Brak … brukkk … Grek ... Grek...
“Uhm… Suara apa itu? Bising sekali?” Luke mengucek matanya. Tangan kirinya mencari-cari ponsel di bawah bantal. Hingga beberapa menit kemudian, ia masih juga belum menemukannya. Ternyata benda kecil itu terselip di antara tempat tidur dan dinding.
“Oh, sudah jam lima sore. Aku tertidur lama sekali,” gumamnya lagi.
Dia meraih karet gelang dan mengikat rambut sekenanya. Lalu berjalan keluar kamar dan berdiri di balik jendela depan, melihat sumber keributan di luar sana.
“Oh, ada tetangga baru pindah rupanya,” ucap Luke.
Tampak sebuah mobil pick up yang penuh dengan perabotan parkir di halaman depan rumah induk semang mereka. Dua orang laki-laki tampak bolak-balik mengangkat perabotan-perabotan tersebut. Lalu ada seorang perempuan muda yang juga terlihat sibuk mengangkat benda-benda yang lebih kecil.
“Hmm Lumayan cantik,” pikir Luke.
Tetangga baru tersebut memiliki rambut lurus yang panjang, berwarna hitam dan dibiarkannya terurai. Kulitnya coklat manis, badannya tinggi dan sedikit berisi. Usianya diperkirakan sedikit lebih muda dibandingkan Luke.
Luke memang tingal di rumah petak. Ada delapan rumah petak dalam satu deret bangunan itu. Setiap rumah dilengkapi dengan teras kecil, ruang tamu, satu kamar tidur , dapur dan kamar mandi. Yah, cukup sesuai dikantonglah untuk para pelajar maupun para pekerja dengan gaji pas-pasan.
Luke sendiri tinggal di rumah nomor empat sejak empat tahun yang lalu. Sementara tetangga baru itu mengisi rumah nomor tiga.
“Apa dia bakal betah? Rumah sebelah 'kan sedikit aneh,” gumam Luke.
Sudah beberapa bulan terakhir rumah nomor tiga selalu dihuni tetangga baru. Namun tidak ada yang bertahan lama. Alasan mereka pindah bermacam-macam. Ada yang sering mimpi buruk dan digelitik ketika tidur, keran air yang hidup sendiri, hingga hewan pengerat yang berjalan di atas kasur empuk.
“Yah, dia betah atau tidak bukan urusanku, sih,” ucap Luke.
Luke kembali ke kamar. Keributan di sebelah rumahnya bukanlah hal yang mengganggu. Ia sudah terbiasa dengan tetangga yang silih berganti. Sambil mengunyah keripik pisang, tangannya sibuk menggerakkan mouse. Mengecek draft tulisan yang harus dikirim malam ini.
“Haish! Masih banyak yang harus ku tulis. Aku harus lembur malam ini,” gumamnya.
Adzan magrib menghentikan aktivitas Luke. Tetangga baru pun tampaknya sudah hampir selesai beres-beres. Tidak terdengar lagi keributan seperti sore tadi.
“Mau sholat jamaah, Dek?”
“Ah, tidak. Abang duluan saja. Adek mau mandi dulu.” Terdengar percakapan dari tetangga baru.
“Ah, sial. Pasangan suami istri lagi. Kenapa tidak wanita lajang saja, sih?” gerutu Luke.
Rumah mereka yang saling berdempetan dan hanya dibatasi oleh dinding batu, membuat percakapan di rumah sebelah terkadang dapat didengar. Bukan hal buruk bagi Luke. Terutama jika penghuninya masih pengantin baru. Ehm, maksudnya pengantin baru kan belum memiliki anak yang bisa menangis dan merengek setiap waktu.
Biasanya ia juga tidak pernah menghiraukan obrolan maupun aktivitas tetangga. Tapi entah kenapa, percakapan mereka kali ini membuat Luke sebal. Sungguh keluarga baru yang sangat harmonis.
...*****...
Adzan subuh selalu menjadi alarm wajib bagi Luke. Seperti biasa, setelah sholat subuh ia membuat sarapan, lalu membereskan rumah. Meski tinggal sendirian, ia selalu rajin memasak dan berbenah. Itu membuat mood-nya cukup baik.
Matahari mulai mengintip di sela-sela lubang angin. Luke membuka tirai dan daun jendela. Udara segar menyeruak masuk. Luke juga membuka pintu, membiarkan rumahnya sedikit bernapas.
Luke membawa sarapannya ke meja yang berada tepat di dekat jendela. Scramble egg, mashed potato dan segelas susu. Duh, sejak kapan Luke menyukai western food? Biasanya ia lebih suka membuat sambal tahu pete dan rebus bayam atau daun ubi.
Ah, bukan. Ia hanya sedang kehabisan beras dan cabai. Kakinya pun terlalu malas untuk sekedar melangkah ke warung. yang hanya berada di seberang rumahnya.
Dengan malas Luke mengunyah sarapannya. Jemarinya memain-mainkan ponsel, sementara matanya menatap keluar jendela. Bukan menikmati pemandangan di luar, karena yang ada hanya sederet jemuran dan para tetangga yang bergegas berangkat kerja. Sungguh membosankan.
Tetangga baru tampak mengangkat sebuah ember berisi penuh cucian. Ia melempar senyum ke arah Luke. Ia tampak lebih cantik dengan rambut dicempol.
“Selamat pagi, Mbak,” sapanya.
“Ah, selamat pagi juga. Baru pindah, ya?” balas Luke singkat. Ia paling tidak bisa berbasa-basi.
“Oh, iya. Kami pindah kemarin sore. Aku Ina.”
“Luke.” balas Luke.
“Ehm, siapa?” tanya Ina. Keningnya berkerut.
“Lukella. Panggilanku Luke. Aku sudah terbiasa dengan ekspresi itu ketika mendengar namaku,” ujar Luke sambil tertawa. Banyak orang menganggap, Luke adalah nama untuk laki-laki.
“Oh, maaf,” kata Ina merasa bersalah. “Kenalkan, ini suamiku, Dede.” Seorang lelaki memakai setelan kemeja berjalan menuju teras rumah.
Mata Luke membulat. Rasanya ia tidak mau mengakui kenyataan ini. Kenapa harus dia?
“Luke?” ucap lelaki itu.
“Abang mengenalnya?” tanya Ina. Matanya menatap Luke dan suaminya secara bergantian.
“Hmm.. yah, kami satu kelas dulu saat SMA,” ucap Dede.
“Oh, benarkah? Berarti kakak kelasku juga, dong,” seru Ina.
Luke tersenyum kecut. Jemarinya menggenggam ponsel erat-erat. “Kenapa ia harus tinggal di sini? Di saat keadaanku seperti ini?” ucap Luke dalam hati.
(Bersambung)
“Luke?” ucap lelaki itu.
“Abang mengenalnya?” tanya Ina. Matanya menatap Luke dan suaminya secara bergantian.
“Hmm ... yah, kami satu kelas dulu saat SMA,” ucap Dede.
“Oh, benarkah? Berarti kakak kelasku juga, dong,” seru Ina.
Luke tersenyum kecut. Jemarinya menggenggam ponsel erat-erat. “Kenapa ia harus tinggal di sini? Di saat keadaanku seperti ini?” ucap Luke dalam hati.
Luke menatap dirinya sendiri. Ia mengenakan kaus oblong, celana training, rambut yang diikat seadanya, serta wajah yang tidak tersentuh polesan bedak. Sungguh tidak menarik.
Sementara pria itu terlihat rapi dengan kemeja navy, rambut pendek yang ditata rapi dan memiliki istri cantik yang sangat ramah.
“Eh, tapi aku tak ingat memiliki kakak kelas seorang bule?” tanya Ina menatap Luke. Ya, rambut Luke tampak pirang kemerahan dan kulitnya yang putih pucat. Maka ia diberi nama Lukella yang artinya gadis berambut merah.
“Oh, itu-”
“Luke ini dulu jarang berada di sekolah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di karantina sebagai peserta olimpiade fisika dan astronomi tingkat Provinsi,” jelas Dede, memotong ucapan Luke.
“Wah, benarkah? Hebat sekali,” puji Ina.
“Halah, bullshit. Kelebihanku hanya berkulit putih dan sedikit pintar. Tetapi aku bukanlah siswi populer,” ucap Luke dalam hati. Ia kembali teringat kenangan pahit ketika duduk di SMA.
“Senang bertemu denganmu lagi, Luke. Kamu bekerja di mana sekarang?” tanya Dede
“Aku ... aku menulis,” jawab Luke ragu-ragu.
“Oh, kamu menjadi penulis? Wah, enak ya. Kau bisa bekerja dengan jam bebas. Tidak seperti kami yang menjadi zombie pukul delapan hingga lima sore,” ujar Dede.
Luke menyengir. Ia sangat tidak mengharapkan pertemuan ini. “Kamu sendiri bekerja di mana?” tanya Luke datar, sekedar basa-basi.
“Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta dekat sini. Yah, pegawai kontrak biasa. Tapi istriku di rumah. Ku harap kamu bisa menjadi teman yang baik untuknya,” ucap Dede. Ina pun mengangguk senang.
“Uh, aku tidak menginginkannya,” pikir Luke. Namun ia tetap berusaha memasang senyum di wajahnya.
...*****...
Seharian ini pikiran Luke kacau balau. Ia sama sekali tidak bisa menyelesaikan tulisannya.
“Penulis? Hah, apaan?” Pikir Luke.
Satu buku pun belum ada yang diterima di penerbit mayor. Ia hanya seorang pengangguran sejak menyelesaikan S2-nya dua tahun yang lalu.
Dahulu ia pikir menempuh pendidikan fisika dengan segudang prestasi, akan lebih mudah memperoleh pekerjaan. Ternyata tidak. Hubungan baik dengan orang dalam lebih di prioritaskan, dibandingkan skill dan prestasi. Sungguh ironis.
Hingga saat ini Luke masih mengirimkan puluhan lamaran ke berbagai tempat. Ia pun mengirimkan essay, cerpen dan novelnya ke berbagai penerbit online untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Kenapa ia harus muncul saat hidupku berantakan, sih?”
Luke memandang wajahnya di cermin. Rambutnya ikal kemerahan, mata yang besar, serta alis dan bibir tebal. Haah, memang hanya berkulit putihlah yang patut dibanggakan dari dirinya. Selebihnya ia memiliki perawakan standar seperti orang Indonesia lainnya. Tingginya pun cukup standar, 155 cm.
Meski kecantikan bukanlah hal mutlak sebagai pengikat para lelaki, tetapi tetap saja yang pertama kali dilihat adalah berpenampilan menarik. Lihat saja kalau membaca lowongan pekerjaan, ‘Berpenampilan Menarik’ lebih diutamakan.
“Tidak, Luke. Kamu harus percaya diri. Kamu mempunyai kelebihan sendiri. Ayah dan ibumu pasti sedih melihat dirimu rendah diri begini,” ucap Luke pada dirinya sendiri.
Ia lalu mengumpulkan mood. Rambutnya di sisir rapi, lalu diikat ekor kuda. Tak lupa memoleskan bedak tabur di wajahnya. Ia memang lebih suka make up sederhana. Luke memilih baju yang sesuai untuk dipakai ke pasar.
Setelah setengah jam berkeliling pasar tradisional, Luke pun melengkapi kebutuhan dapurnya untuk persediaan seminggu ke depan. Saat akan beranjak ke halte menunggu angkutan kota, matanya tertuju pada sebuah toko yang cukup menarik. Ragu-ragu ia melangkah ke sana.
“Ah, beli sajalah. Siapa tahu suatu hari nanti akan berguna,” gumam Luke.
“Selamat pagi, Kakak. Mau cari kosmetik apa?” sapa pegawai toko itu dengan ramah.
...*****...
Burung gereja berlompat-lompatan di dahan bunga melati. Sesekali mereka berebut remah-remah kacang yang ditebarkan Luke. Sementara itu, seekor kucing kecil tidur dengan pulas di atas pangkuannya. Dede tersenyum melihatnya. Wajahnya tampak lelah, sepertinya ia baru pulang kerja.
“Kebiasaanmu masih sama seperti dulu, ya. Berkebun, memberi makan hewan-hewan liar,” kata Dede.
Luke tak menyahut. Ia tidak terlalu terkejut dengan kehadiran lelaki di hadapannya.
“Sifatmu begitu manis dan lembut,” lanjut Dede.
“Tapi itu tidak membuat lelaki suka padaku. Bukankah teman-teman sekolah justru menganggapku memiliki sifat yang aneh?” tukas Luke dengan ketus.
“Hmm ya … Tampilanmu dulu cukup tomboy, meski rambutmu kini telah panjang. Orang pun jarang mengetahui sifatmu yang lembut dan penyayang itu,” jelas Dede.
“Orang di dekatku juga tidak memahami itu,” lanjut Luke.
“Kau masih menyukaiku?” tanya Dede.
Suka? Sebagai seseorang yang pernah menyukainya selama tiga tahun di SMA, bagaimana ia bisa lupa? Tetapi apakah benar ia masih suka? Justru yang ia rasakan itu sakit yang teramat pedih.
“Luke? Kok malah melamun?” tegur Dede.
“Pulanglah. Istrimu pasti menunggumu di dalam,” ujar Luke. Ia pun meninggalkan Dede yang masih termenung menatapnya.
...*****...
Srrr … Luke membasahi seluruh tubuhnya dengan air bak. Di sini tidak ada shower, cukup menggunakan gayung plastik. Huff.. Ia menggosok rambutnya dengan gusar. Ia berharap air yang sejuk dapat menjernihkan kepalanya, ternyata tidak.
“Apakah aku mampu bertetangga dengannya? Berapa lama ia akan tinggal di sini?” gumam Luke. Pikirannya menerawang jauh. Mengingat kejadian empat belas tahun lalu, ketiga ia duduk di kelas satu SMA.
“Luke, tolong berikan kertas ini pada Dede Purwanto, kelas XF. Katakan padanya, ia harus remedial fisika dengan saya paling lambat besok pagi. Kalau tidak, nilai raportnya tidak lulus,” ujar Pak Datson, guru fisika mereka yang cakep namun killer.
“Baik, Pak,” jawab Luke. Ia segera menuju ke kelas XF mencari siswa yang disebutkan tadi. Cukup lama ia mencarinya, karena ia tidak begitu mengenal teman-teman dari kelas ini.
“Dede Purwanto?” tanya Luke pada seorang siswa yang ditunjuk oleh beberapa temannya tadi.
“Iya, ada apa?”
“Ini, aku disuruh menyerahkan kertas ini oleh Pak Datson. Ia juga mengatakan, remedial fisika paling lambat besok pagi. Kalau tidak nilaimu akan merah di raport.” Luke menyampaikan pesan Pak Datson.
“Oh, terima kasih,” ucapnya sambil tersenyum.
Deg! “Manis sekali senyumnya,” ucap Luke dalam hati.
“Kamu anak kelas XA yang mendapat nilai fisika paling tinggi, kan?”
“Mmm.. Iya,” jawab Luke malu-malu.
“Kamu mau ajarin aku fisika untuk remedial besok, nggak? Aku udah remedial dua kali, nih,” pinta Dede.
“Boleh aja. Tetapi aku tidak bisa sepulang sekolah. Karena aku naik bus sekolah pulangnya,” jawab Luke.
“Kalau istirahat kedua nanti gimana?” tanya Dede.
“Boleh.”
“Wah, terima kasih, ya... ehm...?”
“Lukella, panggil saja Luke.”
“Trims, Luke. Nanti istirahat kedua aku ke kelasmu, deh,” jawab Dede riang.
“Duh, manis banget sih senyumnya,” batin Luke.
Sejak itu Luke selalu mengagumi Dede Purwanto, seorang siswa biasa berkulit sawo matang yang tak begitu populer. Namun mampu menjerat hatinya, hingga pada akhirnya membuatnya terluka dan trauma.
Slep. Sesuatu menyentuh punggung Luke. Ia segera membuka mata dan menoleh ke belakang.
“Hiyaaa…!” pekik Luke.
Duk! Duk! Duk! “Luke, ada apa?” panggil Kak Tyas, tetangga nomor lima. Ia menggedor-gedor pintu rumah Luke.
“Enggak apa-apa, Kak. Tadi ada tikus,” Luke berbohong. Matanya menatap sebuah benda putih yang melayang di depannya.
“Beneran?” tanya Kak Tyas lagi. Sepertinya ia sangat khawatir pada Luke.
“Iya, beneran gak apa-apa,” seru Luke.
“Ish, siapa sih yang meletakkan baju putih di sini? Ku pikir tadi hantu,” gerutu Luke saat kesadarannya telah kembali. Hmm… Dasar cewek pelupa. Padahal siapa lagi yang menggantung baju di dalam kamar mandinya sendiri?
(Bersambung)
Sejak beberapa hari terakhir, Luke banyak berubah. Dia lebih banyak mengurung diri di dalam rumah dan menggunakan headshet, agar obrolan 'tetangga baru' tidak begitu terdengar olehnya. Ia juga malas bertemu kedua teman SMA-nya tersebut.
"Ke mana si Luke? Kok jarang kelihatan ya sekarang?" ujar Kak Nada, tetangga kontrakan yang sedang libur hari ini.
"Iya, nih. Biasanya pagi-pagi udah beres-beres rumah, lalu sarapan," balas Kak Tyas sambil menjemur kain.
"Lagi sibuk mungkin, banyak job nulis," timpal Lukman. Cowok ganteng ini bekerja sebagai satpam di salah satu minimarket, tempat Nada bekerja juga. Ia makhluk kalong yang biasa terjaga di malam hari. Tidak ada yang tahu, kalau pria itu sebenarnya lulusan terbaik sekolah hukum. Tetapi lamarannya belum ada yang diterima.
"Idih si abang. Ikut-ikutan ngerumpi kayak ibu-ibu. Udah deh, tidur aja sana. Ntar malam mau jaga, kan?" balas Kak Nada.
"Gimana gak dengar? Kalian menggosipnya di depan kontrakan begini," ucap Lukman.
"Bagus, dong kalau dia jarang keluar. Aku risih juga lihat dia tebar pesona gitu."
"Hadeh, Nurul si Ratu gosip udah muncul," pikir Kak Nada dan lainnya.
"Tebar pesona gimana?" tanya Kak Tyas.
"Iya, di kontrakan ini kan hanya dia dan Fitri yang masih lajang. Tapi Fitri sudah punya calon. Kenapa dia setiap hari duduk depan jendela, kalau bukan melirik suami kita."
"Hadeeh, Nurul. Gak ada topik cerita lain? Gak bosan kamu menggibah terus?" ujar Kak Nada.
"Dia bukan menggibah, tetapi tidak percaya diri. Segitu takutnya suaminya melirik cewek lain. Makanya Dek, urusin aja rumah tangga sendiri. Biar suami betah," Kata Kak Tyas pula.
"Hei, kalian melupakan aku? Aku kan lajang juga di sini?" kata Lukman.
"Kamu mau ganggu suami kami juga? Idih, amit-amit," celetuk Kak Nada.
"Hahahahaha ..." Kak Tyas terbahak-bahak melihat ekspresi masam Lukman yang berubah masam.
"Kalian gak tahu? Kenapa Leli pindah dari sini? Dia tertanggu, suaminya dirayu Luke," kata Nurul.
"Ini anak, segitu bencinya ya sama Luke," pikir ketiga tetangganya.
"Luke bukan orang kayak gitu. Denganku yang masih sama-sama lajang aja ia selalu menjaga sikapnya. Padahal kalian tahu sendiri, kan? Ia selalu ku goda," bela Lukman. Nurul melotot pada Lukman, tanda tidak setuju.
"Wah, kakak lagi pada ngumpul, ya?" Ina keluar dari rumahnya, sambil membawa baki berisi beberapa piring kecil.
"Ina, ya?" tanya Kak Nada. Ia memang belum sempat bertemu langsung dengan tetangga barunya, karena selalu sibuk bekerja sepanjang hari.
"Iya, kak. Kakak tinggal di rumah nomor berapa?"
"Kakak tinggal di rumah nomor satu, ini Nurul di rumah nomor dua. Tyas di rumah nomor lima. Dan Lukman di rumah nomor delapan," jelas Kak Nada.
Ina menjabat tangan para tetangganya. Sementara baki yang sedari tadi dipegangnya, ia letakkan di kursi kayu temlat mereka duduk.
"Cobain dong, masakan Ina. Dari kemaren pindah, belum sempat syukuran dan kenalan dengan kakak-kakak, nih."
"Duh, Ina. Repot-repot masak untuk kami," ucap Lukman. Tetapi ucapan dan tindakannya gak sinkron. Tangannya dengan cepat menyambar hidangan di piring.
"Elah, basa-basi, Lu. Bilang aja senang dapat makanan gratis," sergah Kak Tyas. Makhluk yang diomongin hanya cengengesan sambil mengunyah makanan.
"Cuma puding jagung, kok. Sambil perkenalan sama Kakak - kakak di sini. Oh, iya, Kak Luke mana, ya? Terus penghuni nomor enam dan tujuh siapa?" tanya Ina.
"Panggil aja coba. Mungkin lagi sibuk nulis naskah. Kalau nomor enam dan tujuh, besok kalian juga bakal ketemu," ucap Kak Nada penuh rahasia.
"Assalamualaikum. Kak, Kak Luke."
Luke pura-pura nggak dengar. Ia malas banget keluar. "Pasti gak bisa langsung balik ke kamar. Mesti ngobrol basa-basi dulu. Menggibah," ucap Luke dalam hati.
"Haloo... Lukee..." seru Kak Nada dan Kak Tyas.
"Dih, mereka tidak menyerah rupanya." Luke berlalu ke kamar. Ia menyisir rambutnya dan memoles tipis wajahnya dengan bedak agar tidak terlalu kumal.
Ceklek! "Eh, lagi pada ngumpul?" Luke memasang senyum palsu.
"Iya, nih. Kemana aja, sih? Semedi mulu," ujar Lukman
"Sorry. Aku lagi nulis naskah sambil dengar lagu." Yah, nggak bohong, sih. Ia tadi memang sedang menulis naskah, dan mendengarkan lagu dari smartphone-nya. Tetapi bukan berarti ia tidak dengar obrolan mereka.
"Nih, si Ina mau bagi-bagi kue," kata Kak Tyas.
"Ah, kue sederhana aja, kok. Ina gak terlalu pandai masak."
"Enak kok, Dek," kata Nurul.
"Terima kasih."
"Luke, tuh lihat si Ina. Cantik, baik, masih muda dah punya suami cakep. Eh, umur kamu berapa sih, Dek?" tanya Nurul lagi.
"Dih, cari pengikut dia. Sok baik sama anak baru," batin Lukman, Kak Nada dan Kak Tyas.
"Dua puluh tujuh."
"Ih, cuma selisih satu tahun ya sama Luke. Tapi kok Luke gini-gini aja. Pengangguran, kerjaan ngorok aja di rumah. Gimana mau dapat jodoh? Ya nggak?" kata Nurul.
"Kamu pikir cari kerja itu mudah? Luke ini hebat, lho. Dari honor menulis aja, dia bisa membantu uang kuliah adeknya," kata Lukman.
"Iya benar. Aku aja yang lulusan D3 akutansi berakhir jadi kasir di Toko. Lagian dapat jodoh itu gak seperti kita dapat arisan kali, waktunya sudah bisa diperkirakan." Kak Nada bicara dengan Nada agak tinggi.
"Eh, Kak Luke ini hebat, lho. Semasa sekolah selalu mewakili olimpiade Fisika dan Astronomi. Mana lulusan Fisika Universitas terkenal lagi." Ina mengalihkan pembicaraan.
Semua orang di situ tercengang. Mereka sama sekali tidak menyangka tetangga mereka yang rendah hati itu, ternyata seorang jenius. Fisika kan jurusan yang cukup dihindari orang-orang.
"Kamu tahu dari mana?" tanya Lukman.
"Kami 'kan satu SMA. Suami Ina juga sekelas dengan Kak Luke."
"Tapi apa gunanya lulusan hebat kalau akhirnya pengangguran?" timpal Nurul.
"Lah kamu sendiri? Juga pengangguran. Bisanya cuma gibahin orang. Aku ini cukup pintar, aku sekolah lebih cepat satu tahun daripada teman seusia ku, " balas Luke. Wajah Nurul langsung berubah menjadi masam.
"Ah, Kak Luke ini pasti punya pekerjaan lain yang kita tidak tahu. Zaman sekarang kan sudah banyak freelancer. Kalau Ina sih jadi ibu rumah tangga aja," kata Ina.
"Ina ini, merendah untuk meninggikan derajatnya, atau memang rendah hati?" pikir Luke.
"Kamu dan suami emang pasangan serasi. Sama-sama rupawan dan baik hati," kata Kak Tyas.
"Hati-hati lho, Ina. Jangan-jangan Luke dan suami kamu dulu pernah pacaran. Sepertinya mereka terlalu dekat," ujar Nurul. Ina memandang Luke, butuh jawaban.
"Apaan sih, kalian lupa ya? Aku kan jomblo dari lahir," ucap Luke sambil senyum terpaksa.
...******...
Sore hari, Luke membuat ayam rica-rica. Ia ingin mengembalikan piring kue milik Ina tadi dan mengisinya dengan lauk buatannya. Memang, setiap rumah mendapat satu piring.
"I-na," Luke menghentikan ucapannya. Dede yang masih mengenakan kemeja memeluk istrinya dengan mesra di ruang tamu. Pintu yang terbuka, membuat Luke dapat melihat semuanya dengan jelas. Hatinya begitu teriris.
Luke segera berbalik menuju rumahnya. Namun terlambat.
"Luke, ada apa?" panggil Dede.
Luke terdiam sejenak. "Ah, ini. Aku mau mengembalikan piring. Terima kasih. Maaf masakanku gak enak." Luke buru-buru menyerahkan piring itu kepada Dede, dan bergegas pulang.
(Bersambung)
Halo para pembaca. Yang suka baca novel ala drama korea mampir ke karya aku lainnya, yuk. Di jamin kalian suka, deh.
Yang gak sempat baca, juga ada audio-nya juga, loh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!