Muda, bertubuh atletis, tampan, pewaris tahta kerajaan, cukup untuk membuat Pangeran Rayyan Muhannad Arnauth menjadi pria impian kaum hawa. Para wanita di negerinya berlomba-lomba untuk bisa menjadi selirnya. Namun, hanya satu wanita yang tak sudi dijadikan sebagai selir. Wanita itu memiliki mata coklat muda dengan cincin seperti warna madu di selaput pelanginya. Mata itu selalu hadir tiap malam dalam mimpinya, membuat tidur Rayyan tak pernah nyenyak sejak tiga tahun lalu. Rayyan harus mendapatkan wanita itu, bagaimanapun caranya.
Rayyan tak perlu menghentakkan kakinya hingga badan Buraq tersakiti oleh sepatu boot yang ia kenakan. Pun juga tak perlu membawa cemeti untuk memukulnya. Rayyan hanya perlu menundukkan badannya sehingga dadanya yang
bidang mengenai surai Buraq. Sinyal itu sudah cukup untuk membuat Baroq memacu kaki-kakinya yang ramping namun berotot itu untuk berlari lebih kencang.
Debu-debu beterbangan seiring derap langkah Baroq. Angin yang menerpa tubuh keduanya semakin kencang terasa. Rayyan ingin kekuatan hempasan itu mampu membuat pikirannya bersih. Menghilangkan keresahan hatinya
yang semakin tak keruan dan ingatan akan mimpi yang ia alami semalam.
Mimpi yang semakin lama semakin jelas.
“Pangeran Rayyan!” Imran ajudan setia Rayyan memanggilnya. Namun, sang
pangeran menghiraukan.
Imran membawa kudanya
untuk menuruni lembah dan memotong jalur Rayyan agar bisa mendahuluinya. Imran sampai lebih dulu dari Rayyan dan kembali memangginya saat Rayyan melewati jalur itu. “Pangeran Rayyan!” Namun, lagi-lagi Rayyan acuh.
Imran menghentakkan tali kudanya agar si kuda berlari untuk menyejajarkan dirinya dengan Rayyan. “Pangeran Rayyan! Ini sudah jam sebelas!”
Rayyan yang menyadari bahwa waktunya telah habis. Dia ingin mengumpat dengan keras. Sayangnya dari kecil dia terbiasa didisplinkan dengan aturan yang sangat ketat yang membuatnya tak bisa melakukan apa yang biasa dilakukan rakyat jelata, seperti mengumpat misalnya.
Otot-otot di tubuhnya sudah dia gempur tadi pagi untuk olah raga, lalu dia membawa Buraq untuk berlari lebih dari satu jam tanpa henti. Dia sadar telah berlaku jahat kepada kuda kesayangannya. Buraq seperti halnya
sahabat bagi Rayyan. Dia mendapatkan Buraq saat usianya sepuluh tahun dan Buraq kecil tumbuh bersama Rayyan. Hanya beberapa tahun selama pendidikan di luar negeri, Rayyan harus berpisah dengannya.
“Pangeran Rayyan. Ada pertemuan jam 12 yang harus Anda hadiri!” Imran berseru mengingatkan jadwalnya.
“Ya, terima kasih,” jawab Rayyan sambil menghela Buraq untuk melambatkannya. Rayyan ingat bahwa hari ini ia harus memimpin pertemuan dengan pamannya yang bernama Thariq dan beberapa menteri dari kerajaan.
Dia belum menjadi raja, ayahnya masih ada tapi kesehatannya semakin menurun. Sehingga ia yang masih berusia dua puluh empat tahun harus memimpin kerajaannya meskipun belum resmi menggantikan sang ayah.
Rayyan turun dari Buraq dan segera seorang penjaga istal berlari mendekat, siap untuk mengurus Buraq, tapi Rayyan menolak untuk memberikan talinya. “Biar aku saja.”
Ia ingin memasukkan sendiri Buraq ke dalam kandangnya. Pangeran Rayyan turun dan menggiring Buraq ke tempatnya. “Maaf Buraq, aku lupa waktu.”
Rayyan berbicara tepat di dekat pipi Buraq. Kuda jantan itu hanya mengatur
napasnya. Rayyan mengelus badan Buraq dengan tangannya yang masih memakai
sarung tangan. “Terima kasih telah menemaniku hari ini.” Rayyan menepuk-nepuk sisi badan Buraq dengan tepukan ringan. Buraq melakukan gerakan seperti menunduk dan mengibaskan ekornya, ia berjalan sedikit ke depan untuk mencapai ember air minum.
Pengurus istal mengambil alih setelah Rayyan mengucapkan salam dan meninggalkan mereka. Ia menurunkan pelana yang membebani punggung
Buraq.
_________
Perasaan yang bergelayut dalam dada Rayyan masih ada, tapi sudah lebih ringan setelah berkuda dan merasakan hempasan angin sejuk yang menerpa wajahnya. Malam itu Rayyan bermimpi, mimpi yang selalu sama ia alami.
Sepasang mata yang menatapnya. Mata itu berwarna cokelat muda dengan cincin
sewarna madu berkilauan yang mengitari pupilnya. Semula Rayyan tidak tahu
apakah pemiliknya adalah seorang laki-laki atau perempuan, ataukah anak-anak.
Ia takut dengan mata itu kalau seandainya ternyata mimpi yang ia alami ada hubungannya dengan “dosa” yang dilakukan kerajaannya.
Julunda adalah sebuah negeri di Timur Tengah. Memiliki lembah dan perbukitan yang subur, tapi ada juga gurun yang tak seberapa luas di sisi barat. Negeri itu juga diberkahi oleh kandungan alam dan tambang. Akan tetapi, selama dua puluh tahun ini negeri Julunda menghadapi tantangan serius dari para suku yang merasa ingin memerdekakan diri. Penghianatan, perang saudara, jatuhnya korban jiwa, tak dapat dihindari. Agar Julunda tetap berdiri, agar Julunda tetap berdaulat, mereka harus “menyingkirkan”
para pengkhianat termasuk semua keluarganya.
Rayyan pernah menceritakan mimpinya kepada sang ayah, Raja Muhannad Hamid Arnauth. Muhannad hanya menanggapinya mungkin itu hanya mimpi yang tak berarti. Namun, setelah Rayyan mengalaminya selama tiga hari
berturut-turut, Imran memanggilkan seorang penafsir mimpi untuknya. Si penafsir tidak bisa mengatakan siapa
kira-kira pemilik mata itu, tapi ia mengatakan bahwa karena sang pangeran terlihat ketakutan maka ia menyimpulkan bahwa itu adalah mata seorang musuh yang berbahaya bagi kerajaan.
Hal itu membuat Imran dan beberapa ajudan yang mendengarnya resah, apalagi Rayyan si pemilik mimpi. Akan tetapi Muhannad yang bijak bertanya dengan membalikkan teori si penafsir mimpi. “Jadi bila Rayyan tak merasa takut dengan mata itu, maka bisa diartikan bahwa mata itu adalah milik si pembawa keselamatan, atau pahlawan kerajaan?”
Penafsir mimpi mengangguk dan menambahkan, "Bisa juga si pembawa rejeki atau kemakmuran bagi negeri ini. Jika merujuk gambaran dari pangeran Rayyan, warna itu seperti madu yang berkilauan terkena sinar matahari.
Seperti yang kita semua tahu bahwa madu adalah cairan yang banyak manfaatnya. Ia keluar dari perut lebah, hewan yang tak boleh dibunuh. Jadi kita tak boleh membunuh pemilik mata ini. Lalu warna berkilauan itu juga seperti warna emas. Emas adalah lambang kemakmuran. Mungkin saja negeri ini akan makmur setelah kedatangannya. Entah itu karena pertolongannya, atau kedatangannya hanya sebagai suatu penanda bahwa saat itulah masa kerajaan kita berada pada puncak
kejayaannya.”
Muhannad tampak mengerutkan dahi dan mengelus jenggotnya yang semakin putih dari hari ke hari. Rayyan tampak tak tenang.
Muhannad menarik kesimpulan, “Ada dua arti yang saling berkebalikan. Dan kita tidak tahu yang mana yang benar.”
Penafsir mimpi mengangguk. Ruangan tertutup yang biasa dipakai Muhannad untuk berbicara secara pribadi dengan orang kepercayaannya itu terdengar sunyi beberapa saat. Bahkan detak jam terdengar sangat nyaring. Tampak sang raja sedang berpikir keras. Mimpi
sang anak bukanlah perkara sepele. “Apakah saya boleh memberikan saran Yang Mulia?”
Muhannad memberi isyarat penafsir mimpi itu mengutarakan pendapatnya.
“Mimpi ini adalah suatu tanda yang kita tidak tahu kebenaran atas penafsiran kita. Yang memegang rahasia langit dan bumi tetap Yang Maha Kuasa. Dan Dia adalah sesuai prasangka hamba-Nya ...” Penafsir mimpi menatap sang pangeran. “Saya sarankan Pangeran Rayyan tidak perlu risau ataupun takut. Anggaplah
tafsiran kedua yang benar. Dan berdoa bahwa itu benar. Jadi kita akan mendapatkan kenyataan dari mimpi itu yang baik-baik saja.”
Muhannad tampak mengangguk-angguk paham dia menyukai pendapat penafsir mimpi yang masuk akal.
Rayyan juga mengambil nasehat si penafsir mimpi, sejak saat itu Rayyan mensugesti dirinya bahwa mata itu tak menakutkan baginya. Bukan milik
musuh kerajaan maupun orang yang akan membawa mala petaka. Mata itu adalah milik si pembawa kemakmuran bagi kerajaannya.
Namun, selama tiga tahun ini tetap Rayyan tak bisa tidur dengan tenang. Mungkin bukan karena takut tapi rasa penasaran yang menumpuk
tiap harinya.
Kapan dia akan bertemu dengannya? Siapakah dia?
Kapan aku bisa bertemu dengannya?
Tiga tahun. Itu waktu yang sangat lama untuk mimpi yang membandel. Dua bulan yang lalu tepatnya, setelah sebelumnya Rayyan sempat tidak melihat mimpi itu selama beberapa bulan. Rayyan menyadari jika dia terlalu lelah dan langsung pergi tertidur, mimpi itu tidak datang menghantuinya. Jadi ia berusaha untuk sibuk setiap hari dan melakukan olah raga yang menguras tenaganya agar saat ia kembali ke ranjangnya dia akan langsung tertidur sampai pagi.
Namun, dua bulan lalu mimpi itu datang kembali, tapi dengan wujud yang sangat mengagetkannya. Mata itu lebih nyata dengan wujud seorang wanita. Rayyan belum bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi dia tahu pasti dia seorang wanita yang memiliki mata yang selalu menghantuinya.
Wanita itu berdiri di tengah kebun bunga berwarna-warni. Mimpi itu serasa nyata, indah dan dalam waktu yang sama juga menakutkan. Dia seakan mampu mencium aroma bunga-bungaan yang menguar di udara. Dia memakai baju warna putih, terusan selutut. Punggungnya menghadap Rayyan. Rambutnya lurus dan berwarna coklat blonde.
Rayyan kemudian mengingat-ingat apakah fitur wanita seperti itu pernah ia lihat sebelumnya? Banyak malahan. Orang-orang Eropa banyak yang mempunyai warna rambut yang sama.
Petunjuk itu tidak membantu sama sekali, membuat penasaran yang sudah sangat akut kini malah tak terkendali. Dan di saat seperti itu, dia tak berani mengunjungi para selirnya. Tiga selir yang selalu siap menghiburnya
tiap malam. Dia selalu bersikap gentlement kepada para selirnya. Meskipun mereka halal untuk Rayyan sentuh, tapi tak banyak yang tahu kalau ia belum pernah melangkah lebih jauh daripada ciuman di telapak tangan. Sebagai ungkapan terima kasih atas layanan mereka padanya. Bernyanyi, menari, memasak untuknya. Tak ada aktifitas yang umumnya dilakukan oleh suami istri dalam ruangan yang sangat tertutup.
Rayyan dinikahkan tiga tahun yang lalu, kepada seorang putri salah satu pemimpin suku yang sangat dihormati di bagian timur wilayah kerajaannya. Namanya Yasmin. Pernikahan politis, begitulah yang biasa terjadi. Ayah si gadis mendapatkan akses menjadi salah satu pejabat intern di kerajaannya. Istri yang kedua ia dapatkan ketika penaklukan wilayah di utara. Lagi-lagi pernikahan politis agar wilayah mereka mau bergabung pada kerajaan Julunda. Nama putri itu adalah Salma.
Istri ketiga adalah seorang wanita yang bahkan belum bisa dianggap sebagai wanita. Umurnya baru sepuluh tahun. Bahkan Rayyan sendiri mau muntah ketika membayangkan dia menjadi seorang pedofilia. Meskipun kerajaan Julunda agak tertutup akan pengaruh budaya asing, tapi pangeran Rayyan mengerti tentang norma di belahan dunia lain. Norma yang menganggap bahwa tidak etis seorang laki-laki dewasa berhubungan secara intim dengan gadis di bawah umum.
Nama gadis itu adalah Alya. Rayyan sedikit merasa kasihan dengannya. Jika anak lain di usianya akan menghabiskan waktu untuk sekolah dan bermain bersama dengan anak-anak seusia dengan, Alya dipaksa untuk menjadi dewasa sebelum waktunya.
Dan Rayyan tak ingin mendekati mereka ketika dia merasa tak tenang karena mimpinya datang kembali. Ia tak ingin marah atau bertindak irasional dan menyakiti mereka meskipun tanpa sengaja.
Rayyan segera pergi untuk mandi, membersihkan diri sebelum memimpin sebuah pertemuan penting. Otot bahu dan punggungnya terasa sedikit lega ketika air shower mengenainya. Tinggal setengah hari lagi terlewati, dan Rayyan berharap malam ini dia tidak bermimpi wanita itu lagi.
Pertemuan siang ini mengeluarkan aura lebih berat daripada yang lainnya. Salah satu mata-mata kerajaan telah menemukan lokasi dari keluarga penghianat. Bapak dan ibu dari penghianat itu telah ditemukan. Mereka berada
di perbatasan Julunda di bagian barat. Mereka tinggal di pemukiman orang buangan. Warga yang tak diterima di kerajaan Julunda, tapi juga tak diterima oleh negara tetangga.
Mereka telah menjadi buron sejak sebelas tahun lalu, sejak putranya mencoba untuk menebas leher Raja Muhannad ketika mereka pergi berburu. Mereka akan merencanakan untuk membunuh mereka malam ini.
Rayyan hanya mendengarkan orang-orang penting di sekitarnya berdiskusi. Orang lain di ruangan itu mungkin berpikiran bahwa Rayyan hanya raja boneka yang tak tahu apa-apa. Membiarkan para bawahannya berdiskusi
sedangkan dia terima beresnya saja. Sedikit yang mereka tahu, Rayyan hanya tidak ingin terlibat terlalu dalam pada “dosa” ini. Ia tak ingin ikut dalam perencanaan pengambilan nyawa seseorang, meskipun itu adalah keluarga para penghianat.
Rayyan mempunyai pendapat sendiri tentang hal ini. Yang bersalah adalah putra mereka, tapi kenapa mereka orang-orang yang usianya mungkin setara dengan ayahnya harus mereka bunuh juga? Tidakkah cukup hanya
menghukum mati putra mereka?
Sayangnya Rayyan belum mempunyai kekuatan untuk mengubah hukum di negaranya. Segera, ia mungkin akan bisa memiliki kemampuan untuk itu. Sayangnya saat itu berarti ayahnya sudah meninggal dan dia baru bisa mendapatkan kekuatan absolut pada kerajaannya. Dan dia tak pernah berharap untuk ayahnya segera
meninggal secepatnya. Dia bukanlah anak durhaka seperti itu. Selalu, dia selalu dihadapkan oleh dilema seperti itu.
Siapa bilang menjadi Pangeran itu enak?
Satu jam lalu pertemuan itu telah berakhir, tapi pikiran Rayyan tetap terpaut padanya. Ia tak ingin hanya duduk di belakang meja menanti peristiwa itu terjadi dan mendapatkan laporan di pagi hari bahwa dua orang tua renta telah terbunuh.
Bayangkan mendapat berita kriminal di pagi hari bukan dari koran, tapi langsung dari mulut menteri pertahanan. Jika itu dari koran, ia bisa merobek bagian berita kriminal atau membuang korannya sekalian agar sarapannya
tercerna dengan baik. Tapi sayangnya menerima laporan langsung dari menteri pertahanan adalah salah satu dari protokol kerajaan yang tak bisa dia hindari.
Imran sang ajudan mengerti kegundahan Rayyan. Ia menawarkan suatu ide. “Bagaimana kalau saya atur sebuah perburuan Ar Riim? Jadi kita bisa berangkat malam ini, dan akan sampai di gurun besok pagi untuk berburu. Cuacanya sangat cocok. Akhir-akhir ini suhu berkisar antar 17 sampai 23 derajat, tidak terlalu panas sehingga membuat tubuh Pangeran tidak akan kehilangan konsentrasi karena terik matahari.”
Ar riim adalah hewan sejenis rusa di padang pasir. Ar Riim dikembangbiakkan di cagar alam daerah barat kerajaan untuk mencegah hewan itu punah karena jumlahnya semakin sedikit. Perburuan dilarang, hanya orang-orang
dari keluarga kerajaan yang boleh melakukan perburuan di sana. Itu pun dengan peraturan yang ketat, seperti misalnya batasan jumlah hasil buruan atau usia hewan itu.
Rencana yang bagus, menurut Rayyan. Imran sangat mengetahui bagaimana perasaan Rayyan meskipun pangeran itu tak membicarakannya. Imran telah menjadi pengawalnya sejak dia masih berusia sepuluh tahun. Dia adalah orang terdekat kedua bagi Rayyan setelah sang raja.
Saat berburu, Imran mempunyai alasan untuk menghindarkan Rayyan dari penelepon yang mengganggunya. Meskipun penelepon itu adalah menteri pertahanan. Semua telepon akan melalui dia terlebih dahulu, dan Imran baru akan meneruskannya saat Rayyan lebih tenang atau siap menerima berita itu.
“Kapan kita berangkat?” tanya Rayyan.
“Jam sebelas malam ini.” Imran telah melakukan kalkulasi. Ia sengaja mengatur perjalanan Rayyan tengah malam juga agar Rayyan tidak diganggu di saat ia harus istirahat.
Rayyan bangkit dari kursi kebesarannya di ruang rapat yang sangat sunyi setelah para tamunya pergi untuk melaksanakannya misi yang mereka susun. Saat sampai di depan Imran, ia menepuk pundak Imran sambil
berkata. “Kerja yang bagus, terima kasih.”
________________________________________________
Mohon dipahami kalau ini hanya fiksi, tidak dimaksudkan untuk menyindir siapapun :)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!