Darren mulai menggerakan jari-jari tangannya, pertanda jika dia mulai sadar dari koma selama satu bulan ini. Perlahan mata tertutup Darren mulai terbuka, bayangan putih menghiasi pandangannya. Tidak ada yang bisa ia kenali dari ruangan itu, hanya cat tembok berwarna putih dan beberapa alat medis yang melekat pada tubuh Darren saja yang bisa dirinya lihat.
Samar-samar Darren mendengar suara yang cukup Darren kenali, siapa lagi kalai bukan Daffa, saudara kembarnya yang selalu setia menemaninya di saat Darren Koma. Senyum itu, genggaman tangan itu. Ahhhh, sunggu Darren merindukannya.
"Da_ffa." ucap Darren lemah. Dirinya melihat saudara kembarnya itu mulai menitihkan air mata, sangat cengeng menurut Darren.
"Kau sudah sadar, aku akan memanggil Adrian kesini." Daffa berlalu keluar meninggalkan Darren sendiri.
Tak lama pintu ruangan itu kembali terbuka, ada beberapa suster dan satu dokter muda yang ikut masuk bersama Daffa. Ya, dokter muda itu adalah Adrian, sahabat Darren dan Daffa sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar.
"Tunggulah di luar, aku akan memeriksa keadaannya."
"Tapi_"
"Percayakan semua padaku Daff, Darren akan baik-baik saja."
Daffa menatap saudaranya yang begitu lemah dengan alat yang masih menempel di tubuhnya. Daffa melihat Darren mengangguk tanda setuju dengan ucapan Adrian, dan dengan berat hati Daffa pun mengikuti ucapan Adrian. Dia keluar dari ruangan saudaranya dengan wajah bahagia sekaligus cemas, karna setelah Darren sadar akan ada masalah besar yang masih menunggunya.
10 menit menunggu, penantian Daffa berakhir dengan keluarnya Adrian dari ruangan Darren. Dengan gerakan cepat, Daffa sudah berada di depan sahabatnya itu.
"Bagaimana kondisinya Adrian, apa dia baik-baik saja?"
"Hmmm, kondisi Darren sudah stabil, dan kau tidak usah khawatir. Tapi_" Adrian menjeda ucapannya, membuat kening Daffa berkerut, memperlihatkan beberapa lipatan di dahi Daffa.
"Tapi apa Adrian, apa ada luka serius lainnya, selain kelumpuhannya?"
Adrian menggeleng pertanda jika tidak ada luka serius lainnya. Adrian menghela nafasnya yang terdengar begitu berat, menandakan jika ada hal yang lebih gawat daripada kelumpuhan yang Darren alami.
"Darren menanyakan kondisi Oma dan Oppa, dan itu membuatku semakin kasihan terhadapnya. Sebaiknya kau hubungi Paman Fandra dan Bibi Rania, agar mereka bisa menjelaskan semua yang terjadi."
"Adrian, dia ingat kejadian itu?"
"Hmmm, aku rasa sebelum kesadarannya hilang saat kecelakaan itu, dia sedikit melihat kondisi Oma dan Oppa saat itu. Maka dari itu dia menanyakan keadaan mereka. Aku harap kau bisa sedikit bersabar saat menghadapi reaksinya saat Darren tau yang sebenarnya."
Daffa diam, tidak ada kata yang bisa ia keluarkan lagi. Rasa khawatir yang tadinya menghilang, kini kembali datang. Bahkan Daffa merasakan dadanya semakin sesak. Daffa sudah membayangkan reaksi Darren saat tau bahwa Oma dan Oppa mereka tewas dalam kecelakaan yang melibatkan dirinya itu.
"Darren sudah sangat syok saat mengetahui dirinya lumpuh, jadi berhati-hatilah menyampaikan kabar duka itu padanya. Tapi ingatlah, semakin lama kalian menyimpan rahasia itu, semakin dalam luka yang akan di rasakan oleh Darren. Jadi lebih cepat dia tau, itu lebih bagus untuknya."
Adrian menepuk pundak Daffa, meyakinkan sahabatnya itu untuk segera mengambil keputusan. Adrian meninggalkan Daffa yang masih termenung di tempatnya, membiarkan otaknya untuk berfikir jernih. Karna saat ini Daffa benar-benar buntu. Hal yang bisa Daffa lakulan saat ini hanyalah memberitahu orang tuanya dan menyerahkan semua keputusan pada mereka.
****
Satu jam berlalu saat Daffa menghubungi orang tuanya, dan kini mereka sudah berada di depan Daffa. Dengan wajah senang berbinar, Rania dan Fandra mendekati Daffa untuk menanyakan keadaan putra sulungnya.
"Daffa, syukurlah. Apa Darren benar- benar sudah sadar nak, Mommy sangat senang saat mendapat kabar itu darimu." ucap Rania sambil memeluk Daffa erat.
Daffa melepas pelukan Mommy nya, menatap lekat wajah yang satu bulan ini terlihat murung dan sekarang sudah kembali ceria. Tegakah Daffa menghancurkan wajah ceria itu?. jawabannya tidak, Daffa tidak bisa lagi melihat airmata Ibunya yang sudah terkuras habis karna kematian Oma dan Oppanya. Di tambah lagi keadaan Darren yang koma, dan sekarang saat Darren sadar, bukannya kebahagiaan tapi masalah yang akan mereka hadapi lagi.
Tapi semua memang sudah jalan tuhan, semua tidak bisa mereka hindari. Darren harus menerima kenyataan ini, sama seperti keluarganya yang juga menerima semua yang sudah terjadi.
"Daffa, kenapa kau menatap Mommy seperti itu? kenapa wajahmu murung nak? bukankah kau bilang Darren sudah sadar, lalu kenapa kau terlihat tidak senang?" taya Rania. wajahnya di penuhi kebingungan.
"Daffa, apa terjadi sesuatu nak !, katakan pada kami." timpal Fandra.
"Mommya, Daddy. Darren bertanya tentang keadaan Oma dan Oppa." ucapan Daffa membuat Rania dan Fandra seketika bungkam, mereka tidak menyangka jika hal pertama yang putranya tanyakan adalah nenek dan kakeknya.
"Adrian menyarankan kita untik segera memberitahu keadaan yang sebenarnya, karna menurut Adrian, lebih cepat Darren tau itu lebih bagus untuknya." lanjut Daffa.
"Nak, bagaimana bisa kami menceritakan yang sebenarnya. Sementara keadaan Darren masih belum pulih." ucap Rania mulai kembali menitihkan air matanya.
"Kak, biar aku yang memberitau Darren."
Suara yang begitu mereka kenal, membuat ketiganya memalingkan pandangan mereka.
"Dika." ucap Fandra dan Rania bersamaan.
Ya, suara yang begitu mereka kenal adalah suara milik Dika. Dia baru saja kembali dari perjalanan bisnisnya di Amerika selama dua minggu terakhir ini. Setelah orang tua angkatnya meninggal satu bulan yang lalu Dikalah yang mengelola prusahaan yang di tinggalkan oleh Nathan. Perusahaan kedua yang Nathan bangun untuk masa depan Dika.
"Dika, kapan kau kembali?" tanya Fandra pada adiknya itu.
"Baru saja kak. Saat aku tau Darren sudah sadar, aku langsung menuju kesini dari bandara." jawab Dika
"Dika, apa kau yakin akan mengatakan itu pada Darren. Kakak takut Darren tidak bisa menerima semua itu dan akan berpengaruh pada kondisinya." ucap Rania dengan rasa khawatir.
"Tenanglah kak. Yang di katakan Daffa itu benar, kita tidak bisa menyembunyikan rahasia besar ini dari Darren terus. Karna lambat laun Darren pasti akan curiga, dan dia juga pasti akan tau kenyataannya. Jadi, bukankah lebih baik kita mengatakannya sekarang, bukankah lebih cepat dia tau itu lebih baik." ucap Dika.
Rania mencoba untuk memantapkan hatinya. Yang di katakan Dika dan Daffa itu benar, mereka tidak mungkin bisa merahasiakan semuanya dari Darren. Karna putranya itu lebih pintar dari yang dia duga, tidak mungkin jika Darren akan diam saja mendengar alas dari semuanya.
"Baiklah, kalau begitu kita katakan semuanya pada Darren." putus Rania.
Mereka semua memutuskan untuk masuk ke dalam ruang perawatan Darren. Darren yang merasakan belaian lembut dari tangan yang begitu ia rindukan membuatnya membuka mata.
"Mommy." ucap Darren dengan suara lemah.
"Iya sayang, ini Mommy. Mommy sangat merindukanmu nak." ucap Rania yang kembali berkaca- kaca.
"Darren juga merindukan Mommy. Mommy....bagaimana keadaan Oma dan Oppa? apa mereka baik-baik saja? apa mereka di rawat disini juga?"
Rania diam, dia tidak tau harus memulai darimana. Rania sungguh tidak sanggup menceritakan kenyataan pada putranya itu.
"Darren, bisakah kita membicarakan itu nanti saja. Mommy sangat senang karna kau sudah sadar, jadi biarkan Mommy menikmati kebahagiaannya sebentar saja." Daffa mencoba mengalihkan pembicaraan, dia tau jika Mommy_nya belum siap untuk menceritakan berita duka itu pada Darren.
"Kenapa?" Dahi Darren berkerut dalam. "apa ada yang kalian coba tutupi? apa kalian sedang menyembunyikan sesuatu dariku?" Wajah Darren sudah mulai menunjukan reaksi. Darren tau jika keluarganya sedang menutupi sesuatu darinya.
"Kenapa kalian diam?. KATAKAN PADAKU!! APA YANG TERJADI PADA OMA DAN OPPA!!."wajah Darren semakin memerah dengan rahang mengeras. Dadanya naik turun menahan amarah karna dia tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Darren semakin marah saat tidak ada satupun yang mau bicara.
"Daddy." panggil Darren dengan suara serak dan bergetar.
Fandra menatap putranya dengan tatapan penuh arti." Iya." jawab Fandra dengan suara bergetar juga.
"Daddy adalah sosok ayah yang tegas, bisakah Daddy mengatakan apa yang sudah terjadi pada Oma dan Oppa."
Telinga Fandra serasa panas mendengar ucpan Darren. Kali ini bolehkan Fandra menjadi sosok ayah yang lemah? bolehkah Fandra menangis karna keadaan yang begitu kejam pada keluarganya.
Mata Fandra mulai berkaca- kaca, dia juga tidak tau harus memulai dari mana. Sungguh, jika Fandra bisa memilih, dia lebih memilih untuk menangani tiga proyek besar sekaligus.
"Kenapa kalian diam hahhhh!! apa tidak ada yang mau mengatakan sesuatu pada pria cacat ini." Darren mulai menangis, dia sungguh merasa tidak berguna karna tidak tau apa- apa.
"Darr, kau jangan bicara seperti itu kami.. "
"Oma dan Oppa meninggal dalam kejadian itu." Dika memotong ucapan Daffa sambil menatap manik mata Darren yang menatapnya dengan tajam. Airmatanya semakin deras mengalir, rasa bersalah dalam dirinya menyeruak ke permukaan begitu saja.
Daren bungkam, tidak ada reaksi yang Darren tunjukan. Hanya airmatanya yang keluar tanpa henti.
"Darren." Dika mencoba untuk menggapai pundak keponakannya itu, tapi dengan cepat Darren menepis tangan Dika.
"Tinggalka aku sendiri." ucap Darren seraya mengusap sisa airmatanya
"Tapi nak_"
"TINGGALKAN AKU SENDIRI!!" triak Darren dengan tatapan menghujam.
"Darren, jangan seperti ini nak. Semua ini terjadi karna kehendak Tuhan, ini semua kecelakaan yang tidak di sengaja, Darren." ucap Rania mencoba memberi pengertian pada putranya itu.
"Tidak, ini semua salahku, aku yang sudah membuat Oma dan Oppa meninggal. AKU YANGA MEMBUAT MEREKA MENINGGAL!!!." triak Darren histeris.
Darren bahkan mencoba intuk mencabut infus yang melekat di tangannya. Beruntung Dika dan Daffa dengan sigap menahan tangan Darren. Ketegangan yang di ciptakan Darren membuat Fandra harus memanggil Adrian, karna Darren semakin tidak terkendali. Obat penenang pun terpaksa Adrian suntikan pada Darren karna dia terus memberontak.
[ bersambung]
🍃Jangan lupa tinggalkan jejak kalian setelah membaca🙏
Satu minggi berlalu sejak Darren tau kenyataan yang ada, Darren tidak pernah lagi mau bicara. Dia menutup diri dari keluarga dan dunia luar, bahkan Darren tidak mau melanjutkan terapi untuk kesembuhan kakinya. Rasa bersalah yang begitu dalam membuat jatuh ke lubang paling dalam,rasa trauma mendalam membuatnya takut untuk melihat dunia.
pagi ini Daffa masuk ke dalam kamar saudara kembarnya itu. hanya Daffa_lah yang slama ini menemani Darren, menjadi teman bicara selama Darren mengurung diri setelah kepulangannya dari rumah sakit.
Daffa menatap saudaranya itu sambil menghela nafas. ia duduk di kursi tepat di depan Darren.
"Apa kau masih ingin terus menutup diri dari semua orang Darren. Aku tau bagaimana perasaanmu, tapi semua orang juga sama kehilangan. Tidak ada dari kami yang menyalahkanmu atas kejadian yang menimpa Oma dan Oppa, semua itu adalah kehendak Tuhan. Aku mohon kembalilah seperti Darren yang dulu, lihatlah airmata Mommy saat melihat putra kesayangannya begitu terpuruk."
Daffa menghela nafasnya lagi saat ucapannya yang panjang lebar sama sekali tidak di respon oleh Darren. Daffa meletakan jus yang dia bawa di atas nakas tempat tidur Darren lalu keluar meninggalkan Darren sendiri.
Selepas kepergian Daffa, Darren masih tetap diam, menatap lurus ke depan. Menikmati sinar mentari yang semakin redup seiring berjalannya waktu, sama seperti kehidupannya saat ini. Beberapa kali terdengar helaan nafas dari mulut Darren, bahunya mulai naik turun, memandakan jika Darren mulai menangis lagi. Biarkanlah orang berkata jika saat ini dirinya lemah, tapi memang itu yang terjadi. Darren yang dulu sudah mati, yang ada sekarang hanya seorang pria cacat yang lemah tanpa tujuan hidup.
_____
Sinar mentari tenggelam di ufuk barat, Darren mulai menggerakan kursi rodanya dengan tangan, masuk ke dalam kamarnya setelah hampir satu jam berada di balkon kamarnya. Satu minggu ini Darren mulai membiasakan diri dengan kursi roda yang akan selalu menemani harinya. Dia tidak ingin menyusahkan orang lain karna keadaannya saat ini, karna Darren ingin mandiri.
Took tok tok...!
"Darren...Mommy boleh masuk." Suara Rania menusuk di telinga Darren, dia kembali mengingat ucapan Daffa tadi yang mengatakan jika Mommy_nya selalu menangis atas penolakan yang dirinya berikan.
Darren menguatkan hatinya, dia tau jika Mommy_nya sangat menyayanginya, dan Darren tidak boleh terus egois. Memberi kesempatan pada dirinya tidaklah mudah, tapi Darren sadar jika dia tidak mungkin menghukum orang tuanya karna kesalahannya sendiri.
"Darren." panggil Rania lagi.
"Masuk Mom." ucap Darren akhirnya.
Rania yang berada di depan pintu putranya begitu bahagia saat kembali mendengar suara Darren. Perlahan Rania membuka pintu kamar Darren, dilihatnya putranya itu sedang duduk di atas kursi rodanya dengan handuk terletak di pundaknya, Rania berfikir jika Darren akan pergi mandi.
Rania duduk di tepi ranjang king size milik Darren, wajah Rania terlihat berbinar saat melihat putranya kini mau bertemu dengan dirinya.
"Mom, ada yang ingin Darren minta dari Mommy." ucap Darren saat sudah berada dekat dengan Rania.
Rania menatap lekat wajah putranya yang terlihat lebih kurus, manik mata hitam milik Darren masih menyiratkan kesedihan yang mendalam.
"Apapun yang kau minta akan Mommy berikan nak. Apapun jika itu membuatmu bahagia dan melupakan semuanya." Rania tersenyum, membelai lembut wajah putranya itu.
"Darren tidak ingin tinggal disini lagi Mom, Darren ingin pergi dari sini. Bisakah Mommy bicara pada kakek Danu agar mengijinkan Darren tinggal di Villanya yang ada di puncak. Darren mohon."
Rania sangat terkejut mendengar permintaan putranya itu, hatinya seperti di remas ribuan tangan saat putranya itu tidak mau lagi tinggal bersama keluarganya. Mata Rania berkaca-kaca, dia tidak mungkin sanggup jika harus jauh dari putranya itu, apalagi dengan kondisi Darren saat ini.
"Tapi kenapa Darr? apa kamu sudah tidak ingin bersama Mommy dan Daddy lagi??"
"Bukan Mom...bukan begitu. Maafkan Darren, Darren hanya ingin melupakan semua kenangan buruk itu Mom. Rumah ini selalu mengingatkan Darren pada Oma dan Oppa. Setidaknya jika Darren pergi, Darren bisa melupakan mimpi buruk itu."
Rania menghela nafas berat, menghapus sisa airmatanya dengan tangan lalu Senyum di wajahnya dia tunjukan pada putranya itu." Baiklah, jika itu bisa membuatmu kembali seperti dulu, maka Mommy akan bicarakan ini dengan Daddy mu."
Rania menepuk pundak putranya itu sambil tersenyum lembut. "Tapi kamu juga harus berjanji, jika kami boleh mengunjungimu sesekali disana." Rania memeluk putranya itu dengan erat. Hati seorang ibu tidak akan pernah sanggup melepas kepergian putranya hidup sendiri dalam kondisi seperti ini. Tapi Rania berharap dengan keputusannya itu bisa membuat Darren kembali seperti dulu.
"Tentu saja Mom, terimaksih."
"Maafkan aku Mom, aku harus pergi dari sini, karna aku tidak ingin membuat Mommy selalu menangis. Karna putramu yang dulu tidak akan pernah kembali lagi.". batin Darren.
____
Dua hari kemudian, semua keluarga sudah setuju dengan keinginan Darren yang ingin tinggal di Villa milik Danu. Danu pun mengijinkannya dengan senang hati. Hari ini Rania , Fandra dan juga Daffa bersiap untuk mengantar Darren ke Villa Danu yang terletak di puncak. Semua keperluan Darren pun sudah di siapkan oleh Rania, tidak ada satupun barang yang Rania lewatkan.
"Darren, kau sudah siap?" Daffa masuk ke dalam kamar Darren. Saudara kembarnya itu sedang duduk menatap jendela, wajahnya begitu tenang. Tidak ada guratan kesedihan yang di tunjukannya takala akan meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan masa kecilnya.
Darren memutar kursi rodanya, memperlihatkan wajahnya yang begitu tampan sempurna." Aku sudah siap." jawab Darren cepat
Daffa membantu Darren keluar dari kamarnya, mendorong kursi roda milik Darren menuju halaman depan. Semua sudah bersiap untuk mengantar Darren pergi ke villa Danu.
Mobil yang di kendarai Daffa melaju keluar dari halaman rumah mereka. Darren menatap rumah yang begitu banyak kenangan dari balik kaca mobil. Beberapa kali Darren terdengan menghela nafasnya yang terdengar begitu berat. Darren memejamkan matanya, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi saat mobil yang Daffa kendarai keluar dari komplek perumahan tempat tinggalnya.
Perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh, Darren bahkan sudah terlihat lelah. Dia tertidur saat baru setengah perjalanan, Daffa pun di ganti oleh Fandra karna putranya itu juga sudah lelah.
Tiga jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Daffa membantu menurunkan kursi roda Darren, dan menurunkan barang lainnya. Keluarga Fandra di sambut oleh Bik Minah, penjaga setia villa milik Danu itu yang sekarang sudah terlihat sangat tua.
"Selamat datang den Fandra, nona Rania." ucap Bik Minah memyambut kedatangan kelaurga Fandra
"Bik, kamar untuk Darren sudah siap kan?" tanya Rania cepat
"Sudah Non, kamarnya ada di sebelah sana." Bik Minah menunjuk ke arah utara.
"Terimaksih Bik, tolong bantu bawain barang Darren ya bik." Bik Minah mengangguk lalu membantu membawa barang milik Darren. Sementara Rania dan Fandra membawa Darren ke kamar yang akan putranya itu tinggali selama disini.
Hari ini Rania, Fandra dan Daffa memutuskan untuk menginap, karna mereka cukup lelah, tentunya juga karna belum yakin meninggalkan Darren sendiri. Rasa khawatir mereka cukup wajar, mengingat kondisi Darren saat ini. Tapi untungnya villa milik Danu ini cukup aman, karna banyak penjaga di villa yang di tugaskan Danu selama Darren tinggal disini.
.
Halo semua teman setia Darren dan Daffa. mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Author baru kembali lagi bersama kalian karena beberpa alasan yang tidak bisa Author ceritakan.
Untuk Kelanjutan ceritanya mungkin masih slow update karna Author sudah sedikit lupa alur ceritanya. jadi kemungkinan akan ada yang di rubah untuk alurnya nanti.
mohon dukungan kalian semua🙏🙏
.
😊Masih slow ya, ceritanya emang adem ayem🙏
.
Seorang gadis tengah tertunduk lemah di depan sebuah makam milik kedua orang tuanya yang baru saja meninggal karna kecelakaan dua hari yang lalu.
Diana Anastasia, gadis berparas cantik dan baik hati itu harus kehilangan orang tuanya saat baru menginjak usia 20 tahun, dia juga harus menghidupi dua orang adiknya dan membiayai sekolah mereka yang baru duduk di bangku sekolah dasar.
"Ana" panggil seorang wanita paruh baya yang Ana cukup kenal.
"Bik Minah, ada apa?" tanya Ana beranjak mendekati Bik Minah.
"Bibik mencarimu ke rumah, tapi adikmu bilang kamu kesini. jadi bibik menyusul kamu kesini." jawab Bik Minah.
"Iya bik, Ana habis membersihkan makan Ayah dan Ibuk."
"Nduk, ada yang ingin bibik sampaikan, kita bicara disana saja yah." ajak bik Minah
Diana mengikuti langkah Bik Minah menuju peristirahatan yang tersedia di pemakaman itu.
"Ada apa ya Bik?" tanya Diana saat mereka berdua sudah duduk saling berhadapan.
"Begini nduk, bibik mau memberimu pekerjaan, karna kemarin kamu sempat bilang ingin mencari pekerjaan kan. Dan pagi tadi majikan bibik menyuruh bibik untuk mencari satu orang untuk membantu di Villa tempat bibik bekerja." jelas bik Minah mengungkapkan maksudnya.
"Benarkah bik, Ana mau bik." ucap Diana bersemangat.
"Kalau begitu, sekarang kamu ikut bibik ke Villa, soalnya majikan bibik akan segera kembali siang nanti, jadi biar majikan bibik yang menjelaskan tugas kamu nanti."
"Yaudah bik, Ana juga lagi gak ada kerjaan, jadi Ana bisa kok ikut sekarang." ucap Devita cepat.
Bik Minah pun akhirnya membawa Diana ke Villa, dia masih belum tau apa yang harus dia kerjakan. Tapi Diana cukup senang karna dia bisa cepat dapat pekerjaan, karna kedua adiknya juga perlu makan dan uang sekolah. Orang tua Diana tidak meninggalkan apapun kecuali hutang ayahnya yang sudah menumpuk karna pengobatan adik bungsunya.
____
Villa Danu
Rania menatap Diana dari ujung atas sampai bawah, dia masih berfikir apakah gadis muda seperti Diana bisa tahan dengan sikap Darren yang begitu dingin dan pendiam. Bahkan Darren saat ini lebih cepat marah karna kondisinya yang belum bisa dia terima.
"Siapa nama kamu nak?" tanya Rania lembut.
"Diana bu, tapi ibu bisa memanggil saya Ana." jawab Diana
" Umur kamu, berapa?" tanya Rania lagi.
"20 tahun buk."
"Pendidikan terakhir kamu?"
"Saya masih kuliah buk, tapi terpaksa berhenti karna kondisi keuangan yang sedang buruk."
"Baiklah, sepertinya kamu gadis yang baik dan pekerja keras. Tapi apa kamu benar ingin berkerja disini, karna pekerjaan kamu nanti bukan mengurus villa seperti bik Minah, tapi mengurus anak saya."
ucapan Rania membuat Diana mengangkat kepalanya yang awalnya menunduk, Diana tidak mengerti.
"Apa aku harus mengurus balita, tapi apa iya?" batin Diana
"Maaf buk, apa saya akan mengurus anak? umur berap?" Devita memberanikan diri untuk bertanya. Sedangkan yang di tanya malah terkekeh mendengar pertanyaan Diana yang polos.
"Tidak, bukan. Bukan anak-anak seperti yang kamu bayangkan." jawab Rania.
"Lalu,saya mengurus siapa? ".
"kamu akan mengurus keperluan putra saya yang sudah berumur 25 tahun."
"APA." triak Diana spontan.
"Ana, Yang sopan nduk." tegur Bik Minah yang ada di belakang Diana.
"Maaf Bik, saya kaget. "
"Tidak apa- apa Bik, itu wajar." sela Rania. "Lalu bagaimana? kamu mau atau tidak?"
Diana tidak punya pilihan lain selain menerima, karna saat ini ia sangat memerlukan uang untuk melunasi hutang ayahnya dan biaya pendidikan kedua adiknya.
"Saya akan menggaji kamu 10 juta perbulan."
ucapan Rania seketika membuat mata Diana membola, mulut gadis itu bahkan terbuka lebar saat mendengar nominal uang yang di sebutkan oleh Rania.
"I_buk serius?" tanya Diana memastikan
Rania mengangguk sambil tersenyum lembut."Tentu saja saya sangat serius.." Rania merogoh tasnya lalu mengeluarkan sejumlah uang. "ini uang muka untuk kamu, sisanya akan saya berikan di akhir bulan. Tapi kamu harus bekerja mulai hari ini." Rania menyodorkan uang berwarna merah senilai 5 juta rupiah itu ke tangan Diana.
Tangan Diana bergetar, bukan karna dia matre atau apapun, tapi karna dia memang sangat membutuhkan uang itu. Sejenak Diana melihat ke arah Bik Minah, wanita paruh baya itu tersenyum dan mengangguk pada Diana . Menghilangkan keraguan yang dimiliki Diana untuk menolak rezeki yang sudah ada di depan mata.
"Baik buk, saya menerimanya." ucap Diana akhirnya.
"Baiklah, kalau begitu. Nanti Bik Minah akan menjelaskan perkerjaanmu. Sementara itu kamu ikut ibuk menemui putra ibuk dulu. Ibuk akan memperkenalkan nya padamu." Diana mengangguk lalu mengikuti langkah Rania menuju kamar Darren.
Di depan kamar, Darren sudah ada Fandra dan Daffa yang menunggu mereka. Kedua pria itu sempat penasaran melihat seorang gadis belia berjalan bersama Rania, tapi setelah Rania menjelaskan peran Diana disana, kadua pria itu pun akhirnya mengerti.
"Kamu yakin bisa sabar menghadapi putra saya nak?? putra saya yang ini sangat berbeda. Dia keras dan juga dingin, dan kamu harus mempunyai extra kesabaran dalam menghadapinya."tanya Fandra.Ia masih ragu dengan pilihan istrinya
"Saya akan berusaha pak, karna sekeras apapun hati seorang manusia, tidak mungkin tidak bisa di luluhkan. Bahkan batu yang terkena tetesan air, jika terus menerus saja bisa bolong dan hancur. Apalagi hanya hati seorang manusia. Saya yakin, lamban laun putra bapak akan berubah menjadi sosok yang hangat lagi." jawab Diana yakin.
Diam-diam Daffa mengagumi sosok Diana yang begitu dewasa. walaupun umurnya jauh lebih muda darinya Bagi Daffa, Diana adalah sosok gadis yang cantik dan juga baik hati, sangat terlihat dari tutur katanya yang lembut dan juga sopan.
Rania menyenggol lengan putra bungsunya yang menatap Diana tanpa berkedip, membuat Daffa seketika menoleh ke arah Mommynya itu.
" Jangan di liatin terus Daff, nanti kamu jatuh cinta." goda Rania dengan senyum mengejek.
Daffa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tersenyum malu karna godaan yang terlontar dari bibir ibunya itu. Daffa seperti sedang kepergok mengambil milik orang lain.
"Diana, mari masuk nak. Biar Ibuk kenalkan kamu pada Darren." Diana mengangguk lalu ikut melangkah ke dalam kamar Darren.
Di dalam kamar, Darren sedang duduk sambil menghadap ke kolam renang yang ada di luar pembatas kaca kamarnya. Darren sampai tidak menyadari jika ibunya sudah berada di dalam kamarnya.
"Darren" panggil Rania cepat.
Darren memutar kursi rodanya, melihat dua orang yang sedang berdiri di belakangnya. Yang satu Darren kenali adalah ibunya dan satu lagi, Darren tidak mengenalnya.
Diana sangat terkejut saat melihat wajah Darren yang begitu sama dengan wajah Daffa, tidak ada yang berbeda dari mereka. Bentuk rahangnya, hidungnya, rambutnya. Hanya satu yang membedakan mereka yaitu warna mata mereka. Daffa memiliki warna mata coklat yang meneduhkan, tetapi Darren memiliki warna mata Hitam pekat, tatapan matanya juga sangat tajam, seperti elang yang siap memangsa buruannya.
"Ada apa Mom, apa kalian akan kembali sekarang?" tanya Darren tanpa melihat ke arah wanita yang di bawa oleh mamanya.
"Iya sayang. Mommy, Daddy dan Daffa akan pergi sekarang. Tapi sebelum Mommy pergi, Mommy ingin memperkenalkan kamu pada Diana." Rania menoleh kearah Diana sambil tersenyum." ini Ana, Diana ini yang akan mengurus keperluanmu selama kamu disini Darren." lanjut Rania
Darren menatap Diana dengan tatapan tidak suka. Tatapan Darren begitu dingin hingga siapapun yang melihatnya akan merasa takut." Bawa wanita ini pergi Mom, Darren tidak membutuhkan bantuannya. Darren bisa melakukan apapun sendiri, dan jangan memperlakukan Darren seperti pria lemah yang tidak bisa apapun. disini masih ada Bik Minah yang bisa membantu Darren." Darren memutar kursi rodanya kembali ke posisinya semula.
" Mommy tidak suka penolakan Darren, suka atau tidak Diana akan tetap menyiapkan kebutuhanmu disini. Jika tidak, Mommy akan membawamu kembali ke Jakarta." ucap Rania tegas. Kali ini Rania tidak akan lemah di depan Darren, karna semua yang ia lakukan hanya demi kebaikan Darren.
Darren berdecak kesal mendengar ancaman yang di lontarkan Rania. Dia sungguh tidak menyangka jika ibunya juga bisa bersikap tegas." Terserah Mommy, Darren tidak perduli." ucap Darren cepat.
Rania menghela nafasnya berat, mengalihkan pandangannya pada Diana." Kau takut? " tanya Rania memastikan jika Diana tidak terpengaruh dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak.
Diana menggeleng cepat-cepat. "Tidak Bu. " jawabnya
"Bagus..Ibu perkenalkan,Dia Darren saudara kembar Daffa. Kamu akan mengurusnya selama dia disini. Ibuk harap kamu bisa sabar menghadapi keras kepalanya ya."
Diana mengangguk mengerti."Baik buk, saya akan berusaha sebisa saya".
Darren menoleh sekilas,wajahnya terlihat sangat tidak suka. dalam batinnya berkata."Cihhh, Dasar wanita penjilat" batin Darren saat mendengar ucapan Diana
Rania mendekati Darren, mencium pipi putranya itu dengan mata basah. Rania sangat tidak tega meninggalkan putranya itu, tapi mau bagaimana lagi, ini adalah keinginannya. keinginan yang tidak bisa Rania tolak.
"Mommy pergi ya sayang, jaga dirimu baik-baik, Mommy sangat menyayangimu nak. Maafkan Mommy." Rania meninggalkan Darren yang sama sekali tidak melihat kepergiannya.
Berat, itulah yang ada dalam hati keduanya. Rania begitu berat meninggalkan putranya, sementara Darren berat memikul beban hidupnya. Akankah kehidupan Darren berubah setelah tinggal jauh dari keluarganya, akankah Darren bisa kembali menjadi Darren yang dulu.
.
.
Itu semua tergantung Authornya ya😅
Jangan lupa like, comment dan juga votenya ya. Semoga kalian suka🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!