NovelToon NovelToon

Tak Bisa Ke Lain Hati

1. Pasangan Itu (Rev)

Hal terbodoh yang pernah aku lakukan adalah pernah menjalin hubungan asmara dengan pria yang masih memiliki hubungan keluarga. Mengapa? karena pertemuan tidak bisa dihindari.

Namanya Adhitama Prambudi, masih sepupu keduaku. Kakeknya dan Nenekku bersaudara.

Kisah asmara kami kandas begitu memasuki tahun keempat. Yang lebih menyakitkan, belum sebulan kami putus, ia sudah memproklamirkan hubungannya dengan perempuan yang masih sepupuku juga, Ayudia. Celakanya lagi, sudah satu setengah tahun berlalu, aku belum bisa mengikis perasaanku padanya.

Seperti saat ini, saat aku pulang ke Indonesia untuk lebaran Idul Fitri, Kakeknya yang merupakan orang yang paling dituakan dan disegani di keluarga besar kami mengadakan perjamuan keluarga.

Kakek Sofyan Amin membooking semua kamar di hotel G Paradise di Lembang Bandung khusus untuk keluarga besar selama tiga hari. Biasanya Kakek Sofyan Amin melakukan open house di kediamannya di Jakarta setiap hari lebaran, namun kali ini ia menyajikan perjamuan yang berbeda dari biasanya.

Aku Adinda Lestari, 24 tahun, sedang mengambil kuliah S2 Program Arsitektur di University Of Sidney, Australia. Sudah satu setengah tahun aku disana, dan saat ini aku pulang ke Indonesia untuk merayakan Idul Fitri dengan keluargaku.

Dulu aku paling senang dengan acara open house Kakek Sofyan Amin. Saat diriku nempel terus pada Mas Adit sambil mendengar pujian keluarga pada kami berdua.

Bagaimana tidak, Mas Adit seorang kontraktor muda yang sukses. Dan aku? Kala itu aku Mahasiswa S1 Arsitektur di Universitas Indonesia.

Semua keluargaku tahu kalau aku mahasiswa yang cerdas, lulus dengam predikat cumlaude. Sedari SD memang aku sudah terkenal pintarnya.

Karena aku merasa perempuan yang pintar, aku memiliki cita-cita yang tinggi. Setelah tamat strata satu di Universitas Indonesia, aku ingin melanjutkan Program Magister di Australia karena aku selalu ingin menjadi yang terbaik dari teman-temanku. Aku memiliki ambisi yang terlalu tinggi. Dari sinilah berawal kandasnya hubunganku dengan Mas Adit.

*******

FLASHBACK ON

"Dind, kamu kan bisa lanjut S2 di sini, ngapain harus ke Australia? Apa kamu nggak berpikir untuk menikah? Mas Adit usianya sudah 30 tahun," protes Mas Adit.

"Mas, Dinda kan baru mendaftar di University Of Sidney. Kalau nggak lulus ya aku kuliah UI lagi. Mas Adit kan juga sudah lama tahu kalau Dinda ingin kuliah di luar negeri."

Mas Adit malah tertawa sinis.

"Kamu cuman memikirkan diri kamu sendiri Dind. Kamu nggak pernah memikirkan Mas Adit. Mas Adit nggak bisa berjauhan seperti itu. Lagian kamu kan cerdas, sudah pasti lulus."

"Hanya dua tahun Mas studinya"

"Apa kamu bilang? hanya dua tahun? kamu pikir dua tahun itu sebentar? Begini saja, kalau kamu tetap ngotot berangkat ke Australia, saat kamu terbang kesana, hari itu juga kita putus," ancam Mas Adit.

"Mas Adit ngancam Dinda? Ya sudah terserah Mas Adit. Yang jelas yang Dinda lakukan hal baik, Dinda hanya ingin melanjutkan sekolah. Kalau Mas Adit ingin putuskan Dinda, silahkan! Kalau perlu saat ini juga." Aku balik mengancam.

Ternyata Mas Adit membuktikan kata-katanya, saat aku hendak berangkat ke Australia, ia masih mengantar aku ke bandara. Tetapi yang tidak kuduga, Mas Adit memutuskan aku di bandara.

"Dinda, kamu baik-baik disana. Belajarlah dengan tekun. Mas Adit doain kamu bisa meraih segala impianmu. Tapi ingatlah, kita tidak bisa menggapai seluruh dunia. Kamu bisa menggantungkan cita-citamu setinggi langit, tapi jangan lupa tempatmu berpijak tetap di bumi. Maafkan Mas Adit, kita berhenti sampai disini."

Aku hanya menganga mendengarnya. Belum sempat kuucapkan satu kalimatpun, Mas Adit sudah berlalu meninggalkanku yang masih belum percaya dengan apa yang aku dengar. Ia bahkan pergi tanpa berpamitan pada kedua orang tua dan adikku yang juga mengantarku ke Bandara.

Sesampaiku di Sydney Australia, berkali-kali aku mencoba menghubunginya untuk mempertahankan hubungan kami. Mas Adit tidak pernah ingin menerima teleponku maupun membuka komunikasi denganku.

Tidak sampai satu bulan, aku mendengar dari adikku Nayla, Mas Adit sudah memproklamirkan hubungannya dengan Mbak Ayudia, sepupuku dan sepupu kedua-nya juga.

Hancur hatiku saat itu, aku menganggap baik Mas Adit maupun Mbak Ayudia sama-sama manusia tidak berhati.

Yang lebih menyakitkan lagi, aku perempuan yang cerdas, tapi dalam urusan percintaan aku sangat bodoh. Aku sudah menyerahkan kesucianku pada Mas Adit karena begitu yakinnya ia adalah jodohku. Tiga kali ia melakukannya padaku dan hanya aku, ia dan Tuhan yang tahu.

FLASHBACK OFF

********

Satu setengah tahu berlalu, aku belum bisa mengikis perasaanku pada Mas Adit. Rasa cinta itu masih sangat dalam, sedalam benciku padanya.

Dan kini setelah satu setengah tahun, mungkin aku akan bertemu dengannya di perjamuan Kakek Sofyan Amin, Kakeknya. Aku sudah membuat berbagai alasan pada orang tuaku agar tidak ikut ke Lembang Bandung.

"Adinda, kamu dan Adit meskipun tidak berpacaran lagi, tapi kalian masih bersepupu. Jangan sampai ikatan kekeluargaan terputus hanya gara-gara kalian putus," tegur Ibu padaku.

Setelah check in hotel, akupun masuk ke dalam kamar. Aku sekamar dengan adikku Nayla. Kami mendapat kamar dengan balkon yang memiliki view kolam renang dan air terjun buatan. Aku sekedar berdiri di balkon, menikmati indahnya pemandangan dan sejuknya udara Lembang sebelum panggilan makan siang datang.

Aku dan Nayla, turun ke lantai terbawah di samping kolam renang untuk makan siang bersama. Semua keluarga akan berkumpul di tempat ini, mungkin juga Mas Adit dan Mbak Ayudia. Tapi aku berharap aku tak perlu bertemu dengan mereka.

"Adinda, bagaimana kuliahnya Nak?" tanya Kakek Sofyan Amin begitu kami bertemu di restoran hotel.

"Alhamdulillah Kek, Insya Allah 1 semester lagi Dinda selesai," jawabku.

"Jadi balik ke Indonesia bila sudah selesai?" tanya Nenek Gayatri, ibunya ibuku, adik dari Kakek Sofyan Amin.

"Dinda sudah betah tinggal di Sidney, mungkin Dinda cari kerja dulu di sana."

Sebenarnya yang membuatku betah tinggal di Sidney hanya karena ingin menghapus memoriku bersama Mas Adhitama. Terlalu banyak kenangan yang terukir, akhirnya seperti belati yang menggores hati.

Jalan yang sering kami lalui, tempat yang sering kami datangi, melihatnya membuatku semakin terpuruk. Aku ingin melupakan semua kenangan itu.

Kami sudah selesai makan siang, aku bersyukur bisa menikmati makan siang ini karena Mas Adit tidak terlihat diantara kami. Kami lalu mengambil foto keluarga berlatar restoran dan kolam renang.

Kakek Sofyan Amin dan Nenek Gayatri mengambil tempat paling depan di tengah, dan aku paling pinggir memamerkan senyum khas yang membuat Mas Adhit dulu gila padaku.

Senyum yang melekuk sempurna saat berfoto secara otomatis menghilang saat sepasang manusia, Adhitama dan Ayudia terlihat turun dari tangga bergandengan tangan. Pemandangan yang sangat mengerikan, tak ingin aku melihatnya.

"Adit, Ayu, cepatlah kemari berfoto!." Ibuku memanggil mereka.

Fotografer malah mengabadikan foto keduanya saat berjalan menuju kami, seperti sepasang selebritis. Mereka mengambil pose dua kali, Mas Adit merangkul Pinggang Ayudia. Aku semakin muak melihatnya.

Setelah berpose berdua, mereka kembali jalan bergandengan ke arah kami. Dan saat mataku bertemu pandang dengan mata Mas Adit, ia nampak kaget dengan kehadiranku, mungkin ia tak menyangka aku akan datang. Genggaman tangannya dari Ayudia ia lepaskan.

Dasar memang mereka tak punya hati, mereka malah mengambil tempat untuk berfoto di sampingku,

"Adinda, kapan datang?" sepupuku Ayudia dengan sangat ramah menyapaku. Namun aku tak membalas, aku hanya menghunuskan pandangan benci ke arah Mas Adit.

"Dinda," hanya itu katanya ketika kami bertemu mata, lalu aku berjalan meninggalkan keluarga yang sedang berfoto itu. Aku yakin seluruh keluarga memperhatikan aku, tapi masa bodoh, aku ingin menunjukkan pada mereka ketidak senanganku dengan kehadiran pasangan itu.

2. Api Perang

Author POV

Setelah Fotografer mengambil foto berdua Adhitama dan Ayudia, mereka kembali bergandengan tangan menuju keluarga yang menunggu mereka foto bersama. Adhitama memandangi semua keluarga sambil melempar senyum, namun mendadak senyumnya memudar manakala ia melihat seorang wanita yang pernah mengisi hari-harinya ada di deretan para keluarga. Ia tidak pernah mendengar kabar Adinda pulang ke Indonesia dan tak menyangka akan hadir pada acara keluarga itu.

Adhitama melepaskan genggamannya pada Ayudia dan melangkah menuju Adinda untuk menegurnya. Namun ia melihat pandangan kurang senang tersirat dari wajah Adinda.

Belum sempat Adhitama menegur Adinda, Ayudia lebih dahulu menyapa sepupunya itu,

"Adinda, kapan datang?"

Adinda mengabaikan sapaan sepupunya, ia malah menghunuskan tatapan tajam penuh kebencian pada Adhitama.

"Dinda!" hanya itu kata yang terucap dari bibir Adhitama karena Adinda melangkah pergi meninggalkan mereka beserta semua keluarga yang sudah siap untuk berfoto.

Seluruh keluarga yang hadir disitu menyaksikan bagaimana Adinda meninggalkan Adhitama dan Ayudia. Beberapa tangan saling mencolek, beberapa mulut saling berbisik-bisik. Adhitama berusaha tetap tenang, untuk menunjukkan bahwa ia tak terpengaruh dengan sikap Adinda. Namun tidak bagi Ayudia yang berhati lembut, ia merasa sedih dengan sikap sepupunya itu. Matanya berkaca-kaca. Adhitama segera merangkulnya dan membisikkan sesuatu agar Ayudia tidak menangis.

Acara foto bersama kembali dilanjutkan setelah terjadi insiden kecil bertemunya Adhitama dan Adinda. Ibu Adinda harus menahan emosi melihat sikap anaknya yang tidak menghargai orang yang lebih tua dengan pergi begitu saja tanpa permisi.

********

Adinda keluar ke balkon kamar untuk menghilangkan sumpeknya setelah melihat pasangan itu tadi. Ia memandangi air terjun buatan untuk menghilangkan Adhitama dan Ayudia dari otaknya. Namun semakin ia mencoba melupakan, wajah Adhitama yang memandanginya tadi semakin terpampang dengan jelas pada air yang jatuh dari atas itu.

Ia lalu memandang ke bawah ke arah kolam renang dan menyadari seorang laki-laki memperhatikannya dari bawah, ya dia Adhitama. Sejenak mereka saling memandang, saling berbicara dengan batin masing-masing dan hanya mereka yang tahu arti pandangan itu.

Adinda lalu membuang mukanya kembali ke arah air terjun namun sekali-kali mencuri pandang dengan ekor matanya, pria itu masih berdiri sendiri di tempatnya, merokok, dan pandangannya selalu mengarah ke dirinya.

Adinda bertanya-tanya dalam hati mengapa Adhitama selalu memandanginya, apa masih ada rasa yang tersisa? atau ia hanya kasihan pada Adinda?. Yang jelas Adinda bukan type wanita yang ingin dikasihani, yang Adinda inginkan adalah Adhitama dan Ayudia mendapat karma atas rasa sakit yang ia rasakan.

Adinda masuk kembali ke dalam kamar setelah mendengar suara memanggil namanya, Ibunya. Ibunya pasti akan marah karena sikapnya tadi.

"Adinda, kamu sudah dewasa, berpendidikan, tapi sikapmu kok seperti anak kecil? hanya melihat Adit dan Ayu saja kamu meninggalkan keluarga yang akan foto bersama, apa kamu nggak malu menjadi bahan gunjingan? Apa kamu tidak bisa bersikap wajar?" tegur Ibunya.

"Nggak bisa Bu, Dinda kan sudah bilang, Dinda nggak mau ikut ke tempat ini. Ibu maksa sih."

"Kak, emang benar yang ibu katakan, Kakak harus tampil elegan dan anggun, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Masa sih Kakak kalah sama Mbak Ayu, Mbak Ayu nggak ada apa-apanya dibanding Kakak. Kalaupun Mas Adit memilih Mbak Ayu, itu karena Mbak Ayu perempuan yang lembut dan penurut, bukan seperti Kakak yang keras hati." Nayla adikku ikut-ikutan menasehatiku.

Memang benar apa yang dikatakan Nayla, secara visual Ayudia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Adinda. Adinda menyadari itu. Dulu Adhitama selalu memujinya, Adinda memiliki hampir sebahagian besar keindahan wanita. Kulit yang cerah dan mulus, tubuh yang ramping dan berlekuk indah, otak yang cerdas. Namun ternyata apa yang ia miliki bukan jaminan untuk membuat kekasihnya setia.

Adhitama lebih memilih perempuan yang lebih dewasa, penurut dan lembut. Ia tak terlalu memperhatikan kecantikan dan tingkat intelegensinya. Adhitama bahkan bisa membuat Ayudia berhenti bekerja di sebuah bank swasta, demi menyiapkan Ayudia menjadi ibu yang baik untuk anak-anak mereka nanti. Hal yang tak bisa ia lakukan pada Adinda yang memiliki keinginan untuk memiliki pendidikan yang tinggi dan pekerjaan yang bergensi.

Adinda akhirnya sepakat dengan apa yang dikatakan adiknya. Ia harus tampil elegan dan anggun, sehingga tak tampak kekalahan dari wajahnya.

Ia akan menghadiri acara barbeque malam ini.

Adinda mengamati wajahnya di cermin, tanpa make up pun sebenarnya ia cantik, namun ia tetap memakaikan riasan minimalis pada wajahnya.

Ia menggunakan dress sabrina panjang berwarna peach yang mengekspos bahu indahnya. Rambut ia ikat ke atas dengan gaya cepol semakin menunjukkan lehernya yang jenjang.

Dengan percaya diri Adinda turun ke lantai bawah menggunakan lift, dan menuju kolam renang tempat barbeque party itu dilaksanakan. Begitu Adinda muncul, hampir semua pasang mata tertuju ke arahnya. Bukan hanya karena kecantikannya namun karena penampilannya yang sangat modis dan berbeda dari yang lain. Hampir semua yang hadir menggunakan pakaian hangat, namun Adinda malah menggunakan pakaian yang terbuka pada bahunya. Ia tak peduli dinginnya malam, toh ia sudah biasa yang lebih dingin di Australia.

"Duh, Adinda semakin cantik saja," puji Ibu Ayudia pada Adinda.

"Siapa dulu dong Neneknya." Nenek Gayatri percaya kecantikan cucunya diturunkan dari dirinya.

Bibir Adinda tak berhenti melengkungkan senyum sambil matanya mencari-cari dimana Adhitama dan Ayudia berada. Ia akhirnya melihat kedua sosok itu.

Pada acara BBQ itu, mereka terbagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan umur, paling tua, yang sudah berkeluarga dan yang muda dan belum menikah.

Adinda bergabung di kelompok usia muda, di sana ada Adhitama dan Ayudia. Adhitama nampak ikut memanggang daging juga.

Mata Adhitama tak berhenti melihat ke arah Adinda dan Adinda tahu itu. Apalagi ketika Ivander adiknya Adhitama sendiri mendekati Adinda, raut muka kurang senang nampak pada wajah Adhitama.

Ivander, pria 28 tahun, 4 tahun lebih tua dari Adinda. Dalam jajaran keluarga besar Kakek Sofyan Amin dan Nenek Gayatri, pemuda inilah yang paling tampan tapi merupakan pria cassanova yang sering berganti pasangan. Lebih tampan dari kakaknya sendiri Adhitama. Namun bagi Adinda aura dan pesona Adhitama sangat kuat, sehingga pria apapun yang datang padanya rasanya hambar seperti air putih yang tak berasa.

"Aku nggak habis pikir Mas Adit meninggalkan bidadari yang turun dari kayangan, aku jadi meragukan tingkat kewarasannya," ucap Ivander yang disambut tawa terbahak-bahak dari Adinda.

Ivander pria yang humoris itu bisa menghibur kegalauan hatinya, sehingga ia bisa penuh tawa meskipun hatinya terluka. Tidak mudah menyaksikan Adhitama yang sedang memanggang daging didampingi Ayudia di sampingnya.

Tiba-tiba saja Adhitama sudah berada di depan Adinda dan Ivander. Ia membawa sepiring daging yang sudah ia panggang, meletakkan pada meja di dekat Adinda dan berbicara pada Adinda.

"Apa tidak sebaiknya kamu menggunakan pakaian yang layak? udara disini terlalu dingin sementara pakaianmu terlalu terbuka," tegur Adhitama pada Adinda tanpa senyum.

Tidak menyangka kalimat itu yang akan keluar dari mulut Adhitama, Adinda pun membalas, "Mas Adit nggak perlu khawatir, Adinda sudah terbiasa dengan musim dingin di Australia."

Adhitama hanya menghela nafasnya lalu meninggalkan Adinda yang menatapnya dengan mata menyala mengobarkan api perang padanya.

"Apa salahnya bertanya kabar ketika baru bertemu, malah mengomentari pakaian yang aku gunakan," pekik batin Adinda.

Ivander berusaha meredakan kekesalan Adinda pada Adhitama, ia membuka sweater lalu menggunakan sweater itu untuk menutup bahu Adinda. Ivander lalu menghapus bulir air mata Adinda yang jatuh dipipinya.

"Nggak usah menangis Dind, kamu tahu sendirikan bagaimana Mas Adit, berasa paling tua dari para sepupunya jadi negurnya seperti orang tua ke anaknya," hibur Ivander.

Adhitama bukan yang paling tua diantara sepupu-sepupunya. Namun ia pria yang berpikiran matang dan sangat dewasa dari usianya. Mungkin karena ia yatim piatu sejak kecil dan merupakan anak sulung, sehingga ia terbiasa melindungi adik-adiknya. Adhitama juga merupakan pria yang perhatian dan sering membantu keluarganya yang lain.

Sejak kecil Adhitama dan adik-adiknya langsung diasuh oleh Kakek Sofyan Amin.

"Van, kita jalan-jalan yuk di taman hotel. Dinda jadi bete berada disini."

"Kamu nggak makan dl BBQ nya?"

"Nggak, aku nggak mau makan hasil dari Mas Adit dan Mbak Ayu," tolak Adinda.

Mereka berdua lalu berjalan-jalan di taman hotel.

Mata Adhitama mengikuti kemana Adinda dan Ivander pergi sampai ia tidak terlihat lagi dibalik pohon-pohon.

Penerangan di taman hotel itu dibuat remang-remang. Atmosfer hotel terkesan agak ghotic karena banyaknya patung-patung yang terpajang di sana. Siapapun yang berjalan sendiri pada malam hari di taman akan merasakan sedikit horor. Jalan yang mereka lalui agak menanjak karena hotel itu dibuat di sebuah cekungan tanah.

"Kok hotel ini rada-rada serem ya." Adinda bergidik.

Belum sempat Ivander menjawab, handphonenya berbunyi. Ia lalu mengangkatnya, Ivander berbicara sesaat kemudian mematikan handphonenya.

"Mas Adit, ia meminta kita kembali ke kolam renang. Disini terlalu gelap katanya," seru Ivander.

"Emang kalau gelap kenapa, memang Mas Adit pikir kita mau ngapa-ngapain? Udah kalau kamu mau balik, balik saja. Aku tetap jalan-jalan di sini."

"Tidak mungkin aku meninggalkan kamu. Yuk lanjut," kata Ivander melanjutkan langkahnya.

Sebenarnya Ivan agak ragu mengikuti Adinda karena Kakaknya Adhitama menyuruh ia membawa Adinda kembali ke kolam renang. Senakal-nakalnya Ivan, ia sangat hormat pada kakaknya yang menjadi pelindung bagi adik-adiknya sejak kedua orang tua mereka tewas dalam sebuah kecelakaan. Namun ia kenal gadis di sampingnya yang sangat keras kepala. Ivan pun jadi bimbang karena tidak mungkin meninggalkan wanita sendirian berjalan di tempat gelap.

Berbeda dengan Ivan, Adinda tampak senang mendapat perhatian dari Adhitama. Ia mulai menyadari, dari tadi Adhitama memperhatikannya. Mulai saat Adhitama memandanginya dari kolam renang ke atas balkon, menegur pakaiannya, ya dulu Adhitama melarang Adinda mengenakan pakaian terbuka. Dan sekarang saat berjalan di tempat gelap bersama Ivan.

Ide untuk memantik emosi Adhitama muncul di kepala Adinda. Setidak-tidaknya merupakan salah satu cara membalas rasa sakit yang ia rasakan.

Entah darimana datangnya, Adhitama sudah berada di depan menghalangi langkah mereka berdua.

"Kalian kembalilah ke kolam renang, tidak baik berduaan, disini terlalu gelap," tegur Adhitama dengan kalemnya.

"Balik yuk dind," ajak Ivander pada Adinda.

"Nggak, pulang aja kamu sendiri. Nggak ada yang boleh menghalangi keinginanku," sahut Adinda dengan ketus. Tentu saja kalimat itu ia tujukan pada Adhitama. Ia lalu melanjutkan melangkah sambil menghindari Adhitama, namun tangannya lebih dulu dicegat oleh Adhitama. Sangat keras sehingga membuat Adinda meringis. Adhitama memberi kode kepada Ivander untuk meninggalkan mereka dan dituruti oleh Ivander.

Ya, Adinda sudah menyiapkan dirinya untuk berperang dengan Adhitama yang tidak melepaskan tangannya pada tangan Adinda.

3. Masih Ngurusin Adinda

"Lepaskan." Adinda ketus.

"Mau jalan sendiri ke kamar atau saya seret?," ancam Adhitama. "Sudah pakai pakaian terbuka, jalan di tempat gelap lagi."

"Memang Mas Adit punya hak apa mengatur Dinda?" balas Adinda melirik tajam ke Adhitama.

Mereka berdiri saling menyamping dengan arah berbeda. Tangan Adhitama masih mencengkeram tangan Adinda.

"Aku sepupumu."

"Dinda nggak nganggap Mas Adit sepupu lagi."

"Terserah, yang jelas hubungan darah tidak berubah."

Adhitama menarik tangan Adinda masuk ke dalam hotel.

"Lepaskan!"

Adhitama tidak mempedulikan ucapan Adinda. Ia terus saja menarik Adinda masuk ke dalam lift, naik ke lantai tujuh dan menuju kamar Adinda. Adhitama sudah tahu dimana kamar Adinda.

"Mana kunci kamarmu?"

"Nggak ada. Nayla yang pegang," Adinda beralasan, padahal kunci kamar mereka memegangnya masing-masing.

"Jangan kemana-mana. Aku ambilkankan kunci dulu." Adhitama melangkah masuk ke dalam lift, turun ke lantai terbawah untuk mengambil kunci pada Nayla.

Begitu Adhitama masuk ke dalam lift, Adinda tersenyum penuh kemenangan. Ia masuk ke lift sebelah dan segera memencet tombol L untuk menuju lobby hotel. Dari lobby hotel Adinda berjalan keluar menuju minimarket yang terletak di depan hotel dan sengaja berlama-lama di minimarket.

Tujuannya hanya satu, memancing emosi Adhitama.

Nayla heran manakala Adhitama meminta kunci kamarnya.

"Memang kenapa Mas? kok minta kunci kamar aku?"

"Kakakmu mau masuk ke kamar, katanya kunci ada padamu."

"Loh, kak Dinda kan pegang kunci juga. Tadi dia taroh di tas kecilnya." Nayla tetap memberikan kunci itu pada Adhitama.

Adhitama menyadari ia telah dibohongi Adinda. Ia menghela nafas lalu kembali ke atas, meninggalkan Nayla yang masih bingung mengapa Mas Adit mengurusi kunci kamar Adinda.

Begitu sampai di lantai tujuh, Adinda tidak berada lagi di tempatnya tadi. Adhitama lalu membuka kamar untuk memastikan keberadaan Adinda, ternyata di dalam kamar Adinda juga tidak ada.

Ya, Adinda sedang duduk di depan minimarket menikmati minuman dan makanan yang ia beli dalam minimarket IM itu sambil senyum-senyum membayangkan Adhitama yang baru saja ia kerjain.

Handphone Adinda berdering, ia melihat siapa pemanggilnya, Adinda hanya tersenyum perih melihat nama MAS ADIT yang sedang memanggilnya. Sudah satu setengah tahun nama itu tidak pernah menelponnya lagi. Bahkan ketika ia ribuan kali menghubunginya, Adhitama bahkan tidak pernah menjawab telponnya. Sekarang ia biarkan handphonenya lima kali berdering tanpa ia jawab untuk membalas sakitnya perbuatan Adhitama.

Tidak lama handphonenya kembali berdering, namun merupakan panggilan dari adiknya Nayla. Adinda tahu pasti ada hubungannya dengan Adhitama. Adinda menggulirkan tombol hijau.

Nayla: Kakak dimana sih?

Adinda: Kenapa emang? kamu punya kunci sendiri kan?

Nayla: Mas Adit minta Nayla nelpon kakak.

Adinda: Bilang sama Mas Adit, Dinda sedang di Club, clubbing.

Nayla: Emang ada Club di lembang? sejak kapan Kakak mengenal Club?

Adinda: Sejak diputuskan Mas Adit.

Adinda menjawab semua pertanyaan Nayla asal-asalan. Ia tahu Nayla pasti sedang bersama Mas Adit.

Memang benar saat menelpon kakaknya, Adhitama ada di samping Nayla dan mendengar semua ucapan Adinda karena telponnya dispeaker Nayla. Namun Ekspresi Adhitama datar saja, tidak tersulut emosi.

"Kabari Mas Adit kalau kakakmu sudah kembali ke kamar!" seru Adhitama pada Nayla lalu kembali melangkah menuju lift.

"Iya Mas." Nayla memandangi punggung Adhitama yang berjalan ke arah lift.

"Ngapain Mas Adit ngurusin Adinda padahal sudah putus, nggak takut Mbak Ayu marah kalau tahu?" Nayla bertanya-tanya dalam hati.

Adhitama menuju lobby hotel, ia memutuskan menunggu Adinda di sana. Ia tidak yakin Adinda betul-betul clubing.

Setahu Adhitama, Adinda tidak mengenal dunia malam selama di Indonesia karena ia betul-betul memproteksi Adinda dulu. Lagian mahasiswa pintar seperti Adinda tidak mungkin menginjakkan kakinya di tempat seperti itu, kecuali Australia sudah merubah dirinya. Hatinya sebenarnya agak teriris saat Adinda mengatakan mengenal clubbing sejak ia diputuskan Mas Adit.

Adhitama bisa membaca dari sorot mata penuh kebenciaan Adinda padanya, tatapan itu menyiratkan luka hatinya. Adhitama hanya tak menyangka Adinda masih memendam luka itu meskipun satu setengah tahun sudah berlalu. Ada rasa bersalah hinggap di hati Adhitama atas perubahan sikap Adinda.

*******

Adinda agak sebal, ia masih ingin duduk di depan minimatket itu untuk mengelabui Adhitama, namun karyawan minimarket mengatakan minimarket akan tutup karena sudah pukul 10 malam. Adinda pun menyeberang jalan kembali ke hotel.

Begitu melewati lobby ia melihat Adhitama duduk sendiri di sana. Ia berjalan menuju lift sambil menghindari Adhitama dan tertawa dalam hati karena ia yakin Adhitama pasti sedang menunggunya.

Begitupun Adhitama, ia hanya tersenyum kecil melihat Adinda sudah kembali. Ia sudah tahu Adinda darimana karena melihat kantong plastik logo minimarket IM pada tangannya, bukan dari clubbing. Ia memilih diam tidak menegur Adinda, karena ia tahu sikap Adinda akan semakin menjadi bila ia melakukan itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!