangannya didepan anak perempuan berkepang dua
Anak perempuan tersebut menerima uluran tangan anak laki-laki tersebut dan tersenyum, tanpa mengucapkan sepatah katapun
'Apa dia nggak bisa ngomong, ya?' Batin Samuel bertanya
"Kamu sudah bisa nulis dan membaca?" Tanya Samuel lembut dan dijawab anggukan oleh anak perempuan tersebut
Samuel lalu mengeluarkan buku dan pensil dari dalam tasnya dan memberikannya kepada anak perempuan tersebut
"Tulis namamu disitu, aku sudah bisa baca kok!" Pinta Samuel
"Gendis" Tulis anak perempuan tersebut
"Oh Gendis" Jawab Samuel sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
Anak tersebut mengangguk, beruntungnya gendis sudah diajari CaLisTung (Membaca menulis dan berhitung) oleh neneknya sedari ia berumur tiga tahun
"Nama panjangku Samuel Gionino Petrus!" Ucap Samuel "Kalau nama panjang kamu?" Lanjutnya bertanya
"Gendis Alamanda Maheswari" Tulis Gendis
"Sekarang aku panggil kamu 'Manda'! Dan kamu bisa panggil aku 'El'!" Ucap Samuel sambil tersenyum
Dan hanya dijawab anggukan oleh Gendis
"Mulai sekarang kita teman!" Ucap El sambil mengajukan jari jentiknya dan disambut oleh jentik Manda atau Gendis
"Kamu kok nggak masuk kelas, Nak?" Ucap seorang guru perempuan
Samuel lalu berbalik kebelakang dan tercengir melihat Bundanya yang berdiri di belakangnya. Ya, guru tersebut adalah Bunda Samuel
"Temen-temen nakal, Bunda!" Ucap Samuel
"Nakal kenapa?" Tanya Bunda Samuel lembut
"Mereka nakal sama temen Sam, Bunda!" Ucap Samuel sambil melirik Gendis disebelahnya. Samuel memang akrab disapa Sam oleh orang-orang, termasuk orang tuanya. Tapi ia meminta dipanggil El oleh teman disebelahnya
"Siapa nama kamu, Cantik?" Tanya Bunda Samuel sambil mengelus rambut Gendis
Gendis lalu menunjukkan tulisannya tadi kepada Bunda Samuel
'Oh jadi anak ini yang begitu pemalu dan tidak bisa berbicara dengan semua orang!' Bunda Samuel membatin
Bunda Samuel sebelumnya telah diberitahu oleh nenek Gendis ketika mendaftarkan Gendis masuk sekolah
"Ini Bundaku, Nda!" Ucap Samuel memperkenalkan "Kalau disekolah panggil Ibu, kalau diluar sekolah panggil Bunda!" Lanjut Samuel menjelaskan
Gendis mengangguk sebagai tanda mengerti
Bunda Samuel bernama Maria, ia adalah seorang guru di sekolah dasar tempat Gendis dan Samuel akan menuntut ilmu, Sedangkan Ayah Samuel bernama Antonius. Ayah Samuel adalah pemilik yayasan tersebut
Gendis tidak sekolah di Sekolah Dasar Negri, tapi ia disekolahkan disekolah swasta oleh neneknya, dengan maksud agar Gendis bisa diberi perhatian lebih oleh para guru, mengingat kondisi Gendis yang istimewa
Flashback Off
***
Jangan lupa untuk tinggalkan jejak ya gaes, dengan cara like komen dan vote
Peluk cium via online dari Author 🤗😘
Gendis POV
Seminggu sudah berlalu sejak pengumuman kelulusanku, keseharianku hanya dirumah dan membantu nenek mengerjakan pekerjaan rumah. Hanya itu yang bisa ku lakukan untuk membantu sedikit meringankan beban yang dipikul nenek
Ketika aku sedang duduk bersantai diteras rumah bersama nenek, tiba-tiba tetanggaku bertamu kerumah
'Tidak biasanya Bude Sri main kesini!' Batinku bertanya
"Assalamu'alaikum!" Sapa Bude Sri
"Wa'alaikumsalam" Jawab nenek dan aku hanya menjawab dalam hati
Bude Sri langsung duduk bergabung bersama kami
"Ndis, kamu mau nerusin kuliah atau mau kerja?" Bude Sri bertanya sambil menatapku
"Gendis dapet beasiswa kuliah di Jakarta, Sri!" Nenekku yang menimpali
"Oh jadi mau lanjut kuliah kamu, nduk!"
Aku diam tak tau harus menjawab apa, disatu sisi aku sangat ingin bisa melanjutkan pendidikanku, tapi disisi lain aku tak ingin terus menerus menjadi beban untuk nenek
"Memangnya kamu lagi cari orang kerja, Sri?" Nenekku bertanya
"Iyo bik!" Jawabnya "Di Jakarta, deket sama ponakanku"
"Kerjo opo neng kono? (Kerja apa disana?)" Nenekku bertanya
"Beres-beres rumah, Bik!" Jawab Bude Sri "Kalau ponakanku kan jadi baby sitter, itu tetangga bosnya yang lagi cari orang"
"Aku aja kalau gitu, Sri" Nenekku menarwarkan diri
"Ya kalau Bibik masih bisa, ndak opo!" Bude Sri menjawab santai
Setelah bude Sri pergi, aku dan nenek masuk ke dalam rumah, karena sebentar lagi maghrib
Setelah menjalankan ibadah 3 rakaat, aku dan nenek makan malam bersama, walaupun dengan lauk seadanya tapi aku sangat bersyukur karena masih diberi rezeki untuk bisa menikmati makanan ini
"Nek, Gendis kerja aja, ya?" Aku bertanya setelah selesai mencuci piring
"Kamu kuliah aja, Nduk!" Nenekku memang tau kalau aku mati-matian belajar agar bisa mendapatkan beasiswa itu
"Tapi Gendis nggak pengen nyusahin nenek terus" Ucapku sambil menunduk
"Nduk!" Panggil nenek dengan mengusap tanganku lembut "Siapa yang bilang kamu nyusahin, Nenek?"
"Gendis yang merasa, Nek! Gendis hanya jadi beban untuk nenek!" Dadaku terasa sesak setiap kali mengingat bahwa aku hanya menyusahkan nenekku sedari bayi
"Nenek tidak merasa kamu jadi beban, kamu itu tanggung jawab nenek, Nduk!"
"Tapi gendis sudah besar, Nek! Sudah seharusnya sekarang gantian Gendis yang mengurus nenek!" Tukasku "Gendis janji akan minta diizinkan untuk kerja paruh waktu, agar bisa mengambil beasiswa itu"
Akhirnya Nenekku menyetujuinya setelah aku merayunya habis-habisan
***
Author POV
Keesokan harinya, Samuel datang untuk menemui Gendis
"Manda!" Panggil Samuel sambil mengetuk pintu
Gendis keluar untuk menemui sahabatnya itu, Gendis hanya dirumah seorang diri kala pagi sampai sore menjelang. Karena saat itu neneknya pasti sedang bekerja dikebun milik tetangga
Terkadang membantu memetik cabe, tomat, atau memanen Bawang, atau kalau musim menanam padi, Neneknya akan ikut bekerja menanam padi. Hanya itu sumber penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari cucunya dan dirinya sendiri
Saat Gendis membuka pintu, Samuel sudah duduk dikursi teras
"El?" Sapa Gendis seraya tersenyum
"Manda, kita jalan-jalan, yuk!" Ajak Samuel
"Kemana, El?" Gendis bertanya
"Kekota!" Jawab Samuel
Perjalanan dari desa gendis menuju kota hanya memakan waktu kurang lebih empat puluh lima menit ditempuh dengan sepeda motor
Gendis pun mengangguk, ia lalu masuk kedalam untuk mengganti pakaian, Gendis sengaja menerima tawaran sahabatnya itu sekaligus ia ingin berpamitan untuk bekerja di Jakarta
Samuel melajukan motornya setelah gendis siap. Melewati hamparan sawah yang padinya mulai menghijau, dan hamparan sayur mayur hasil tanaman para petani. Sungguh pemandangan yang menyejukkan mata siapapun
Samuel menepikan motor maticnya disebuah warung bakso, ia dan Gendis lalu masuk kewarung tersebut, Samuel memesan dua mangkuk bakso, untuk nya dan untuk Gendis
Sambil menunggu pesanan datang, gendis menuliskan sesuatu didalam Ponselnya dan memberikannya kepada Samuel untuk dibaca
"El, dua hari lagi aku mau kerja ke Jakarta!" Tulis Gendis
Setiap kali ditempat banyak orang, Gendis akan menulis atau berbicara menggunakan bahasa isyarat dengan Samuel. Tapi saat hanya ada mereka berdua, Gendis akan dengan leluasa berbicara dengannya
"Kamu nggak ngambil beasiswa kamu, Nda?" Tanya Samuel
Gendis menggeleng
"Kenapa?" Tanya Samuel
"Aku tidak ingin membebani nenekku lebih lama lagi, El! Sudah saatnya aku yang mengurusnya, bukan dia terus menerus yang mengurusku" Tulis Gendis, Wajahnya nampak sendu
Samuel tau apa yang dipikirkan sahabatnya itu
"Kamu yakin, Nda?" Samuel memastikan "Kamu susah payah belajar giat untuk mendapatkan itu, dan sekarang kamu membuang kesempatan itu?"
Gendis mengangguk "Jika nanti ada kesempatan, aku akan berusaha untuk membagi waktu agar bisa kuliah, El!" Tulis gendis
Obrolan mereka terhenti saat Mas penjual bakso mengantarkan pesanan mereka berdua. Setelah menghabiskan baksonya, mereka lalu pergi menuju taman kota setelah sebelumnya Samuel membayar baksonya terlebih dahulu
Tidak sampai lima menit, motor yang dikendarai Samuel tiba ditaman kota. Gendis dan Samuel duduk berdampingan di kursi taman
"Bagaimana nanti kalau kamu kecantol cowok kota, Nda!" Ucap Samuel sendu
"Dan kamu pun sama, El! Kamu akan jatuh cinta dengan teman kampusmu dan melupakan aku" Jawab Gendis sambil melirik sahabatnya
"Aku rasa tidak akan pernah!" Ucap Samuel sendu
"Kamu tidak boleh seperti itu, El!" Jawab Gendis sambil menggenggam tangan sahabatnya
"Kamu tentu sudah tau jawabannya, Nda!" Ungkapnya sambil melirik sahabatnya
"Belajarlah membuka hati, El! carilah perempuan yang baik untuk masa depanmu" Nasihat Gendis
.
"Tidak ada yang sebaik kamu, Nda! Tidak ada dan Tidak akan pernah ada"
Gendis diam tak bisa berkata-kata lagi. Benar yang dikatakan orang-orang kalau tak ada persahabatan yang murni antara perempuan dan laki-laki tanpa tumbuh rasa nyaman dan cinta
"Kenapa kita tidak pernah mencobanya, Nda!" Ucap Samuel sendu "Dan membiarkan waktu yang akan menyelsaikan kerumitan ini!" Lanjutnya lalu menatap sendu gadis disebelahnya
Entah sejak kapan rasa itu mulai tumbuh diantara Gendis dan Samuel, yang mereka tau, mereka nyaman saat bersama, mereka merasakan kesedihan yang sama saat salah satu terluka
Mereka ibarat tangan dan mata, saat tangan terluka maka mata akan menangis, dan saat mata menangis tanganlah yang akan menghapus air mata itu. Mereka saling membutuhkan satu sama lain, mereka saling mengasihi dan melindungi
Gendis seolah menemukan sosok yang telah hilang dan bahkan tidak pernah ia kenal, laki-laki yang paling Gendis sayangi setelah kakeknya
Samuel yang selalu ada saat Gendis tersakiti, selalu membela saat Gendis dihina, dan melindungi saat Gendis dibully
Sungguh takdir Tuhan macam apa ini, mereka saling mencintai tapi tak akan pernah bisa saling memiliki
***
Jangan lupa selalu tinggalkan jejak yea readers, dengan cara tekan like, lalu komen, vote agar author tambah semangat berkarya. Dan jadikan favorit kalau kalian menyukai cerita Gendis
Peluk cium via online dari author🤗🤗😘😘
Sering kali merantau bukanlah keinginan tapi keadaanlah yang memaksakan ~ Gendis Alamanda
Dua hari sudah berlalu sejak pertemuannya dengan Samuel. Kini Gendis sudah bersiap-siap akan pergi ke Jakarta dengan diantar oleh Bude Sri
Samuel datang sesaat sebelum Gendis dan Bude Sri berangkat
"Nda, kenapa nggak berangkat minggu depan aja bareng aku?" Ucap Samuel seperti tidak rela ditinggal Gendis
"Kamu jadi kuliah di Jakarta, El?" Gendis bertanya
Samuel mengangguk "Kamu bareng aku aja, ya!" Samuel merayu
"Aku kan disana mau kerja, El. Bukan mau main!" Jawab Gendis
Obrolan mereka terhenti saat Bude Sri datang
"Ayo, Nduk!" Ajak Bude Sri
Gendis lalu berpamitan kepada neneknya, yang sedari tadi menangis di dalam kamar. Ini adalah kali pertama ia dan cucunya akan berpisah, hatinya terasa sakit saat harus merelakan cucu satu-satunya itu merantau demi mencukupi kebutuhan hidup
"Gendis pergi dulu ya, Nek!" Pamit Gendis sambil memeluk neneknya
"Seandainya kita orang berada, kamu nggak perlu susah payah merantau seperti ini, Nduk!" Ucapan neneknya bagaikan duri yang menancap tepat di ulu hati Gendis
"Nenek jangan bicara seperti itu, Nek!" Ucap Gendis lembut "Bukahkan nenek dan kakek selalu ngajarin Gendis buat selalu bersyukur dalam keadaan apapun?"
Neneknya semakin terisak mendengar ucapan cucunya, dia yang dulu selalu menasehati cucunya, tapi sekarang dialah yang seolah menyalahkan takdir
'Seandainya ayahmu tau, Nduk! Mungkin kamu tidak akan pernah merasakan hidup kekurangan seperti ini' Batin Nenek Tini
Setelah berpamitan kepada Neneknya, Gendis dan Bude Sri berangkat menuju ke kota, untuk mencari bus yang bisa membawa mereka ke Jakarta
El mengantarkan Gendis sampai ke terminal, sedangkan Bude Sri diantarkan oleh putra sulungnya
"Kamu hati-hati disana ya, Nda!" Ucap Samuel sambil memeluk erat Gendis
Gendis hanya bisa mengangguk dengan lelehan air mata yang menganak sungai. Sejak meninggalkan rumah, Gendis terus saja menangis, begitu berat hatinya meninggalkan neneknya seorang diri, tapi bagaimana lagi jika keadaan yang memaksa ia harus pergi merantau
"Sudah jangan nangis!" Ucap Samuel setelah melepaskan pelukannya, ia lalu menghapus air mata di pipi mulus gendis dengan ibu jarinya
Air mata Gendis semakin deras menetes, ia pasti akan sangat merindukan neneknya dan Samuel nantinya
"Kamu nanti kalau sudah sampai langsung kabarin aku, ya!" Pinta Samuel, setelah bus yang akan Gendis tumpangi siap melaju
Gendis mengangguk "Kamu juga jaga diri baik-baik, El! Titip nenekku sebelum kamu pergi kuliah" Tulis Gendis dilayar ponselnya
"Pasti, Nda!" Jawab Samuel dengan senyum dipaksakan
Samuel sungguh berat saat melihat bus yang membawa Gendis semakin pergi menghilang
"Aku akan berusaha untuk melepaskan kita dari kerumitan ini, Nda! Aku tidak berjanji, tapi aku akan berusaha semampu ku!" Ucap Samuel sambil menatap kosong jalanan, berharap bus yang membawa Gendis kembali lagi
Samuel lalu melajukan motornya untuk pulang, disepanjang jalan pikirannya hanya terpusat pada Gendis, gadis yang sudah mengisi hari-harinya selama dua belas tahun ini
***
Disepanjang perjalanan, Gendis tak bisa menutup matanya. Pandangannya menatap kosong jalanan yang baru pertama kali ia lalui. Ia lalu mengambil kertas dan pensil serta alas untuk menggambar didalam tasnya
Jarinya mulai menarikan ujung pensilnya diatas kertas, membuat coretan-coretan yang lama kelamaan menjelma menjadi sketsa wajah dirinya dan seorang pemuda tampan, siapa lagi kalau bukan Samuel
Tak terasa bus yang ditumpangi gendis sudah tiba diterminal, entah sudah berapa lama ia dan Bude Sri di perjalanan. Gendis yang masih asik menyempurnakan hasil sketsanya, dikejutkan oleh kenek bis yang menyuruhnya turun
Gendis membangunkan Bude Sri yang sedari tadi tertidur pulas dikursinya, Gendis mengguncang tubuh Bude Sri pelan
"Ada apa, Nduk?" Tanya Bude Sri yang belum menyadari jika bis yang mereka tumpangi telah berhenti
Gendis menunjuk sekitar, sebagai tanda bahwa mereka sudah sampai
Bude Sri lalu mengajak gendis turun dan berjalan kedekat trotoar, Bude Sri merogoh tasnya untuk mengambil ponsel hendak menelpon keponakannya, memberi tahu bahwa mereka sudah tiba diterminal kampung rambutan. Jika saja ia tidak ketiduran pastilah ia sudah menelpon keponakannya sedari tadi agar mereka tidak perlu menunggu lama untuk dijemput
"Waduh malah hapenya mati, Nduk!" Ucap Bude Sri setelah memeriksa ponselnya "Kamu punya pulsa?" Lanjutnya bertanya
Gendis mengangguk
"Bude pinjem HP kamu buat nelpon lilis, ya? Biar dia sama bosnya jemput kita disini!"
Gendis lalu mencoba mengambil ponsel didalam saku celananya menggunakan tangan kirinya, karena tangan kanannya masih memegang pensil dan kertas sketsa serta alasnya menggambar, yang belum sempat ia masukkan kembali kedalam tas
Hembusan angin yang begitu kencang membuat sketsa ditangan kanan Gendis terbang kejalanan. ia tak dapat memegang sketsanya erat karena terlalu sibuk merogoh sakunya
'Aduuuuh terbang lagi!' Batin Gendis penuh sesal
"Apa tadi yang terbang, Nduk?" Tanya Bude Sri yang memang tidak memperhatikan apa yang dibawa oleh Gendis
"Cuma Sketsa, Bude!" Tulis Gendis dilayar ponselnya, ia lalu memberikan ponselnya kepada Bude Sri
Bude Sri lalu menelpon keponakannya agar menjemput mereka, mereka menunggu Lilis datang sambil makan diwarung pinggir jalan
Satu jam kemudian keponakannya beserta calon bos Gendis datang untuk menjemput mereka
"Bude?" Panggil Lilis sambil melambaikan tangannya
Bude Sri dan Gendis lalu nenghampiri Lilis, Lilis lalu mencium tangan Bude Sri kemudian bersalaman dengan Gendis
"Ndis, ini Ibu Lusi, bos kamu!" Lilis memperkenalkan
Lilis sudah menceritakan keadaan Gendis dan bagaimana kehidupan Gendis kepada Ibu Lusi. Dan ibu Lusi berserta suaminya tidak mempermasalahkan itu
Gendis berbeda tiga tahun lebih muda dari Lilis, Lilis adalah gadis yang baik, dahulu ketika sekolah dasar ia dan Gendis sering pulang dan berangkat sekolah bersama dan tentunya bersama dengan Samuel yang sejak pertama bertemu gendis ia selalu mengantar dan menjemput Gendis dengan sepedahnya
Gendis lalu mencium tangan Lusi. Saat pertama melihat Gendis, Lusi yakin kalau Gendis adalah gadis baik-baik
Sang sopir lalu melajukan mobilnya menuju rumah Lusi setelah Gendis dan yang lainnya duduk dikursi penumpang
Gendis begitu gugup, karena ini adalah kali pertama Gendis berada dikota, apalagi untuk bekerja
Lilis yang menyadari itu lalu menggenggam tangan dingin Gendis untuk menenangkan
"Jangan takut! Ibu Lusi dan keluarganya orang baik!" Bisik Lilis ditelinga Gendis
Gendis mengangguk lalu menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan untuk mengurangi rasa gugupnya
Kurang dari satu jam mobil yang membawa Gendis dan lainnya tiba disebuah rumah mewah milik keluarga Lusi, yang tak lain adalah rumah tempatnya bekerja nanti
Gendis turun dari mobil dan diajak masuk kedalam oleh Lusi. Sedangkan Bude Sri memilih untuk menginap ditempat Lilis bekerja
"Gendis, ini Mbok Minah!" Ucap Lusi memperkenalkan Gendis dengan seorang wanita tua yang Gendis perkirakan seusia neneknya
Gendis lalu mencium tangan Mbok Minah
"Mbok, Gendis ini nanti yang akan bantu-bantu Mbok!" Jelas Lusi "Mbok ajarin dia ya, karena dia baru pertama kerja!" Ucapnya lembut
Mbok Minah lalu mengajak Gendis kedalam kamar untuk beristirahat
***
Jangan Lupa tinggalkan jejak yea Readers, dengan cara tekan like, komen dan vote, serta jadikan favorite jika kalian menyukai cerita ini
Peluk cium via online dari Author🤗😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!