"Jangan membantah! Ayah sudah membayar semua uang administrasi. Besok kamu ke sekolah, ukur baju seragam!" Kalimat pamungkas ayah setelah berdebat panjang disaksikan ibu yang hanya bisa terdiam.
Amanda kembali ke kamar dengan hati mencelos.
"Ok, itu salah satu sekolah terbaik di kota ini. Kenapa harus takut? Aku kan sudah biasa di-bully. Sangat terbiasa." Dia berkata dalam hati sambil memandangi buku diary yang kemarin dia beli di toko buku langganannya.
"Sorry diary, sedang tidak minat nulis." Dia melempar buku diary di atas kasur, merebahkan diri, dan tak ingin menangis tapi air mata juga jatuh tanpa kompromi.
Semua anggota keluarga tahu, setiap keputusan ayahnya adalah mutlak. Otoriter sudah jadi hal biasa di dalam keluarga. Barang-barang di rumah bisa melayang jika perdebatan dengan ayahnya dilanjutkan.
"Huhhh.. Yang waras ngalah." Pikirnya sambil terus berusaha menenangkan diri.
Sebenarnya bukan masalah bagi seorang Amanda untuk sekolah di sana. Dia siswa dengan prestasi yang cukup baik sejak di sekolah dasar. Selalu juara kelas, meskipun terkadang tidak selalu di posisi pertama.
Masalah utama baginya adalah ketakutannya karena tidak memiliki teman atau kenalan di hari pertamanya.
Dia tidak tahu bagaimana berkenalan dengan orang-orang baru. Sementara teman-temannya di sekolah menengah dulu memilih sekolah favorit lain yang berbeda.
Dia benar-benar sendirian dan ketakutan membayangkan berbagai kengerian dan suasana di sekolah barunya yang sudah pasti tidak akan membuat dia nyaman.
Bisakah kau tidur dengan tenang membayangkan hari pertama di sekolah nanti tanpa seorang teman pun?
Sekolah yang jangankan menginjakkan kaki ke dalamnya, melihatnya saja dari dekat kau tidak akan berani.
Bagaimana kau akan melalui masa-masa orientasi yang katanya sangat mengerikan bagi anak baru?
Sekolah elite yang kebanyakan dihuni oleh anak-anak pejabat tinggi di kota ini atau anak-anak biasa namun berprestasi.
Sementara kau hanya anak biasa dengan prestasi pas-pasan dan orang tua yang juga berpenghasilan pas-pasan. Si miskin yang mencoba masuk ke istana.
"Lengkaplah sudah," Amanda menghela nafasnya sambil mencoba mencari satu motivasi saja agar bisa kuat menghadapi hari-hari masuk sekolah yang semakin mendekat.
"Setidaknya ada dia. Semoga dia memperhatikanku kali ini." Ujar Amanda sambil mencoba menenangkan hatinya. Dia hanya bisa menaruh harapan pada seseorang.
Seseorang yang sudah lama dikaguminya, sejak kelas satu SMP. Cowok itu keren sekali, benar-benar keren menurut Amanda.
Amanda bukanlah tipe cewek yang mudah terpesona dengan cowok. Tetapi setiap kali dia melihat seseorang itu, dia pasti tidak bisa memungkiri perasaan khusus yang sudah terbersit di hatinya.
Cowok keren itu adalah kak Edo, kakak kelasnya di SMP Pelita Bangsa. Amanda sudah terpesona pada kakak seniornya itu sejak pandangan pertama.
Hingga kini, setelah tiga tahun berlalu, Amanda masih saja mengagumi sosok kak Edo dalam diam.
Dia menyadari dirinya bukanlah tipe cewek yang sesuai untuk seorang cowok sekeren kak Edo. Amanda berusaha lapang dada menerima kenyataan pahit itu. Dia selalu saja merasa minder soal perasaannya itu.
Amanda merasa takdir kini seolah berpihak dalam hubungan mereka. Ya, mereka memang belum punya hubungan apapun.
Kak Edo bahkan sepertinya tidak mengenali Amanda. Entah memang tidak mengenali atau terlalu cuek, yang jelas Amanda berharap jika mereka sudah satu sekolah lagi, kak Edo akan lebih memperhatikan dirinya.
***
"KRIIIINGGGGG!!!" Suara alarm dari smartphone menggelegar pagi ini. Nada alarm-nya klasik banget yahhh. Tapi bagi seorang putri tidur seperti Amanda, hanya pilihan nada itu yang ampuh untuk mengembalikan dirinya ke alam nyata.
Bukan tidak pernah dia mencoba mengganti nada alarm-nya, dia pernah mengganti dengan nada lagu kesukaannya yang tersimpan di MP3, hasilnya dia tertidur lebih pulas sampai pagi. Menggunakan pilihan nada alarm lainnya, juga ga ngefek sama sekali.
Ada teori yang mengatakan bahwa nada alarm yang asing tidak akan membuat tubuh merespon dengan cepat. Sepertinya teori itu bekerja dengan sempurna dalam urusan tidur sang putri tidur sejati, Amanda.
"Ya ampun! Udah pagi aja." Amanda menggerutu dalam hati.
Amanda menggeliat lagi di bawah selimutnya, mencoba mengumpulkan seluruh jiwanya yang seolah terbang kemana-mana tadi malam.
Tidur larut malam memang sudah menjadi kebiasaan lama bagi Amanda. Tapi tadi malam, dia benar-benar resah dan tidak bisa tidur hingga jam 3 pagi.
Ini benar-benar prestasi bagi putri tidur sejati seperti Amanda. Dia biasanya selalu bisa tertidur, seberat apapun masalah yang sedang dihadapi. Kali ini berbeda, gaesss!
Dia tidak ingat jam berapa persisnya dia benar-benar tertidur, yang dia ingat adalah terakhir kali dia melirik layar smartphone-nya, tertera pukul 03.00. Dia telah mengatur agar alarm berbunyi pada pukul 06.00 dan alarm itu sungguh setia, berbunyi tepat pada waktu yang telah diatur tuannya.
Amanda seolah masih enggan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Kepalanya terasa sakit, begitu juga dengan kedua matanya. Terasa perih sekali.
"Amanda! Amanda! Bangun, nak. Ini sudah jam 6 lewat. Jangan sampai kalian telat." Suara ibu terdengar dari luar kamar.
Amanda pun bangkit dari tempat tidur, dengan langkah gontai berjalan keluar dari kamar. Ketika melewati dapur, Amanda melihat sekilas pada ibunya yang sedang sibuk menyiapkan hidangan untuk sarapan mereka.
"Bagaimana ini? Sepertinya aku tidak nafsu makan," Amanda mulai merasa semakin lesu.
"Tapi aku harus sarapan, biar ga pingsan di lapangan." Amanda berkata dalam hati sambil menahan rasa galaunya antara akan sarapan atau tidak.
Membayangkan pengalaman pingsan yang pernah beberapa kali dia alami, membuat pilihannya jatuh kepada tekad untuk sarapan pagi ini.
Amanda pun bergegas menuju kamar mandi dan bersiap-siap. Walaupun berat hatinya untuk memulai hari ini, dia juga tidak ingin menorehkan sejarah baru dalam hidupnya sebagai seorang siswa baru yang terlambat atau pingsan di lapangan pada hari pertama masuk sekolah.
Itu akan sangat memalukan.
Memang benar, hal-hal konyol saat ini bisa membuatmu viral secara dadakan. Namun itu bukan tujuan utama Amanda berada di sekolah barunya.
Kau mungkin tidak bisa terkenal dengan berbagai kelebihan positif di dirimu, tapi setidaknya tidak perlu terkenal dengan reputasi memalukan yang tak akan lekang oleh waktu.
Begitu pemikiran Amanda di pagi hari yang serasa mentari tidak ada lagi di bumi.
Pengalaman hidup Amanda sebagai korban bully-an di pergaulannya saat masih sekolah dasar benar-benar masih tersimpan rapat di memory khusus dalam syaraf-syaraf halus otaknya.
Selesai mandi dan berpakaian lengkap, Amanda segera menuju meja makan. Ayah, ibu, dan adik-adiknya telah siap juga untuk menyantap hidangan pagi ini.
Magdalena dan Mutiara terlihat sangat bersemangat. Mereka ingin secepatnya tiba di sekolah agar dapat memilih bangku yang paling strategis menurut mereka. Keduanya masih duduk di bangku sekolah dasar. Magdalena tahun ini naik kelas 6 dan Mutiara naik kelas 3.
Memandangi adik-adiknya, Amanda seolah ingin kembali ke sekolahnya dulu. Bukan berada di SMA. Tetapi apa daya, bukankah setiap manusia akan terus bertumbuh dan dewasa.
Kau tidak mungkin menua di bangku SMP kan?
"Huffffttt.." Amanda menghela nafas berat sebelum mulai menyantap sarapannya.
Oksigen di dapur pagi ini seolah sedikit sekali tersedia bagi Amanda. Disabotase oleh kedua adiknya yang terlihat sangat semangat dan gembira.
*SMA Adhyaksa*
"DEG! DEG! DEG!" Jantung Amanda benar-benar sudah morning sport hari ini. Sejak di jalan menuju ke sekolah adik-adiknya, dia sudah tidak mampu menenangkan detak jantungnya sendiri.
Amanda adalah yang terakhir diantar oleh ayahnya karena lokasi sekolah barunya ini terletak paling jauh dari rumah.
Ya, Amanda diantar karena ini adalah hari pertamanya. Sesungguhnya ayahnya pun khawatir akan keadaan puteri sulungnya pagi ini. Raut wajah Amanda jelas sekali tidak terlihat ceria.
Amanda sudah tiba di depan gerbang sekolah. Rasanya dia tidak sadar kapan dia melangkah hingga sudah melihat pamflet nama sekolah tepat di hadapannya.
Ini adalah kali ketiga dia ke sekolah. Sebelumnya dia sudah pernah ke ruang guru sekolah itu untuk mengukur seragam sekolah dan mengambilnya seminggu kemudian. Tapi hari ini suasananya berbeda sekali. Sangat ramai dan membuatnya merasa semakin canggung.
"OK. Aku di sini," ujarnya dalam hati.
"Santailah sedikit, Amanda. Ini sekolah, bukan medan perang. All is well." Dia terus menenangkan hatinya sambil mengatur pernafasan.
Seingat dia, terakhir kali dia nervous begini ketika menghadapi ujian akhir kelulusan di SMP beberapa bulan yang lalu. Ternyata setelah lulus, ujian kehidupan baginya lebih parah lagi.
"Ya Tuhan, tolong aku." Amanda berkata lirih di dalam hati.
Siswa-siswa dengan seragam putih abu-abu sudah terlihat berkumpul di halaman sekolah. Amanda semakin bingung dia harus kemana dan berdiri di mana, tidak ada teman, tidak ada kenalan, tidak ada saudara. Tidak ada siapa-siapa! Bukankah ini konyol sekali?
Pernahkah kau merasa sepi di tengah keramaian? Well, Amanda mulai mengerti bagaimana rasanya. Rasa mindernya meningkat dua kali lipat.
"Hai..." Sapa seorang gadis yang berdiri di sebelahnya. Amanda menoleh, memastikan bahwa dirinya yang disapa.
"Ohh.. Iya, hai." Amanda mencoba membalas sapaan sambil tersenyum. Dia memaksa dirinya tersenyum tentu saja karena gadis itu tersenyum ramah.
"Anak baru juga ya?" Tanya gadis itu. "Dari sekolah mana sebelumnya?" Gadis itu masih bertanya dengan ramah.
"Ohh.. Iya, aku dari SMP Pelita Bangsa," jawab Amanda. "Kamu dari sekolah mana?" Amanda balik bertanya.
"Dari sebelah," ujar gadis itu. "SMP Adhyaksa." Sambil menunjuk bangunan tinggi di sebelah kanan pagar sekolah mereka.
"Kenalin, aku Amel." Ujar gadis itu sambil mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Amanda.
Amanda menyalami tangan Amel dan menyebut namanya sendiri, "Amanda."
SMA Adhyaksa ini sebenarnya terdiri dari satu komplek elite yang luas. Di sebelahnya berdiri bangunan SMP Adhyaksa, dan di belakang SMP itu berdiri SD Adhyaksa. Semuanya berada dalam satu komplek, namun dibatasi pagar sekolah masing-masing.
Satpam dan petugas keamanan selalu standby di pos gerbang masuk dan gerbang keluar sekolah. Ini membuat situasi di setiap sekolah selalu aman dan anak-anak juga tidak bisa bolos tentunya, kecuali dengan metode khusus.
"Kita ke sana yukkk. Sepertinya itu kumpulan anak kelas 1, ada temanku di sana." Amel berkata sambil menunjuk ke arah sekumpulan anak gadis yang sedang ngobrol santai.
Amanda pun mengikuti langkah Amel. Setidaknya saat ini dia sudah sedikit merasa lega karena sudah ada teman yang mengajaknya bicara.
"Sepertinya dia baik." Amanda berkata dalam hati sambil berdoa agar hari pertamanya di sekolah akan baik-baik saja.
"Heyyy, Mel. Sini-sini, ikutan gabung," seorang gadis di kerumunan itu memanggil Amel.
"Semoga kita semua sekelas lagi ya!" Ujar gadis itu sambil melirik ke arah Amanda.
"Teman baru nih, Mel?" Tanya gadis itu.
"Haha.. Iya, kita tadi baru berkenalan." Amel menjawab ringan.
"Amanda, kenalin nih teman-temanku." Ujar Amel sambil tersenyum ke arah Amanda.
Amanda berusaha tersenyum ceria dan kemudian menyalami mereka satu per satu.
Amanda mulai merasa bahagia, sepertinya ini permulaan yang baik. Setidaknya dia sudah tidak lagi sendirian dan terlihat bodoh seperti bayangannya selama ini.
"Semoga saja aku tidak menjadi bahan bully-an di lapangan ini." Amanda berharap-harap cemas dalam hati.
Kelompok gadis itu masih sibuk mengobrol dan sesekali mereka tertawa sambil menahan suara agar tidak mencolok sekali.
Amanda terkadang ikut tertawa melihat gelagat mereka. Tiba-tiba matanya tertuju pada lengan kemeja sebelah kiri mereka.
"DEG!!!" Jantung Amanda seperti berhenti bekerja sejenak.
"Kok di sebelah kiri?" Pikir Amanda.
"Bukan di sebelah kanan ya?! Mati aku!" Amanda merutuk di dalam hati.
Dia baru menyadari itu sekarang, ibunya terbalik menjahit simbol sekolahnya.
Memang tidak sepenuhnya salah ibunya. Dia sendiri yang mengatakan pada ibunya letak simbol itu adalah di lengan baju sebelah kanan. Seperti pada seragam SMP dulu.
Amanda mulai menyesali mengapa saat mengambil seragam dan simbol, dia tidak menanyakan terlebih dahulu ke pihak sekolah mengenai hal itu. Huhh, penyesalan selalu datang belakangan. Jelas, karena kalau di depan namanya pendaftaran.
"Waduuhhh.. Bagaimana ini??" Amanda mulai agak panik.
Baru saja dia merasa aman, tiba-tiba sebuah alasan untuk menjadikannya sebagai bahan bully-an muncul begitu saja.
----------
Di tengah rasa panik yang mulai melanda, Amanda dikagetkan dengan bunyi microphone di halaman.
"Tes.. Tes.. Tes.. 1, 2, 3.. Tes!" Suara nyaring seorang laki-laki membuat keadaan di halaman sekolah mendadak menjadi lebih tenang.
Semakin tenang suasana di halaman sekolah, semakin tidak tenang suasana hati Amanda. Dia menjadi semakin grogi, ingin menutupi lengan bajunya. Namun itu tidak mungkin.
Halaman sekolah mulai terlihat dipenuhi para siswa, baik siswa baru maupun siswa lama. Semua siswa diperintahkan untuk berbaris dengan rapi. Siswa-siswa kelas 1 berbaris di sisi kanan, kemudian dilanjutkan oleh barisan siswa-siswa kelas 2, dan terakhir di sisi paling kiri adalah barisan siswa-siswa paling senior (siswa-siswa kelas 3).
Upacara Senin pagi siap untuk dimulai. Sound system sudah beres. Para petugas upacara terpilih telah berdiri pada posisi mereka masing-masing. Mereka semua adalah siswa kelas 2.
Amanda mengetahui itu dari warna simbol sekolah yang mereka kenakan di bagian lengan bajunya.
Teringat kembali akan simbol yang salah tempat, Amanda bergidik ngeri. Namun melihat Amel dan teman-temannya belum menyadari kesalahannya, Amanda berusaha terlihat tenang.
Amanda celingak-celinguk melihat ke arah barisan para siswa kelas 3.
"Seharusnya dia ada di sana." Gumam Amanda dalam hati.
Amanda tidak ingin terlihat terlalu mencolok dalam memperhatikan barisan seniornya, dia kembali menatap lurus ke depan, ke arah podium upacara.
"Amanda, kamu tahu ketua OSIS kita sekarang ini yang mana?" Tiba-tiba Amel bertanya dan membuat Amanda kaget setengah mati.
Dia sedang sibuk dengan fikirannya sendiri dan mencari-cari seseorang yang sangat dia kagumi. Sehingga pertanyaan Amel itu membuat dia shock.
Sebenarnya Amanda tidak peduli dengan ketua OSIS. Baginya itu tidak penting untuk diketahui. Ada orang lain yang lebih penting untuk Amanda. Dia ingin melihatnya di sini, di halaman sekolah ini. Tak peduli dengan sang ketua OSIS.
Tetapi mengingat keramahan dan kebaikan Amel, dia tidak tega mengabaikan pertanyaan teman barunya itu. Amanda pun menjawab dengan sopan. "Aku belum tahu. Yang mana ya orangnya?"
"Itu.. Yang sedang bicara dengan guru di pojok sana. Di depan bagian sebelah kiri." Amel menjawab setengah berbisik agar tidak didengar oleh teman-temannya yang lain.
Amanda melihat ke arah yang dimaksud Amel. Dia menangkap sosok keren nun jauh di hadapannya sana. Kelihatan cukup berwibawa.
"Dia layak jadi ketua OSIS," batin Amanda.
"Cakep, berwibawa, dan kelihatan cukup pintar." Amanda menilai dalam hati.
"Gimana? Keren kan?" Ujar Amel sambil cengar-cengir.
"Iya." Jawab Amanda sambil tertawa kecil.
Amel seakan ingin berbicara lagi ketika tiba-tiba seorang guru menghimbau melalui microphone agar semua siswa berdiri tegak dan bersikap tenang karena upacara akan segera dimulai.
Halaman sekolah menjadi hening. Upacara berjalan khidmat. Kepala sekolah memberikan kata sambutan dan berbagai wejangan bagi para siswa baru agar dapat belajar sebaik-baiknya sehingga menjadi orang-orang sukses di masa depan.
Amanda mulai merasa bosan. Sejak kecil dia memang tidak suka mengikuti kegiatan upacara. Dia merasa letih berdiri terlalu lama, apalagi kepalanya masih terasa sedikit pusing. Efek dari tidurnya yang kurang selama ini. Amanda begitu lega ketika akhirnya upacara pagi ini selesai.
Para siswa sudah mulai berdiri dengan posisi lebih santai. Namun mereka belum dibolehkan meninggalkan halaman sekolah karena akan ada pengarahan untuk kegiatan orientasi sekolah bagi para siswa baru.
"PENGUMUMAN!" Sebuah suara kembali terdengar dari microphone.
"Diharapkan kepada seluruh siswa kelas 2 dan kelas 3 untuk dapat meninggalkan lapangan upacara dan segera menuju kelas masing-masing. Daftar nama telah tersedia di setiap kelas. Dan kepada semua siswa kelas 1 tetap berada di lapangan upacara untuk mengikuti kegiatan orientasi selanjutnya. Terima kasih."
Seorang guru terlihat turun dari podium dan berjalan menuju beberapa orang siswa senior, salah satu di antara mereka adalah ketua OSIS yang tadi disebutkan Amel.
Amanda melihat dari kejauhan, memperhatikan setiap siswa yang mulai bubar dari barisan masing-masing. Misi utama Amanda tentu saja ingin melihat seseorang. Sejak tadi pagi dia belum melihat batang hidungnya.
"Apa aku salah ya? Jangan-jangan dia ga sekolah di sini," gumam Amanda dalam hati.
"Tapi udah bener dehhh.. Seragam yang biasa dia pake dulu memang seragam sekolah ini. Atau jangan-jangan dia udah pindah sekolah?" Amanda bertanya-tanya sendiri.
Rasa-rasanya Amanda sudah memperhatikan semua barisan yang sudah mulai bubar, tapi seseorang yang ingin dia lihat belum juga kelihatan. Dia masih serius menatap ke depan sampai Amel dan teman-temannya mengejutkan dirinya hingga dia kaget beneran.
"Ya ampun, kaget aku." Kata Amanda.
"Hahaha.. Mau terus di sini atau ikut kita gabung ke barisan sana?" Ujar salah satu dari teman Amel.
"Kita udah disuruh geser dari tadi lohhh.. Kamu kok ga gerak-gerak?" Amel menimpali.
"Atau mau jadi monumen baru di halaman sekolah ini?" Teman Amel yang lain ikut nimbrung. Mereka pun cekikikan rame-rame.
"Kalian mau kemana? Aku ikut aja dehhh..." Amanda menjawab sambil cengengesan.
Toh dia juga tidak tahu harus bagaimana, jadi sepertinya lebih aman mengikuti gerombolan teman barunya ini. Setidaknya rame-rame lebih baik daripada sendirian. Sebuah filosofi bijak, bukan!?
Mereka pun akhirnya bergerak menuju ke tengah halaman, tepat di depan podium. Kini hanya barisan kelas 1 saja yang tersisa di halaman sekolah yang digunakan sekaligus untuk lapangan upacara itu.
Terlihat ketua OSIS naik ke podium. Dia mulai menyampaikan kata-kata sambutan sekaligus membuka kegiatan orientasi sekolah. Para guru juga hanya tersisa 2 orang di samping podium, sementara guru-guru lainnya juga sudah bubar sejak tadi. Kedua guru tersebut terlihat seperti sedang memberikan arahan ke pengurus OSIS.
Tak lama kemudian, mereka juga meninggalkan lapangan upacara. Kini di lapangan upacara hanya ada ketua OSIS, pengurus OSIS, dan siswa-siswa baru.
Semua siswa baru kemudian diperintahkan untuk bubar dan meninggalkan lapangan upacara. Mereka kemudian diarahkan menuju ke kelas-kelas di lantai satu. Lantai dua dan lantai tiga adalah kelas para siswa senior.
Di pintu kelas telah ditempel daftar nama masing-masing siswa. Semua siswa diberi waktu 20 menit untuk masuk ke kelas mereka.
Jika tidak berhasil menemukan kelasnya sampai habis batas waktu yang ditentukan, maka para siswa tersebut harus melaporkan diri ke pengurus OSIS.
Kedengaran normal. Tapi percayalah.. Itu akan menjadi awal dari masalah..
Ratusan siswa langsung bergerak cepat. Ada 11 kelas, 11 pintu yang harus dicek. Untung saja pintu kelas semuanya kokoh, tidak ambruk menghadapi kepanikan siswa-siswa baru itu.
Ada yang beruntung, bisa langsung menemukan kelasnya. Sebagian siswa menelpon teman-temannya memberitahukan lokasi kelas mereka yang sudah lebih dahulu ditemukan. Ada yang mulai berlari-lari dengan frustrasi. Banyak yang bertabrakan. Ada yang hampir menangis. Ada yang tertawa. Ada yang ekspresinya aneh tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Sungguh beragam ekspresi siswa-siswa baru itu. Namun ekspresi para siswa senior dari lantai dua dan tiga nyaris sama. Tertawa terpingkal-pingkal dari balkon kelas mereka.
Hiburan pagi di sekolah baru saja dimulai.
Amanda merasa super lega ketika melihat namanya tertera di kelas I-2. Ya, kelas 1 di deretan kedua. Dia melirik ke Amel yang terlihat panik karena belum menemukan namanya di dua kelas yang sudah mereka lewati.
"Aku ke sana ya, nanti aku samperin waktu istirahat." Ujar Amel dan segera berlari ke kelas berikutnya.
Bahkan Amanda belum sempat menjawab, Amel sudah hilang dari pandangan. Dia menyelinap cepat di antara kerumunan yang penuh kepanikan.
Amanda dengan susah payah menerobos barisan siswa yang panik dan dia hampir saja terjatuh di depan pintu kelas yang tiba-tiba terbuka.
"Dasar bodoh. Siapa sih ini, buka pintu ga pake ngomong dulu." Amanda mengumpat dalam hati.
"Woyyyy.. PAKE OTAK DONG BOSSS, buka pintu kok ngasal aja!! Kalau ada yang jatuh gimana!?" Seorang gadis di belakang Amanda berteriak marah.
Amanda menoleh ke belakang. Dilihatnya seorang cowok berjalan ke arah gadis itu.
"Dasar bego. Bukannya berterima kasih, kamu kok malah sewot! Kalau ga dibuka, gimana kita bisa masuk?" Cowok itu menjawab dengan nada tinggi.
"Kau yang bego!" Gadis itu mendengus kesal dan segera mencari tempat duduk di pojok ruangan diikuti pandangan sinis cowok tadi.
Amanda masih shock, belum apa-apa dia sudah merasa ada aura yang tidak nyaman di kelas ini. Dia melihat ke semua penjuru ruangan, sudah mulai hampir penuh. Dia mulai bingung, harus duduk di mana agar aman dan selamat dunia-akhirat.
Tiba-tiba gadis tadi melambai ke arah Amanda.
"Heyyy.. Ke sini aja, di sebelah ku kosong nih!" Gadis itu berteriak ke arah Amanda.
"Waduhhh.. Gimana ini?" Amanda bimbang dalam hati.
"Tapi sepertinya dekat pojokan cukup aman. Ga pojok-pojok amat juga. Ga terlalu mencolok." Pikir Amanda dan dia segera menuju ke bangku yang dimaksud gadis itu.
"Kamu lihat cowok gila itu? Dia pasti ga diajarin etika di rumahnya." Gadis itu berkata pada Amanda dengan wajah masih kesal.
"Emmm.. Iya ya.." Amanda menjawab singkat.
"Kenalin, aku Amanda." Ujar Amanda sambil mengulurkan tangannya.
Dia mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Gadis itu menjabat tangannya.
"Aku Helena. Panggil Helen aja." Jawab gadis itu sambil tersenyum. Wajahnya sudah lebih ramah.
Mereka duduk sebangku di bagian pojok kanan kelas. Tidak terlalu pojok sih, nomor tiga dari belakang. Duduk terlalu pojok apalagi di belakang bisa sangat berbahaya di momen-momen begini. Begitu hasil analisa Amanda berdasarkan pengalamannya di sekolahnya dulu.
Suasana di depan kelas mereka sudah mulai tenang. Semua siswa di kelas itu sudah masuk dan duduk di bangku masing-masing. Amanda melirik jam tangannya, tersisa sekitar 10 menit lagi.
Kelihatannya sudah banyak siswa yang menemukan kelasnya, terlihat dari situasi lantai satu yang sudah tidak terlalu ribut seperti tadi.
Tiba-tiba Amanda melihat sebuah siluet yang dikenalnya lewat dengan cepat di depan kelas. Amanda melihat ke jendela, jantungnya berdegup kencang.
"Ahhh.. Itu dia!" Jeritnya dalam hati.
"Benar kan, dia memang ada di sini." Hatinya mendadak berbunga-bunga.
Sungguh menyenangkan bisa bertemu dia setiap hari di sekolah ini. Pasti menyenangkan. Hari-hari akan indah. Amanda tersenyum-senyum sendiri.
"Ehhh.. Itu kak Edo yaa? Nanti aku samperin dehhh.." Ujar Helena sambil ikut melirik ke jendela.
"DEG!" Amanda kaget, bagaimana bisa gadis ini tahu nama kak Edo.
Bukankah mereka sama-sama siswa baru? Apa mungkin gadis ini siswa yang tinggal kelas? Bagaimana ceritanya dia bisa kenal dengan kak Edo? Mereka ada hubungan apa?
Amanda mulai menerka-nerka dan berprasangka.
----------
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!