Tidak mudah bagi Rania Alexander, seorang Wedding Planner sekaligus Chief Executive sebuah Bridal untuk memuaskan para customer yang menggunakan layanan jasa Wedding Organizer mereka. Tidak mudah pula baginya harus bekerja di bawah tekanan penuh pihak lain hingga menambah beban dan mempengaruhi ritme kerjanya. Hal teraneh di sini, tekanan dan intimidasi justru dilakukan oleh seseorang berstatus Suaminya sendiri. Ya ... Rania Alexander telah terjebak pernikahan konyol bersama seorang pengacara manipulatif bernama Raavero Alves. Lebih menjengkelkan lagi, pernikahan mereka sesuai budaya leluhur turun-temurun, "tak terpisahkan dan tak terceraikan".
Pagi itu ....
Rania masuk ke ruang kerja diikuti Alya, sang asisten. Semenjak pagi, Rania meninjau langsung persiapan pernikahan Tuan Muda Yoga Angkasa Laurent Qenant dan seorang Banker cantik, Andhara Lourez. Gadis cantik itu ingin memastikan semua berjalan sempurna tanpa komplain. Ia harus lakukan terbaik yang dia bisa dan memberikan perhatian khusus pada klien satu ini dikarenakan Andara adalah sahabatnya.
"Besok pagi ada rapat welcome program untuk Februari." Alya menyodorkan berkas file yang harus dilihat Rania. "Beberapa pasang telah fitting hari ini dan dealing. Namun, beberapa dari mereka masih butuh banyak pertimbangan untuk menyeimbangkan konsep pernikahan dan keuangan," tambahnya memberi laporan.
"Bantu mereka mewujudkan mimpi. Tawarkan konsep-konsep rustic dan vintage. Pastikan sesuai keinginan mereka. Kepuasan pelanggan adalah hal terpenting dalam usaha ini."
Rania menghela napas panjang. Pikirannya bekerja dalam dua tempat terpisah. Menyangkut kerjaan dan lainnya melayang pada Summer. Dokter mendiagnosa penyakit adik iparnya tadi siang. Summer mengidap skizofrenia. Rania membaca pesan Raavero, tapi tak berani membalasnya.
"Isolasi sosial, agresif, kompulsif, gangguan pikiran, delusi, amnesia, kebingungan. Semuanya mengarah pada Skizofrenia."
"Shittt ...."
Rania mendadak melempar map berisi berkas ke meja dan seketika membuat Alya kaget dan bingung.
"Non?"
"Maaf, Alya."
Rania menatap Alya memohon maaf. Ia mengurut kening kuat.
"Ada apa?"
"Apakah aku melewatkan sesuatu ketika liburan kemarin? Sesuatu yang menyebabkan Summer menderita? Apakah dia pernah terjatuh dan terbentur tanpa sepengetahuanku? Apakah Summer menerima semacam pelecehan? Ada sesuatu yang tidak kuketahui? Ini tidak masuk akal."
Rania mengetuk ujung pena di meja mula-mula pelan, makin lama makin cepat dan berulang-ulang, seakan ingin membagi kegelisahan pada meja kerjanya. Ada begitu banyak pertanyaan dan semua itu tanpa jawaban.
"Apa maksud Anda, Nona?"
Rania menghela napas berat, "Summer sakit. Aku disalahkan karena membawanya ikut berlibur. Bisakah kamu menolongku, Alya? Cari tahu semua kegiatan Summer ketika di kampus. Teman dekat, kekasih, dosen ... siapapun yang bisa jadi petunjukku. Bisakah tolong lakukan secara diam-diam?"
Alya mengerutkan keningnya, "Tentu saja. Aku akan mengirimkan informasi sedetil mungkin pada anda, Nona."
"Baiklah, terima kasih. Terima kasih juga untuk hari ini. Pulanglah!"
"Anda masih di sini, Nona? Bukankah Anda harus pulang dan beristirahat? Sepertinya Anda sedang banyak pikiran."
"Aku harus menyelesaikan beberapa kerjaan. Gaun untuk Miss Bernadeth belum selesai dipola. Tim produksi sangat lamban mungkin karena terlalu banyak pesanan yang harus disiapkan. Harus segera dituntaskan agar kerjaan kita tidak menumpuk. Tolong pastikan kita tidak menerima keluhan untuk acara besok, Alya. Beberapa hari ini aku merasa cukup buruk dan tertekan."
"Baiklah, Nona."
Alya berbalik hendak pergi. Namun ....
"Non, sepertinya Pak Raavero di sini. Dia terdeteksi penuh amarah."
Alya mengangguk ke arah parkiran Bridal. Saat kembali dan mendapati wajah suram Rania, Alya hanya mampu mengirimkan tatapan turut sedih.
Dari balik kaca lantai dua, terlihat seorang pria mengenakan setelan jas biru tua, berkaca mata hitam tergesa-gesa masuk Bridal.
"Bisakah kosongkan lantai dua untukku? Minta semua teman-teman pulang lebih awal."
Rania menghela napas berat untuk kesekian kali. Alya sangat kasihan pada Nona-nya itu. Raavero Alves selalu berhasil mengacaukannya.
"Jangan cemas, Non. Ajeng dan Puspa sudah stand by di tempat resepsi sedari tadi. Kru dekorasi sedang bekerja saat ini. Bridal sudah kosong sejak pukul 5 sore. Anda dan Pak Alves bisa bicara dengan santai."
"Tolong dipantau terus, Alya. Pastikan sesuai konsep presentasi. Aku meragukan ketua tim dekorasi dan ide improvisasinya. Saat mood bagus, hasilnya akan bagus. Sebaliknya, kamu tahu akhirnya kan? Jadi, jika terlalu lelah ... rapat besok bisa ditunda dulu. Lagipula, kita harus briefing sebelum pemberkatan dimulai. Bukankah akan sangat mepet sekali waktunya?"
"Tidak akan berpengaruh, Non. Rapat diadakan dengan tim marketing. Aku akan menunda jadwal rapat ke jam siang."
"Baiklah. Jaga kesehatanmu, yah!" ujar Rania sebelum Alya berlalu.
Dari lantai bawah terdengar langkah khas Raavero Alves. Rania bayangkan jemari pria itu mendorong pintu Bridal, melangkah maskulin tanpa senyum, menapakki dua anak tangga sekaligus sambil melepas kaca - mata. Dalam keadaan marah, mungkin saja Raavero Alves akan melompati empat anak tangga.
Bayangan Raavero berakhir dengan siluet nyata tubuhnya. Rania tersadar dan berdiri kaku ketika Raav masuk. Pria itu mengunci pintu di belakangnya, seakan bisa menebak labuhan terakhir dari pertemuan ini. Raav sepertinya tidak butuh ijin siapapun untuk mengambil tindakan apapun. Rania memutari meja kerja berusaha setenang mungkin sekalipun jantung berdetak hampir meledak.
"Jangan mengintimidasi aku di tempat kerjaku Raavero Alves! Kamu bisa menelponku, memintaku datang."
Raav mengabaikan teguran Rania. Pria besar itu mendekat cepat dan merengkuh Rania.
"Harusnya kamu membalas pesanku. Baca hasil analisis dokter tadi? Jika tak mau merawat Summer, aku akan pastikan kamu dan ayah licikmu itu hancur berkeping-keping," bisik Raavero begitu dekat di telinganya.
Rania memejamkan mata menahan napas. Kegelisahan untuk Summer dan untuk detak jantungnya yang abnormal. Aroma Raav mengacaukan hampir semua sistem sarafnya.
"Raav ... tanpa kamu minta, aku bersedia merawat Summer karena aku bertanggung-jawab padanya," balas Rania susah payah. "Lepaskan aku!"
"Aku meragukan itu."
Raav menarik diri sebentar tanpa melepaskan cengkeraman dari kerah baju Rania, ia mengamati Rania dari dekat. Napasnya menderu di wajah Rania. Rania menghindari pandangan Raav, akan tetapi tiap jengkal tubuh pria itu mengandung umpan.
"Kamu tak merespon pesanku dan belum pulang padahal hari sudah menjelang malam? Apakah kamu menghindari Summer?"
Rania tak punya pilihan selain memberanikan diri menatap langsung pada Raavero.
"Beri aku waktu! Aku punya beberapa kerjaan yang harus kuselesaikan. Akan kutemani dia setelah kerjaanku beres."
Mata cokelat pria itu begitu jernih. Menggugah iman.
"No ... no ... no ... Rania! Kesepakatan kita tidak seperti itu. Utamakan mengurus Summer baru selesaikan urusanmu. Bukankah begitu?"
"Kita memang telah sepakat. Tetapi aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu, Raav. Pekerjaan ini penting bagiku karena berhubungan dengan pernikahan klien VIP."
"Itu urusanmu! Aku hanya mau adikku terurus," balas Raav tak peduli.
"Baiklah, aku akan pulang sekarang dan mengurusnya."
Rania mengalah dan berusaha mengakhiri pertengkaran. Tatapan Raav benar-benar menyiksa Rania. Namun, frustasi ketika Raav tak juga melepasnya.
"Apa maumu?"
"Berhentilah bekerja dan urus adikku sampai sembuh ... itu mauku. Tak bisakah menebak keinginan sederhanaku ini?"
"Keinginan sederhanamu adalah hal rumit bagiku. Akan aku lakukan itu, tapi tak bisa sekarang! Aku harus meng-handle beberapa pernikahan sebelum Summer sakit dan aku tak bisa menyerahkan pada asistenku begitu saja. Aku harus menyelesaikan detilnya. Tolong mengertilah!" Rania kesal dan sedikit berteriak pada Raav.
"Apakah urusanmu lebih penting dari kesembuhan adikku? Berapa hargamu? Aku akan bayar. Summer hanya ingin kamu. Dia mencarimu seharian. Aku sungguh tak tahan dengan semua ini. Jika kamu sayang padanya, kamu akan berada tepat di sisinya pada saat dia menderita. Kamulah penyebab semua kegilaan ini."
"Sampai aku temukan penyebab pastinya, aku menolak menjadi tersangkamu, Raavero. Jika benar dia mengidap Skizo bukankah penyebabnya jelas. Terjadi kelainan pada sel otaknya seperti yang dijelaskan oleh dokter. Mengapa kamu meneriaki aku? Mengapa aku bersalah untuk kelainan yang terjadi pada sel otak seseorang? Kamu bersalah sebagai kakaknya karena tidak mengetahui kondisinya sejak awal. Kamu sibuk menyalahkan aku."
Rania mencondongkan wajahnya, menantang Raav. Mereka bisa mengeluarkan beberapa jurus karate hanya dengan saling menatap.
"Jangan memprovokasiku, Rania."
Raav bersuara serak. Rania buru-buru mundur ketika menyadari tindakannya telah memancing Raav dan hendak melangkah pergi. Namun, tangan panjang Raav cepat dan sigap meraihnya, menariknya dan mulai menyentuh bibirnya.
"Raav..."
Pria itu mencengkeram dan mencumbunya tanpa jeda. Rania terdesak dan dalam genggaman Raav, Rania seperti kaleng soda berukuran kecil.
"Hentikan! Ini tempat kerjaku!" Rania berusaha mendorong Raav.
Raav melepas jasnya. Napasnya tersengal. "Kau membuatku gila!" Secepat kilat telapak tangannya kembali mencengkeram leher jenjang Rania dan mulai menciumnya. Rania berusaha keras menolak, namun Raav semakin brutal dan Rania tak berdaya dibuatnya.
"Jangan pernah berharap aku akan menyukaimu lagi. Anggaplah ini untuk menebus kesalahanmu."
Rania meringis dalam hati. Ketertarikan di antara mereka begitu rapuh. Raav akhirnya akan melanggar sumpahnya untuk menjaga Rania tetap suci sampai perpisahan mereka. Tak akan ada hari pembebasan. Rania akan selamanya terjebak pada Raav.
"Kamu melanggar sumpahmu untuk tidak menyentuhku!" bisik Rania pelan.
"Kamu melanggar sumpahmu untuk tidak menyakitiku."
Pria itu bersuara antara amarah dan bergairah. Dia menghempaskan tubuh mungil Rania ke sofa dan menjepit Rania dengan kedua paha kekarnya. Tangannya melepas kemejanya tidak sabaran. Dengan kasar ia menarik paksa kemeja putih Rania. Rania menggigit bibirnya kuat saat kancing-kancing kemeja berhamburan tak tentu arah. Dia berusaha melepaskan dirinya, namun Raav sudah setengah jalan untuk menaklukkannya. Ketika pria itu mendekam dalam dirinya, memaksa sang gadis menerima kehangatannya, Rania menggigit bahu Raav putus asa. Raav meringis kesakitan dan semakin tertantang. Rania berharap dalam hati, pria itu setidaknya masih memiliki satu ons kesadaran sekalipun terlambat.
"Aku pikir Ayahmu sungguh dermawan karena mengirimkan anak perawannya. Ternyata, kamu sama saja seperti wanita lainnya. Ayahmu tetap licik seperti biasanya. Aku ingin tahu dengan siapa kamu menghabiskan ..."
"Hentikan!"
"Kau menjijikan Rania. Berhentilah berperilaku seperti orang suci ..."
Rania sekuat tenaga mendorong Raav yang semakin kasar. Ketika Rania menyerah, tangannya gemetaran memeluk leher Raav. Sesuatu yang hangat menjalar dalam tubuhnya. Nyeri yang tak tertahankan, tak seberapa dibandingkan perih yang Raav ciptakan untuknya. Air matanya merebak.
Aku bersumpah untuk berhenti mencintaimu...
Beberapa Minggu Sebelumnya...
"Aku tak akan menikahi, Raav, Raavero atau siapapun pria yang Ayah pilihkan untukku." Rania menatap Ayahnya tajam.
"Rania, please! Ayah mohon. Raavero akan menghancurkan kita hanya dengan sekali mengunyah dan menelan kita tanpa mencerna."
"Harusnya ... Ayah pertimbangkan konsekuensi semacam itu, sebelum merampok hartanya!"
"Ayah menggunakan harta itu untuk membiayaimu, Rania. Ayah selalu sesalkan itu."
"Jika tahu dari awal uang itu milik Raav, aku lebih memilih drop out. Sudahlah! Aku akan bekerja, Ayah. Aku akan menggantikan semua kerugian yang Ayah ciptakan. Jangan memaksaku menikahinya!"
"Dia hanya menginginkanmu!"
"Psikopat itu ... "
"Jaga bicaramu, Rania!"
"Aku akan menemuinya, Ayah! Ayah bersalah. Kita bersalah. Tetapi dia tidak boleh menindas orang lain sesuka hatinya."
"Dia berhak melakukannya," keluh Pieter Alexander.
Raavero dan keinginan anehnya, memaksa Rania mengosongkan jadwal kerjanya. Sementara Bridal begitu ramai kunjungan menjelang musim panas. Banyak pasangan suka menggelar pesta outdoor bertema "back to nature", ketika musim panas mencapai puncak. Whateverlah, Raavero Alves sepertinya merupakan hal yang sangat serius saat ini.
Butuh 20 menit perjalanan keluar kota untuk mencapai Lembah Alves, tempat tinggal Raavero Alves. Robertus Alves adalah ayah Raavero, merupakan pemilik lembah seluas 300 hektar di bawah kaki pegunungan Grand-mom Peak. Tanah seluas itu terdiri dari hutan akasia raksasa, hutan kemiri dan perkebunan kopi arabika.
Sedangkan Kediaman Alves menjadi satu-satunya bangunan di tengah lembah. Bangunan bergaya kolonial berlantai dua, beratap tinggi dan terlihat sangat megah di kejauhan. Ada 20 kamar tidur yang belakangan beralih fungsi sebagai penginapan eksklusif.
Pekarangan Kediaman Alves sangat luas. Rumput jarum bak permadani hijau membentang mengelilingi bangunan.
Kediaman Alves tidak asing bagi Rania. Dulunya, mereka tinggal di sini dan Raavero adalah anak angkat ayah, setahu Rania. Sampai Rania dewasa dan kenyataannya terkuak. Raavero adalah pemilik rumah itu dan ayah Rania sedang mencuri dari Raavero kecil. Ketika Raavero Alves menjadi pengacara dan merebut kembali haknya, Rania dan keluarganya terlempar keluar tanpa sepeser pun uang dan hidup dengan harga diri terkoyak.
Rania masih mahasiswa Akutansi semester tiga kala itu dan butuh uang. Dia ingat saat ayahnya tak sanggup membayar uang kuliahnya lagi, Rania terpaksa mengerjakan berbagai macam pekerjaan. Dia pernah menjadi pramusaji, pemandu wisata, free lancer, penulis skripsi untuk mahasiswa yang malas, bahkan menjadi care giver untuk seorang nenek tua bernama Anastasia.
Rania memejamkan mata sejenak dan menghirup aroma pinus yang tumbuh menjulang tinggi di sisi taman. Aroma rerumputan selepas dipangkas berjejak dalam ingatan Rania. Pohon bougenville raksasa berusia tua masih kokoh menghiasi kedua sisi jalan masuk menuju rumah besar itu. Tepat depan bangunan terdapat sebuah patung besar setinggi 2 meter. Patung malaikat bersayap memegang kendi sedang menuangkan air.
Ingatan Rania kembali ke masa kecilnya, suatu ketika Raavero ditemukan sesegukkan di balkon lantai dua. Untuk menghiburnya, Rania membawakan dadar gulung buatan ibu dan menaruhnya di atas meja. Raavero menatap hampa pada nampan. Ketika tangan Rania akan menyentuhnya, Raav menghempaskan tangannya.
"Jangan pernah menyentuhku! Kalian sungguh menjijikkan."
Rania mencibir. Dia memang pria keras kepala sedari orok. Rania memperhatikan pekarangan yang ditumbuhi beberapa pohon pinus, palem dan beberapa pepohonan anting-anting merah jambu. Mereka tumbuh dengan baik. Begitupun Raavero Alves.
Ketika beralih ke sisi kanan rumah terlihat hamparan tanaman jagung, sayur-sayuran dan buah-buahan musim pendek. Tempat ini lebih mirip Agrowisata dibanding rumah penginapan atau rumah hunian. Beberapa pekerja sedang membersihkan rumput di sekitar tanaman stroberi. Mereka menyapa Rania ramah sebelum kembali bekerja.
Rania disambut dan diantar ke ruang tamu di lantai dua. Setengah jam menunggu, ia putuskan pergi ke balkon yang menghadap langsung ke taman belakang. Deretan pepohonan akasia raksasa menghiasi langit belakang bangunan. Indahnya bak lukisan. Burung merpati mengeluarkan suara khas memenuhi udara. Pria itu telah menghidupkan kembali tempat ini.
"Nona bisa menunggu sebentar, yah! Tuan masih di ladang sedang membajak."
Rania terperanjat. Seorang pengacara hebat seperti Raav, masih melakukan pekerjaan ladang? Rania mendekat ke tepian balkon, memperhatikan seorang pria yang dengan lincah mengemudi hand traktor.
Pria itu Raavero dan memang tidak punya selera humor. Wajahnya datar, sedatar tanah ladang yang digarapnya. Rindu pada Raav menjelajahi relung hati Rania. Jika Rania ingin jujur, dia memimpikan Raavero sejak kecil. Mereka berbeda delapan tahun dan Raavero adalah pangeran impiannya. Sayang, Raavero tak pernah sedikitpun mengindahkannya. Raavero cenderung kasar dan memusuhinya. Rania lantas memutuskan untuk berhenti menyukai Raav. Pria itu terlalu angker untuknya.
"Halo ... kamu pasti Rania?"
Rania terkejut, berbalik dan mendapati seorang gadis cantik berlesung pipi, tersenyum sumringah padanya.
"Aku Summer ... calon adik iparmu," ujar gadis itu lagi dan mendekat.
Summer adalah adik perempuan dan satu-satunya saudara Raav, setahu Rania. Baik Rania maupun Summer, tidak pernah kenal dekat sejak kecil karena Summer ikut ibunda Raavero ke luar negeri. Ketika tahu ayah Raavero bangkrut dan sekarat, ibundanya memutuskan untuk melarikan diri bersama Summer dan meninggalkan Raavero yang beranjak remaja bersama keluarga Rania. Setidaknya itulah sedikit cerita yang diketahui Rania.
"Hai ... aku Rania."
"Yah, aku tahu. Aku akan jadi bridesmaid di acara pernikahanmu dan kakakku. Wah, menyenangkan sekali. Mau lihat keahlianku menyanyikan lagu wedding?"
Senyum Rania mengembang. Dia seketika terpesona pada Summer. Pada supelnya gadis itu.
"Dari mana kamu tahu aku akan menikahi kakakmu?"
Dahi Rania mengernyit bingung. Summer mengulum senyum.
"Bukan rahasia lagi jika kakakku akan menikahimu."
"Apa maksudmu?"
"Tiap pria di kota ini memimpikanmu, Rania," goda Summer membuat Rania tersenyum simpul.
"Oops, aku anggap itu semacam pujian. Tak menyangka, ternyata aku sepopuler itu."
"Tentu saja kamu sangat populer. Kamu gadis muda berbakat dan memiliki La Belle. Tahu kah kamu banyak wanita seusiaku ingin sepertimu," seru Summer antusias. Rania tersenyum lebar menganggap Summer berlebihan.
"Senyummu bisa menggetarkan hati kakakku. Hati-hati, yah!" bisiknya lagi-lagi menggoda. "Eh, ternyata ada orangnya di sini."
Celotehnya berakhir. Raavero terlihat tak begitu menyukai candaan Summer barusan.
Rania berbalik dan mendapati Raavero berdiri tak jauh darinya. Mata mereka bertemu.
Deg.
Mata Raavero Alves, cokelat jernih bahkan dari kejauhan begitu indah memikat sekalipun terkesan dingin.
"Aku perlu bicara dengannya. Sam, masuklah!"
"Bye bye Rania, semoga harimu menyenangkan. Senang bertemu denganmu. Kita harus bertemu lagi, aku penasaran gaun seperti apa yang cocok untukku?"
Summer mengedipkan sebelah mata dan segera pergi dengan berat hati. Rania melambaikan tangan dan memberikan senyuman terbaik nan tulus untuk Summer.
"Aku tak akan menikahimu," cetus Rania ketika Summer dan langkah kakinya tak terdengar lagi, "sebagai gantinya ... aku akan mentransfer sejumlah uang tiap bulan sebagai ganti kerugian yang kamu alami."
Raavero melepaskan sarung tangan kerja, mengibaskan pelan sebelum menaruhnya di atas meja. Matanya tak lepas dari Rania.
"Aku tak tertarik. Apa pikirmu, aku kekurangan uang? Kamu tahu? Beberapa dosa dan kesalahan tak akan tergantikan oleh uang. Bahkan ketika kamu memberi dirimu, tak akan cukup untuk menggantikan kepahitan yang aku alami."
"Aku minta maaf untuk semua hal buruk itu. Katakan apa maumu dan mari kita akhiri kekonyolan ini?"
"Menikah denganku! Kamu harus mau tanpa syarat. Itupun, belum sanggup melunasi utang ayahmu. Bahkan nyawamu sekalipun tak akan sanggup melunasi utangmu. Jika melukai seseorang kamu anggap konyol maka aku akan membuatmu memahami arti 'konyol' sesungguhnya."
Rania tersedak liur sendiri. Dia lalu tertawa lebar di bawah terik matahari dan suhu udara yang menghangat. Gadis itu tertawa sampai pipinya memerah. Air mata mengalir dari kedua pipinya. Rania cukup menderita, ketika Raavero membalas mereka. Rania tidak punya tempat tinggal. Dia harus tinggal di asrama kumuh, berdempetan dan kadang tak makan seharian. Dia membuang harga diri dan membersihkan toilet di sebuah restoran. Mereka bahkan menghitung makanan bekas yang dia bawa pulang.
Rania tertawa separuh menangis. Memang cuma satu tahun, tapi seandainya pria ini tahu, satu tahun itu seperti di neraka. Dia bahkan nyaris diperkosa oleh manajer restoran berwajah mesum dan sisakan trauma hingga detik ini.
Raavero melangkah menghampirinya dan menguncinya di tepian balkon. Pria besar itu menunduk, menghalau cahaya matahari. Wajah mereka sejajar dan Rania berhenti tertawa.
"Haruskah aku menutup mulutmu agar kamu berhenti tertawa dan menganggap ini bukan lelucon?"
"Apa yang telah kami lakukan padamu yang membuatmu berpikir, nyawa pun tak dapat tergantikan?"
"Na'if dan lupa daratan!" ejek Raav. Matanya menatap mata Rania seakan-akan hendak melahapnya.
"Bukankah kamu telah membalas perbuatan ayahku? Kamu menendang kami keluar dari sini tanpa uang dan membuat aku melarat di luar sana. Ayahku bahkan telah hidup tanpa harga diri. Berhentilah bertingkah seakan-akan kamu paling menderita!"
Raav masih terus mengawasinya. Mata jernihnya membuat jantung Rania berdebar. Gadis itu mengusap bekas lelehan air mata di pipi. Tangannya tanpa sadar terangkat dan menyentuh bawah mata Raav.
"Aku benar-benar minta maaf. Jika layak," bisik Rania hampir tak terdengar.
Raav menangkap tangan Rania dan menghempaskannya membuat Rania segera tersadar.
"Jangan menyentuhku!" Dia bergeser. "Pernikahan kita seminggu lagi. Kita akan bertemu di Kapela Biara pukul 09.00 pagi. Aku tak akan membahas gaun pengantinmu atau hal - hal yang berhubungan dengan persiapannya, karena kamu pasti lebih tahu."
Pria itu berdiri tegap. "Jangan berpikir untuk menipuku. Kamu akan berakhir di penjara, La Belle-mu itu akan kusegel dan berpindah tangan. Keluargamu akan menjadi terbuang. Jangan coba berpikir aku tak sanggup bertindak. Aku pernah membuatmu kehilangan segalanya. Seperti katamu, aku pernah membuatmu mengemis makanan. Aku bisa melemparkanmu ke titik terendah yang bahkan anjing pun tak akan mau. Jika kau pahami itu! Kamu atau ayahmu tak akan membuatku kesal!"
Rania masih terpaku di tempat, sementara pria itu menjauh. Raavero Alves begitu menakutkan dan menarik dalam waktu bersamaan. Ketika semilir angin berhembus, Rania bergumam pada punggung Raavero yang akan menghilang di ujung anak tangga.
"Bagaimana jika aku menginginkamu?"
Rania terbangun oleh suara gaduh di sekelilingnya. Saat mata terbuka, Alya, Puspa dan Diana sedang berdebat tentang sesuatu. Mereka memegang undangan cokelat bernuansa black white.
"Mengapa ribut sepagi ini?"
Rania bangun dan menyipitkan mata ketika mentari pagi menerobos kaca jendela kantor, menikam langsung ke manik mata. Tangannya refleks terangkat berusaha menghalau cahaya itu.
"Anda menginap di kantor semalam, Nona? Mengapa tidak beri kabar? Aku pasti akan menemanimu."
Alya bertanya sembari menaruh nampan teko teh dan beberapa potong roti panggang di hadapannya.
"Aku ketiduran saat memeriksa file Andara," jawab Rania.
Rania meneguk sedikit teh dan mengunyah roti panggang. Dia melirik jam dinding lalu terperanjat.
"Astaga, ini sudah sangat siang. Mengapa tak bangunkan aku sedari tadi? Hari ini ada prewedding session, Dioyoga dan Andara. Apakah bagian dokumentasi sudah siap untuk pemotretan? Hubungi bang Ivan, cek persiapannya!"
Ia memberi perintah sambil tergesa menuju kamar mandi. Seakan teringat sesuatu, gadis itu berbalik.
"Kalian terlihat aneh? Seakan menyembunyikan sesuatu? Undangan siapa itu?"
Dia mendatangi ketiga bawahannya, lalu merenggut kartu undangan dari tangan Puspa dan mengamati. Alisnya terangkat tinggi. Alya terlihat ragu sebelum memberi komentar.
"Undangan pernikahan anda telah tersebar, Nona. Ini benar-benar tak terduga dan menghebohkan."
Ketiganya menahan napas menunggu respon atasan mereka. Rania menatap ketiganya sesaat. Dia meredam kejutan itu ke balik tulang-tulang rusuk.
"Kalian tersenyum simpul, apakah kalian bahagia aku akan menikah? Aku akan punya bayi dan mungkin terkena sindrom baby blues. Apa kalian pikir aku akan mengurus sebuah keluarga sementara La Belle sedang bertumbuh?"
Rania mengoceh tidak jelas menyisakan kebingungan ketiga orang di depannya.
"Jika tidak senang menikah mengapa menikah?" tanya Puspa. Gadis itu terkenal suka ceplas - ceplos.
"Awwwhhhh!" jerit Puspa tertahan saat kaki Alya menginjak kakinya keras. Gadis lugu itu layangkan protes. "Apa aku salah? Foto prewedding Nona sangat intim."
Rania miringkan leher sedikit, membaca undangan, mengangkat bahu lalu melemparkan benda itu ke tempat sampah. Ketiga gadis terperanjat dibuatnya. Tersadar celotehan Puspa, ia kembali memungut kartu undangan dan berdecak saat melihat fotonya dan Raav di balkon. Dia mengamati sekali lagi. Benar-benar terlihat sangat intim seakan mereka baru habiskan satu malam bersama. Rania mengibaskan kartu undangan itu dan menggerutu.
Ini kebetulan? Ataukah terencana apik?
"Aku akan menikah Jumat nanti dan karena itu bukan prioritas, tidak usah dipermasalahkan! Okay?"
Ketiga pegawainya saling melempar pandang. Atasan mereka terlihat santai dan penuh percaya diri. Timbul iba padanya.
"Nona, anda telah keliru. Calon suami anda mendaftarkan diri sebagai VIP Customer tadi pagi. Beliau telah mengajukan emergency meeting untuk persiapan pernikahan lima hari lagi. Beliau menghubungi seluruh tim."
Diana membuat laporan yang lebih mirip sebuah deklarasi perang.
"Apa itu mungkin? Persiapan pernikahan hanya dalam lima hari? Tamu undangan diperkirakan satu kota. Sedangkan kita punya EMPAT jadwal dengan klien VIP dalam tiga hari ke depan," sahut Puspa.
"Mari jernihkan pikiran dan temukan solusi!" tegur Alya.
Situasi Rania terpantau buruk. Alya berkewajiban menolongnya. Ketika karirmu sedang melesat naik dan kamu tiba-tiba harus menikah hanya dalam hitungan hari. Bukankah itu buruk?
"Benar. Kita bisa jadwalkan ulang segalanya," usul Diana, lantas Puspa dan Alya mengangguk setuju.
"Maaf, semua ini salahku karena tidak memberitahu kalian lebih awal. Aku pikir bisa handle semuanya tanpa merepotkan dan membingungkan kalian," ujar Rania.
Tidak terpikirkan olehnya, Raavero akan mengambil sikap tegas dalam kurun waktu 72 jam.
"Psikopat itu ... " rutuk Rania. "Alya, tolong reschedule semua job desk! Penuhi permintaan Pak Raavero untuk emergency meeting dengan semua tim. Kita berkumpul tiga jam lagi. No question, please! Beritahu tiap tim untuk siap presentasi! Clue - nya, Tuan Raavero Alves adalah pria perfeksionis!" serunya tepat sebelum pintu kamar mandi tertutup keras.
Ketika semua berkumpul di ruang rapat dan menunggu Raavero, suasana menjadi begitu hening. Rania bahkan bisa mendengar jantungnya berdetak.
"Kita berkumpul pagi ini, aku pikir kalian sudah tahu alasannya. Saya berharap kalian melakukan yang terbaik. La Belle menangani pernikahan pelanggan VIP sejauh ini, dan sekarang kalian akan membantuku, merancang pesta pernikahan dalam lima hari ke depan. I don't know how to telling you, just do your best for me! Ini permohonan."
Rania berusaha santai, sekalipun nada suaranya seperti sedang tercekik. Beberapa orang berbisik-bisik, mengangguk-angguk dan beberapa lainnya mencermati situasi Rania. Alya muncul di pintu ruang rapat. Napasnya ngos-ngosan seakan baru saja melihat hantu.
"Pak Raavero tiba, Non."
Rania menghembuskan napas tertahan, melangkah keluar meninggalkan ruang rapat dan menuruni tangga untuk menyambut Raav di ruang resepsionis.
Pria itu mengenakan jaket kulit cokelat gelap, kemeja berkerah merah tua dan celana jeans butut. Dia terlihat santai. Ketika melihat Rania, kaca mata gelapnya dilepas. Jaketnya dilepas dan disodorkan pada Rania.
"Tak bisakah kamu memberiku ruang dan waktu untuk mengurusnya," sambut Rania datar, sedikit enggan menerima jaket Raavero.
"Tidak ada pertanda. Jam terbangmu tinggi. Kamu sibuk mengurusi pernikahan client sampai lupa kalau kamu sendiri akan menikah beberapa hari lagi," sergah Raavero. "Aku yakin, para pegawaimu bersedia lakukan terbaik untuk pernikahan bos mereka. Ketidak-yakinanku adalah mereka tidak tahu pasti, kapan tepatnya pernikahan itu akan berlangsung kecuali pengantin prianya datang sebagai pelanggan VIP."
Raavero mendekat, Rania melangkah mundur. Pria itu suka mengintimidasi orang.
"Menjauh dariku, Raav!!!"
Melirik ke ruangan rapat. Para pegawainya hanya manusia biasa. Jiwa mereka juga berisi roh penasaran. Dugaan tepat, mereka sedang mengintip. Ini akan menciptakan bibit gosip baru.
"Pakailah atasan yang lebih tertutup, Rania! Lelaki pada umumnya tertarik pada gadis berpenampilan seksi," ucapnya dalam.
Raavero mengambil jaketnya dari tangan Rania, memutar tubuh gadis itu, memakaikan jaket lalu menarik resleting hingga menyentuh dagu Rania. Pria itu lantas mengusap kepala Rania lembut.
"Ini lebih pantas."
Wajah mereka begitu dekat. Aroma parfum Raav merengsek di ujung hidung Rania.
"Nona, bisakah rapat segera dimulai?" Alya menyelamatkannya tepat waktu.
Terdengar dengungan bernada kecewa dari ruangan rapat. Mungkin lantaran tayangan dramatis itu berlangsung hanya dua menit dan keburu terpotong iklan.
Raavero menjauh, tetapi tatapan pada Rania melekat bak perangko menempeli kertas amplop. Rania memberi tanda agar pria itu menghentikan ide gila yang mungkin berkeliaran di langit otaknya.
Mereka akhirnya berhadap-hadapan di ruang rapat. Raav berdiri dan memperkenalkan diri.
"Saya tahu ini terdengar aneh. Tetapi saya akan menikahi Rania hari Sabtu nanti pukul 9.30 pagi di Kapela Biara. Resepsi setelah pemberkatan di kediaman Alves. Kami mengundang semua orang tanpa terkecuali untuk bergabung di hari bahagia kami." Raavero mulai pidatonya.
"Calon istri saya sibuk mengurusi sahabat dekatnya yang akan menikah beberapa minggu lagi dan lupa bahwa beliau sendiri akan menikah dalam minggu ini. Oleh sebab itu, saya mohon bantuan dan partisipasi dari semua keluarga besar La Belle," tambahnya santai.
Raavero sengaja menyudutkannya. Pikir Rania jengkel. Ketika Rania mencuri pandang, ia tersenyum aneh pada Rania. Atau itu bukanlah senyuman tapi sejenis auman tanpa suara.
"Terima kasih sebelumnya telah percayakan hari penting anda pada La Belle, Pak Raavero. Saya Alya, asisten nona Rania. Kami telah mempersiapkan hal-hal untuk pernikahan anda. Anda bisa melihat ceklist yang sudah kami buatkan dan Puspa akan mulai untuk presentasi."
"Raav, kita bisa bahas ini tanpa harus melibatkan semua pegawai," protes Rania tiba-tiba mengundang atensi. Ini tidak benar. Jadwal kerja mereka kacau gara-gara Raavero.
Semua mata kini tertuju pada keduanya. Mereka menahan napas dengan wajah tegang berharap tayangan langsung ini ... lagi ... tanpa jeda iklan. Raavero memperbaiki duduknya, menatap Rania misterius. Keduanya terlihat terlalu banyak memendam rasa. Antara amarah dan asmara.
"Kapan kita akan membahasnya, Rania? Apakah maksudmu, kita akan bahas nanti malam di atas ranjang dan berakhir tanpa solusi?"
Beberapa orang di ruangan itu berpaling, tak mampu menahan senyum geli. Wajah Rania memerah jambu. Diana menutupi wajah bengong Puspa dengan materi presentasi. Para pekerja seni di ruangan ini bisa saja berimajinasi liar berkat Raavero. Dia terlalu bar-bar.
"Bolehkah aku bertanya, Rania? Apakah ada yang tahu kita akan menikah? Apakah kamu memberi komando untuk membuat persiapan pernikahan? Kamu bahkan tidak peduli bagaimana nanti? Siapa yang akan kamu undang nanti?Apakah kamu akan menikahiku, disaksikan burung gagak dan burung hantu?"
Beberapa orang spontan terkekeh geli. Rania terpekur pada meja di hadapannya. Lagi-lagi wajahnya memerah.
"Bisakah kita mulai? Atau kita akan berdebat dan biarkan pegawaimu menonton sampai mengantuk?"
Raavero mengalihkan perhatiannya pada Puspa, memohon Puspa untuk segera mulai. Alya mengedipkan sebelah mata pada Rania. Mengirimkan pesan, "trust me, everything it's okay."
Ketika akhirnya Puspa mulai membahas konsep dan tema pernikahan, Rania sibuk memecahkan teka-teki. Mengapa Raavero antusias? Apakah pria ini menyusun rencana jahat dalam kepala besarnya itu? Itu pasti. Rania yakin.
Venue
"Mengapa aku setuju untuk menikahinya? Tepatnya, apakah aku setuju menikahinya? Ataukah aku tak diberikan pilihan?"
Fotografer
"Apa yang dia inginkan dariku?"
"Melunasi utang hanya kamuflase."
Konsep
"Apakah pria ini menikahinya untuk mengacaukan hidupnya? Bukankah Raavero sangat dendam pada Rania atas penderitaan kedua orang tuanya?"
"Jangan-jangan, dia jatuh cinta sungguhan?"
Daftar tamu
"Apa maunya dengan mengundang satu kota?"
Rania berharap pernikahan mereka dirayakan dengan sederhana. Rania tidak begitu siap sedia bermesraan seharian antero dengan Raavero di hadapan khayalak ramai.
Jumlah undangan
"Foto intim di balkon, pria itu sudah merencanakannya? Fix, itu bukan kebetulan."
Catering
"Ini membuatku gila."
Panitia
Rania mencuri pandang pada Raavero dan pria itu menyeringai padanya. Rania tertunduk lemas.
"Apa yang harus aku lakukan? Aku bisa gila."
Souvenir
"Apa maunya???"
MUA
"Apa???"
Rapat selesai dan Rania tak menangkap satu hal pun dalam ingatannya. Raavero menjulang di depannya tanpa dosa. Semua orang telah pergi tanpa Rania sadari.
"Mau makan siang denganku? Kamu melamun sepanjang rapat. Kamu seakan-akan hendak merancang pernikahan mantan kekasihmu."
"Apa niatmu, Raav?" sergah Rania.
"Menikahimu dan membuatmu membayar utang," sahut Raav ketus. "Mau makan siang denganku?" tanya Raav lagi mulai tak sabaran.
"Aku kenyang. Terlebih setelah menelan satu gentong omong - kosongmu.Terima kasih sebelumnya." Rania berdiri. Sebaiknya dia pergi dan tidak meladeni Raavero Alves.
Raavero tertawa berat. Pertama kali, Rania melihat pria itu tertawa. Beruntung pegawainya telah kembali bekerja. Tersisa mereka berdua saja di ruang rapat. Mungkin bersama para arwah hantu penasaran, sebab ruangan tiba-tiba menjadi terlalu dingin.
"Jika tak ingin makan siang denganku hari ini, aku akan kembali besok."
"Apa kamu jatuh cinta padaku?"
Raavero terlihat berpikir. Tatapan mereka lantas bertemu lama. Mata itu semisterius planet Mars. Semakin digali semakin tak terpecahkan.
"Terlalu percaya diri bisa menempatkanmu dalam masalah!" Raavero tersenyum mengejek. "Apakah menikahi seseorang begitu sulit untukmu? Kamu punya kekasih di suatu tempat?"
"Aku akan menikahimu, tapi berjanjilah tak boleh menyentuhku," ucap Rania mengabaikan keingin- tahuan Raav.
"Kamu tahu alasan kita menikah?" Raav bertanya dan terlihat menahan jawabannya. Dia menimbang. "Ayahmu memohon pengampunan dariku. Dia akan persembahkan miliknya yang paling berharga sebagai permohonan maaf dan semacam penghapusan utang. Namun, aku tidak melihat, dia punya barang berharga kecuali anak gadisnya yang angkuh. Jadi, aku bersedia menghapus utangnya, jika anak gadisnya menikah denganku. Sekalipun tak cukup adil bagiku, tapi bukankah aku dermawan?"
"Aku akan menikahimu, tapi berjanjilah tak boleh menyentuhku," ulang Rania lagi.
Rania tak mengindahkan penghinaan pada Ayahnya. Ingin rasanya punya kekuatan supranatural agar bisa mencekik Raav sampai pria itu kehabisan udara.
"Apakah seorang suami bisa berjanji untuk tidak menyentuh istrinya? Berhentilah untuk memancing amarahku, Rania!"
"Aku akan menikahimu, tapi berjanjilah tak boleh menyentuhku," paksa Rania lagi. Lebih tegas.
"Persis Ayahmu. Licik," ejek Raav.
"Mau ku beritahu satu hal, Raavero Alves?"
Raavero Alves butuh diberi pelajaran. Jika Rania terus diam, Raav akan senang hati menindasnya. Berdiri dan tengadah menantang Raav. Matanya berkilat emosional. Dia membalas Raav berapi-api.
"Ayahmu tidaklah se-heroik bayanganmu. Ayahmu juga seorang penjahat yang memeras orang lain untuk keuntungannya sendiri."
"Jaga ucapanmu, Rania!" Raav berusaha tidak terpancing.
"Ayahmu melakukan banyak pekerjaan kotor dan ayahku, yang kau sebut licik, dialah yang terus saja membersihkan kotoran itu."
"Rania, jangan lewati batasmu!" Dia Menahan diri.
"Ayahmu punya rahasia, Raav. Jika saja bukan karena ayahku, kamu tak akan dapatkan hakmu sekarang. Kamu tahu, ayahmu punya banyak wanita di luar sana? Kamu beruntung diakui."
Rania menggigit bibirnya setelah itu. Mata Raav berkilat tergugah oleh amarah. Pria itu mencengkeram lengan Rania.
"Hentikan!"
"Jika bukan karena ayahku, kamu hanyalah anak jalanan tanpa nama, tanpa martabat."
Terlanjur basah mengapa tak berenang sekalian? Raavero mengangkat dagu Rania lalu mencengkeram dagu lancip Rania.
"Oh yah? Lantas? Apakah aku harus berlutut pada keluargamu dan berterima kasih? Berterima kasih karena telah menipuku?"
Rania meringis kesakitan. Tangan Raav besar dan kuat.
"Kamu akan menyesalinya, Rania!"
"Aku tak akan datang ke pernikahan sialanmu itu kecuali kamu berjanji tak akan menyentuhku!" Rania balas mengancam. "Nikahi saja burung hantu!" tambahnya setengah berteriak.
"Coba saja, Rania! La Belle - mu yang berharga ini ... tak susah untuk memilikinya. Coba saja! Kita lihat nanti! Aku bahkan tahu di mana jantungmu berdetak." Pria itu menyeringai jahat, lalu menghempaskan dagu Rania kuat. Bekas jemarinya terukir di sudut-sudut rahang Rania. Wajah gadis itu memerah laksana bara api. Dia meniup bara amarahnya.
Di mana jantungku berdetak?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!